Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kemping (1)


"Siang semuanya!"

"Siang!" jawab kami serempak mendengar sapaan sang ketua OSIS di depan. Siapa lagi kalau bukan Andreas Jonathan. Salah satu dari kelima sahabatku.

Cowok itu tampak berwibawa ketika berpidato di depan. Sedangkan aku sedang berada di dalam barisan dengan posisi tangan ke belakang; posisi istirahat di tempat.

Semuanya sunyi selain Andre yang sedang berbicara panjang.

Suara burung berkicau di pagi hari, membuat suasana sedikit ramai. Udara sejuk dari pohon-pohon tempat berkemping kami, membuat tubuhku lebih rileks. Mungkin karena warna hijau serta udara alami yang jarang sekali kuhirup ketika di kota.

Kami semua; seluruh anggota OSIS serta kurang lebih lima orang guru tiba di tempat perkempingan ini. Kondisinya sangat alami. Gemericik air dari sungai, seketika memberi aroma yang begitu menenangkan. Benar-benar jauh dari kebisingan suara knalpot ibu kota.

Tetapi tetap saja. Bagaimana pun keadannya kalau terus berdiri begini, lama-lama aku mau pingsan.

Andre masih berorasi. Sedangkan kakiku mulai kesemutan karena terlalu lama berdiri.

Kapan sih ketos itu berhenti? Aku saja tidak tahu apa yang dibicarakan Andre sedari tadi. Karena pikiranku tidak melayang di sini. Melainkan ke arah kasur.

Kenapa? Lantaran jam sepuluh seperti sekarang, aku harusnya masih tertidur. Bukannya berdiri tegap layaknya pasukan tentara seperti ini.

Aku bersumpah. Akan membalaskan perbuatan Andre setelah kemping ini selesai.

Andre masih asyik dengan suara tegasnya. Kulirik dari beberapa orang yang begitu serius memperhatikan Andre.

"Setelah ini, semuanya harus menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Putra mendirikan seluruh tenda dan Putri memasak untuk makan siang nanti."

WHAT THE....

Andre gila! Aku disuruh memasak! Ah tidak ralat. Tapi semua putri yang disuruh memasak. Apa dia tidak simpati dengan diriku? Kesini saja aku sudah malas ampun-ampunan. Apalagi harus menjalankan tugas seperti itu.

"BALIK KANAN BUBAR JALAN!" suara tiba-tiba Andre menyadarkan pikiranku kembali. Salam penutupnya pun tak sempat kudengar. Karena pikiranku yang begitu heboh mengumpat Andre.

Aku masih diam di tempat. Memberi mata laser pada cowok yang sedang menghampiri keberadaanku.

"Biasa aja kali mata elo." Andre terkekeh geli.

Cowok itu memang kembali ke sedia kala. Tidak ada wajah yang ditekuk maupun geram. Yang ada, Andre malah menjadi cowok manis ketika bersamaku. Tak percaya? Aku saja masih seperti berkhayal kalau Andre dapat berubah secepat ini.

"Kok gak nyadar diri ya, Mas?" Aku melipat tanganku. Dan Andre malah menertawaiku. Seolah aku ini badut yang sedang menghiburnya.

"Gapapa, Al. Belajar masak dari sekarang. Jadi suami bisa betah lama-lama di rumah nanti."

"Elo gak pengertian banget sih ah!" Aku hendak pergi meninggalkan Andre. Tetapi dengan cepat, Andre menarik pergelangan tanganku. Spontan aku kembali menghadap Andre.

Cowok itu dengan mudahnya menggenggam kedua tanganku.
Aku tidak memberontak. Cowok itu seakan menghipnotis tubuhku agar tak bergerak. Lewat matanya, aku kembali tenggelam ke dalam dua netra cowok itu.

"Buat ini mudah ya, Al. Gue tahu, elo gak suka acara ginian. Seengaknya, lo laksanain tugas lo meski cuma formalitas. Jujur aja, gue mau buat pengecualian buat lo sama yang lain. Tapi itu malah memperburuk hubungan kita, Al."

Aku mengerti. Andre memang dikenal baik. Dia tidak mungkin menyalahgunakan jabatannya hanya untuk melakukan nepotis kepada kami. Memperlakukan kami lebih baik dibandingkan yang lain merupakan hal salah.

Aku pun mengangguk. Mau tak mau, aku harus melaksanakan tugasku.

Memasak. Aktivitas yang tak pernah mau aku lakukan. Selain berbau perempuan -meski ada lelaki yang hobi memasak juga, aku tetap tak menyukainya.

Namun, demi Andre. Demi persahabatan kami, aku harus bisa melaksanakannya.

"Bagus kalo gitu. Nanti malem kalo udah jurit malam, gue tunggu di tenda ya."

Aku memelotot ke arah Andre. Cowok itu sedang menyeringai iblis padaku.

"Mau apa lo?!" Andre tertawa kecil sembari melepaskan genggamannya. Tetapi tangannya malah beralih pada puncak kepalaku.

"Kita seru-seruan aja sama empat kacung lain. Atau elo mau minta lebih?"

Andre gila! Otaknya ketularan Iqbal. Inilah yang kutakutkan. Kalau aku tertular suka dangdut karena Malik, bisa jadi penyakit Iqbal yang suka bokep juga akan menular.

"Sejak kapan lo mesum kaya Iqbal?"

"Sejak...." Andre tampak berpikir dan kembali melanjutkan kalimatnya. "Gue suka sama elo," jawabnya sambil berlari menjauhiku.

Aku hendak mengejarnya, tapi suara dehaman menghentikan niatku.

"Udah pacarannya?" Aku berbalik. Dan menatap bengis cewek yang sedang melihatku tak kalah tajamnya.

Diana Almahera.

Cewek yang nama lengkapnya seperti pulau di Indonesia itu sedang memangku tangan. Memberi mata intimidatif padaku.

"Apa mau lo?"

"Gue pikir Andre udah jelasin tugas cewek. Dan omongannya juga jelas dan keras. Dan elo belum tuli, 'kan?"

Aku mencebik. Cewek yang menjabat sebagai sekretaris OSIS itu memang tak pernah takut padaku. Padahal hampir seluruh anggota OSIS segan jika berhadapan denganku. Mungkin bukan segan juga sih, lebih pada takut.

Namun karena Diana ini merupakan anak kepala sekolah SMA Bhakti, dia jadi angkuh seperti itu.

Mau aku mengancam nyawanya pun, Diana memiliki senjata ampuh untuk membuatku lumpuh.

"Gue denger. Ini juga gue mau pergi."

Bukannya aku takut. Berdebat dengan Diana malah berakhir jambak-jambakkan nantinya. Jadi membuatku malas setengah mati. Lebih baik aku pergi. Tetapi lagi-lagi Diana setan itu memanggilku kembali.

Aku yang terlalu jengah kepadanya, tetap tak mau berbalik.

"Gue harap elo enggak keganjenan sama Andre. Elo harus sadar sama tingkah lo. Kaya langit sama bumi."

Gigi bergemeletuk. Tanda jika emosiku sudah mulai kalap. Aku mengepal erat tanganku hingga buku-bukunya memutih.

Diana memang cinta mati sama Andre. Salahkan Andre yang memang terlalu baik kepada orang-orang. Sehingga cewek jenis Diana, jadi mulai berharap banyak padanya. Dan sindrian yang menusuk itu, sukses membuatku tak bisa diam di tempat.

Aku memutar haluan dan melangkah panjang ke arah Diana. Cewek itu sempat terperangah dan melangkah mundur.

Sudah kubilang.

Diana hanya punya nama di sekolah. Bukan otak maupun kekuatan yang dia miliki.

"Elo bukan Tuhan yang bisa menilai baik buruknya sifat seseorang."

Mataku tajam menusuk kedua mata cokelat Diana. Cewek itu sudah bungkam dan lumpuh. Kulihat bibirnya saja sudah gemetaran.

Dasar cabe tak bermutu!

"Elo harusnya ngaca! Apa yang elo punya selain jabatan dan duit orang tua elo?!"

Aku berteriak. Diana terduduk lemas. Aku menyeringai dan akhirnya pergi meninggalkan cewek manja itu.

Kupikir berdebat dengan Diana akan memancing adrenalinku. Namun malah sama saja. Semuanya berakhir dengan tangisan atau ketakutan. Membuat hidupku semakin monoton saja.

Kalau tahu begini, aku bawa Ayu saja kalau bertengkar. Cewek itu satu-satunya yang kuat melawanku. Meski dia tak ahli bela diri, mulutnya memang pedas. Dia tak pernah kalah berdebat denganku. Bahkan aku menonjoknya saja, Ayu masih saja tak gentar.

**

Aku melenggang pergi dari dapur umum. Sambil meniup telunjukku yang tergores pisau, aku berjalan. Setelah selesai memasang plester, aku melihat punggung seseorang yang menarik perhatianku. Aku berjalan pelan dan menepuk pundaknya.

"Hayo!"

"Eh setan! Setan!" latah pria paruh baya itu.

Aku pun tertawa ngakak melihat wajah kaget Pak Agus. "Eh Neng Al, ngagetin saya aja."

"Pak Agus ngapain di sini?" tanyaku sambil ikut berjongkok di samping Pak Agus.

Kulihat beliau kembali menunduk dengan memainkan sebilah bambu. Kupikir bentuknya menyerupai patok yang biasanya untuk dipasangkan pada tenda. Pak Agus menyoret-nyoretkan bambu tersebut ke tanah.

"Bapak galau?"

Pak Agus mengangguk. "Neng Ayu gak ikut ke sini?" tanyanya seraya masih menatap tanah.

Dasar brondong tua! Nggak inget umur banget! Muka sudah keriputan masih aja deketin perawan.

Iya sih rambut Pak Agus masih kelihatan hitam semua. Bahkan gaya rambutnya mirip salah satu vokalis band Indonesia. Tapi aku tidak tahu. Apakah hitam itu warna alami ataukah pewarna rambut?

"Enggak, Pak. 'Kan dia bukan anggota OSIS."

Wajah Pak Agus semakin memberenggut. "Bapak juga bukan OSIS tapi ikut."

Aku baru tahu. Kalau sudah tua ternyata tingkahnya malah balik lagi seperti anak manja. Pak Agus contohnya.

"Iyalah. 'Kan di sini bapak nugas."

Nugas bantu-bantu maksudnya.

"Iya. Tapi bapak 'kan gak semangat."

"Bapak emangnya gak punya istri di rumah?" tanyaku sambil menautkan kedua alisku.

Pak Agus masih memainkan sebilah patok itu. Persis seperti anak kecil yang sedang main tanah.

"Bapak 'kan gak punya istri, Neng."

Aku melebarkan mataku. Ludahku terasa menggumpal di tengah tenggorakan. Membuatku harus berusaha keras untuk menelannya.

Kupikir Pak Agus hanya bercanda centil sama Ayu.

"Bapak serius sama Ayu?"

"Iyalah. Bapak itu laki-laki serius, Neng," jawab Pak AGus seraya menatapku tajam.

Aku gelagapan. Pria yang sering membantuku masuk ke sekolah ketika terlambat ini lantas berdiri.

Pak Agus menyematkan tangan kanannya ke dalam saku celana kainnya. Dan satu tangan lagi menyisir rambutnya ke belakang. Persis iklan sampo pria yang ada di tv-tv. Lagi-lagi aku dibuat tercengang plus ngakak melihat perbuatan Pak Agus.

"Mending bapak nugas lagi aja deh!" Kemudian beliau berdeham. "Dan salamin ke Neng Ayu ya!" aku dibuat terkejut lagi. Kemudian mengernyit aneh. Sumpah aku ingin muntah sekarang.

Aku termangu melihat kepergian Pak Agus. Aku benar-benar harus tobat sekarang. Rupanya ciri-ciri kiamat besar sudah mulai berdatangan.

Sekarang, brondong tua macam Pak Agus mulai manancapkan taringnya. Aku semakin ketakutan. Membayangkan kalau Ayu menerima cinta Pak Agus, bagaimana masa depan dunia nanti?

"Alia?" Aku memekik. Mendengar nama perempuanku disebut, aku hampir saja memunculkan tanduk di atas kepalaku. Tetapi ketika selesai mencerna tentang sumber suara itu, aku mengurungkan niatku. Aku menengadah.

Altra?

Aku menengokkan kepalaku ke kanan dan ke kiri. Semoga tidak ada sahabatku yang melihat kebersamaan kami. Aku pun berdiri dan berhadapan dengan Altra.

"Kenapa, Al?"

"Altra mau ngambil itu." Altra menunjuk sebilah patok yang tadi dimainkan Pak Agus. Aku mengangguk dan mengambilnya.

"Nih!"

Altra kemudian menjulurkan tangannya dan menarik patok tersebut. Tapi kutahan sejenak.

"Elo gak marah sama gue?" Altra mendongak. Ia mulai menatap ke arahku.

"Kenapa Altra harus marah sama Alia?" Aku mengendurkan peganganku dan patok itu dapat diambil Altra dengan mudah.

"Karena gue jauhin elo?" aku menjawab dengan pertanyaan juga. Lantas menimbulkan kernyitan di dahi Altra.

"Alia jauhin Altra? Tapi-"
Belum sempat melanjutkannya, Altra menatap seseorang yang ada di sampingku. Aku pun mengikuti arah pandang Altra. Terlihat cowok tegap dengan aura yang menakutkan.

"Andre?" tanyaku dan Andre secara santai merangkul bahuku untuk mendekat ke arahnya.

"Hai Al." Andre menoleh padaku sembari tersenyum. Bukannya aku membalas senyuman Andre, aku malah memandang bingung. Tapi tak lama. Karena keterkejutanku diinterupsi oleh suara Altra.

"Altra pergi dulu." Altra membungkuk lalu pergi meninggalkan aku dan Andre berdua.

Aku kemudian menepis rangkulan Andre dan mengambil jarak. Memberi pandangan laser. Berharap tubuh cowok itu dapat terbagi dua secara vertikal.

"Elo ngapain rangkul-rangkul gue? Jijik tau gak?"

Bukannya menapik keterberatanku, Andre malah mengendikkan bahunya cuek.

"Mau aja."

"Alasan basi!" aku memangku tanganku kesal. Dan tak lagi menatap horror Andre. Tetapi aku mendengar kekehan geli dari cowok yang membuatku naik darah itu.

"Iya deh. Gue cuma mau nunjukkin aja. Kalo elo itu lebih pantes sama cowok yang normal. Bukan cowok idiot kaya dia."

Aku menautkan alisku tak mengerti. Ucapan Andre berada di luar ekspetasiku. Kupikir dia jenis cowok yang simpati. Bahkan cowok itu selalu rendah hati sama penghuni SMA Bhakti. Tetapi kenapa kalau sama Altra cowok itu malah jadi besar kepala?

"Gue baru tahu. Ada ketua OSIS yang sombong kaya elo."

Andre menghilangkan ulasan senyumnya. Kembali dengan tatapan gahar yang dulu sempat menjadi identitas cowok itu.

"Dan gue harap elo bisa terbiasa dengan cowok sombong ini."

Andre menunjukkan seringaiannya. Membuatku bergidik ngeri. Bulu romaku saja sudah tegap berdiri. Aku tak melihat sosok Andre kalau cowok itu sudah mode seram seperti itu. Seolah-olah ada orang lain yang mengambil kepribadian Andre yang aslinya.

**

"Pancasila lima daaaasar!" aku menempelkan kedua telapak tanganku di bawah. Semua jariku lengkap, kecuali sahabat-sahabatku yang menunjukkan 3 jarinya atau 8 jarinya. Aku pun menunjuk satu-satu jarinya sambil menyebutkan huruf alphabet.

"X Y Z A B C D E F!" hingga akhirnya tidak ada lagi jari yang kuhitung.

"Hewan dari huruf F!" Aku berseru.

"Fenguin!" jawab Dicky semangat.

"Penguin, bego!" ejekku ngakak. Kemudian disusul oleh gelak sahabatku yang lain.

"Terserah gue dong!"

"Yaudah kalo Fenguin bisa. Gue pilih fekicot!" timpal Iqbal tak kalah hebohnya. Kami berenam sontak tertawa keras.

"Itu bekicot anjir!" Malik berujar di sela ngakaknya.

Aku menyeka air mataku yang sempat keluar. Lagi-lagi perutku dibuat sakit karena kebanyakan tertawa.

Kali ini aku sedang berada di dalam tenda milik mereka berlima. Aku sembunyi-sembunyi tentunya karena takut ada yang memergokiku.

Setelah kelamaan bosan, akhirnya Dicky mengusulkan permainan sederhana ini. Dan sukses membuat kami tergelak bebas. Padahal permainannya sudah habis termakan zaman.

"KALIAN BELUM TIDUR?!" Suara Pak Iwan -guru bidang kesiswaan- membuat tubuh kami berenam mematung. Suara tawa kami mendadak sepi terbekam rasa takut.

Ketika mendengar derap kaki mendekati tenda, kami spontan melemparkan diri dan ditutupi selimut.

"Kita mau tidur kok, Pak!" teriak Dicky dengan suara gemetarannya.

Cowok itu walau berkali-kali dites mental oleh kakak kelas Paskibranya, masih saja penakut. Apalagi kalau dibentak seperti tadi. Bahkan Dicky sempat mengompol ketika aku membentaknya. Kenapa aku masih nyaman sahabatan sama Dicky? Cowok itu punya sisi cantik. Yang kadang bisa membuatku tak tega untuk marah kalau cowok itu layu.

Hingga kami mendengar suara resleting tenda kami. Membuat badan kami yang tertutupi selimut sempat terpekik. Napas kamu berenam benar-benar memburu. Jantungku terasa berdetak tak sesuai ritme. Berharap detakkannya tak sampai pada telinga guru yang sekarang membuka tenda kami.

Suasana seketika mencekam. Berbagai macam persepsi bergelayut di sel otakku. Takut-takut orang itu tiba-tiba menyibakkan selimut yang selimut kami.

Kurasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Membuatku menahan napasku sejenak. Aku ingin berteriak dan memaki. Tetapi lagi-lagi ketakutan ketahuan lebih pada mendominasi otakku. Menyihirku untuk tetap diam.

Tak lama berselang, relsleting terdengar kembali. Membuat detik-detik meyeramkan tadi musnah sudah. Zaki menyibakkan selimutnya. Dan menghembuskan napas kasar.

"Gue hampir mati rasanya!" Napas Zaki satu-satu. Ia ada di depanku. Dahi cowok itu dipenuhi keringat. Entah keringat karena kepanasan ataukah karena ketakutan tadi.

Aku pun tersadar. Sebuah tangan masih nyaman memelukku. Dengan seluruh tenagaku, aku meninju perut yang di belakangku itu dengan sikut. Hingga terdengar rintihan yang familier di telingaku.

"Sakit, Al!" Cowok itu sontak melepas rengkuhannya. Aku langsung duduk dan menengok. Menatap bengis ke arah cowok yang sedang menahan kesakitan di perutnya.

"Makanya jangan ambil kesempatan dalam kesempitan!" Aku hampir saja berteriak. Tetapi aku masih punya refleks bagus untuk menahan gejolakku. Semua orang yang ada di dalam tenda ini sudah terduduk. Kecuali Andre yang masih saja dalam posisi tertidur dengan memegang perut.

"Al, kenapa?" tanya Dicky polos di samping Andre. Kemudian aku menangkap seringaian jail dari wajah Iqbal yang kebetulan ada di belakang Dicky.

"Andre habis apa-apain elo ya?"
Aku berdecih. Lalu menengok jam tanganku sebab tak ingin terlalu lama menggunjing dengan Iqbal. Karena bisa-bisa aku akan habis jika dibully terus sama cowok mesum macam Iqbal.

Belum lagi pengetahuan seksnya yang luar biasa, sudah pasti akan menjadi marabahaya bagiku yang seorang perempuan.

"Udah jam sepuluh. Gue mau ke tenda."

Aku tak memedulikan helaaan napas pasrah dari para sahabatku. Aku sudah jengah pada mereka yang terus menyudutkanku.

Apalagi Andre yang semakin gencar dengan sikap romantisnya itu. Bukannya aku tak terima. Cuma aku sedang tak ingin jatuh cinta lagi. Bukannya tak ingin juga. Karena hatiku masih tersimpan keberadaan dia.

**

Aku mengeratkan jaket hitam tebalku. Aku baru ke luar dari toilet umum yang cukup jauh dari lokasi tendaku.

Udara malam benar-benar menusuk kulit tubuhku yang terbalut jaket. Pasti kalau kulepas, tubuhku bisa saja membeku.

Suara burung gagak dan jangkrik bersahutan. Menciptakan suasana malam yang begitu kentara kunikmati.

Aku bukanlah cewek penakut. Apalagi jenis manusia parno macam Zaki. Aku saja masih bisa berjalan santai di jam sepuluh malam ini. Tanpa terus-terusan melihat ke belakang karena takut ada yang mengekori.

"Gue yakin! Si cupu sekarang pasti kesasar." Tubuhku terpaksa berhenti. Mendengar kata kunci cupu, membuat otakku melayang pada sosok Altra.

"Elo bawa dia kemana?"

"Pos Satpam yang waktu kita pos-posan tadi. Tempatnya pos Diana."

Aku ingin berbalik dan menghajar kedua cowok yang ada di belakangku itu. Tetapi ternyata tubuhku menolak ideku. Kakiku malah maju berlari melawan arus angin. Mengirimkan sinyal pada otakku agar segera pergi jauh.

Pikiranku seketika kalut. Perasaanku diserang rasa ketakutan yang amat sangat. Dadaku terasa begitu sakit. Jantungku berdebar tak tenang. Berbagai macam persepsi buruk menggantung di setiap sel otakku.

Bagaimana keadaan Altra sekarang? Bagaimana kalau dia kedinginan? Atau malah diperlakukan semena-mena? Atau paling buruknya, Altra celaka karena saking parahnya ia dibully.

Tidak! Itu tidak boleh terjadi.

Aku akan mengutuk orang-orang yang membuat sengsara manusia rapuh sejenis Altra. Dan kupastikan, kedua cowok yang suaranya masih kuingat secara jelas itu takkan hidup tenang untuk terus bersekolah.

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro