Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hujan Kedelapan

Biasanya, aku punya kelincahan seperti teroris yang berhasil kabur dari kejaran polisi. Atau keanggunan banci berlari dari amukkan satpol PP. Namun, aku harus menerima kenyataan. Kemampuan kaburku tidak selihai mereka untuk saat ini.

Lantaran beberapa saat yang lalu, tadinya aku sedang melenggangkan kaki untuk ke luar kelas. Berusaha tenang dan cuek seperti biasa. Hanya saja realitas jauh dari ekspetasi. Kedok kalemku tak berguna sama sekali. Padahal baru saja selangkah, tanganku sudah ditarik dengan sadisnya.

Andre membawaku ke samping kelas. Orang-orang langsung menyorot keberadaan kami dengan sudut mata keheranan dan juga keengganan.

Dan Iqbal, kulihat ia terkejut tetapi malah cekikikkan sendiri melihat Andre yang menarikku secara paksa.

Bukannya menolong sesama, Iqbal dengan gantengnya membiarkanku sengsara.

“Kenapa sih, Ndre?”

Aku menepis genggamannya dan menatap sengit. Berusaha keras agar tidak terlihat terintimidasi. Sebenarnya hati sudah ketar-ketir. Soalnya aku tahu, alasan Andre menyeretku sekarang.

Semoga Altra belum ke luar kelas. Bukannya apa-apa. Takut saja dia kesasar atau yang paling parahnya malah dihasut oleh Dimas.

Aku tidak berprasangka buruk. Aku hanya menduga saja (Atau sama saja?). Sebab setelah aku berpisah dari Altra tadi saja, Dimas menatapku curiga. 'Kan ada kemungkinannya Dimas akan berkata hal aneh pada Altra.

“Elo bener mau jalan sama Altra?”

Andre tidak menatapku dingin. Tapi dari sorot matanya jelas terlihat kalau cowok itu tidak suka dengan realitas yang ada.
Aku memang tidak pernah bilang akan jalan sama Altra. Cowok itu saja yang mengetahuinya dengan mudah. Sudah kubilang, Andre sejenis orang yang ambisius.

Ketika istirahat, pertama kalinya aku tidak bersama kelima sahabatku. Karena kalian sudah tahu sendiri, bahwa aku pergi ke kelas Altra.

Diluar dugaanku, Andre ternyata mengikutiku. Aku baru menyadari ketika masuk kelas dan Andre langsung mengintrogasiku. Tetapi tak berselang lama, bel masuk menginterupsi. Membuat obrolanku dan Andre terhenti.

“Kalo iya kenapa?”

Andre menarik rambutnya frustrasi. Jarak kami aman. Andre tidak mungkin menahanku lebih dekat seperti di film-film. Karena ia punya teladan tersendiri di depan banyak orang. Apalagi saat ini sedang waktunya pulang sekolah.

Pastilah akan banyak pasang mata yang menyaksikan keberadaan kami. Apalagi Andre, ketua OSIS yang paling disegani. Dan demi pencitraan, Andre mencoba menahan amarahnya yang bisa kulihat dari sorot matanya.

“Elo lebih milih orang lain daripada sahabat lo sendiri?”

Andre memincingkan matanya tak percaya. Aku mendengus kesal seraya berpangku tangan.

“Denger ya, Ndre. Kalian emang sahabat gue. Tapi kalian gak tau betapa berhutangnya gue sama Altra. Dia selamatin gue buat lulus dan gak jadi ditendang ke kelas sepuluh lagi,” jawabku panjang lebar. “Lagian si Zaki yang buat acara biasa aja. Kenapa elo malah yang sewot?”

“Gue gak suka, Al,” jawab Andre begitu pelan namun masih bisa kutangkap apa perkataannya. Namun, ucapan itu masih terasa ambigu di telingaku.

“Elo gak suka kenapa? Jangan lebay, Ndre.”

Andre mengembuskan napasnya gusar. “Udahlah gak usah dibahas lagi. Tapi elo harus janji, ini yang terakhir elo main sama cowok.”

“Heh emangnya Malik sama yang lainnya bukan cowok?”

“Ya itu sih pengecualian.”

“Emang kenapa kalo gue jalan sama cowok lain? Hak gue dong.”

Bukannya membalas, aku mendapatkan tatapan elang dari Andre. Membuat bulu kudukku terasa meremang.

“Apa gue harus ngulangin soal perasaan gue ke elo lagi, Al?”

Aku tertegun sejenak. Mencerna setiap kata yang Andre lontarkan padaku. Ada sesuatu yang mencekikku. Sudut hatiku memintaku jangan sampai mendengar apa yang diucapkan Andre.

“Gak usah.” Aku menghela napas. “Gue usahain buat gak main sama cowok lain. Tapi semua itu tergantung situasi dan kondisinya, Ndre. Karena gue bukan tipe orang yang ngumbar janji.”

Andre menarik kedua ujung bibirnya. “Gue percaya sama elo kok, Al.”

**

Aku berjalan menyusul Altra yang ada di depanku setelah pengecekkan tiket masuk tadi. Aku mengajak Altra ke arena permainan indoor yang terkenal di kotaku.

Sebenarnya aku bingung mau mengajak Altra kemana. Aku tidak terlalu berpengalaman untuk bermain ke luar. Jadi aku pilih secara acak. Dan sampailah kami di tempat hiburan ini.

Ohya tolong beri aku penghargaan sebesar-besarnya karena perjuanganku yang berhasil membawa Altra kemari.

Kekeraskepalaan Dimas membuatku harus menahan emosi lebih lama.

SMA Bhakti sepulang sekolah memang cukup ramai seperti biasa. Lantaran Andre yang menahanku tadi, aku harus menerobos beberapa orang yang berlawanan arah denganku. Apalagi kelas Altra berada di lantai dua. Sudah pasti tenagaku harus diperbanyak dua kali lipat.

Beruntunglah aku yang memiliki aura jahanam. Karena semua orang yang berpapasan denganku, akan memberi jarak. Dan aku bisa ke kelas Altra dengan aman sentosa.

Kukira, menjemput Altra akan semudah mengajak anak kecil main. Namun, semuanya di luar persepsiku.

Seperti ibu yang susah kasih izin sama anaknya, kali ini Dimas yang memberi rintangan berat padaku.

Aku baru saja melambaikan tangan pada Altra ketika cowok itu baru ke luar kelas. Tepat saat aku akan melangkah, sosok jangkung menghalangi mataku untuk melihat Altra.

Tatapan tajamnya sempat membuatku bergidik ngeri. Dimas dengan kaki panjangnya mendekatiku.

“Kakak mau ngajak main Altra?”

“Iya. Kenapa?” tanyaku tak kalah sengit.

“Mending Kakak pulang. Altra udah ada janji sama saya mau belajar bareng.”

Aku mengernyit, curiga. “Elo jangan bohong deh! Elo 'kan udah denger kalo gue sama Altra udah janji duluan daripada elo.”

“Siapa bilang? Saya udah janji sama dia seminggu lalu.”

“Tapi Altra gak ngomong apa-apa tuh soal janji sama elo.”

“Dia lupa mungkin.”

Aku masih tak puas dengan alibi Dimas. Cowok itu seperti cemburu karena Altra bersamaku hari ini. Meski sebenarnya aku tahu, Dimas hanya takut kalau temannya akan disakiti olehku.

“Elo jangan pake alesan gitu. Basi tau gak?”

Mataku menyala-nyala mencoba mengitimidasi Dimas. Tetapi cowok itu malah mencebik tak tahu malu.

Kalau saja Dimas bukan teman Altra, akan kupastikan cowok itu akan jadi pasien di rumah sakit sekitar sini.

“Saya gak bohong.”

“Terus gue harus percaya? Minggir deh! Gue mau tanya langsung aja sama Altra.”

Ketika aku akan melewati samping kiri Dimas, cowok itu malah bergeser. Dari jauh kulihat, Altra hanya memandang kondisi kami bingung. Tetapi entah kenapa cowok itu tidak sampai mendekat.

“Elo punya telinga gak sih? Minggir gue bilang! Atau elo mau rasain jurus gue?”

“Silahkan saja. Walaupun saya sampai pingsan di sini, orang yang disalahin itu Kakak.”

Aku menarik napasku dalam-dalam. Menetralkam bom nuklir yang sudah siap meledak.

Berurusan dengan bocah memang sesulit ini ya? Apalagi aku yang mudah sekali meledak kala emosi. Sehingga hal seperti ini menjadi ujian terberatku.

“Terus elo mau apa?”

“Kakak pulang. Jangan ngajak main Altra lagi.”

“Kok elo gak percaya banget sih sama gue?”

“Saya cuma mau ngelindungin temen saya.”

“Emang gue apa? Setan?”

“Bahkan lebih dari itu, Kak.”

Tanganku sudah terkepal kuat. Mulut Dimas benar-benar harus dijahit rapat sekarang.

Jika tidak ada Altra yang mengamati kami, aku bersungguh-sungguh akan melepaskan godamanku pada Dimas. Namun lagi-lagi aku harus menghela napas. Menetralkan kembali emosiku yang mulai kalap.

“Gue gak tahu harus bilang apa sama elo, Dim. Gue mohon. Izinin gue jalan sama Altra.”

Nada suaraku merendah. Dan untuk pertama kalinya, aku memelas pada adik kelas demi seorang Altra.

Catat dan abadikan itu.

“Gue cuma mau balas budi sama dia. Gue janji. Gue bakal jagain dia. Gue gak bakalan apa-apain dia. Gue jamin dia bakalan sehat.”

“Dia siapa? Kalo mau ngomong yang jelas.”

Aku menggigit pipiku bagian dalam. Pertanda aku sudah mulai jengah dengan perbuatan semena-mena Dimas yang dilakukannya padaku.

Tuhan! Ujian apa lagi ini?

Aku meniup poniku dan menutup mataku. Berusaha agar suaraku melembut. Bukan teriakkan membabi buta yang keluar.

“Dimas, gue janji. Gue bakal jagain Altra. Gue gak akan nyakitin Altra. Gue jamin Altra aman sama gue. Gue akan bawa pulang Altra sehat sentosa.”

“Kenapa saya harus percaya sama janji Kakak? Siapa tahu orang kaya kakak 'kan emang biasa mengumbar janji.”

Aku menahan napasku. Aku terkejut sekaligus emosi setengah mati. Manusia jenis Dimas sudah masuk ke dalam daftar orang calon mati dalam hidupku. Dengan seenak jidatnya, Dimas malah memanfaatkan kelemahanku.

Aku ingin berteriak.

Aku ingin menjambaknya.

Aku ingin menendang selangkangannya.

Aku ingin membawanya masuk rumah sakit.

Aku ingin dia nggak sekolah selama sebulan.

Semua imaji buruk terus berdatangan memenuhi sel otakku. Aku coba tepis dengan malaikat yang ada di dalam hatiku. Dengan satu kalimat yang ampuh.

Dia teman Altra.

“Gue jaminannya. Kalo ada apa-apa sama Altra, elo bisa minta apapun sama gue. Dan asal lo tahu, gue pertama kali janji kaya gini sama orang.”

Aku melihat Dimas sempat tertegun. Hingga akhirnya dia mengangguk dan memberi jalan untukku. Aku tidak tahu apa yang Dimas pikirkan mengenai ucapanku. Karena cowok itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Yang terpenting sekarang aku bisa membalas budi untuk Altra.

Suara jeritan orang-orang yang sedang menaiki wahana membuatku terlempar kembali ke bumi. Membuat khayalanku soal usaha mendapat izin Dimas, terpecah kembali menjadi kepingan ingatan.

Suasana di tempat hiburan ini tidak terlalu ramai. Beruntung aku datang ketika weekday, jadi orang-orang tak terlalu banyak berkunjung.

Binaran mata Altra tertangkap oleh ekor mataku. Wajahnya begitu terlihat sedang terkagum-kagum. Membuatku terkekeh geli.

“Elo baru pertama ke sini?”
Altra menatapku sekilas kemudian kembali menyapukan pandangannya ke seluruh area.

“Ini bagus. Altra baru lihat. Tempatnya keren.”

Cowok itu tiba-tiba memberenggut dan menutup kedua telinganya. “Tapi berisik,” Altra mencebik seperti anak kecil.

Tak sedikit orang yang memperhatikan kami aneh. Kadang juga ada beberapa cibiran yang tertangkap oleh gendang telingaku. Aku mencoba beberapa kali mengenyahkan pikiran untuk membantai manusia-manusia itu. Karena aku tidak ingin merusak hari dimana kebahagiaan Altra baru kulihat.

“Elo mau naik apa?” Aku menarik tangan Altra untuk menyadarkan cowok itu tersadar dari kekagumannya. Sekaligus membawanya mulai berkeliling menikmati tempat hiburan ini.

Altra tidak menyadari kalau mulutnya tak henti-henti mengucapkan pujian. Bahkan pertanyaanku saja tidak digubrisnya. Memang ya namanya cowok. Mau seaneh apapun, kalau sudah ketemu kesukaannya, pasti bakalan lupa dunia.

“Elo mau naiiiikkkk apaaaaa?” Aku sengaja mendekatkan mulutku ke telinga Altra. Cowok itu bergidik geli menggelengkan kepalanya.

“Ih Alia geliiii…” Altra mengusap telinganya. Membuatku tergelak tertawa melihat wajah lucu Altra yang sedang kegelian. Sungguh, hari ini aku merasa ingin tersenyum terus.

Melihat Altra bahagia dengan wajah naifnya, membuatku ingin berlama-lama dalam situasi ini. Bahkan aku sempat berharap agar hari esok tak pernah terjadi. Altra berhasil merenggut semua pikiranku.

Suaranya, senyumannya, keluguannya dan wajahnya membuatku sedikit tak rela bila harus berkedip.

Apa rasa simpati zaman sekarang sudah sampai pada perasaan seperti itu? Ya mungkin. Karena hal itu yang terjadi padaku saat ini. Perasaan ini hanya perasaan simpati.

Perasaan dimana kamu tidak rela melihat orang di sekitarmu bersedih hati. Ya aku yakin. Aku hanya bersimpati pada Altra.

“Altra mau main ituu!” Altra menunjuk sebuah permainan yang berhasil membuatku meneguk ludahku sendiri.

Langkahku terhenti dan lututku seketika merasa lemas. Perutku terasa dikocok-kocok tatkala orang-orang yang menaiki wahana itu dibanting-banting begitu ekstrimnya. Seolah tak memperhatikan perikemanusiaan yang ada.

Wajahku terasa memucat. Teriakkan orang-orang yang menikmati arena tersebut mendominasi otakku. Setiap teriakkan dari mereka semakin mencekikku.

Aku terlalu lebay? Aku takut ketinggian. Dan permainan itu dengan mudahnya membanting orang dari atas lalu ke bawah. Terus begitu berulang kali. Membuat jantungku hampir saja terhenti.

“Alia gak mau naik?” Aku lantas menoleh. Altra dengan mata nanarnya membuatku merasa bersalah.

Aku tidak tega harus mengecewakan Altra. Tapi aku juga takut dengan permainan itu. Lagian Altra itu 'kan cowok idiot. Kenapa cowok jenis Altra malah menyukai hal-hal yang berbau ekstrim? Padahal awalnya aku pikir, Altra akan memilih permainan yang menye-menye untuk anak kecil.

Tapi kalau ini bukan permainan anak kecil namanya. Ini sih permainan untuk anak yang terlampau dewasa.

“Elo yakin?” tanyaku pelan. Dan sesuai dugaanku, Altra malah mengangguk antusias. Seolah pertanyaanku tadi berubah menjadi, “Altra mau permen?"

“Iya. Altra penasaran sama permainan ini. Altra kaya yang pernah lihat.”

“Elo liat di TV? TV tuh cuma bohongin doang. Permainan ini serem banget.”

Aku mencoba membujuk agar Altra mau mendengar ucapanku. Tetapi kukira usaha kali ini akan gagal lagi. Seperti saat aku membohongi dia soal masuk OSIS.

“Enggak. Altra liat langsung dan kaya pernah naikkin itu dulu. Tapi Altra lupa kapan. Pokoknya yang Altra inget, naik itu bikin Altra deg-degan.”

“Elo pernah naik? Kapan?” Aku bertanya dengan penuh penasaran.

Altra pernah mencobanya? Kukira dia baru pertama kali masuk ke tempat seperti ini.

“Gak tahu, Altra lupa. Pas Altra tanya mamah, kata mamah Altra jarang main.”

Aku mengangguk paham. Lantas tak terlalu memikirkannya dalam-dalam. Kupikir, itu hanya terbawa sugesti dari film yang ia tonton dan menjadikannya terasa nyata. Apalagi manusia sejenis Altra. Pasti mudah sekali untuk berimajinasi.

“Yaudah yuk!”

Aku melotot tapi tak juga menolak tarikkan tangan Altra. Kukira cowok itu bakalan lupa dengan tujuannya. Namun kurasa pikiranku salah.

Dengan semangatnya, Altra menarikku. Berlainan denganku yang sudah mengembuskan napas pasrah.

Sepasrah-pasrahnya.

Dan aku pun mulai menjalani hariku sesuai dengan kemauan Altra. Karena yang terpenting cowok cupu itu bahagia hari ini.

**

“HUEKKKKK.”

Aku berusaha mengeluarkan semua isi perutku ke dalam wastafel. Perutku mual minta ampun. Seakan semua makanan serta usus-ususnya ingin dikeluarkan lewat mulutku.

Altra berhasil membuatku kalap seperti ini. Cowok itu mengajakku ke hampir seluruh arena ekstrim yang ada di tempat ini. Apalagi rollescoster yang katanya salah satu tercepat di Asia ada di sini. Membuatku ingin bunuh diri ketika Altra berhasil membuatku menurut.

Dan yang membuatku merasa tak adil, Altra masih bisa senyum-senyum bahagia!

Catat itu!

Altra yang idiot suka permainan ekstrim tak berperikemanusiaan!

Setelah ini, aku benar-benar kapok. Aku bersumpah, tidak akan mengajak Altra pada tempat seperti ini. Sudah cukup sekali dalam seumur hidupku.

“Alia gapapa?” Suara Altra terdengar dari luar.

Aku mendengus kesal. Kalau saja Altra bukan cowok cupu, aku sudah melemparnya ketika bermain -ah tidak, tapi disiksa oleh rollercoster tadi. Dan namanya akan tinggal kenangan di benakku. Beruntung hidup Altra selamat sekarang.

Aku memutar knop pintu toilet dan melihat wajah Altra yang begitu khawatir.

“Alia sakit?” Dalam gerakkan kaku, sekonyong-sekonyong tangan Altra menyentuh pipiku. Ia menatapku lekat-lekat. Membuatku tenggelam ke dalam kedua mata Altra. Setiap detik seolah menenggelamkanku dari dunia nyata. Membawaku ke dalam suatu ruang hampa yang hanya ada aku dan Altra saja.

Tangan Altra mengusap pipiku pelan. Hingga akhirnya usapan itu hilang. Membuatku terpaksa harus terperosok kembali ke dunia nyata.

“Maafin Altra.” Altra menunduk di depanku ketika aku masih mengumpulkan kepingan kesadaranku.

Aku baru sadar. Selama Altra menyentuh pipiku, napasku tertahan. Dan sekarang aku baru saja mengembuskan napasku kasar. Ritmenya pun menjadi cepat, seakan aku baru saja berlari sprint.

“Altra gak tahu, Alia takut.”

Aku mengulang ucapan Altra barusan di dalam otakku.

Alia takut.

Itu sebuah sindiran halus. Ucapan yang selalu aku benci karena sama saja menyindir kekuranganku sendiri. Dan aku akan selalu dan pasti menyakiti manusia yang mengatakan sejenis kalimat yang Altra ucapkan tadi.

Namun lagi-lagi dan untuk pertama kalinya, aku merasa tak membenci itu. Justru, kata-kata Altra hanya menjadi buaian angin semata di telingaku. Alias tak berefek samping apa-apa pada suasana hatiku.

Aku mengangkat kedua ujung bibirku yang kurasa pucat. Kepalaku masih terasa pusing, namun segera kutepis sebelum dicurigai Altra. Aku beranikan diri menyentuh pundaknya. Cowok itu mengangkat kepalanya pelan.

“Gue gapapa kok. Gue justru makasih udah kasih pengalaman yang gak bisa gue lupakan hari ini.”

Tubuh Altra terlihat mengeras. Wajahnya tak berekspresi apapun. Aku tidak tahu apa yang sedang dirasakan olehnya. Aku hanya mau agar Altra tak merasa bersalah sedikitpun. Sungguh, aku tidak ingin membuat Altra sedih atau ketakutan.

“Walaupun Alia bilang gitu, Altra tetep gak mau ajakkin main itu lagi.”

Altra menggerutu seperti anak kecil yang marah terhadap mainannya. Membuat perasaanku lebih lega.

“Altra jadi gak suka main-main itu lagi kalau cuma bikin Alia sakit kaya sekarang.”

Lagi.

Entah sudah berapa kali, Altra mengucapkan jenis kalimat itu. Jenis kalimat yang selalu membuatku menjadi perempuan yang paling dihargai. Aku senang jika tidak dianggap perempuan. Maksudku, tidak ada perbedaan perlakuan ketika aku disandingkan dengan para lelaki.

Tetapi jika aku diberikan kata-kata yang begitu manis, membuat kebahagiaanku lebih berlipat-lipat lagi.

Andre sering memperlakukanku seperti perempuan. Namun kesannya tak pernah bisa semanis yang dilakukan Altra.

Logat Altra yang polos dan begitu tulus, membuatku lebih bahagia.

Sedangkan Andre.

Dia cowok yang sering kutemukan di luaran. Cowok jenis dia selalu bertemu cinta yang lain. Dan pasti akan melakukan hal-hal manis lagi pada cewek lain. Membuatku merasa biasa saja jika bersama Andre.

**

Aku dan Altra sama-sama berjalan dengan tawa yang tersemat di wajah kami. Altra begitu antusiasnya menceritakan pengalamannya selama di wahana permainan tadi.

Kadang cowok itu mendadak senang lalu sedih dan menggerutu. Khas seperti anak kecil yang mudah dihancurkan moodnya.

Aku hanya mengangguk seraya menanggapi cerita panjang Altra.

“Altra seneng banget. Ternyata main tadi bikin deg-degan. Altra sampai mau main dua kali. Tapi Altra gak mau Alia sakit. Altra janji. Altra gak akan main itu lagi. Kalo Altra mau, Alia jangan ikut. Biarin Altra sendiri. Atau kalau Alia mau ikut Altra, Alia harus tutup mata. Jadi Alia gak sakit lagi.”

Altra menutup pidato panjangnya dengan cengiran khas milik Altra. Membuatku harus tertawa kecil mendengar cerocosannya. Aku sudah seperti ibu saja yang mendengar curhatan anaknya. Lama-lama aku bisa awet muda kalau bersama Altra karena banyak tertawa.

Hingga akhirnya kami pun sampai di luar gedung. Tetapi pemandangan di depan membuat kami berhenti melangkah. Aku sendiri benar-benar bencinya.

Gedung yang tak bisa ditembus oleh suara dari luar, membuatku tidak tahu-menahu kalau saat ini hujan.

Tubuhku memaku sambil melihat rinai yang saling belomba untuk mencapai tanah itu. Suaranya yang menabrak tanah, membuatku muak. Bau petrichor yang menyeruak ke dalam indraku, membuatku mau tak mau mengingatkanku pada hujan ketujuh dahulu.

Jikalau hujan yang membuatnya adalah seorang pawang, sudah pasti selama empat tahun ini tidak akan hujan. Karena pawangnya akan kubuat tergeletak di rumah sakit.

Jikalau hujan sedang dibutuhkan, takkan kubiarkan hujan berderai di siang hari. Akan kupastikan, hujan akan turun ketika aku tidak sadari diri alias ketika aku tidur di malam hari.

Dan ini pertama kalinya lagi aku melihat hujan di depan mataku. Yang berarti ini adalah sudah menjadi hujan kedelapan.

Padahal sejak saat itu, untuk mendengar hujan pun aku tak pernah sudi lagi. Karena hanya mengingatkanku pada sosok dia.

"Loe gak bawa payung?"

Suara itu masih tersimpan apik di salah satu sel ingatanku. Namun, mendengarnya di saat hujan seperti ini ada sesak yang menyeruak ke dalam seluruh rongga dadaku.

Aku tersenyum pahit. Ternyata perasaannya masih sama. Sama-sama begitu menyakitkan.

Apa dunia sedang mempermainkan perasaanku melalui fenomenanya? Kalau iya, apa yang lucu dari kisahku?

Baru pertama kali bertemu dan langsung jatuh cinta. Belum tahu namanya, aku langsung ditinggal pergi. Kejam bukan?

“Altra suka hujan.”

Satu kalimat itu berhasil tertangkap oleh saraf pendengaranku. Membuatku harus menoleh pada sang sumber suara.

“Altra seneng kalau udah hujan. Gak tahu kenapa.” Altra kemudian menoleh padaku. “Alia juga seneng hujan, 'kan?”

Aku tersenyum tipis dan menatap hujan kembali. “Gue benci hujan. Gue marah denger suaranya. Gue mual nyium bau hujan. Sakit rasanya, Al.”

“Alia sakit apa?” Altra berdiri di depanku. Wajahnya begitu khawatir melihatku.
Lantas aku menepuk dadaku seraya tersenyum miris. “Di sini, Al sakitnya.”

Oke, aku mulai berlebihan. Aku mulai berhiperbola dengan kesakitanku. Tapi beginilah aku. Aku juga perempuan. Dengan sejuta masa lalu yang tak pernah ingin kuumbar. Sekalinya sudah keluar, membuatku tak bisa berhenti untuk berujar.

“Elo tau sakit yang gak berdarah? Elo tau sakit yang gak ada wujudnya? Itu sakit banget, Al. Obatnya cuma satu. Ketemu sama orang yang nyebabin sakit ini.”

Aku menunduk. Tangisku pecah. Deretan bulir air mata meluncur di pipiku. Dan ini tangisku ke delapan. Tangis yang kulakukan di depan hujan. Sekaligus hujan kedelapan yang bisa mengingatkanku kalau aku tak bisa menemukan dia.

Kenapa hujan harus mempertemukanku?

Kenapa hujan malah seperti meledek takdirku?

Apa yag seru?

Apa yang lucu?

Kenapa dunia seakan berbahagia dengan drama hidupku?

Tiba-tiba, tubuhku ditarik ke dalam dekapan Altra. Dengan gerakan kakunya, Altra membawaku ke dalam pelukannya. Tangannya naik-turun di punggungku. Membuatku semakin ingin menumpahkan seluruh tangisanku di dadanya.

“Alia boleh nangis sekarang. Tapi nanti jangan. Altra juga mau nangis jadinya. Tapi Altra tahan. Altra gak mau nanti Alia tambah nangis.”

Aku tak peduli ucapan Altra. Aku menangis dengan isakkan merayakannya. Aku tak peduli seragam Altra yang basah. Aku tak peduli orang-orang yang ramai mencibir keadaanku. Aku hanya perlu tempat pulang. Aku hanya perlu kebenaran.

Ya kebenaran!

Dia dimana?

Dia siapa?

Apa dia masih hidup?

Apa dia mengingatku?

Apa dia melupakanku?

Aku ingin kebenaran itu.

Aku ingin kejelasan dari semua pertanyaan di otakku. Aku tidak ingin terus-menerus menjadi manusia tanpa peta. Pergi ke tujuan namun tak ada arah.

Aku ingin menemukan dia.

Tapi apa yang bisa kulakukan?
Menanyakan hujan? Hujan saja bisu dan tuli.

Apa lagi yang harus kuharapkan?

**

Tangisku mereda setelah setengah jam kemudian. Hanya isakkan-isakkan kecil yang masih menyerangku. Aku dan Altra duduk di bawah dengan lutut tertekuk sambil menatap hujan. Pandanganku kosong. Aku tidak ingin berlama-lama di depan hujan.

Karena apapun yang berhubungan dengan hujan, tak bisa membuat perasaanku membaik. Justru malah membuatku terbawa pada keadaan empat tahun lalu. Dimana aku seperti manusia bodoh yang menunggu orang asing.

Aku lantas berdiri. Dan dari ekor mataku, Altra sedikit tersentak dan akhirnya megikutiku.

“Gue mau pulang.”

“Tapi masih hujan, Alia.”

Aku menoleh pada Altra lalu pada hujan kembali. Antara memaksakan diri untuk menerobos hujan atau tetap berdiam diri.

Salahkan tempat parkir yang berada di luar gedung. Dan salahkan kami yang memang tidak membawa payung. Tetapi tersangka utamanya adalah hujan yang berhasil memasung kami untuk berdiam di sini.

“Gue gak suka hujan, Altra.”

“Yaudah kita masuk lagi aja.”

Aku melirik jam tanganku. Sudah jam lima sore. Ini sudah terlalu lama waktuku untuk bermain di luar bersama Altra.

“Elo udah ngabarin mamah elo kalo kita pulang sore?”

Altra menggeleng membuatku membelalakan mata selebar mungkin.

“Elo bego atau apa sih?!”

Satu bentakkan keras keluar dari mulutku. Melawan suara derasnya hujan dan juga membuat Altra berhasil gemetaran.

Terbesit rasa bersalah menyelinap masuk ke dalam hatiku. Aku mengigit kuku tanganku pertanda aku sedang berpikir keras. Menimbang dan berdebat dengan berbagai argumen di dalam otakku.

Jika aku bertahan, hari malah semakin larut. Apalagi besok masih ada jadwal sekolah. Jika aku memaksa menerobos, hari memang tidak akan terlalu sore. Tapi aku dan Altra harus rela basah-basahan karena hujan sialan ini.

“Elo gapapa kalo hujanan bentar?”

Suaraku dilembutkan kembali. Altra yang tadi menunduk mengangkat kepalanya kembali.

“Kalo biar Alia gak marah kaya tadi, Altra gapapa kok kehujanan.”

Rupanya Altra masih begitu ketakutan jika aku marah padanya. Padahal bukan maksudku membentaknya. Aku hanya khawatir.

Bagaimana kalau orangtua Altra sekarang begitu cemas dengan anaknya?

Apalagi anak seperti Altra. Tidak akan ada orangtua yang membiarkan anak yang memiliki penyakit dibebaskan begitu saja ke dunia luar.

Akhirnya otakku memilih opsi kedua. Lagian Altra pun tampaknya tak keberatan. Risikonya pun begitu kecil. Hanya baju seragam saja yang basah. Justru kalau pulang kemalamam, akibatnya semakin besar.

“Yaudah kita lari dalam hitungan 3. Elo setuju?”

Tidak ada jawaban. Altra menatap ragu hujan dan wajahku. Seola menimbang antara memilih hidup atau mati

Cowok itu kemudian meraih tangan kananku dan digenggam olehnya. Altra kemudian mengangguk.
Aku mengulas senyum.

Lantas setelah aba-aba dariku, kami berdua pun langsung bergegas pergi ke tempat parkir.

Cipratan air serta tabrakan air hujan, tak dipedulikan oleh kami. Tanganku dan tangan Altra masih saling menggenggam. Aku tersenyum di sela hujan yang mengeroyok wajahku. Perasaan aneh menjalar di tubuhku. Membuat darahku berdesir begitu menyenangkan.

Aku terus menerobos hujan dengan Altra yang sengaja kutuntun di belakang. Cowok itu tak bersuara sedikitpun. Tetapi langkahnya yang bisa kudengar serta tangannya yang masih ada di jemariku, bisa membuatku lega kalau cowok itu baik-baik saja.

Dan pertama kalinya lagi dalam hidupku, ketika aku bersama Altra, aku sedikit bahagia di tengah hujan.

***

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro