Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hujan Kesepuluh

Sebulan berlalu

Keramaian habis upacara akhir tahun kali ini suasananya seperti biasa. Hanya saja suasana hatiku yang kini berbeda.

Meski sorak-sorai teman-temanku membuat sekolah hidup, aku tetap saja merasa sepi dan kosong. Perasaan familier yang satu bulan ini menemaniku.

"Lo mau jenguk Altra hari ini?"

Andre datang mengagetkanku dari belakang.

Nama itu masih terasa sensitif di pendengaranku. Contohnya ketika Andre menyebutkannya, hatiku mendadak berdenyut ngilu.

Aku menggeleng. "Gue masih belum bisa, Ndre."

Andre mangangguk paham dan tersenyum penuh arti padaku.

Aku sangat bersyukur punya sahabat seperti kelima sahabatku. Ketika aku terjatuh waktu itu, mereka selalu ada di sampingku. Menghiburku meski aku sendiri sudah tak berharap untuk hidup.

Dan Andre. Dia berubah kembali menjadi sosok hangat seperti dulu.

"Trus hari ini lo mau ke mana? Yang lain udah duluan ke kafe Malik."

"Gue mau ke suatu tempat."

"Perlu gue temenin?"

"Nggak usah."

"Tapi lo mau nyusul, 'kan?"

Aku mengangguk seraya tersenyum. "Iya. Gue nyusul kok!"

**

Aku menatap nyalang bangunan sederhana di depanku. Bangunan yang selama ini kuhindari. Karena salah satu tempat yang mengandung banyak kenangan bersama Altra.

Aku tak pernah berani menjenguk Altra semenjak kejadian itu. Rasa tak pantas karena membuatnya seperti itu, terus saja menghantuiku.

Kematian Alka, perlahan bisa kuterima. Hanya saja jika mengingatnya sedikit saja, selalu bisa membuatku menangis.

Alka menjadi salah satu topik yang harus selalu kuhindari.

Aku masih berdiri di depan bangunan yang beberapa kali kudatangi dulu. Ingatan demi ingatan berputar kembali bak roll film yang berputar di dalam salah satu sudut otakku.

Satu tetes air mata langsung kuseka begitu saja. Lantas menguatkan diri untuk membuka gerbang besi yang tingginya hanya sedada dari tinggiku.

Entah sebuah kebetulan, seorang wanita paruh baya ke luar dari bangunan itu. Sambil mengulas senyumannya, ia mendekatiku. Aku yang masih bergeming tak ada ide sekali pun untuk menghampirinya.

"Apa kabar, Sayang?"

Tante Maria mengusap kepalaku lembut. Rasa bersalah menyelinap masuk ke dalam rongga dadaku. Rasa bersalah karena tak jua menjenguknya sejak hari kejadian itu.

"Baik, Tante. Tante mau ke mana?"

"Tante mau ke rumah sakit. Alia mau apa ke sini?"

"Tadinya mau ketemu Tante."

"Oh gitu. Ya udah kita sekalian ke rumah sakit yuk!"

Aku menggeleng. "Gak usah, Tante. Alia nggak bisa lama. Kalau Tante sibuk, Alia pulang dulu kalo gitu."

"Tunggu."

Setelah mengucapkan itu, tante Maria masuk kembali ke dalam rumahnya. Meninggalkanku sendiri di depan halaman rumahnya.

Hingga tak berselang lama, tante Maria ke luar. Namun yang berbeda sekarang adalah ada secarik kertas di tangan kanannya.

"Ini surat buat kamu."

"Dari siapa?" tanyaku sambil menerima surat itu lantas hendak membukanya. Tapi tante Maria langsung menghentikan niatku.

"Jangan di sini. Kamu baca nanti saja."

Aku mencerna ucapan tante Maria kemudian mengangguk patuh.

Kami pun berpisah. Aku masuk kembali ke dalam mobilku dan tante Maria mengendarai maticnya.

Aku menyalakan mobilku. Berniat untuk menyusul seluruh sahabatku di kafe Malik.

Sebenarnya ada rasa penasaran untuk membuka surat yang kini ada di kursi penumpang. Tetapi aku tidak yakin, membaca surat itu akan memakan waktu sebentar.

Langit yang tadi sudah gelap sepertinya sudah menjadi pertanda akan hujan. Karena ketika aku sedang berhenti di lampu merah, hujan turun dengan deras. Menabrak kaca mobil di depanku.

Perasaan ini. Perasaan yang telah berubah. Rasa benci kala hujan, sekarang menghilang. Tergantikan oleh rasa perih yang begitu menyakitiku perasaanku.

Kejadian demi kejadian silih berganti membayangi ingatanku. Aku tak bisa menahannya kembali.

Setelah lampu merah berganti menjadi hijau, aku mencari tempat untuk menepi. Jalanan yang lengang menjadi pilihanku saat ini.

Aku mematikan mesin mobilku kemudian meraih secarik kertas yang sedari tadi membangkitkan rasa penasaranku.

Aku membukanya perlahan. Kertas itu sudah lusuh termakan waktu serta tulisan yang hampir memudar itu masih terbaca jelas jika kulihat.

Gue tahu ini lebay karena nulis kaya gini. Cuma gue gak bisa terus-terusan nahan benci gue sendiri.

Dalam surat ini gue mau jujur, kalau gue benci sama Altra.

Orangtua gue selalu menomorsatukan Altra. Meski dia lebih dulu lahir daripada gue, untuk bilang kakak pun gue gak pernah sudi. Setiap kali Altra celaka, selalu gue yang disalahain. Setiap papah pulang kerja, selalu Altra yang ditanyain.

Makin lama perhatian orangtua, gue gak dapetin sama sekali. Cuma dengan Andre, Ifan dan Firman gue bisa rasain yang namanya kekeluargaan. Di rumah, gue malah ngerasa jadi anak tiri.

Gue lebay? Tapi gue juga perlu kasih sayang dari orangtua gue.

Gue kembar sama Altra. Entah harus disyukurin atau justru gue harus sabar. Kita kembar dan kita punya kelebihan khusus. Semacam telepati yang bisa ngelihat mimpi masing-masing.

Gue bisa liat apa yang Altra liat dan gue bisa liat apa yang dia liat.

Nggak ada yang tahu. Cuma gue yang menyadarinya. Dan Altra yang idiot itu nggak mungkin ngerti.

Semakin hari gue jadi anak yang nakal. Ciri-ciri anak yang minta perhatian dari orangtua. Cuma yang gue dapetin adalah cueknya orangtua gue. Mereka terlalu sibuk buat terapinya Altra dibandingkan gue.

Gue udah mau nerima semuanya. Cuma satu pertanyaan dari Altra yang bikin gue makin ingin bunuh dia.

Dia nanyain soal cewek.

Cewek itu adalah cewek yang gue liat waktu hujan. Kita waktu itu berdiri berdua. Dan gue baru tahu rasanya suka sama lawan jenis adalah sama cewek itu.

Gue gak sempet liat bet namanya. Gue keburu dijemput oleh ibu karena mau capet-cepet nganterin Altra terapi. Dan saat itu itu gue pergi dengan payung yang gue kasih ke dia.

Gue berniat untuk cari dia lagi. Beberapa kali gue sama temen-temen gue nyari dia. Tapi tetep aja gue gak nemu.

Dan Altra nanya ke gue soal cewek itu.

Saat itu gue marah. Kalo Altra nemuin dengan dibantu orangtua gue, pasti Altra akan lebih cepat nemuin cewek itu dibandingkan gue.

Hingga akhirnya dengan nulis ini, gue bersumpah. Bakal bunuh Altra. Meski gue harus masuk penjara sekali pun.

Aku melipat kembali surat pemberian tante Maria tadi. Sekaligus surat yang ditulis oleh Alka. Aku menghapus air mata yang sempat menetes.

Semuanya sekarang jelas. Puzzle yang dulu tak tersusun, kini membentuk satu gambar yang utuh. Teka-teki yang dulu kucari jawabannya, sekarang sudah menjadi kisah yang runut.

Kejadian ini, semua hal yang terjadi saat ini, berawal dari dendam. Akal tak terpakai, dan tindakan yang menjadi jawaban.

Semuanya terjadi karena tindakan yang dipilih dari sekian banyak pilihan yang ditawari.

Kenapa harus memilih jalan saling membunuh jika ada jalan lain yaitu memaafkan? Kenapa harus memilih jalan saling membenci jika ada jalan yaitu menerima?

Ya aku sadar. Semua yang terjadi di semesta adalah mukjizat dari apa yang dipilih.

Perbuatan Alka dan Andre sudah menjadi perwakilan semuanya.

Aku tak membenci Alka. Sungguh. Meski pemikirannya yang salah, jika aku menjadi Alka pasti akan berpikiran yang sama. Semuanya terjadi karena banyak faktor. Salah satunya kurang adilnya pembagian kasih sayang.

Ya, semesta penuh dinamika. Banyak yang saling berhubungan hingga membentuk satu pemikiran dan perilaku. Entah itu yang tercela ataupun terpuji. Keluarga, lingkungan, persahabatan, semuanya saling bekonspirasi hingga membentuk karakter manusia.

Hujan.

Harusnya bukan dia yang kusalahkan. Bukan dia yang harus kubenci. Tapi aku yang menjadikan hujan sebagai kambing hitam untuk membenci pertemuan itu. Pertemuan yang menjadi kali pertama dan terakhirku bersama Alka.

Karena seharusnya bukan hujan yang berperan. Melainkan aku yang memilih berteduh dan berakhir jatuh cinta pada Alka. Ya, semuanya terjadi karena manusia yang memilih. Sedangkan alam hanya sebagai pemeran figuran yang kebetulan lewat untuk menyaksikan kejadian itu.

**

Suara ketukkan palu mengakhiri sidang hari ini. Sebagian orang mendesah pasrah dan sebagian lagi bertepuk tangan.

Tetapi lain halnya dengan sepasang pria dan wanita yang saat ini menjadi pusat perhatian.

Setelah pengetukkan palu tadi, status ibu dan ayahku bukan lagi siapa-siapa. Alias, menjadi mantan suami dan mantan istri.

Pemandangan di depanku ini seharusnya tak boleh kulihat. Tapi karena sebuah kewajiban, aku harus datang ke dalam acara ini.

Beberapa kejadian yang terjadi kemarin, membuatku menjadi sosok yang lebih kuat. Aku yang mudah marah, sekarang menjadi individu yang lebih sabar.

Ternyata benar. Masalah datang untuk mendewasakan kita. Ketika dulu sebuah masalah dianggap besar, sekarang malah terlihat begitu kecil dan sederhana.

Aku melihat ayah dan ibuku berdiri. Aku menghampiri keduanya ketika ruang sidang sudah mulai sepi.

"Papah." Ayahku menengok ke belakang bersamaan dengan wanita yang ada di samping ayahku. Ada siratan kerinduan yang bisa kuterka. Tapi lagi-lagi aku tidak ingin banyak berharap. Bila akhirnya aku harus disakiti oleh harapan itu sendiri.

"Kita pulang, Sayang?"

Aku mengangguk dan ayah menarik lenganku. Tangannya begitu dingin, pertanda kalau ayahku sedang gugup.

Aku menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. Wanita itu -ibuku sedang tersenyum sambil melambaikan tangan. Tak ada makna benci atau sarkas seperti biasa. Justru makna ketulusan yang bisa kurasakan dari tatapannya.

Aku ikut mengulas senyumku. Sebagai salam terakhir perpisahanku. Sebagai senyum pertama dan terakhir di antara kami.

**

Tbc tralala~

Yeay tamat. Kecepatan ya?

Baiklah, ini aku namakan alur sangkuriang. Tapi semoga bisa menjawab keambiguan dari awal hehe...

Eh epilognya mana, btw?😂

Krisan diterima qaqa😅😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro