Janji Alia
Aku mengembuskan napasku lega. Jam pelajaran telah berakhir dan seluruh teman sekelasku saat ini sedang rusuh untuk ke luar kelas. Sedangkan aku masih duduk cantik di kursiku. Lantaran hari ini aku masih ada jadwal tutor dengan Altra.
Atmosfir kali ini terasa berbeda. Sebab sudah genap sebulan, aku menjalani pembelajaran ini bersama Altra. Dan sedikit demi sedikit aku memahami matematika. Hampir seluruhnya sangat mudah jika aku detail mengerjakannya.
Bahkan ketika pelajaran Bu Sari pun, aku jadi lebih sedikit semangat.
Ingat, sedikit.
Karena sisanya aku tetap malas. Apalagi gurunya Bu Sari. Ngajarnya seperti metode militer. Marah-marah nggak jelas.
Apalagi kalau moodnya lagi buruk. Bukan hanya aku saja yang menjadi korbannya. Sudah kupastikan, Andre si ranking satu saja pasti kena semprot.
“Gue duluan ya, Al. Kalo ada apa-apa, sampe jam empat gue di RO kok.”
Aku hanya mengangguk dan tersenyum melihat kepergiannya.
Ngomong-ngomong, RO itu singkatan dari Ruang OSIS. Dan yang baru pamit tadi itu adalah Andre. Pembicaraan serius waktu dulu, tak terlalu berpengaruh terhadap hubungan kami.
Sungguh! Kalian tidak percaya?
Baiklah, aku memang tidak pandai berbohong.
Aku sebenarnya menjauhi Andre selama seminggu. Bukan karena alasan itu saja. Aku dan Andre dicemooh habis-habisan oleh sahabatku yang lain. Dan sumbernya berasal dari mulut mesum si Iqbal.
Dengan seenaknya, dia menggosipkanku dengan Andre telah jadian. Cuma gara-gara kami main berdua waktu itu. Dan mau tak mau aku semakin menjauhi Andre.
Bukan berarti aku jadi jarang kumpul bersama lima kacung. Maksudku menjauh di sini adalah, aku tak berbicara banyak lagi dengan Andre.
Waktuku dihabiskan bernyanyi dengan Malik atau sekadar belajar main PS dari Zaki. Banter-banternya, aku ke kelas Altra untuk modus bertanya. Karena Andre terus mendatangi mejaku.
Andre mempunyai ambisi yang terlalu besar terhadap sesuatu. Cowok itu pasti akan mengejarnya sampai rasa penasarannya terpenuhi.
Hingga suatu hari Andre mulai meminta maaf padaku. Sejak saat itu, aku tambah yakin pula kalau Andre orangnya nekad.
Ketika itu, jam pelajaran Pak Wandi –guru agama- sedang tidak masuk. Andre langsung mencekal tanganku sebelum aku kabur lagi. Dan dia mengancamku begini, “Elo diem, atau gue umumin ke satu kelas kalau kita pacaran.”
Aku menelan ludah susah payah. Andre dengan mata tajamnya seolah menghipnotisku. Aku pun duduk kembali dengan gemetaran seperti tertangkap mencuri jemuran.
Kami pun duduk bersampingan dengan aku yang masih sedikit takut kepadanya.
“Oke, gue tahu gue salah. Tapi gue gak mau narik ucapan gue. Gue mau lo pikirin lagi apa yang gue ucapin dan….” Andre memberi jeda sejenak. “Elo pikirin juga perasaan gue.”
Tanpa menjelaskan apa maksudnya, aku jelas mengerti. Cowok itu ternyata tidak main-main dengan ucapannya. Jangan memintaku untuk menjelaskan itu apa. Karena aku masih tidak sudi mengatakannya.
“Jadi, gue minta elo bersikap seperti biasa, oke? Jangan buat semua ini makin sulit, Al.”
Andre dengan ekspresi memohonnya, selalu membuatku luluh dengan mudah. Saat itu, aku hanya mengangguk. Hingga seterusnya, hubungan aku dan Andre membaik. Hanya saja cowok itu semakin terang-terangan menunjukkan perasaannya padaku.
“A-Altra kelamaan ya?”
“Hah?!” Aku terperangah. Aku terlempar ke bumi kembali dengan cara tragis. Altra sudah ada di depanku dengan kepala menunduk seperti biasa. Sejak kapan cowok itu ada disitu ya? Ah sepertinya aku terlalu banyak melamun.
Aku pun berdeham. Mencoba menetralkan suasana perasaanku yang sempat tak terarah tadi.
“Enggak kok. Lo duduk coba. Biar langsung belajar. Gue juga mau banyak yang diomongin sama elo.”
Altra mengangguk dan duduk di depanku seperti biasa. Cowok itu mengeluarkan beberapa buku yang tebalnya minta digorok.
Tapi aku sadar diri. Itu perbuatan yang tidak terpuji.
“Hari ini kata Bu Sari, Altra harus ngasih soal semua bab yang Altra ajarin sama Alia,” jelas Altra seraya menundukkan kepalanya. “Maaf ya. Altra ngasih tahunya mendadak. Tapi gak terlalu serius. Ini cuma latihan sebelum ujiannya sama Bu Sari. Kalo Alia ada yang mau ditanyain, Altra jelasin lagi.”
Aku menghela napasku. Sebenarnya aku ingin marah. Jelas saja aku marah. Memangnya bab yang diajarkan Altra itu cuma penjumlahan dan pembagian? Tidak mungkin. Justru x dan y apalagi grafik melengkung atau berbentuk linier yang menjadi pokok permasalahan di sini.
Aku pun hanya memanggut dan tersenyum. Kalian tahu? Jenis senyum yang tidak ikhlas.
“Oke. Tapi udah ini jangan ada belajar-belajar lagi ya? Gue mau ngobrol banyak sama elo.”
Altra setuju dan aku mulai mengerjakan beberapa soal pemberian Altra. Sebenarnya aku tidak modus lho. Aku hanya penasaran saja tentang Altra.
Tolong beda 'kan ya mana modus dan cuma penasaran.
Aku pernah mengatakan, Altra mirip sekali dengan dia. Apalagi tahi lalat di ujung mata kanannya. Dan senyumannya juga benar-benar mirip dengan dia. Terkadang aku sering salah fokus, saking miripnya Altra dengan dia.
Maaf. Aku memanggilnya dengan nama panggil orang ketiga. Jujur saja, aku belum tahu nama dia.
Aku ingin tahu seluk-beluk tentang Altra. Apalagi hari ini hari terakhir kebersamaan kami. Perbedaan letak kelas, kami pasti jarang sekali bertemu. Kecuali aku saja yang mengunjungi kelasnya.
Aku juga ingin tahu Altra sebenarnya. Apa Altra memiliki hubungan dengan dia?
Sungguh! Altra seperti kembar identik dengan dia. Hanya saja dia adalah cowok normal. Bahkan dari tampilan terakhir kami bertemu, dia seperti jenis anak badboy. Kebalikan sekali dengan Altra.
Ataukah Altra hanya menyamar saja? Atau mungkin dia itu kembarannya Altra?
Oke! Aku benar-benar ingin mati sekarang. Kepalaku seketika pening memikirkan kepingan logika yang belum diruntut hingga utuh itu.
Ditambah soal-soal yang Altra berikan ini, tidak bisa dianggap mudah begitu saja. Sesekali aku harus membuka kembali rumus yang pernah kupelajari.
Sejam berlalu. Aku telah menyelesaikan 20 soal dengan jenis yang berbeda-beda dari 5 bab yang kupelajari. Hebat, 'kan?
“Nih gue udah selesai.”
Altra hendak mengambil kertas yang kuulurkan. Tapi kutahan sejenak dan berkata, “Nanti aja periksanya. Gue mau ngobrol. Gapapa, 'kan?”
“Tapi—“
“Please….” Cepat-cepat aku memelas. Altra melirikku sejenak dan kembali mununduk.
“Ya-yaudah. Nanti Altra periksa di rumah aja.”
Aku tersenyum bahagia dan Altra dengan mudah mengambil hasil pekerjaanku.
“Alia mau ngomong apa?” tanya Altra setelah menyimpan jawabanku.
“Basa-basi aja sih! Soalnya 'kan ini terakhir elo ngajarin gue. Seenggaknya hari ini dibuat lebih berkesan aja.” Aku tersenyum seraya melanjutkan, “Gue tanya-tanya soal elo gapapa, 'kan? Kalo elo mau nanya soal gue juga, gue bakalan jawab.”
Altra tidak memberikan suara. Tapi cowok itu mengangguk pertanda setuju dengan permintaanku.
“Elo punya kembaran gak sih, Al?” tanyaku to the point.
“Kembaran?” Altra mengangkat wajahnya. Meski lagi-lagi bola matanya tak fokus padaku.
“Iya, yang mirip sama elo gitu.”
“Kalau kaya sodara Altra punya.”
“Siapa? Cewek atau cowok?” tanyaku penasaran.
“Salma namanya. Salma itu cewek.”
Padahal aku hampir menahan napasku jika mendengar jawaban Altra tadi. Ternyata bukan.
“Alia kenapa nanyain?”
“Gapapa. Soalnya elo mirip seseorang sih! ”
“Siapa?”
“Gue juga gak tahu. Namanya aja gue mana tahu. Mukanya aja gue sedikit lupa. Soalnya gue ketemu dia waktu dua SMP sih! Pertamanya gue kira elo itu dia. Tapi kayanya bukan deh!”
Altra mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. “Oh gitu. Tapi Altra baru ketemu Alia di sekolah ini. Berarti kita gak pernah ketemu hehe.” Altra malah nyengir gaje padaku.
Aku sempat bingung sama cowok seperti dia. Baru pertama ketemu 'kan soalnya. Idiot dan lugu. Langka banget ketemu manusia sejenis Altra.
Dan menjadi sesuatu yang baru bagi hidupku yang terlalu monoton ini.
“Kenapa Alia gak nanyain namanya siapa? Terus rumahnya dimana. Jadi, Alia bisa inget lagi mukanya.”
Aku tersenyum maklum. Kalau saja Altra normal akan aku pelototi dia sambil teriak:
KALAU GUE TAHU JUGA GUE GAK AKAN NANYA ELO, BEGO!
Tapi malah kujawab, “iya, kalau gue ketemu nanti gue tanyain.”
“Alia kenapa nyari orang itu? Alia minta diajarin matematika?”
Aku terkekeh geli mendengar pertanyaan polos Altra. “Enggak kok. Gue dulu seneng aja kalau liat dia. Makanya gue mau ketemu dia lagi. Tapi gak tahu sekarang dia di mana.”
Aku sedikit tersadar dengan ceritaku. Biasanya kalau aku membahas dia dengan orang lain, malah ingin membuatku menangis.
Tapi jika dengan Altra, topik tentang dia malah terkesan menjadi obrolan ringan. Tidak ada efek samping apapun. Justru aku merasa nyaman cerita banyak tentang dia pada Altra.
“Alia suka sama orang itu?”
“Suka?” Aku mengernyit. Aku kira otak selugu Altra tidak paham mengenai hal seperti itu.
“Iya, suka. Kata mamah, kalo kita seneng sama orang berarti kita suka sama orang itu.” Aku tersenyum kembali. Ternyata jawabannya pun bukan hasil pemikiran Altra sendiri. Namun hasil doktrinisasi dari mamahnya.
“Iya, gue suka sama orang itu, Al.”
“Alia suka sama Altra juga gak?”
“Hah?”
“Soalnya Altra suka sama Alia.”
Sebait kalimat Altra membuatku terdiam sejenak. Merekam, mengulang dan mencerna. Hingga akhirnya berubah menjadi ekpresi terkejut luar biasa.
“Elo suka sama gue?!” tanyaku tak percaya. Seolah-olah ada jutaan kupu-kupu menggelitikku, membuatku geli sendiri. Salah satu sudut hatiku bersorak gembira.
Aku tidak paham rasa apa ini. Yang jelas aku seperti begitu menyukainya.
“Iya, Altra suka sama Alia. “ Oke! Cukup Altra! Kamu sudah membuat jantungku memompa terus. Kalau saja tidak ada arteri mengikatnya, aku sangat begitu yakin. Sangat sangat yakin. Jantungku akan langsung jatuh ke perut.
“Alia baik, Altra suka. Senyum Alia, Altra suka. Kalau liat Alia, Altra juga suka. Cuma Altra gak suka kalau Alia udah ngomong kasar.”
Sebagian pujian dan sebagian cibiran itu membuatku tertegun sejenak. Sebuah buaian dan juga tamparan berat buatku.
Apakah aku harus percaya pada ucapan Altra? Dia cowok yang terlampau naif. Bahkan dia tidak memahami tentang arti sebuah perasaan. Tetapi Altra sosok yang jujur. Apa yang dirasakannya, ia ungkapkan dengan kata yang baru dia pelajari.
Kemudian aku tidak menjawab apa-apa. Terbesit sebuah ide terselip masuk ke dalam otakku.
“Kalo gue lulus matematika nanti, pulang sekolah gue bakalan traktir elo. Mau ya?”
Aku tidak memperpanjang obrolan manis tadi. Sudah cukup dadaku terasa sakit, karena kalimat yang diucapkan Altra barusan.
“Buat apa? Nanti Altra nyusahin Alia. Kata mamah, jangan banyak-banyak ngerepotin orang.”
“Gak kok! Justru kalo lo tolak, gue malah gak suka. Mau ya?”
“Altra mau. Tapi nanti Altra izin sama mamah dulu ya.”
Aku mengangguk bahagia. Entah ide tolol dari mana, aku bisa mengajukan ajakan tersebut.
Membuat satu hari bersama Altra mungkin terdengar tak buruk juga. Apalagi cowok itu sangat berjasa. Karena sudah membuatku memahami apa itu Matematika.
Sedikit demi sedikit juga, aku bisa mengenal lebih dalam tentang Altra. Sosoknya sangat baru. Karakternya sangat langka. Keluguannya, membuatku kadang terhibur.
Jadi, sepertinya aku akan merindukan Altra setelah tutoring ini selesai. Aku tidak bisa membayangkan, tidak ada lagi Selasa dan Jum’at bersama Altra. Pasti akan terasa hambar seperti biasa.
Entahlah. Mungkin kalau ada waktu luang, aku akan mengunjunginya.
**
“Lo bego banget sumpah!”
Aku melihat Iqbal yang tergelak dengan keheranan. Andre, Malik dan Zaki yang asalnya sibuk dengan ponsel, kini melihat kedua makhluk jahanam yang baru datang itu.
Iqbal yang tertawa dan Dicky yang memberenggut. Menimbulkan sebuah tanda tanya yang amat sangat besar di masing-masing kepala kami.
“Kenapa, Bal? Kaya orang bego lo ketawa-ketawa?”
Malik bertanya dan Iqbal duduk sambil menaruh sebuah kantung kresek yang isinya pesanan makanan kami semua.
“Elo pada pasti gak akan percaya,” jawab Iqbal yang masih saja ketawa-ketiwi.
“Diem lo ah! Gue 'kan cuma lupa.”
Dicky semakin kesal oleh Iqbal.
Dan sungguh. Aku, Andre, Malik dan Zaki sudah dibuat penasaran setengah mampus.
“Apa ih Iqbal, ceritaaa…..” Zaki memaksa. Dan Iqbal menghirup udara sebanyak-banyaknya. Walau masih ada tawa kecil, cowok itu mencoba berbicara.
“Ceritain gak, Ky?”
Dicky mendengus seraya memangku tangan dan melempar punggungnya ke sofa.
“Bodo!” Seperti biasa, wajah Dicky minim emosi. Hanya saja tatapan matanya sudah setajam kuku elang.
Iqbal tertawa dan kemudian melanjutkan. Membuat badan kami kecuali Dicky condong ke arahnya.
“Tadi 'kan gue sama Dicky ke mall tuh. Terus pake motornya si Dicky. Kita parkir biasa 'kan ya. Udah cari pesenan kalian, kita balik lagi dong.” Iqbal ketawa lagi dan tak menyerah untuk melanjutkan ceritanya. “Pas sampe parkiran, si Dicky panik soalnya kunci motornya hilang. Otomatis gue juga ikut panik. Dan kita berdua, balik lagi ke mall dan tanya-tanya kasir kalau aja si Dicky lupa nyimpen. Tapi hasilnya nihil. Kunci Dicky tetep ilang.”
“Terus gimana lo balik?” tanyaku penasaran.
“Yaudah kita tanya ke satpam yang jagain parkiran. Terus satpamnya nanya. Kunci Dicky itu yang mana, soalnya kunci motor yang ilang tuh bukan cuma si Dicky aja. Dan si Dicky nunjuk kuncinya. Dan lo pada tahu gak satpamnya bilang apa?”
Kami kontan menggeleng tapi si Iqbal malah makin ngakak. Lama-lama nih anak mesum aku kurbankan juga pas idul adha. Belum juga ada humornya, sudah ketawa duluan.
“Satpamnya bilang gini, ‘oh itu kunci kamu. Makanya, kalo parkirin motor, kuncinya dicabut terus mesinnya juga dimatiin. Motor kamu itu masih nyala di parkiran tapi kamu malah pergi duluan.’"
Kami semua spontan tergelak.
Aku benar-benar membayangkan menjadi si Dicky.
Jadi, dia parkirin motor tanpa matiin mesinnya? Aku baru bertemu manusia sebego Dicky sepanjang hidupku 17 tahun ini.
“Anjir! Elo bego banget sumpah, Ky!” aku menyuarakan ejekkanku.
"Antimainstream banget, Ky! Orang tuh ninggalin motornya cuma kuncinya aja! Elo kode banget pengen dicuri. Sok kaya loe!" sembur Malik di sela ketawa.
Kecurigaanku bertambah. Kenapa tuh anak malah dipilih jadi danton Pasukan Bendera angkatanku? Padahal otaknya benar-benar geser sembilan puluh derajat.
“Diem lo semua! Kaya yang gak pernah ceroboh aja.”
“Emang gak pernah,” balas Iqbal menyindir.
“Oh elo mau diingetin aib lo?”
Tubuh Iqbal kontan mengeras. Tawanya saja sudah berhenti seperti ditekan tombol pause. Dan Dicky sudah menunjukkan seringaian iblisnya.
“Siapa yang ninggalin hp di masjid sekolah sedangkan orang yang punyanya udah balik ke rumah?”
Refleks, seluruh manusia yang ada di rumah Andre tertawa. Aku saja harus memegang perutku saking ngakaknya.
Aku benar-benar tidak menyangka. Punya sahabat macam mereka, membuatku tambah sehat saja. Selalu saja tertawa. Dan tawaannya itu malah menghina harga diri masing-masing. Tetapi mereka masih enjoy-enjoy saja. Tidak terlalu membesar-besarkannya.
“Eh besok ke rumah gue ya. Soalnya tante gue lagi syukuran lahiran anaknya.”
Zaki mengiterupsi tawa kami. Semuanya mengangguk dan mengangkat kedua jempolnya pertanda setuju. Kecuali aku yang menggeleng.
“Kenapa, Al?”
“Gue lagi ada janji. Salam aja ke tante elo ya.”
“Ya… gak ada lo gak rame, Al. Emang sama siapa sih lo janjian? Tumben-tumbenan.”
Zaki cemberut. Khas dari cowok itu kalau sedang menginginkan sesuatu. Semua pasang mata cowok-cowok di depanku ini menatapku penasaran. Apalagi Andre yang matanya hampir saja ke luar untuk menusukku.
“Ya gue ada janji. Kenapa sih pada kepo semua?” Aku tertawa sumbang. Tidak ingin terlihat gelagapan. Kok aku takut ya berkata jujur soal janjiku pada Altra? Bukannya mereka sahabatku?
“Ya kita mau tahu aja, Al,” jawab Iqbal kemudian menatapku curiga. “Atau elo mau kencan sama cowok ya?”
Aku spontan melempar bantal yang ada di sampingku pada Iqbal. Dan dengan gesitnya Iqbal menghalaunya. “Tuhkan elo salting. Bener 'kan gue?” Iqbal semakin gencar membuatku tersudut. Semua orang yang ada di ruangan ini menertawaiku seenak jidat.
Tetapi beda sekali dengan ekspresi wajah Andre yang begitu menyeramkan.
“Elo janjian sama siapa?” tanya Andre dengan suara horrornya.
Iqbal, Malik, Dicky dan Zaki otomatis menghentikan gelaknya. Aku menelan ludah susah payah. Tatapan Andre semakin menajam saja.
“Sama oranglah.” Aku memutar bola mataku. Berusaha tak peduli dengan tatapan intimidatif yang Andre berikan. Tetapi cowok itu tetap tak puas dengan jawabanku yang sekenanya.
“Namanya?”
Semua orang terlihat semakin penasaran menunggu jawabanku. Aku menimbang sejenak apa yang akan kujawab.
“Nanti deh gue kasih taunya. Kalo diomongin dari sekarang 'kan nanti malah gak jadi,” alibiku membuat dengusan kesal Zaki dan Malik.
“Elo percaya mitos?” Iqbal mengangkat salah satu alisnya.
“Eh tapi bener juga kata Al. Gue pernah ngobrolin mulu soal lomba, tapi akhirnya gak jadi,” jawaban lugu dari Dicky membuat hatiku bersorak bahagia.
Semua orang mengiyakan persepsi Dicky. Membuatku sedikit merasa lega. Kupikir kenaifan Dicky ternyata bermafaat juga di saat seperti ini.
Tetapi lain hal dengan Andre. Cowok itu kentara tak menerima. Andre ingin kembali menapikkannya, tapi beruntung Zaki datang kembali soal gosip terhotnya yang membuat kami ngakak lagi.
**
“Kenapa memanggil saya, Bu?”
Seperti biasa, aku memang tidak punya sopan santun sama sekali pada guru yang satu ini. Baru saja datang, tanpa salam tanpa ucapan manis, aku langsung tanya to the point.
Bu Sari dengan kacamatanya yang melorot menengadah ke arahku. Beliau menekuk setengah laptopnya kemudian menatapku.
“Ibu bersyukur. Kamu tidak jadi diturunkan kembali ke kelas sepuluh.”
Mulutku spontan menganga mendengar ucapan Bu Sari. “Seriusan, Bu?”
Bu Sari mengangguk. “Ya, lumayan. Tidak terlalu jelek. Tapi untuk murid seperti kamu, nilai tujuh delapan sudah bagus, 'kan?”
Jleb
Guru Matematika yang paling ‘cantik’ ini seenaknya melemparku ke jurang. Baru saja aku bahagia lulus, nilaiku ternyata tidak sampai mencapai angka delapan puluh. Apakah tidak ada kata-kata yang lebih halus dan lembut?
Kalau saja Bu Sari bukan guru tercintaku di SMA Bhakti, aku akan senang hati mengirimkan santet paku padanya.
“Tapi saya tetep lulus 'kan, Bu?” tanyaku setengah kesal.
“Ya, seperti awal ibu bilang. Jadi, tugasmu sekarang jangan ulangi kesalahan saat kelas sepeluh tahun lalu. Kamu tidak mau 'kan terus saja diancam tidak naik kelas?”
Aku tidak menjawab tapi menggeleng.
“Nah, tugas Altra sudah bebas berarti. Tapi kalau misalnya ada bab yang tidak kamu mengerti, lebih banyaklah bertanya sama ibu atau Altra. Karena matematika ini 'kan masuk pelajaran yang di-UNkan, Alia.”
Bertanya pada Bu Sari? Oh makasih sekali sarannya, Bu. Sudah kupastikan hal itu terjadi ketika aku sedang sakaratul maut saja. Alias tidak akan pernah kupikirkan.
Di kelas saja telingaku sudah pengang dengan suaranya. Apalagi harus meminta tambahan privat.
Lebih baik aku memilih opsi terakihir. Yaitu dengan Altra.
Ohiya, ngomong-ngomong soal Altra. Aku sudah berjanji untuk mentraktirnya kalau lulus.
Baiklah, hari ini aku akan ke kelasnya dulu. Mumpung jam istirahat pula. Lagian aku memang tidak mempunyai kontak Altra. Benar-benar murid durhaka.
Tapi bukan sepenuh salahku juga. Aku 'kan tidak tahu Altra punya ponsel atau tidak. Rasanya sungkan sekali menanyakannya.
“Yaudah Bu saya ke kelas dulu.”
Bu Sari mengangguk dan aku pun ke luar ruang guru. Entah kenapa perasaanku tiba-tiba diselimuti rasa bahagia. Tak jelas bahagia kenapa. Tapi membayangkan ada Altra didepanku, tak bisa menghentikanku untuk terus tersenyum.
**
Aku menyapukan mataku ke seisi kelas yang asing bagiku. Semua orang yang melihatku, tertunduk takut. Ada juga yang pura-pura mengerjakan sesuatu. Bahkan ada yang tadinya ingin ke luar kelas, malah balik lagi ke mejanya.
Apa sebegitu menakutkannya aku? Kurasa aku belum pernah menyabut nyawa orang. Lagian moodku juga tidak jelek-jelek banget. Mungkin mereka saja yang sudah mempunyai persepsi buruk tentangku.
Biarkan sajalah.
“Nyari Altra, Kak?” Seseoraang dengan berani mendekatiku.
Dia Dimas. Teman yang pernah diceritakan Altra padaku. Dan juga satu-satunya manusia yang berani menyapaku di kelas ini.
Biar kuceritakan sejarah pertemuanku dengan Dimas.
Awalnya, ketua kelas Altra ini membenciku. Terlihat matanya yang sinis ketika pertama kali aku ke kelas Altra.
Aku pernah bercerita 'kan kalau aku ke kelas Altra hanya untuk menghindari Andre? Nah, saat itu dengan tatapan elangnya Dimas bertanya ditambah ‘sedikit’ menyindirku.
“Mau apa Kakak ke sini? Saya rasa kelas saya gak buat masalah dengan Kakak.”
“Emangnya gue setiap mau ketemu orang, harus cari masalah dulu apa?” tanyaku tak kalah sengit.
“Emang gitu, 'kan?”
“Lo siapa sih?! Elo punya masalah sama gue hah?!”
Aku saat itu sudah kepalang emosi. Badanku maju-maju dengan kepala yang mendongak. Karena tinggi Dimas yang sejengkal dari tinggiku.
“Saya Dimas. Ketua kelas di sini,” jawab Dimas dengan penekanan di akhir kalimatnya. Aku menelan ludah susah payah.
Dimas dan ketua kelas.
Itu sudah menjadi kata kunci buatku. Karena Altra pernah menyebutkan namanya.
Kukira yang bernama Dimas itu sejenis manusia yang sebelas duabelas dengan Altra. Kalau tidak jelek, pasti aneh. Ternyata semuanya di luar persepsiku.
Dimas mirip seperti Andre. Bukan wajahnya. Melainkan wibawanya.
Melihat Dimas, aku jadi mengingat sosok Andre. Dahulu, Andre satu-satunya manusia yang berani menyapa bahkan menghukumku.
Mungkin aku percaya kalau Dimas itu ketua kelas. Namun, mengetahui Dimas itu orang yang disebut teman oleh Altra, merupakan hal ajaib untukku.
Maksudku, di tengah perbedaan kasta di SMA Bhakti ini, akan sulit menemukan yang namanya teman.
Apalagi disebut sahabat. Khususnya manusia sejenis Altra yang mempunyai kekurangan. Pasti sulit mendapatkannya.
“Oh elo Dimas.” Aku merendahkan suaraku. Dimas sempat mengernyit keheranan.
“Iya. Kenapa?”
“Elo temennya Altra dong?”
Tatapan Dimas semakin tajam mencurigaiku. Seolah aku seorang alien yang sedang melamarnya.
“Mau apa Kakak nyari Altra? Mau bully Altra?”
Aku sontak melotot. “Heh! Jangan bilang seenaknya ya! Jangan mentang-mentang elo ketua kelas, terus elo berani lawan gue!”
“Saya gak peduli. Kalau kakak ke sini cuma mau ganggu temen saya. Mending kakak pergi saja.”
Kesal, marah, emosi dan perasaan mau meledak kaya bom atom Nagasaki di Jepang mendesak dadaku. Tahu 'kan rasanya?
Tapi aku harus menahan gejolak amarahku itu. Karena Dimas adalah teman Altra. Jadi aku harus berbaik hati padanya. Kalau Dimas membicarakan hal yang tidak-tidak tentangku, Altra pasti akan kembali ketakutan. Tidak akan aku biarkan hal itu terjadi.
Aku kemudian menarik napasku dalam dan mengeluarkannya.
“Gue ke sini punya niat yang baik, Dimas,” jawabku lembut. “Gue gak punya pikiran untuk jahatin Altra. Jadi tolong ya, gue mau ketemu dia. Kalo lo gak percaya, elo bisa ngobrol bareng kita kok.”
Aku meremas buku tulis yang sengaja aku sembunyikan di belakang punggungku. Niatnya aku ingin meminta penjelasan materi pada Altra. Tapi melihat sosok Dimas, membuatku ingin teriak hingga telinga para makhluk hidup di sini rusak semua.
“Yaudah. Kakak tunggu di sini,” jawab Dimas akhirnya setengah hati.
Lantas Dimas mempertemukanku dengan Altra. Dan sesuai perjanjian, Dimas ada di samping Altra. Aku pun mendengar pembahasan materi dari Altra dengan fokus. Agar manusia seperti Dimas tahu, kalau aku tidak sekejam apa yang ada di otaknya.
“Iya, gue nyari Altra,” jawabku. Dan Dimas kembali ke dalam kelas.
Aku menunggu sambil menyender di tembok. Beberapa adik kelas tertunduk hormat ketika melewatiku. Padahal aku tidak menginginkan penghargaan seperti itu. Dengan tidak membuat onar saja, sudah cukup bagiku.
“Alia?” Aku sedikit tersentak dan mendapati Altra di depanku. Cowok itu tidak menunduk. Tapi tatapan yang tak fokus sudah menjadi ciri khasnya sewaktu menatapku.
“Eh Al. Gue ke sini mau ngobrolin soal janji gue waktu itu.”
Aku melirik cowok yang sedang berdiri di kusen pintu. Rupanya Dimas masih belum mempercayaiku sepenuhnya.
Oke, gapapa. Lagian pembicaraanku dengan Altra tidak ada yang bersifat pribadi.
“Oh yang Alia bilang mau traktir Altra, 'kan? Eh tapi Alia lulus gak?”
Aku mengangguk antusias. Dan sedetik kemudian, Altra meraih kedua lenganku untuk digenggamnya. “Wah Alia hebat. Altra seneng!” ucapnya sambil menggoyang-goyangkan tanganku.
Aku terdiam sejenak. Merasakan sentuhan yang tiba-tiba buatku. Aku menatap lama wajah Altra yang terlihat begitu bahagia. Membuat kedua pipiku merasa hangat. Jantungku berdebar cepat namun konstan. Perasaan bahagia ini, perasaan yang begitu luar biasa.
Perasaan dimana aku menemukan dia; ketika tersenyum dan bertanya padaku.
Tak lama, seseorang berdeham membuatku spontan melepaskan genggaman Altra.
Suara dari Dimas itu membuatku sedikit salah tingkah. Padahal biasanya aku akan cepat sadar jika terkejut akan sesuatu. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya (lagi) bersama Altra, aku tak sadarkan diri beberapa lama.
“Hmm… jadi lo bisa 'kan hari ini?”
Aku malu tapi Altra tampak santai di depanku. Tidak adil memang. Namun cukup membuatku sedikit tenang. Setidaknya Altra tidak mengetahui bahkan memahami perasaanku.
“Kalau Altra gak susahin Alia, Altra bisa kok. Altra juga udah izin sama mamah.”
Aku mengulas senyumku lega. Dimas di sampingku terlihat terkejut. Aku tidak memandangnya secara gamblang. Ekspresi Dimas yang tak terima, tertangkap oleh ekor mataku.
“Gue 'kan udah bilang, elo gak usah takut. Elo gak nyusahin kok. Ini justru gak seberapa sama usaha elo yang ngajarin gue sampai gue bisa matematika.”
“Yaudah, Altra bisa,” jawabnya mantap.
“Sip deh. Nanti gue ke kelas elo ya. Soalnya gue paling duluan pulangnya.”
Altra mengangguk. Senyumannya semakin merekah kala aku telah menyelesaikan janjiku.
“Altra seneng bisa main sama Alia hari ini.”
Lagi.
Altra mengucapkan kalimat manis itu lagi.
Belum juga jantungku netral dengan ucapan Altra barusan, kini malah detakan jantungku semakin mencekik. Bahkan aku sampai takut jantungku akan lepas dari rumahnya.
Apa maksudnya?
Kenapa aku merasa begitu senang? Kenapa debaran ini terasa begitu membahagiakan?
Altra hanya menyuarakan suara hatinya. Tidak lebih.
Apa yang aku harapkan?
Apa aku mulai menyukai Altra?
Tidak! Itu tidak boleh.
Keberadaan dia saja masih ambigu buatku. Meski firasatku selalu buruk ketika memikirkannya, tapi aku masih ingin memastikan. Aku tidak ingin mencintai dua kali. Sudah cukup dengan dia. Jangan ada yang lain.
Kupastikan perasaanku pada Altra hanya sekedar rasa simpati dan kasihan. Bukan perasaan suka apalagi cinta.
***
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro