Kemping (2)
Napasku ngos-ngosan. Tanganku bertumpu pada kedua lututku. Suasana malam yang senyap kini ramai dengan deru napasku.
Aku menegakkan kembali tubuhku. Mulutku mengeluarkan asap karena dinginnya malam. Senyumku tersungging ketika melihat sebuah panggung dengan atap daun kelapa.
Lampu yang menggantung memberi keadaan yang temaram pada tempat itu.
Tetapi dahiku mengernyit. Mataku memincing. Tidak ada satu manusia pun di sana. Atau mungkin karena ditutupi pinggiran yang terbuat dari kayu sehingga manusianya tidak terlihat.
Aku berjalan. Terlalu lelah karena banyak berlari. Bodohnya aku yang tidak membawa senter tadi. Membuatku harus berkali-kali tersandung batu.
Pos kamling yang dijadikan lokasi ketika games tadi itu masih jelas kuingat letaknya.
Memang terlalu jauh. Tapi tak mudah aku lupakan kenangannya. Karena tadi siang aku dikerjai habis-habisan oleh Diana. Aku disuruh –tidak, tapi aku dan lima orang lain yang menjadi anggota kelompok denganku disuruh push up lalu dimarahi habis-habisan di sana.
Kalau aku sempat amnesia tadi; melupakan Diana itu panitia kemping ini, sudah kupastikan Diana akan pulang duluan dari yang lain. Alias harus dibawa ke rumah sakit setempat.
Persepsi burukku seketika mulai mencekik otakku. Takut-takut Altra yang katanya si cupu itu sudah diculik oleh genderuwo. Aku tahu, itu hanya cerita tahayul yang dikhususkan untuk anak kecil agar tak pulang malam. Tetapi tetap saja, aku takut ada sesuatu yang terjadi.
Aku masih berjalan dengan perhalan. Suara daun yang terinjak seperti menambah dua kali lipat kecepatan detak jantungku. Terus-menerus hingga mengeluarkan keringat dingin dari pori-poriku.
Napasku mulai sesak kala bayangan Altra celaka dengan lumuran darah mencabik pemikiranku.
Al, elo harus tenang ok?
Aku terus menarik napasku dalam. Semoga ada Altra. Semoga ada Altra. Aku terus merapalkan kata-kata itu. Seolah-olah mantra dan berharap sebuah keajaiban datang.
Hingga akhirnya aku sampai. Tinggal aku berjalan lebih dan menengok isi bilik di depanku ini, aku akan mengetahui kebenarannya.
Baiklah, ini akan mudah.
Altra di sana. Tidak akan ada yang terjadi padanya. Bayangkan senyum Altra, Al.
Oke, aku siap.
Kemudian aku berjalan ke samping. Tapi dengan mata tertutup. Takut-takut ekspetasiku malah berkebalikan dengan realitas yang ada. Aku tidak mau terlalu banyak berharap.
Setelah dirasa sampai di samping panggung itu, aku berbalik ke kiri. Lantas secara perlahan, aku membuka mataku dengan napas yang tertahan. Ini benar-benar menakutkan rasanya. Bahkan hantu yang biasanya ada sekitaran tengah malam, kalah seramnya dengan keadaan ini.
Hingga akhirnya aku membuka mataku lebar. Aku menghembuskan napas yang sedari tadi kutahan. Ritme napasku lebih cepat sekarang. Jantungku pun hampir copot jika penglihatanku benar-benar di luar nalarku.
Altra sedang tidur membelakangiku. Posisinya seperti janin di dalam perut. Menimbulkan sebuah kelegaan luar biasa dalam perasaanku.
Terima kasih. Terima kasih.
Aku berucap syukur berkali-kali. Altra tidak ada cacat sedikit pun. Beruntunglah dia masih menggunakan jaket tebal. Jadi, kekhawatiranku sedikit berkurang.
Rasa bersalah yang dua minggu ini memasungku, semakin kuat ikatannnya. Melihat keadaan Altra seperti sekarang, sebagian kecilnya adalah salahku.
Padahal aku masuk OSIS untuk melindungi cowok rapuh itu. Tetapi Altra malah menderita seperti sekarang. Tidur di luar tanpa ada apapun yang menghangatkannya kecuali jaketnya.
Aku memutari panggung dari rotan itu. Dan duduk di samping Altra tertidur. Memperhatikan wajah Altra yang masih terpasang kacamata itu dalam diam. Sudut hatiku tersenyum. Memunculkan sebuah kebahagiaan tiada tara. Membuat aku harus terkekeh geli akan reaksi yang hatiku timbulkan.
Melihat Altra terlelap kedua kalinya, entah kenapa aku suka. Begitu damai dan begitu menenangkan. Menimbulkan rasa syukur pada diriku karena telah diberi hidup. Dan… mengenal Altra.
**
Aku mengerjapkan mataku. Mataku sedikit memincing karena lampu gantung yang tepat di atasku.
Aku sedikit menggigil. Suhu di sini semakin menusuk kulitku yang terbalut jaket. Suara jangkrik semakin mendominasi. Gelap masih menyelimuti daerah ini.
Aku kemudian menengok jam di tanganku.
Setengah tiga pagi.
Pantas saja langit masih terlihat begitu gelap. Kepalaku sedikit sakit ketika mulai aku gerakkan. Dan menimbulkan decitan rotan yang bergesekan.
Aku menoleh ke sampingku. Kulihat Altra membuka matanya juga sama sepertiku. Wajah Altra begitu polos khas dengan wajah tidurnya. Memberikan ketenangan pada sanubariku.
Lantas aku berbalik untuk berhadapan dengan Altra. Jarak kami hanya menyisakkan satu jengkal saja. Membuat ritme jantungku tak sesuai ketika menyadarinya.
Napas Altra terasa hangat menerpa wajahku. Tetapi mataku masih tenggelam dengan kedua mata Altra yang juga sedang menatapku dalam.
Aku menyunggingkan senyumku. Dan Altra masih terdiam dengan wajah datarnya.
Berselang beberapa detik, Altra bangun. Bukan untuk duduk atau berdiri.
Altra menciumku.
Ciuman di bibir sekaligus ciuman pertamaku.
Mataku membelalak lebar. Sedikit terkejut karena perbuatan Altra. Tetapi anehnya aku tak bisa memberontak. Tubuhku seolah terikat kuat. Tak bisa digerakkan walau satu mikrosenti pun.
Altra menutup matanya. Membuatku sedikit demi sedikit terbuai akan perbuatannya. Darahku berdesir menyenangkan. Perutku digelitiki kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya. Membuat gelenyaran hebat ketika Altra melumat lembut bibirku.
Tidak ada bantahan sedikit pun atas apa yang Altra lakukan padaku. Aku menerimanya. Otakku dan tubuhku seakan memberi respon yang baik.
Tak sampai satu menit, Altra melepaskan pagutan kami. Ia menutup mata dengan deru napas yang tenang.
Altra terlelap kembali.
Meninggalkan aku yang masih tercenung karena perbuatannya tadi.
Ciuman pertamaku.
Yang harusnya aku beri pada orang yang kucintai, kini tiada lagi. Tetapi sudut hatiku malah menerimanya dengan senang hati.
Sebenarnya… ada apa denganku?
**
Aku berkali-kali mengembuskan napasku. Aku sedang berdiri sambil menatap panggung yang ditutupi belakangnya itu. Sambil memasukkan tanganku ke dalam saku jaket.
Berbagai macam persepsi masuk ke dalam otakku. Antara terus melanjutkan langkahku atau kembali balik lagi tenda.
“Gue harus bilang apa ya?” aku menggigit kuku tanganku. Berpikir keras dengan apa yang akan kulakukan selanjutnya.
“Hai Al,” aku melambaikan tanganku kemudian menggeleng. “Jangan deh!” aku merubah raut wajahku menjadi datar.
“Ngapain lo?”
Aku menautkan alisku serasa aneh dengan ucapanku barusan.
“Good morning, Al.” Wajahku dibuat riang dan selanjutnya menjadi gahar. “Jijik sumpah!”
Aku memukul dahiku berkali-kali kemudian memberenggut.
“Kok gue jadi gini sih?!”
Waktu baru jam enam pagi. Suhunya memang benar-benar dingin. Kedua tanganku terasa membeku. Bukan hanya karena suhunya. Tapi karena kegugupanku yang amat sangat.
Pikiranku melayang-layang. Membayangkan hal apa yang terjadi kalau aku menemui Altra nanti.
Kejadian semalam, sukses membuatku tak bisa tidur. Baru jam empat pagi, aku kembali ke tenda. Meninggalkan Altra sendirian. Berharap cowok itu akan tetap baik-baik saja.
Sekarang aku kembali dimana Altra tidur malam tadi. Dan alhasil seperti sekarang.
Nyaliku ciut seketika. Keberanian yang biasa kuanggung-agungkan sekarang memudar. Menyisakan kecemasan dan kegugupan yang mendadak menikamku.
“Gue harus berani!” Aku mengepalkan tanganku ke udara.
“Dia cuma cowok cupu, Al!”
Aku menguatkan kembali hatiku. Aku mulai melangkah mantap walau hati deg-degan. Tanganku terkepal di samping kanan-kiriku. Berusaha menyalurkan rasa gugupku ini. Serta menetralkan ritme jantung yang teramat cepat.
Kemudian aku mengitari panggung itu hingga aku dapat melihat Altra yang masih tertidur.
Di daerah ini sungguh sepi. Hanya terdengar kicauan burung gereja yang sedikit meramaikan suasana pagi.
Wajahku begitu meyakinkan padahal tak ada secuil pun keberanian tersangkut di dalamnya.
Hingga akhirnya kulihat Altra mengerang di depanku. Meregangkan tubuhnya yang kaku.
Membuat air mukaku mendadak kaku. Tubuhku terpasung dan kakiku terpaku. Altra kemudian terduduk sambil mengucek matanya.
Lantas Altra menyadari keberadaanku. Tidak ada kata yang sempat kuujarkan. Kami berhadapan dalam diam. Altra menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kupahami.
Latihan bicara tadi benar-benar tak ada manfaatnya padaku sekarang. Aku seperti dilempar pada dunia putih tanpa verbal di dalamnya. Menyisakan aku dan Altra saja.
“A-Alia?” wajah Altra sontak memerah. Matanya tak fokus menatapku. Cowok itu membuang mukanya. Membuat kesadaranku sedikit demi sedikit terkumpul.
“Hmm... e-elo udah bangun?” degupan jantungku terus saja membuncah. Memekik tenggorokanku untuk sekedar berucap.
Altra mengangguk. Wajahnya terus saja memerah sampai ke telinga. Keadaan Altra tak seperti cupu biasanya. Rambutnya acak-acakkan serta pakaiannya yang sekarang terlihat tak rapi.
“A-Alia kapan ke sini?” tanya Altra yang masih saja menunduk. Ada ketakutan yang tersirat di dalam pertanyaan Altra. Membuatku didera keheranan.
“Ta…” aku menghentikkan kata-kataku. Menghirup udara sedalam-dalamnya. Menyembunyikan sedalam mungkin kegugupan yang tadi menyerangku. Mengenyahkan ribuan kepingan ingatan soal semalam.
Aku pun menggerakkan kakiku yang terasa kaku. Duduk di samping Altra dan berusaha mengambil jarak sejauh mungkin.
Setelah dirasa tenang, meski menyisakan sedikit kecemasan aku mulai berujar, “Baru juga gue datang. Tadinya gue mau jogging. Eh ketemu elo lagi tidur. Elo kenapa bisa tidur di sini? Gak dingin apa?”
Aku mengembuskan napasku lega ke arah lain. Seolah selesai memberikan kesaksian palsu kepada sang hakim. Kemudian aku merasa Altra menoleh padaku dengan keheranan.
“Jadi Alia semalam gak ke sini?”
Aku kontan menoleh. “Gue lagi tidur. Gak mungkin gue ke sini.” Aku tertawa hambar dan kulihat Altra menyunggingkan senyumnya tipis.
“Altra kirain Alia ke sini.”
“Emang kenapa? Elo lihat gue ke sini gitu semalem?”
Altra menggelengkan kepalanya. “Gak ada apa-apa kok. Gak penting.”
“Terus elo kenapa bisa di sini?” ucapku sambil mengalihkan perhatian.
Aku tidak ingin mendadak keceplosan soal tadi malam. Menciptakan jarak yang lebih jauh antara aku dan Altra.
“Altra katanya tadi disuruh bantuin Bu Sugeng. Terus harus nunggu di sini. Altra mau balik lagi, tapi Altra lupa jalan. Yaudah Altra tidur di sini aja.”
Aku mengembuskan napasku gusar. Bisa-bisanya ada manusia jenglot yang mau menipunya.
Apa mereka tidak punya hati atau sekadar mata? Altra itu rapuh. Altra tidak sekuat manusia lainnya. Tapi kenapa mereka masih saja tega mengerjai Altra?
Aku akan balas dendam! Lihat saja nanti!
“Elo kalo disuruh gitu jangan mau ya, Al. Kecuali gurunya yang langsung bilang ke elo.”
"Emang kenapa?” Altra menoleh.
“Mereka bisa aja bohongin elo, Al.”
“Alia tau dari mana?” Altra menautkan alisnya. “Alia jangan buruk sangka dulu sama orang. Mamah bilang itu gak baik. Waktu Altra bilang Salma ngambil kacamata Altra, mamah marah. Katanya jangan bilang keburukan orang lain dulu. siapa tahu kita yang salah sebenarnya.”
Aku mengulum senyumku. Ucapan Altra terlampau naif. Semuanya hasil doktrinisasi ibunya.
Altra tidak mempunyai opini yang dibuatnya sendiri. Melainkan kata mamahnya.
Kalau orang jenis Altra pasti akan sulit bertahan di arus zaman sekarang. Semuanya haruslah manusia-manusia yang berpikiran kritis. Bukan mengandalkan kata orang.
Apa manusia seperti Altra dapat sembuh ya? Kalaupun ada, aku akan menyerahkan hidupku agar bisa melihat Altra sembuh. Membuatnya berjalan manjadi lelaki normal. Membuatnya dapat berbicara dengan ritme khas orang dewasa.
**
Aku mengusap lengan atasku yang tak tertutupi kain. Suasana malam hari dingin seperti biasa. Tetapi bedanya hari ini adalah hari yang begitu bersejarah bagiku. Atau mungkin sangat bersejarah bagi seluruh manusia yang mengenalku.
Aku memijakkan kaki dengan sepatu wedges yang tingginya 5 cm ke depan taman yang kini dihiasi beberapa dekorasi.
Mungkin bisa ditebak, wedges berwarna hitam ini tidak mungkin dipasangkan dengan kaos kebesaran. Tapi sepatu ini dipadu padankan dengan dress berwarna peach.
Sebuah pita yang berwarna senada melingkari perutku. Berakhir dengan untaian tali yang hampir selutut di samping tubuhku. Dressnya berlengan pendek serta panjangnya satu cm di atas lutut. Membuat bulu kudukku berdiri tegap kala angin malam menyapu tubuhku.
Aku yang tak bisa berdandan, hanya memoleskan bedak yang kupinjam dari perempuan yang setenda denganku. Rambutku pun hanya diikat menjadi satu. Benar-benar sederhana banget.
Taman yang ada di depanku ini sekarang terlihat telah disulap. Ada gapura yang dihiasi bunga-bunga menyambut kedatangan tamu. Meja dan kursi tertata khas restoran bintang lama. Ditutupi dengan kain berwarna putih pada setiap meja dan kursinya.
Kukira kemping ini akan murni tentang alam. Aku kira taman ini akan didiamkan seperti sedia kala. Tapi malah menjadi menjadi lebih indah. Bahkan lampu-lampu berwarna serta lilin di beberapa sudut, menambah suasana malam ini menjadi romantis.
“Kelihatan pangeran tuan putri?” aku sontak menoleh.
Andre sedang tersenyum. Pakaiannya tak kalah istimewa denganku. Kemeja biru muda dan dibalut texudo itu membuatnya terlihat lebih rupawan.
Rambutnya tak kalah rapi. Meski setiap hari andre memang selalu rapi, tapi kali ini tambak begitu berbeda. Aku yang perempuan akan jujur. Kalau Andre terlihat sangat tampan.
“Kurasa gue satu-satunya tuan putri yang jomblo.” Andre melebarkan senyumannya. Dan meraih tangan kananku. Andre mengecupnya dengan lembut. Getaran aneh seketika menjalar ke seluruh tubuhku.
“Elo selalu cantik, Al.” Sontak pipiku merasa panas.
Pujian Andre saat ini menjadi pertama kalinya dalam hidupku. Kurasa sifat fitrahku takkan mungkin bisa musnah. Buktinya ada rasa bahagia ketika Andre memujiku seperti tadi.
“Elo jangan ngeledek deh.” Aku menarik tanganku kembali dan Andre menegakkan tubuhnya sembari terkekeh.
“Gue baru tahu. Pujian gue malah dianggap ledekkan ya?”
“Salah tempat sih, Mas.”
“Eh Al, di rambut lo ada apaan tuh?”
“Hah?” Aku spontan memegang rambutku yang terikat itu.
Rasa khawatir takut-takut ada sesuatu di rambutku. Tetapi entah sejak kapan tangan Andre memegang ikatan rambutku. Dan saat itu juga ia menariknya dan membuat rambutku terurai.
Andre menyimpan ikatan rambutku di saku texudonya.
“Elo lebih cantik diurai, Al.”
Aku menggigit bibir bawahku untuk tersenyum lebih lebar lagi. Andre berlipat-lipat tampannya ketika ia memujiku.
Ahhh aku bisa-bisa gila bersama Andre terus. Aku harus pergi sebelum aku semakin baper karena ucapannya. Aku tidak ingin jatuh cinta secepat ini. Andre bukan cowok yang selama ini aku tunggu.
Baru saja aku akan mengangkat kakiku, Andre sudah duluan menggenggam tanganku erat.
Aku menatap matanya dalam. Mau membertontak, tapi mulutku mendadak tak berfungsi. Sedangkan Andre sudah tersenyum di depan.
Jantungku mendadak ingin lepas dari rumahnya juga. Oksigen seakan hilang dari peredaran udara. Membuatku menahan napas sejenak.
“Harusnya tuan putri jalannya sama pangeran, 'kan?”
Belum sempat menjawab, Andre sudah membawaku memasuki taman yang sudah dipenuhi beberapa orang. Aktivitas mereka seketika terhenti ketika aku dan Andre mamasuki area taman tersebut.
Meja dan kursinya ditata untuk dua orang. Persis seperti candle light untuk sepasang kekasih yang baru merajut cinta.
Kulihat para sahabatku juga menatap kami yang sudah duduk di salah satu meja. Entah kenapa, Andre memilih tempat yang jauh dari kelima sahabatku.
Mereka benar-benar kelihatan jonesannya. Duduk berdua sesama lelaki. Aku jadi takut, mereka tidak akan saling jatuh cinta, 'kan? Iya 'kan?
“Gue sengaja milih tempat ini.” Aku menoleh pada Andre ketika aku asyik berbicara lewat mata dengan Iqbal.
“Biar gak ada manusia lain yang ganggu waktu kita berdua, Al.”
Andre memegang tanganku yang berada di atas meja. Memberi sentuhan dan efek yang luar biasa bagi tubuhku. Membuatku kaku dan membeku bak patung.
Andre masih tersenyum dengan senyum khasnya yang begitu manis. Sedangkan aku. Aku masih memandang tanpa ekspresi wajah Andre.
“Elo udah mikirin jawaban buat gue, 'kan?”
Aku kembali tersadar ketika mendengar pertanyaan andre barusan. Wajahku berkerut keheranan tak mengerti.
“Soal perasaan gue,” lanjut Andre yang membuatku melepaskan genggaman tangannya.
Kedua tanganku kini saling meremas di atas pangkuanku. Aku tersenyum hambar.
Jujur saja aku tidak tahu jawabannya. Aku tidak pernah memikirkan perasaan Andre maupun jawabannya. Aku hanya berpikir bagaimana caranya persahabatan kami tidak kandas, itu saja.
Aku menggeleng lemah. Raut wajah Andre sedikit berubah. Senyumannya pun tak selebar tadi. Terbesit kekecewaan yang bisa kulihat dari kedua mata hazelnya.
“Gue gak tahu. Gue gak bisa, Ndre.”
“Kenapa?”
“Gue masih…”
“Nunggu cowok yang namanya aja elo gak tahu?” Aku sedikit terperangah. Mendengar pertanyaannya membuatku merasa mengasihani diri sendiri.
Aku tahu aku cewek bego. Bodoh dan tolol. Menolak Andre yang terbilang sempurna hanya untuk menunggu cowok yang belum kuketahui siapa dia. Tetapi hatiku masih tak bisa terisi orang lain lagi.
Walau aku berhenti menunggu, tapi aku masih belum memutuskan untuk berhenti mencintainya. Hatiku masih seutuhnya milik dia.
Meski ada kebenaran yang bilang kalau dia bukan manusia pun, aku akan tetap mencintainya.
“Elo udah tahu jawabannya, Ndre.” Aku mendadak lemah kala membicarakan dia.
Dia adalah kelemahanku. Dia yang membuatku kembali menjadi seorang perempuan lemah. Bukan Al yang mempunyai gelar Penguasa SMA Bhakti.
“Kenapa gak lo nyoba? Elo gini terus karena elo terus menutup diri, Al. Elo menutup hati elo sama siapapun. Jadi elo masih ngestuck sama dia, Al.”
Andre bersungguh-sungguh mengucapkan hal itu. Ia menatap kedua mataku dalam. Memberi hasutan pada otakku untuk menyetujui perkataannya.
Andre benar. Aku yang enggan membuka hati membuatku masih terus menunggu dia. Apa aku harus menyetujui ajakkan Andre? Apa aku tidak akan menyesal nantinya?
Aku terus berdebat dengan otak dan hatiku. Mereka mempunyai opini yang kuat. Otakku mengatakan iya dan hatiku mengatakan tidak.
Semuanya mempunyai alasan sendiri. Membuatku kesusahan untuk memutuskan.
Hingga akhirnya ekor mataku menatap cowok yang sedang berdiri di dekat gapura. Tepat di belakang Andre, cowok itu tersenyum ke arah temannya yang menyambutnya.
Wajah Altra seketika terganti oleh dia. Membuat argumen hatiku semakin kuat ketika melawan argumen otakku.
Bayangannya semakin nyata saja di otakku. Membuatku ingin berlari dan memeluknya. Namun, aku tahu. Itu semua hanya ilusi yang diciptakan oleh hatiku.
Tak mau ketahuan oleh Andre, aku kembali membuka suara.
“Gue gak bisa.”
Tubuh andre mengeras. Aku tahu Andre tak menyukai jawabanku. Ia tak menyukai hasil musyawarah antara otak dan hatiku.
“Gue masih cinta sama dia, Ndre. Dan gue mohon, berhenti nunggu jawaban gue. Buat malam ini lebih baik ya?”
Aku berusaha menenangkan suasana yang mendadak runyam ini. Menyunggingkan senyum selebar mungkin. Berharap Andre dapat melupakan pembicaraan tadi.
Andre melempar punggungnya ke sandaran kursi. Mengembuskan napas kesal dan menatapku kembali.
“Oke. Untuk malam ini, kita lupain hal itu. Tapi gue gak bisa nurutin permintaan elo sebelumnya.”
Setengah hati aku merasa senang. Tetapi setengah lagi masih saja mengganjal di hatiku.
Padahal aku sudah bertingkah berandalan. Dan kenapa andre masih saja menyimpan perasaan itu?
Akhirnya aku mengangguk dan mulai tersenyum dengan lebih tenang.
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro