Hujan Kesembilan
"Gue duluan ya guys!" Aku melambaikan tanganku pada jendela mobil Andre.
Aku baru saja diantar oleh lima kacung itu hingga ke rumah. Mereka pun membalas lambaianku dan langsung pergi kembali.
Tubuhku benar-benar lelah sekarang. Ransel yang kugendong semakin terasa beratnya. Rasa lengket karena tadi belum sempat mandi, aku hiraukan. Yang ada di dalam sel otakku hanya tidur. Bahkan berharap baru besok aku bisa bangun.
Kemudian aku membuka pagar besi rumahku. Hingga menimbulkan suara decitan engsel yang bergesekkan. Lantas menutup dan menguncinya. Baru saja aku mengambil langkah kelima, suara barang pecah masuk ke pendengaranku.
Dengan segera aku melepas ranselku dan berlari. Belum sempat menginjak teras, aku ditabrak dengan keras oleh seseorang. Untung saja aku tak sampai terjungkal.
Aku mengusap bahuku yang terasa ngilu. Dan berbalik menatap manusia mana yang berani menabrakku.
"Kau?!" desisku tak percaya. Wajah wanita yang melahirkanku itu sudah memerah. Mimik wajahnya terlihat jelas kalau wanita itu sedang marah. Bibirnya berkedut dan anak-anak rambut yang tak ikut terikat menjuntai menutupi sedikit wajahnya.
"Aku kira kau tidak akan pulang." Satu kalimat itu berhasil menohok hatiku.
Memangnya apa yang aku harapkan? Berharap dia menyambutku layaknya seorang ibu yang merindukan anaknya? Tentu saja aku masih punya otak untuk memikirkannya.
"Memangnya kenapa? Kau merindukanku?" Aku berusaha setegar mungkin untuk berhadapan dengannya. Walau dalam hati berbagai macam perasaan bercampur aduk.
Wanita itu berdecak. "Waktuku terlalu berharga untuk sekedar merindukanmu, Nona."
Dadaku seketika sesak. Sakitnya masih sama. Hatiku seakan terkoyak jika dia terus melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan. Padahal aku selalu menduganya, tapi kenapa sakitnya tak pernah hilang?
"Maura!" Suara berat itu membuat kami spontan menoleh. Ayahku berdiri di depan kusen pintu. Menatap wanita itu dan aku secara bergantian. Tapi tak pernah aku duga, ayahku langsung mendekatiku dan dalam sekejap membawaku ke dalam pelukannya.
"Jangan dengarkan ibumu, Alia." Aku sediki merinding mendengar suara ayahku yang serak tepat di telingaku. Beliau menyandarkan dagunya pada bahuku. Aku tidak membalas pelukannya. Kejadian ini terlalu tiba-tiba buatku.
Ayahku memang sudah menginjak kepala tiga. Beliau jarang sekali memerlihatkan kelemahannya. Namun sekarang... aku seakan merasakan beban berton-ton lewat pelukannya.
"Kalian benar-benar keluarga harmonis." Tubuh ayahku sejenak terasa menegang. Mendengar suara ibuku tadi entah kenapa ada nada iri dan sedih yang kutangkap? Meski dominan pada suara sarkastik, tapi ada sebuah harapan di dalamnya.
Mungkinkah?
Ayahku kemudian melepaskan dekapannya. Kemudian berdiri di depanku. Menghalangi mataku untuk melihat wanita itu. Beruntung komplek perumahanku sedang sepi, karena baru pagi hari. Sehingga kami bebas dari gunjingan dari beberapa tetangga.
"Aku harap kau pergi saja Maura!"
"Kau siapa, Anton?! Ini rumahku! Kenapa aku harus angkat kaki dari sini! Kalian yang harusnya pergi! Bukan aku!"
Genggaman tangan ayahku pada pergelanganku semakin erat. Membuatku meringis. Ayahku dibalik ketegarannya ternyata memiliki kesakitan yang teramat dalam seperti itu.
Kenapa?
Kenapa lelaki sebaik ayahku harus berjodoh dengan wanita kejam seperti ibuku?
Dunia terasa tak adil.
"Sejak kapan rumah ini menjadi rumahmu? Aku kepala keluarganya! Jelas aku yang memiliki rumah ini!"
"Tapi aku mengumpulkan uang untuk membeli rumah ini, Anton! Ingat! Dulu kau bukan apa-apa tanpa keluargaku!"
Satu kalimat itu entah kenapa aku merasakan sakit menggores hatiku. Harga diri ayahku direndahkan begitu saja oleh wanita yang mengaku-ngaku ibuku itu.
Aku lelah. Aku ingin memberhentikan waktu. Atau aku ingin kembali menjadi janin. Membunuh wanita itu ketika aku mulai lahir ke dunia.
"Hargai aku sebagai suamimu Maura!"
"Aku tak pernah mau Anton! Kita menikah pun hanya untuk membahagiakan orangtuaku. Bukan atas dasar cinta! Aku tak pernah mencintaimu!"
Getaran hebat yang dimulai dari pergelanganku, membuat setruman sendiri merambat ke seluruh tubuhku. Aku merasakan sakit yang teramat hebat dari sentuhan ayahku.
Menikah dan membangun rumah tangga tanpa dasar cinta? Apa hal itu bisa terjadi? Berarti aku lahir di dunia bukan atas dasar cinta?
Ya aku memang telah mengetahui fakta itu. Mengetahui aku lahir dari hubungan luar nikah, sudah dipastikan aku bukanlah anak yang dilaharapkan oleh dunia. Tapi kenapa rasa sakitnya semakin dalam ketika aku mendengarnya secara langsung lewat mulut wanita itu?
Harusnya aku menerjunkan diri waktu berumur 14 tahun ketika tahu kebenaran ini. Namun kalau bukan karena wajah pahlawan; ayahku, aku tidak akan bertahan kuat sampai sekarang.
"Jaga mulutmu! Aku akan menceraikanmu detik ini juga!"
Suara ayahku menggelegar. Membuat tubuhku seketika meremang.
Wanita itu tidak menjawab secara langsung. Aku tidak tahu ekspresi wanita itu kini seperti apa. Apalagi ayahku. Kami benar-benar diselimuti keheningan beberapa saat.
Sehingga akhirnya wanita itu berucap kembali, "Ya aku menunggu surat cerai itu. Aku ada di rumah Salsa jika kau mau mengirimkan surat itu, Anton."
Nada suara itu dingin. Seakan begitu berat begitu ia mengungkapkannya. Suara derap highheels menjauh menelusup ke dalam indraku. Suara pagar besi rumah pun menandakan ada seseorang yang memakainya. Kupastikan wanita itu sekarang sudah enyah dari area rumahku.
Ayahku kemudian berbalik dan memelukku kembali. Tangannya yang kokoh mengusap lembut kepalaku. Menyalurkan kasih sayang yang jarang sekali kurasakan karena kesibukannya. Tubuh ayahku terasa bergetar.
Apa mungkin ia menangis?
Aku tahu ayahku begitu mencintai ibuku. Setiap malam, aku terkadang memergokinya sedang memerhatikan foto pernikahannya. Bahkan tak ayal, selalu dipeluknya hingga tertidur.
Aku tidak tahu hal apa yang mereka lewati dahulu. Karena aku tak merasakan kasih sayang seorang ibu sejak aku lahir. Wanita itu sesekali pulang. Bukan untuk menengok atau sekadar menanyakan kabarku.
Wanita itu malah membawa teman sosialitanya untuk menyombongkan rumah megah ini. Bahkan aku masih jelas ingat perkataannya pada teman-temannya itu.
"Dia bukan anakku. Dia hanya keponakanku yang sering dititipkan di sini."
Aku yang sudah beranjak remaja, jelas mengerti ucapan ibuku saat itu. Rasanya benar-benar teramat sakit ketika seorang ibu tak mengakui darah dagingnya sendiri.
Sejak saat itu, aku berpikir. Wanita macam ibuku memiliki harga diri yang terlampau tinggi. Berusaha terlihat sesempurna mungkin di depan kebanyakan orang. Bahkan di depan wartawan, ibuku mengatakan belum pernah menikah. Dan itu membuat ayahku semakin gila kerja.
Ibuku adalah seorang designer terkenal. Tapi aku tak pernah sudi menontonnya di televisi. Wanita itu memang tidak ditakdirkan menjadi seorang ibu. Melainkan seonggok monster yang hobi menyakiti hati manusia.
Aku bersumpah.
Meski aku lahir dari rahimnya, aku tak pernah mau disamakan dengan dirinya. Aku selalu berkata aku anak piatu. Aku berdandan sejantan mungkin. Tidak peduli ibuku yang sukses, semolek apapun ibuku, aku tak pernah mau sepertinya. Aku akan terus melakukan hal apa yang tidak dilakukan oleh ibuku sebagai layaknya wanita.
**
"Alia, kamu mau kemana sayang?"
Aku yang baru turun dari tangga, dipergoki oleh ayahku yang juga baru berjalan dari arah dapur. Aku tersenyum kaku. Apalagi mengingat kejadian tadi pagi, perasaan canggung tiba-tiba mendominasi atmosfir di antara kami.
"A-Alia mau jalan, Pah."
Ayahku tersenyum maklum. "Bisa kita bicara sebentar?"
Aku belum sempat menjawab, ayahku sudah mendahuluiku. Beliau pergi ke ruang tamu dan duduk di salah sudut sofa.
Sebenarnya aku ingin kabur saja. Jarak yang terlentang di antara kami, membuatku tak nyaman jika di sekitar ayahku. Padahal harusnya anak gadis akan selalu dekat dengan ayahnya.
"Ada yang mau kamu ceritakan pada papah?" tanya ayahku sambil menatap televisi yang tidak menyala itu ketika aku baru saja mendaratkan bokongku di sampingnya.
"Nggak ada, Pah."
Aku terpaksa berbohong. Aku sedang tidak bermelankolis saat ini. Niatku tadi adalah untuk menghibur diri. Keinginanku untuk beristirahat sudah tiada lagi. Karena lelah yang kuderita bukan lelah fisik yang bisa disembuhkan oleh tidur. Melainkan lelah batin yang sukar disembuhkan meski harus tidur seribu tahun pun.
"Papah minta maaf." Suara ayahku memelan. Hampir terdegar bergetar. Membuat sel di dalam hatiku berdenyut ngilu.
"Karena kesalahan papah, kamu harus mempunyai ibu seperti ibumu. Papah benar-benar minta maaf."
Aku tak berani menoleh. Kuyakin ayahku sudah meneteskan liquid dari bola matanya. Jika saja aku melirik sekilas, sudah kupastikan aku akan ikut menangis.
"Papah berjanji. Setelah menceraikan ibumu, semuanya akan selesai. Tinggal bagaimana kita menjalankan hidup berdua seperti sedia kala."
Sebagian hatiku merasa nyeri. Mendengar kedua orangtuaku berpisah tanpa aku melihat mereka pernah tidur sekamar, seakan salah bagiku. Meski aku lahir karena kekhilafan. Meski ibuku tak mengharapkan keberadaanku, namun yang kudengar dari mulut ayahku benar-benar salah.
Ayahku memiliki cinta untuk ibuku. Dan karena keberadaanku, ayahku harus mengubur dalam-dalam cintanya. Menimbulkan beban yang beratnya beribu ton menimpaku. Apa memang aku saja yang salah karena lahir di dunia ini?
"Kenapa?" Aku bertanya dengan berusaha menahan isakkan yang keluar. "Kenapa Papah memilihku daripada wanita yang Papah cintai?"
"Untuk apa papah memilih orang yang ayah cintai sedangkan dia malah berbalik? Ayah akan lebih menghargai hidup papah karena telah membesarkanmu. Karena papah sangat menyayangimu, Alia."
Dengan pelan, ayahku merengkuh tubuhku. Membawanya ke dalam dekapan yang begitu hangat dan menenangkan. Salah satu tempat favoritku ketika dunia menjauhiku.
"Papah akan tetap di sampingmu. Dan akan menjadi walimu ketika kamu menikah nanti."
Hatiku terhenyak. Elusan di kepalaku begitu lembut. Beriringan dengan satu tetes air mata yang lolos ke pipi.
Inilah alasanku mempertahankan sebagian kodratku sebagai perempuan. Merasakan kasih sayang seorang ayah kepada putrinya membuatku menjadi manusia paling bahagia di bumi. Jika aku terlahir sebagai laki-laki, kuyakin ceritanya pun akan berbeda.
"Papah sangat menyayangimu, Alia."
Lagi.
Kata itu lagi yang selalu menahanku untuk mengakhiri hidup. Membayangkan dirinya yang begitu menderita sekarang saja sudah sangat menyiksa bagiku. Apalagi jika kepergianku ternyata menambah kesengsaraan pada ayahku
Aku takkan pernah tega.
**
Hujan.
Lagi-lagi aku dipenjara oleh cairan dari langit itu. Perasaanku masih sama. Tetap membenci pemandangan yang ada di depanku saat ini. Apalagi bau hujan yang menyentuh tanah, membuatku mual. Kalau tahu akan hujan begini, lebih baik aku tidak akan ke luar rumah demi membeli susu kotak.
Benar-benar menyesal.
Parahnya lagi aku lupa untuk membawa payung yang kutinggal di dalam mobil. Dan mobilku terparkir jauh dari minimarket yang di belakangku saat ini. Langit sepertinya sedang bersengkongkol dengan derita masa laluku.
Ponselku lowbat dan memaksaku untuk mengamankannya di jaket yang kukenakan. Dan sekarang hanya aku saja yang sedang berdiri bak manekin tanpa seorang pun yang menemaniku.
Mau tak mau pikiranku melesat ke dalam kejadian dahulu. Kejadian dimana aku menyukai hujan namun bersamaan dengan timbulnya rasa benci itu.
Aku terus berlari menerobos tirai liquid yang berusaha menghambat langkahku. Tas ranselku dijadikan atap untuk puncak kepalaku. Sekalipun Aku tahu, perbuatan itu merupakan salah satu hal paling sia-sia yang ada di muka bumi ini.
Cipratan air kotor dari jalanan yang berlubang, tak kuindahkan. Tak ada secuil pun pikiran untuk sekadar mengibaskan rokku yang basah. Yang ada di otakku hanya menepi dan bebas dari serbuan bulir hujan yang mengeroyokku sekarang. Tak berselang lama, kedua ujung bibirku terangkat ketika melihat sebuah toko yang tendanya panjang ke depan.
Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku menambah kecepatan pada langkahku. Seolah toko tersebut akan tenggelam ke dalam bawah tanah kalau aku tak segera menginjakkan kaki ke emperan toko itu.
Entah sebuah kebetulan atau kesengajaan, langkah pertamaku bersamaan dengan seseorang. Kalau saja aku tak punya refleks yang bagus, pasti aku akan menabrak orang asing yang belum kukenal itu.
Setelah dirasa aman, aku menurunkan tas dari kepalaku lalu mengenakannya kembali. Lantas aku mencari tahu manusia seperti apa yang berada di satu tempat denganku itu.
Dari bawah, aku sudah mulai mengetahui kalau manusia itu sejenis lelaki. Celana berwarna biru dongker menyuratkan kalau manusia itu merupakan seorang siswa SMP sepertiku. Hingga akhirnya tatapanku berhenti di wajah lelaki tersebut.
Diperhatikannya lamat-lamat wajah yang begitu asing bagiku. Kulit putih dengan beberapa tetes air yang diyakini dari hujan meluncur di pelipis lelaki itu. Sebuah tahi lalat kecil -lebih berupa seperti titik menghiasi ujung mata kanannya. Lepas dari semua deskripsi tentang lelaki itu, aku mendadak kaku.
Hatiku didera perasaan aneh ketika lelaki itu tiba-tiba menyunggingkan senyumannya sambil menatap hujan. Sebuah lubang sipit kecil di pipinya yang selintas terlihat, membuat napasku sempat terhenti. Entah perasaan apa, aku jelas tidak tahu. Karena pertama kalinya aku merasakan hal itu. Perasaan dimana aku tidak merasakan kakiku memijak bumi.
"Lo kehujanan?" Lelaki itu menoleh. Suaranya sedikit berteriak mencoba mengalahkan suara hujan. Tetapi nadanya masih terkesan ramah, membuat perasaanku semakin tak terarah. Aku gugup. Aku mendadak ingin menjadi patung. Tetapi sebuah idealis muncul di salah satu sudut otakku; bahwa orang tersenyum harus dibalas senyuman.
"I-iya, elo juga?" Lelaki itu hanya mengulum senyum dan mengangguk. Kemudian lelaki itu kembali memerhatikan hujan, dengan senyuman yang tak pernah terhapus dari wajahnya.
Aku memerhatikan lelaki itu dari ekor mataku. Berpura-pura menyisir rambut sepundakku dengan jemari. Seragam lelaki itu basah, sama seperti kondisi seragamku sekarang. Tidak ada keterangan jelas siapa namanya. Bahkan bet nama sekolah yang biasa ada di kanan ataupun di kiri lengan atas seragam, tak terlihat sama sekali. Memberi kesan seragam putih polos kecuali saku seragamnya yang mempunyai logo SMP yang berlatar warna kuning itu.
"Elo gak bawa payung?" Aku melonjak. Lelaki itu terkekeh melihat reaksiku yang di luar dugaan.
"Gue tanya, elo bawa payung gak?" Lelaki itu bertanya lagi karena melihat aku masih menatapnya kaget.
Kemudian aku cepat-cepat merubah kembali raut wajahku. "Eng-enggak. Kalo lo?"
Bukannya menjawab, lelaki itu melepas tas ranselnya dan membukanya. Sebuah payung biru muda ia ambil setelah beberapa lama mencarinya. Tak pernah aku pikir sebelumnya, lelaki itu mengulurkan payung tersebut ke arahku.
"Pake ya?" Aku yang masih terhipnotis dengan senyuman itu langsung mengangguk dan menerimanya dengan tangan yang sedikit gemetaran.
Tapi tak lama, sebuah embusan angin melintas di depanku, bersamaan dengan seseorang yang berlari melewatiku. Ternyata lelaki yang belum diketahui identitasnya itu pergi meninggalkanku tanpa ada pelindung apapun yang melekat pada diri lelaki itu.
Aku termangu sendiri melihat punggung itu semakin menjauh dari radius mataku. Meninggalkan sepercik perasaan yang diam-diam tertanam dalam hatiku.
Aku tersenyum di tengah derasnya hujan. Meskipun hujan memenjarakan diriku untuk pulang ke rumah, aku masih bersyukur. Setidaknya ada perasaan bahagia yang tak pernah kurasakan sebelumnya karena hujan.
"Alia?"
Aku hampir tersedak oleh salivaku sendiri. Aku baru saja terjerembab kembali ke kenyataan. Suara yang kuharapkan nyata, kini benar-benar sampai ke sel indraku. Aku kontan menoleh. Tapi sedetik kemudian aku mendesah kecewa. Suara itu bukan dia. Melainkan Altra
Tunggu.
Altra?
Sialan! Jantungku spontan maraton. Apalagi mengingat ciuman pertamaku yang diambil olehnya, pipiku terasa mamanas. Seolah ada setruman yang entah darimana, membuat darahku terasa berdesir. Menimbulkan perasaan yang entah apa itu.
"E-elo ngapain?"
Aku mengalihkan kembali pandanganku kepada hujan. Berusaha berdalih selihai mungkin untuk menutupi kegugupanku sekarang.
"Alia sakit?" Punggung tangan Altra tiba-tiba menyentuh dahiku. Aku refleks melonjak kaget. Dan bergeser beberapa meter darinya.
"Eng-enggak. Gue gapapa."
"Tapi muka Alia merah."
Bibirku tiba-tiba sulit terangkat. Aku benar-benar ingin turun ke dalam palung laut sekarang. Menggali kuburanku sendiri untuk menutup maluku sekarang.
Aku sedikit tenang. Meronaku dianggap sebuah penyakit oleh Altra. Setidaknya aku bisa bebas untuk membohongi Altra. Ternyata keluguan Altra bisa bermanfaat jika situasi seperti ini.
"Elo salah liat." Aku membuang muka. Aku tak punya nyali menatap wajah Altra. Aku tidak bisa menahan mulutku untuk terangkat. Semenjak ciuman itu, mendadak hariku tak damai.
Pikiranku seolah terpenuhi oleh wajah Altra. Bahkan ada rasa yang membuncah dadaku untuk segera ingin bertemu Altra. Tetapi melihatnya sekarang, di jarak yang begitu dekat denganku, malah nyaliku menjadi ciut. Aku bahkan lupa berbagai macam jurus karateku jikalau sesuatu yang terjadi padaku. Altra sukses memutarbalikan duniaku sedemian rupa.
"Alia kenapa di sini?"
"Terserah gue dong! Ini kan tempat umum!"
Hening.
Aku merutuk mulut dan otakku yang sudah memarahi Altra tadi. Sungguh! Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan malu, gugup dan deg-degan ini ketika bersama Altra.
Tuhan... apa yang terjadi padaku?
Suara hujan masih mendominasi suasana di antara kami. Aku melirik Altra yang masih terdiam dan menatap hujan. Aku beranikan menoleh dan memerhatikan Altra dalam diam.
Dari pinggir sini, Altra benar-benar terlihat seperti dia. Hanya saja sekarang ada bingkai kacamata yang menutupi tahi lalat kecil itu.
Tak lama, Altra mengulas senyumnya. Membuatku lagi-lagi mengingat dia. Meski senyuman itu berbeda. Namun kesannya masih sama.
Bagaimana senyum itu begitu cocok di wajah itu?
"Kenapa lo juga ada di sini?" Aku melembutkan suaraku kembali. Kulihat Altra mendatarkan kembali senyumannya dan menoleh ke arahku. Aku cepat-cepat membuang muka. Aku tidak bisa lama-lama melihat wajah altra.
Arghhh... kenapa denganku?
"Altra tadi disuruh mamah beli minyak goreng." Altra dengan santainya menunjukkan plastik belanjaan yang tengah digenggamnya itu. Dan aku hanya meliriknya sekilas.
"Oh."
"Alia kenapa?" Aku menatapnya dan kembali melihat hujan. Aku bingung harus berbuat apa. Menatap Altra hanya akan membuat jantungku jatuh ke perut.
Dan kurasakan Altra mengikis jarak kami. Jantungku semakin berpacu seperti berlari dengan panjang jalan ribuan kilo.
Aku ingin pergi dan menjauh. Tapi tubuhku malah memberontak. Sebagian dari diriku seperti ingin menarik Altra untuk lebih dekat.
"Alia marah sama Atra?" Suara Altra kini terdengar lebih dekat. Membuat perasaanku semakin gamang dan tak karuan.
"Gu-gue gak marah. Emang kenapa?"
Aku berharap hujan cepat-cepat reda. Aku ingin menerebosnya, tapi lagi-lagi tubuhku menolak. Apa yang sedang terjadi? Aku seperti ingin terus berada di posisi ini bersama Altra.
"Alia tadi marahin Altra terus sekarang Alia gak mau liat Altra. Altra punya salah ya sama Alia?"
Aku sempat menahan napasku. Aku tak memiliki jawaban atas pertanyaan Altra tadi. Aku tidak punya ide untuk berdalih apa lagi. Semua verba dalam otakku semakin terkikis.
"Kalau Alia marah sama Altra, maafin Altra. Yaudah Altra pergi aja."
Dengan cepat, aku menahan pergelangan tangan altra. Kepalaku menunduk seperti yang biasa Altra lakukan. Sebagian hatiku tidak ingin melihatnya sakit karena kehujanan. Dan sebagian lagi aku masih tidak rela membiarkan Altra dengan kesalahpahaman yang ada di otaknya.
"Jangan pergi," cicitku sepelan mungkin.
"Alia bilang apa?" Aku melepas genggamanku. Aku berusaha sekuat mungkin untuk mendongak dan melihat wajah Altra. Sekalipun ada gemuruh yang terus mendesak dadaku.
Aku menggeleng sembari menatap wajah Altra. "Di sini aja. Elo nanti kehujanan."
Kami pun berada di posisi awal kami. Berdiri bersampingan sambil memandang hujan.
"Gue gak marah."
"Terus kenapa Alia tadi..."
"Gapapa. Mungkin gue lagi PMS," potongku tiba-tiba mengalihkan pembicaraan kami.
Kesunyian mengatapi kami kembali. Tidak ada satu pun dari kami yang mengawali pembicaraan lagi. Otakku mendadak buntu sekarang. Semua ilmu dan pengetahuanku tentang memulai pembicaraan seperti surut tak berbekas. Yang ada hanya otak kosong dan selnya yang hampir berhenti berputar untuk berpikir.
Keberadaan Altra kali ini membawa perasaanku semakin tak karuan. Ada sesuatu yang memberontak dan ada kata yang ingin kuutarakan. Tapi lagi-lagi ada sebuah imaji yang sukar kurobohkan.
Perasaan simpati yang selama ini kuagung-agungkan sekarang tampak ambigu. Bahkan tak cocok lagi untuk mendeskripsikan apa yang kurasakan pada Altra. Aku tidak berpengalaman soal ini. Aku tidak tahu rasa apa ini.
"Altra inget kenapa Altra suka sama hujan."
Aku menoleh ketika satu kalimat itu tertangkap basah oleh telingaku. Membuatku menoleh dengan mata tak mengerti. Altra masih asyik memerhatikan hujan. Dengan senyum idiotnya, entah kenapa sekarang terlihat begitu berbeda. Ada rasa menggelitik yang membuatku terhipnotis untuk bahagia.
"Karena Altra pernah liat Alia senyum waktu hujan. Dan kita berdua berdiri kaya gini."
Aku menautkan alisku. "Kapan?"
Aku sungguh tak mengerti. Bahkan tak ada secuil pun ingatan kalau aku pernah tersenyum kalau hujan. Yang ada hanya senyum ketus yang biasa kupahat sewaktu hujan ada di depanku.
Kulihat Altra kemudian menggeleng. "Altra gak tahu. Atau Altra cuma mimpi aja kali ya."
Aku mendesah lega. Kukira dugaan yang kedua yang lebih tepat. Altra terlalu banyak berimajinasi. Sehingga aku bingung mana yang nyata dan mana yang hanya khayalan. Tetapi untuk pernyataan Altra tadi, kupikir itu adalah sebuah ilusi.
Aku tidak pernah tersenyum ketika hujan apalagi bersama Altra. Terakhir aku tersenyum di depan hujan adalah ketika bersama dia. Dan kuyakin Altra tidak ada ketika aku dan dia bersama di depan hujan, tepat empat tahun yang lalu.
**
Tbc tralala~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro