Jatuh... cinta?
Aku menggerak-gerakkan pulpenku di antara jempol dan telunjukku. Sambil menggigit kuku jari serta menatap sederetan tulisan kacau-balau di depanku.
Bukan tugas yang sedang kutatap. Apalagi jejeran soal yang diberikan Pak Hedi –guru Bahasa Indonesiaku yang sekarang tak mengajar. Melainkan daftar keanehan yang kualami selama ini. Khususnya ketika aku bersama Altra.
Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku sibuk searching di internet tentang keanehan yang aku miliki. Dan yang dikatakan dari semua situs itu menyimpulkan:
Positif jatuh cinta.
Aku tidak percaya. Tentu saja. Jatuh cinta pada Altra adalah hal yang sangat mustahil. Andre saja yang sempurna tak berhasil membuatku luluh. Apalagi cowok idiot semacam Altra. Tidak mungkin aku menyukainya.
"Elo mikiran apa?" Aku hampir cegukkan saking kagetnya ketika Iqbal menepuk pundakku. Aku sedang asyik melamun dan dia dengan seenak jidat mengejutkanku. Aku mendengus sembari menoleh ke arahnya dengan kerut muka yang masam.
"Kenapa gak ngebokep lagi hah?!"
Iqbal yang telah duduk di sampingku mengendikkan bahunya. "Lagi jenuh aja. Lagian gue takut. Dari tadi elo kayanya ngelamun mulu. Biasanya elo kan berantem sama si Ayu."
Rupanya Iqbal sadar soal perubahanku. Memang biasanya aku sedang ribut dengan Ayu. Apalagi jam kosong seperti ini. Entah karena dia yang mencari gara-gara denganku atau karena ketika pelajaran sebelumnya kita adu mulut. Namun sekarang, suara super cempreng Ayu yang sedang bergosip ria itu tidak aku indahkan.
Aku kembali menatap buku tulis yang penuh dengan coretan tanganku itu.
"Gue bingung, Bal."
"Bingung kenapa?"
Aku menghela napasku. Bimbang. Antara aku ceritakan saja atau aku tinggal bilang 'gapapa'. Tapi saat ini aku butuh panduan. Aku tidak ingin terus-terusan terbebani oleh perasaan ambigu ini.
"Lo tau gak rasanya jatuh cinta itu gimana?" Pertanyaan seperti itu akhirnya lolos dari mulutku. Dari ekor mataku, Iqbal langsung membelalakkan matanya ke arahku. Seolah dia baru mendengar jadwal kematiannya yang akan datang sejam lagi.
Namun, wajah ngakak Iqbal seperti tak ada lucu-lucunya sama sekali jika dalam mood seperti ini.
"Kenapa lo nanya gitu?" Iqbal memincingkan matanya kemudian detik berikutnya cowok mesum itu menyeringai. "Ahh elo jatuh cinta ya?"
Aku memelotot dan mengedarkan pandanganku ke penjuru kelas. Kemudian aku menghela napas lega. Setidaknya tidak ada Andre di dalam kelas. Karena seingatku cowok itu tadi dipanggil Diana entah urusan apa. Dan beruntung aku duduk di pojok kelas. Sebab semua orang sudah membentuk beberapa kubu yang jauh dari jarakku.
"Gila!" umpatku. "Gue cuma penasaran aja gitu. Gue kan gak pengalaman soal begituan. Gue takutnya gak normal. Atau gue ternyata rasain, tapi malah gue gak nyadar."
Aku masih melihat ke arah buku. Aku takut keceplosan jika aku melihat ke arah mata Iqbal. Sudah kubilang, Iqbal sejenis cowok yang peka. Jadi aku tidak ingin ketahuan karena telah berbohong tadi.
Kurasakan, Iqbal mengembuskan napasnya. Menyenderkan punggung ke kursi seraya menyilangkan tangannya.
"Jatuh cinta itu...." Iqbal memberi jeda sesaat membuatku mati penasaran. Kupikir kata-kataku tadi langsung dipercaya oleh Iqbal. Membuatku sekarang berani menatapnya.
Gaya Iqbal sudah macam motivator. Dengan gaya so coolnya, cowok itu menengadah ke atas.
"Ketika jantung kita berdebar keras waktu sama dia. Ketika kita gak bisa tidur semalaman karena mikiran dia. Dan yang gue baca, jatuh cinta cowok sama cewek ada perbedaannya."
Iqbal kemudian menoleh. "Kalo cewek itu paling gak bisa liat muka si cowok kalo cowok yang jatuh cinta justru seneng liat wajahnya si cewek."
Bugh!
Penjelasan Iqbal menghantam telak ulu hatiku. Jantungku sudah melebihi ritme. Tanganku yang tadi menggenggam pulpen sekarang terasa basah. Pikiranku semakin ambigu.
Kenapa? Kenapa semuanya mengarah pada satu jawaban hina itu?
"Ngomongin apa kalian berdua?"
Aku terperangah. Andre sudah duduk di depanku.
"Hah?!" Aku sedikit linglung. Seperti tarzan yang baru masuk kota. Kulihat Iqbal menyeringai. Tidak! Jika dikatakan, Andre malah jadi salah paham.
Sebelum aku mengangkat bibirku, Iqbal sudah mengatakan apa yang kutanyakan padanya tadi.
"Alia tadi nanya. Rasanya jatuh cinta itu kaya gimana."
Mataku membulat penuh. Kepalan sudah terbentuk di jemariku. Aku ingin langsung mengarahkannya pada pelipis Iqbal. Namun lagi-lagi aku kalah cepat. Andre dengan senyuman bahagianya menginterupsiku.
"Elo jatuh cinta, Al?"
Otomatis aku menghempaskan kepalanku dan berpaling pada Andre. Aku tidak ingin memberinya harapan. Aku juga tidak ingin adanya kesalahpahaman di sini.
Setengah menyesal aku curhat pada Iqbal. Aku lupa. Iqbal mulutnya ceplas-ceplos. Hampir menyamai dengan mulut Zaki yang suka membicarakan gosip hot. Tapi mulut Iqbal lebih berbisa. Karena akan menimbulkan kesalahpahaman di berbagai pihak.
Kalau sudah seperti ini, aku harus menjelaskannya meski harus dibumbui kebohongan. Beruntung aku dalam keadaan kesal. Semoga alibiku dapat ditutupi dengan ekspresi marahku.
"Bukan." Aku menyilangkan tanganku. "Gue cuma nanya aja rasanya gimana. Siapa tahu gue rasain nanti. Yang jelas apa yang dikatain Iqbal belum terjadi sama gue."
"Belum, bukan berarti gak akan pernah, 'kan?"
Andre masih tersenyum padaku. Seolah apa yang kukatakan tadi tidak ada artinya sama sekali. Padahal aku ingin menyuratkan, kalau aku tidak jatuh cinta padanya. Namun tentu saja aku tidak mengucapkannya secara gamblang.
"Terserah elo deh mau nganggapnya apa."
Andre mengendikkan kedua bahunya. "Seenggaknya masih ada harapan buat gue."
Sedikit rasa bersalah menelusup ke dalam hatiku. Salah strategi rupanya. Kalau sudah begini, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Mak—"
"Gue mau nanya, Ndre." Segera aku potong apa yang ingin dikatakan Iqbal tadi. Aku lupa ada laki-laki spesies ibu-ibu rumpi di sampingku. Andre yang tadi hendak melihat Iqbal kini kembali menatapku.
Tentu dengan senyum semringahnya. Yang membuat rasa bersalahku membesar berkali-kali lipat.
"Kata elo semesta nggak punya skenario dan peran untuk masing-masing manusia. Melainkan pilihan-pilihan yang dikasih. Dan sekarang gue tanya. Kenapa orang-orang memilih jatuh cinta padahal udah tahu rasanya gimana. Dan kenapa perasaan seperti itu datang padahal ada yang memilih untuk nggak mau jatuh cinta?"
Andre terdiam sejenak lalu mengatakan, "Elo pernah ngerasain laper gak?"
"Pernahlah. Gue kan manusia."
"Elo pernah keinginan buat laper sebelumnya?"
Aku menggeleng. "Enggak."
"Nah itu. Laper sama jatuh cinta itu hampir samaan. Bukan kita yang milih. Tapi bagian tubuh kita yang milih. Usus kita yang milih buat laper dan jatuh cinta yang milih itu hati kita. Lagian yang gue maksud, pilihan yang diberi semesta bukan pilihan yang kelihatan. Tapi kita memilihnya secara tidak sadar."
"Nggak sadar gimana? Kalau milih kan kita lagi sadar, Ndre."
"Waktu kita lapar, kita langsung makan, kan? Padahal ada pilihan lain. Kenapa gak milih ngemil aja?"
"Ya biar kenyang."
"Nah itu. Sebenarnya kita gak sadar ada pilihan lain. Tapi kita milih langsung apa yang kita butuhin."
"Terus kenapa ada orang yang jatuh cinta tapi sebenernya orangnya itu gak sesuai kriteria dia?"
"Karna ada kebutuhan. Manusia memiliki kebutuhan mencintai dan dicintai. Nggak mungkin cuma ada rasa ingin dicintai. Dan mencintai pun sama orang yang diperlukan hati. Bukan keinginan kita sendiri, Al. Elo mau orang yang ganteng misalnya. Tapi hati lo perlu orang tulus untuk dicintai. Nah, elo bakalan jatuh cinta sama orang yang tulus itu walau rupanya buruk rupa."
Aku tercenung. Mencerna runtutan logika yang dijabarkan oleh Andre. Pemikirannya begitu langka dibandingkan orang-orang pada umumnya. Tetapi begitu terlihat adil bagi manusia. Begitu terdengar masuk akal dibandingkan jawaban skenario maupun peran yang kuungkapkan kemarin.
Setitik penyesalan memenuhi rongga dadaku. Kenapa aku tidak bisa jatuh cinta sama Andre? Logikanya begitu terdengar indah. Bijaksananya tidak hilang meski Andre berubah baperan sekarang.
Tapi pasti sakit hatinya akan teramat dalam. Karena jika Andre tiba-tiba meninggalkanku, bukan skenario maupun peran yang tengah dimainkan. Melainkan Andre sendiri yang memilih pergi dan meninggalkanku.
"Elo cita-citanya apa sih, Ndre? Kok pemikiran elo bijak banget?"
"Gue mau jadi psikolog. Gue mau memahami soal logika kehidupan sama tingkah laku manusia, Al."
Kalau Andre mode psikiater begini, aku kembali nyaman jika ada di sekitarnya. Andre yang jatuh cinta padaku tergantikan oleh Andre sahabatku yang enak diajak curhat. Seandainya Andre tak memiliki perasaan padaku, sudah kupastikan aku akan menceritakan Altra sekarang.
"Baguslah. Daripada manusia yang ada di sebelah gue ini. Bacaan aja bermutu tapi omongan sama aja gak ada yang berkualitas."
"Elo nyindir gue?" Iqbal mendengus dan aku menatapnya sengit.
"Iyalah. Emang isi buku lo apaan sih? Kok kayanya omongan lo gak sebijak buku lo yang lo baca?"
Iqbal mengangkat bahunya. "Isinya tentang kehidupan rumah tangga gitu. Jadi gue tahu dinamika berumah tangga itu gimana. Istri idaman itu kaya gimana. Dan gue juga tahu gimana caranya jadi suami yang baik."
Aku menatap tak percaya penjelasan Iqbal. Kukira buku yang Iqbal sering baca sejenis logika kehiupan yang dipelajari orang-orang jenius. Ternyata isinya di luar ekspetasiku.
"Buat apa lo bacaan yang begituan?"
"Ya buat nambah ilmulah. Gue kan gak mau pacar-pacaran kaya yang lain. Mending langsung kawin eh maksud gue nikah biar lebih berfaedah."
Aku mendengus. Aku harus ingat. Iqbal salah satu makhluk tidak waras. Sama seperti sahabatku yang lain selain Andre. Keanehan mereka benar-benar langka. Pemikirannya pun jarang sekali orang pikirkan saat ini. Membuatku kembali berpikir. Manusia itu berbeda dengan isi otak dan prinsip hidup yang berbeda. Termasuk prinsip hidup Iqbal. Yang antimainsteam banget.
**
Author POV
"Elo nggak pulang?" Altra menoleh ke arah teman semejanya itu. Tidak lain dan tidak bukan, namanya Dimas.
Padahal si ketua kelas itu tadi menepuk pundaknya tiba-tiba. Anehnya Altra malah tetap kalem. Dimas sempat mendesah kecewa. Padahal dia ingin melihat ekspresi berlebihan dari wajah Altra.
Soalnya wajah Altra gitu-gitu aja. Mau dikagetin juga, mukanya polos. Dimas sempet mikir. Kalau sekolahnya kebakaran pun kayanya Altra yang paling kalem.
"Altra mau pulang. Tapi Altra kayanya gak mau pulang."
Dimas mengernyit. Tidak mengerti. Dua kalimat tapi saling berantonim. Dimas harusnya tahu kalau Altra memang tidak pintar Bahasa Indonesia. Soalnya otak Altra cuma berisi logaritma semua.
"Jadi yang bener yang mana?" Dimas berhenti merapikan bukunya.
Meja Altra juga masih belum dibereskan. Padahal anak-anak lain sudah berlomba ke luar. Sampai suara pintu terbanting meramaikan situasi kelas.
"Gak tahu. Altra nggak mau pulang."
"Kenapa?"
Altra menggeleng dan wajahnya seperti teringat sesuatu. "Dimas mau pulang ya? Dimas duluan aja. Nanti Altra pulangnya."
"Iya sih! Gue soalnya ada janji sama pacar gue." Dimas menggaruk kepala belakangnya dan mengambil satu buku tulis di atas meja lantas memasukannya.
"Dimas suka cerita pacar. Emang pacar itu siapa?"
"Pacar itu..." Dimas tampak kebingungan. Cowok itu baru sadar. Kata yang harusnya biasa di dengar orang-orang malah terdengar seperti bahasa alien di telinga Altra. Cowok dengan kacamata besar itu jelas tidak mengerti ucapannya.
"Cewek yang gue suka."
Altra mengangguk. Membuat Dimas hampir mendesah lega sebelum Altra membalas, "Altra suka Dimas. Berarti Dimas pacar Altra ya?"
Dimas menahan mulutnya terbuka. Cowok itu ingin ketawa lebar. Dimas merasa homo sekarang. Altra dengan lugu mengatakan hal itu. Beruntung kelas sudah mulai sepi. Jadi mereka berdua tidak akan diberitakan sebagai pasangan LGBT oleh satu kelas.
"Bukan gitu. Pacar itu lawan jenis. Meski ada yang sesama jenis, normalnya, orang yang disuka kaya gitu itu lawan jenis kita, Al."
"Altra nggak ngerti."
"Jadi, kalau buat kita para cowok, pacar itu adalah cewek yang kita suka, Al."
Altra kontan menyunggingkan senyumnya. "Berarti Alia pacar Altra ya?"
Dimas salah ucap lagi. Cowok itu bingung. Tidak ada rumus Bahasa Indonesia yang ada di buku untuk menyampaikan penjelasan pada Altra.
"Suka di sini beda, Al." Dimas memulai penjelasannya dengan pelan. Berharap setiap kata yang diucapkannya itu bisa menyangkut di seluruh sel otak Altra.
"Jadi, ada suka sebagai teman, sahabat, keluarga dan sebagai lawan jenis. Elo suka sama gue. Itu salah satu suka sebagai teman. Elo suka mamah elo, itu suka sebagai keluarga."
"Terus sukanya Altra ke Alia sebagai apa?"
Dimas mengembuskan napasnya gusar. Dia sebenarnya sedang mengejar waktu. Karena Lina sudah menunggu di depan gerbang sekolah. Lina pacarnya Dimas. Dan mereka berdua berbeda sekolah. Tapi Dimas juga merasa berhutang penjelasan pada Altra. Salahnya sendiri yang memulai percakapan ini.
"Cuma lo yang bisa jawab, Al. Elo pikirin dan rasain sendiri. Sukanya elo ke gue, sukanya elo ke mamah elo dan sukanya elo ke kak Alia, apa bedanya. Kalo elo udah punya jawabannya, nanti gue bantu jawab."
Dimas menerbitkan senyum kebanggaannya. Akhirnya dia mendapat jawaban untuk pertanyaan retorik dari Altra.
"Iya nanti Altra pikirin."
"Yaudah gue duluan ya."
Dimas pun pergi. Meninggalkan Altra yang masih tercenung sendirian di dalam kelas. Memikirkan tugas Dimas untuk memikirkan perbedaan suka. Karena menurutnya rasa suka itu sama saja. Tidak ada perbedaannya. Namun, pernyataan Dimas membuat Altra ragu.
"Altra suka Alia sebagai apa ya?" tanyanya bermonolog. Tanpa peduli kalau sekarang dia hanya sendiri di kelas.
**
Altra menguap ketika cowok itu baru mengayunkan kakinya ke luar gedung sekolah. Lamunannya berakhir dengan terlelap di kelas. Soalnya semalam Altra tidak bisa tidur. Pikirannya selalu mengulang lagi momen di mana cowok itu bersama dengan Alia.
Mengingat Alia menarik tangannya, sukses membuat Altra diserang insomnia. Jadi, mungkin itu alasannya Altra bisa tidur di kelas tadi. Untung ibunya menelepon tadi. Kalau saja tidak, mungkin Altra baru bangun di esok pagi.
Setelah dia mengucek matanya karena terkena debu, langkah Altra terhenti. Cowok itu diam di tempat. Altra mendadak memegang dadanya. Ada rasa sesak mendesak rongga dadanya. Cowok itu seperti kesusahan untuk mengambil oksigen di peredaran udara.
Alia sedang tertawa bersama cowok itu. Cowok yang pernah mengancam Altra entah karena apa. Yang jelas cowok itu pernah mengatakan Altra seorang pembunuh. Altra tidak memedulikannya. Karena Altra pikir cowok itu hanya salah orang.
Sedetik kemudian, cewek yang sedang diperhatikan oleh Altra menoleh ke arahnya. Dengan senyum kaku, Alia menyunggingkan senyumannya. Membuat Altra tertular untuk tersenyum. Ada rasa bahagia yang tiba-tiba menyerang. Ada keinganan untuk mendekati Alia dan melihat senyum itu lebih dekat lagi.
Altra tidak mengerti. Sebelumnya ada rasa sakit namun sekarang terasa bahagia.
Cowok itu kemudian melambaikan tangannya. Dan Alia menyambutnya. Cewek itu entah berteriak apa padanya. Karena setelah itu, Alia masuk ke mobilnya disusul oleh cowok yang pernah memanggilnya pembunuh.
Altra mendadak murung. Bak anak kecil yang baru kehilangan teman sepermainannya. Cowok itu pun mengambil langkah kembali. Karena ibunya sudah khawatir menunggu dengan maticnya di depan gerbang sekolah Altra.
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro