Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Diskriminatif

Waktu istirahat di SMA Bhakti ramai seperti biasa. Suara cewek bergosip, suara cabe-cabean curhat atau suara cowok main bola. Itu ciri khas sekolahku yang setiap hari bisa kuamati.

Tetapi, akan selalu berbeda ketika mereka mencium keberadaanku. Apalagi dengan hawa membunuhku seperti saat ini.

Sejak aku berjalan di koridor, semua orang langsung menjaga jarak denganku. Bukan salah mereka yang aneh, hanya moodku saja yang tak bagus kali ini.

Kedua tanganku mengepal dengan wajah sangar seperti ingin mencabut nyawa seseorang. Dan mungkin –ah ralat, itu pasti alasan mereka manatapku ketakutan. Seolah melihat seonggok alien yang akan memusnahkan bumi.

Sudah cukup dengan majas hiperbolanya.

Aku memang kesal setengah mati. Ayu si jalang kelas, membuat acara ‘main-main’ku kacau. Padahal aku ingin melihat wajah Raisa yang tersiram air selokan karena kemarin sempat melihatku tajam. Dengan wajah sarkastiknya, Ayu memberitahu, “Elo dipanggil Bu Sari, Al. Gak pake lama.”

Aku tadinya ingin menjambak rambut panjang Ayu yang sepertinya dirawat habis-habisan oleh cewek itu. Tapi aku masih punya otak. Tidak ingin terlihat menjadi cewek sensitif; yang karena dijutekkin saja sudah emosi.

Aku sudah tahu alasan Bu Sari memanggilku kali ini. Guru Matematika itu seperti punya dendam masa lalu padaku. Setiap di kelas, beliau memintaku atau mungkin lebih detailnya beliau memaksaku untuk mengerjakan soal di papan tulis.

Dengan tidak tahu malunya, aku hanya menuliskan curhatan menyedihkanku setelah lambang sama dengan.

Seperti:

Bu, saya bingung

Bu, saya pusing

Gak ada jawabannya, Bu

Pass!

Tetapi anehnya, Bu Sari tetap tak pernah absen untuk menyuruhku ke depan. Ditambah pelayanan ceramah nonstop selama setengah jam.

“Kamu hebat sekali, Altra. Kalau ibu bisa, ibu langsung naikkin kamu ke kelas sebelas.”

Suara logat batak yang khas tertangkap oleh telingaku ketika mulai memijakkan kaki ke ruang guru.

Tak ada basa-basi salam. Langsung saja aku melenggang masuk ke meja Bu Sari.

Sepertinya beliau sibuk berbicara dengan salah satu siswa. Tapi aku tidak ingin menunggunya untuk selesai bicara. Waktuku terlalu berharga hanya untuk mendengar suara Bu Sari.

“Ada apa Bu manggil saya?”

Bu Sari menatapku tak suka. Jelas saja dia kesal. Aku tiba-tiba saja memotong ucapannya. Tanpa ada sapaan manis sebagai pembukaannya.

Dan kulihat Bu Sari sudah terbiasa dengan perbuatanku. Ia menghela napas pasrah sambil menatapku.

“Ibu lihat nilai-nilai kamu belum diperbaiki yang kelas 10, Alia. Kenapa?”

Emosiku sudah mau meledak ketika mendengar manusia di bumi ini menyebut nama perempuanku. Namun cepat-cepat kuingat. Kalau Bu Sari adalah salah satu guru yang punya kuasa penuh untuk meluluskanku dari sekolah biadab ini.

“Saya gak ngerti hitung-hitungan, Bu. Ibu juga 'kan ngerti, saya paling gak bisa liat angka.”

“Kalau kamu belajar lebih giat, kamu pasti bisa, Alia.”

“Ibu juga harusnya tau 'kan kalau kadar kepintaran orang-orang itu beda-beda.”

“Kamu juga harus tahu Alia, kepintaran itu bukan sudah ada dari lahir, tapi tergantung usaha kamu selama ini.”

Aku dibuat bungkam oleh argumen Bu Sari. Harusnya aku bawa Iqbal saja tadi. Siapa tahu salah satu analogi yang ia baca dari bukunya bisa mengalahkan pendapat Bu Sari.

“Terus saya harus apa?” tanyaku akhirnya mengalah. Bu Sari tersenyum puas melihatku yang terlihat menyerah sekarang.

Manusia lain yang ada di sampingku ini hanya diam. Tidak ada suara sedikitpun yang menandakan adanya kehidupan. Membuatku penasaran saja. Apa manusia di sampingku ini masih bernapas?

“Kamu harus perbaiki nilai kamu. Kalau sebulan ke depan tetap tidak bisa, ibu akan menurunkanmu kembali ke kelas sepuluh.”

Aku menganga lebar mendengar doktrin dari Bu Sari. Aku tak bisa terima. Aku jurusan Bahasa, tetapi kenapa masih saja dituntut bisa Matematika?

Kampret 'kan tuh guru. Durhaka-durhaka nih mulut. Yang jelas aku tak peduli. Aku harus menuntut keadilan di sini.

“Gak bisa gitu juga kali, Bu. Usaha saya sia-sia dong setahun lalu. Ibu pikir gak gampang apa sekolah di sini?”

“Itu terserah kamu. Lagian apa usaha kamu yang patut kamu banggakan hm? Kadang tidur di kelas. Atau dihukum juga kamu malah ke kantin. Apa itu disebut usaha?”

Aku menelan ludahku. Aku dibuat tak berkutik lagi. Beliau guru Matematika, tapi diksinya seperti guru BK saja. Aku ingin melawan lagi, tapi aku segera sadar diri. Mendengar idealis guru selalu benar, membuatku diam seribu bahasa.

“Sekarang ibu bakalan kasih tutor. Ibu yakin dia bisa ngajarin kamu. Walau dia kelas sepuluh, tapi nilai matematikanya lebih baik daripada kamu yang kelas sebelas, Alia.”

Aku terperangah mendengar saran Bu Sari. Harga diriku tercabik sudah. Mendengar tutorku yang kelas sepuluh, gelar sebagai penguasa SMA Bhakti terasa sia-sia.

“Gak ada tutor lagi gitu, Bu? Andre misalnya?”

Aku berharap Bu Sari mengiyakan permohonanku ini. Andre memang jenius. Walau ketua OSIS, dia selalu mendapat ranking satu di kelas. Tetapi melihat gelengan Bu Sari, membuatku berhenti berharap.

“Andre sibuk. Apalagi dia ketua OSIS. Pokoknya kamu pilih saja. Belajar sama tutor kamu atau kembali ke kelas sepuluh?”

Sial! Baru saja sebulan masuk jadi kelas sebelas, aku sudah diancam disepak dengan cara tragis.

Bu Sari memang guru yang… asdfdgkjgflk!!!!

“Yaudah Bu, siapa yang jadi tutor saya?”

Aku bertanya setelah menghela napasku pasrah. Bu Sari menunjuk manusia yang ada di sampingku dengan dagunya.

Aku pun menoleh dengan malas. Setelah tak ada yang menarik, aku ingin protes. Tapi mataku kembali menyorot cowok yang sekarang menunduk itu.

Nanti deh… kok kaya yang pernah lihat?

Dandanan cupu, kacamata gede, terus celananya yang terlalu offside ke atas membuatku sedikit mengenal siapa cowok idiot itu.

Omaigat! Kampret lagi! Dia 'kan cowok yang kemarin aku bentak!

Sial! Semesta terlalu cerdas mempermainkan hidup manusia. Peribahasa kalau dunia tak selebar daun kelor memang benar adanya.

“Kok dia sih, Bu?”

Jelas aku tak bisa terima keputusan Bu Sari. Selain aku yang tidak ingin menemui si cupu dengan sejuta kenangan yang masih nangkring di otakku, aku juga tidak ingin turun derajat. Dari penguasa menjadi pengasuh si cupu. Dan ketika mereka tahu kalau ternyata si cupu tutorku? Bisa-bisa tampang sangarku akan terlihat menjadi unyu-unyu.

“Altra itu pintar, Al. Ibu kemarin iseng ngasih soal matematika kelas dua. Dan Altra satu-satunya yang lulus dengan nilai sempurna.”

Aku setengah tak percaya. Berbagai macam perasaan bercampur aduk menjadi satu reaksi yang membuat mulutku tak bisa ditutup.

Pertama, aku ingin menyumpal mulut Bu Sari yang seenak jidat kalau ngasih soal itu sekadar iseng. Apa dia nggak mikir? Ngerjain soal Matematika itu serasa mempertaruhkan hidup dan mati!

Kedua, cowok idiot itu bisa mengerjakan semua soal kelas dua? Itu pasti hasil manipulasi.
Nggak mungkin 'kan seorang manusia yang dilihat dari mentalnya saja tak normal bisa mengerjakan soal Matematika yang selalu membuatku mual?

“Ibu percaya? Siapa tau dia curang.”

Aku melihat cowok yang di sampingku itu gemetaran. Dahinya sudah dipenuhi keringat sebesar biji jagung. Bahkan ada yang sudah membentuk garis vertikal di pelipisnya. Sudah kupastikan itu adalah keringat dingin. Karena ruang guru sudah diberi AC. Jadi tidak mungkin kepanasan. Kecuali cowok itu memang benar-benar tak normal.

“Ibu sudah mengetesnya lagi tadi. Dan dia memang benar mengerjakan soal matematika itu sendiri.”

Aku salah tingkah. Merasa ingin bunuh diri sekarang juga ketika mendengar argumenku ditaklukan untuk kesekian kalinya.

Tidak ada pilihan lain. Cuma sebulan ini, 'kan? Daripada aku harus berpisah dengan kelima sahabatku, mending aku menaati permintaan Bu Sari. Siapa tahu ini adalah permintaan terakhirnya.

“Yaudah deh, Bu. Saya mau.”
Bu Sari semakin merekahkan bibirnya yang menor karena lipstick merah.

“Kalau kamu setuju dan Altra juga sepertinya tak keberatan, ibu jadwalkan hari Selasa dan Jum’at. Ibu akan mengontrol kegiatan kalian, agar salah satu dari kalian tidak bermacam-macam.”

Bilang saja ucapan terakhir itu spesial teruntuk Alia Adhitama. Tidak mungkin anak cupu di sampingku ini memberontak. Kecuali kalau sudah mau kiamat. Dimana semua hal wajar menjadi kebalikan dari semestinya.

Aku tahu guru jenis Bu Sari tak bisa dibantah. Apa dia tidak peka? Cowok yang disampingku ini sudah meremas tangannya di bawah. Lama-lama aku kasihan melihatnya. Bu Sari memang sangar, tapi apa ia sebegitu takutnya dengan guru itu?

“Udah 'kan, Bu? Saya ke kelas dulu. Sibuk.”

Ketika Bu Sari selesai mengangguk, aku bergegas pergi meninggalkan ruang guru.

Perasaanku tak bisa terdefinisi oleh semua jutaan kata di bumi.

Oke, aku terdengar lebay. Tapi sungguh! Bu Sari membuat moodku berantakan kali ini.
Aku merogoh ponselku dari saku dan mencari ruang obrolan grup di LINEku.

Enam kacung (6 orang)

Al : Kmpret emang Bu Sari! Gue diancam diturunin ke kelas sepuluh coba!😡😡

Iqbal Aziz: Ya bagus dong. Nanti lo bisa manggil kita kakak😂😂

Al : Kampret lo! Gak ada gue, baru kesepian deh lo!😠😠

Malik Ganteng: Wah nanti gue gak punya partner lagi nyanyi😢

Zaki Al Fahrezi: Makanya belajar! Nyari maslajs aja lo!😝

Zaki Al Fahrezi: *madalk

Zaki Al Fahrezi: keypad laknat😒

Al : makanya, kalo ngetik jangan sambil nungging!😂

Zaki : Sial lo!😒

Aku kembali memasukkan ponselku ke saku. Sambil menyisakan senyum karena habis membaca chat para sahabatku.

Aku memang tidak sekelas dengan semuanya. Di kelas, aku hanya bersama Andre dan Iqbal.
Kalau Dicky dan Zaki sekelas tapi mereka jurusan IPA. Dan nasib Malik memang tak seberuntung kami. Dia di kelas sendiri dengan tingkat 'kewarasan' berada di bawah daripada teman-temannya yang lebih waras. Tapi anehnya dia jurusan IPA. Nggak tahu deh waktu tes, dia pakai otak siapa.

Kenapa kita bisa sedekat sekarang? Alasannya panjang. Aku tidak tahu apakah satu buku bisa tuntas atau masih butuh banyak season untuk menceritakannya.

Yang jelas, kami bertemu dengan ketidaksengajaan. Aku satu-satunya cewek sangar di sekolah. Karena sisanya cabe-cabean. Atau paling banter cuma seorang kutu buku yang irit ngomong.

Aku punya sabuk hitam karate yang membuat penghuni sekolah tak berani menatapku. Sejak masuk SMA, aku memang biang onar. Ketua MOS saja pernah kubuat masuk UKS. Karena hidungnya yang patah karena godamanku. Jelas saja aku marah. Gara-gara aku tak mengucir rambutku dengan pita merah muda, dia menghukumku lari lapangan lima kali.

Kampret emang tuh kakak kelas.

Dan sejak itu, orang-orang segan beriringan denganku. Apalagi kaum laki-laki yang harus berpikir dua kali untuk membuatku luluh. Tapi lima sahabatku memang berhasil masuk ke dalam ruang lingkupku.

Salahkan saja otak mereka yang aneh-aneh hingga membuatku nyaman dengan mereka. Kalau Andre? Dia memang laki-laki normal daripada sahabatku yang lainnya. Kenapa bisa kenal? Dia ketua OSIS yang berani menghukumku walau aku sudah memberinya beribu ancaman masuk kuburan. Karena hal itu, entah sejak kapan kami menjadi sahabat seperti sekarang.

**

“Gue pesen biasa aja deh!” jawabku pada pelayan cewek yang menghampiri meja kami.

Sekarang aku dan kelima sahabatku ada di ruangan VIP kafe milik Malik. Cowok itu walaupun otaknya rada gesrek dan suka ngadain konser gala, dia punya kafe yang namain kafenya cafefet. Atau kalau di Indonesia-in namanya kepepet.

Aku sudah tidak aneh dengan nama aneh yang Malik beri pada kafenya ini. Katanya, dia mau kafe miliknya itu menjadi tempat kepepet pertama kalau orang-orang lapar. Kafenya permberian orangtua Malik yang tajir gila. Dan Malik tinggal meneruskannya.

Acap kali, Malik menyalurkan bakat menyanyi dangdutnya di panggung kecil milik kafe ini. Katanya sih siapa tahu ada produser mabuk miras oplosan yang memberi kontrak menyanyi di menagementnya.

Benar-benar Malik banget!

“Gue denger dari yang lain, katanya lo ditutorin sama anak kelas sepuluh ya?” tanya Andre setelah bermain dengan ponselnya.

Cowok itu memang tidak sempat bertanya padaku di kelas. Jelas saja, tugasnya sebagai ketua OSIS tak mudah untuk ditinggalkan.

“Iya nih! Bete gue!” Aku memangku tanganku sambil menyenderkan punggungku ke sofa yang benar-benar empuk. Malik memang tahu selera anak muda. Apalagi yang lagi stress butuh kenyamanan.

“Emang siapa anaknya, Al?” tanya Dicky. Aku memutar malas mataku. Sebenarnya aku tak ingin menjawab. Tetapi kelima pasang mata yang sekarang menatapku benar-benar terlihat penasaran setengah mati.

“Lo pada inget gak sama cowok cupu yang beberapa hari lalu gue bentak?”

Andre dan Malik mengangguk. Tetapi sisanya masih memandangku bingung. Aku bisa simpulkan, ketiga sahabatku yang lain tidak punya daya ingat yang tinggi.

Tak lama, si Zaki berseru. “Gue tahu! Yang kacamata gede itu, 'kan?”

Aku mengangguk. “Nah, itu lah tutor gue.”

Seisi ruangan kecuali aku tentunya memanggut paham. Seperti mainan kucing yang biasanya ada di mobilku.

Lihat? Mereka tak langsung mencibir tutorku siapa. Kalau saja mereka cewek, pasti mereka akan menjerit-jerit histeris tak percaya.

“Dia ganteng lho, Al. Jangan sampe baper,” tegur Zaki membuatku berdecak tak suka.

What?! Ganteng?!

Sudah kuduga. Aku harusnya memesan kacamata tebal untuk Zaki.

Kalau sudah seperti ini aku sudah terdengar seperti cewek-cewek kebaperan. Kampret memang tuh cowok banci. Kalau bukan sahabatku, sudah pasti mulai sekarang dia punya riwayat masuk rumah sakit.

“Enggaklah. Cupu kaya gitu. Gak sudi gue.”

Iyalah, cewek cantik dan sangar sepertiku harus bersanding dengan manusia idiot itu?

Makasih angan-angannya!

Apalagi kalau urusan baper atau jatuh cinta. Hal itu adalah hal terakhir yang akan aku lakukan sebelum mati.

**

Aku mengetuk-ngetuk meja di depanku sembari menatap bengis makhluk yang sedang duduk di meja guru. Siapa lagi kalau bukan Bu Sari? Harusnya aku sudah curiga dari awal kenapa beliau meminta hari Selasa dan Jum’at. Karena kedua hari itu adalah hari dimana Bu Sari mengajar di kelasku.

Tiap detik di kelas semakin membuatku muak. Cowok cupu yang janjinya jadi tutorku memang sedikit terlambat. Sebab pelajaran kelas sepuluh lebih padat dibandingkan kelas sebelas.

Sepertinya aku harus menyiapkan banyak topeng tebal anti gengsi. Meski sekarang aku berdua dengan Bu Sari, tapi aku yakin, berita seorang Penguasa SMA Bhakti yang menjadi baby sitter si cupu akan menyebar seantero sekolah.

Dasar cewek! Aku yakin dari mulut mereka berita itu akan menyebar.

Tok tok tok

Suara ketukkan membuatku terlempar kembali ke realita. Seperti biasa cowok itu menunduk. Kepalanya tak diam di tempat. Malah seperti mencari sesuatu. Tipikal anak idiot dengan IQ rendah.

Tetapi anehnya kenapa nilai Matematika cowok itu tinggi daripada aku yang normal?

“Masuk Al.” Bu Sari berdiri dari singgahsananya dan membantu Altra untuk ke mejaku yang berada di barisan kedua dari depan.

Cowok yang bernama Altra itu duduk di depanku. Tangannya gemetaran seperti biasa. Dan matanya lagi-lagi tidak menatapku. Aku ingin menjambak rambut rapinya itu agar melihat mataku. Tapi kuingat kembali kalau di kelas ini ada manusia yang lebih jahanam daripada aku.

“Sekarang, kamu ajarkan Alia ya. Dari mulai Bab 1 dulu. Sistem belajarnya bagaimana kamu saja, yang penting Alia paham dengan penjelasan kamu.”

Altra terlihat kegelian karena mungkin mendengar ucapan Bu Sari yang dekat dengan telinganya.

Aku menatapnya tak percaya. Manusia idiot seperti Altra mengajariku hingga paham? Padahal aku dengar suaranya saja tak pernah.

Tapi bukankah mengajarkan sama saja seperti berbicara? Ah, aku jadi penasaran dengan suaranya.

“Ba-baik, Bu.”

Deg

Jantungku kontan berdetak dua kali lebih cepat. Hatiku seketika merasa terhenyak. Baru saja aku terpikir penasaran dengan suara Altra, sekarang tubuhku membeku. Suara yang sangat familier menghuni gendang telingaku.

Suara itu… tidak mungkin aku salah mendengarnya. Itu suara Altra. Suaranya persis dengan dia. Tapi realitas lagi-lagi menapik perasaan yang ada.

Altra jelas bukan dia. Altra itu cowok cupu yang kebetulan pintar matematika.

Aku mencoba mengendalikan perasaanku. Semenjak mendengar suara Altra pertama kali, membuat duniaku semakin ambigu.

Napasku kian menderu seirama dengan jantungku yang menggebu. Dan berkali-kali aku harus menghela napas diam-diam.

Setelah tenang, aku bertanya, “Elo yakin bisa ngajarin gue?” Altra mengangguk samar. Dia masih enggan menatapku. Apa dia terlalu takut karena aku akan membentaknya lagi? Apa dia tidak punya pikiran yang logis?

Aku tidak mungkin berteriak ketika ada Bu Sari satu ruangan denganku. Lagi pula aku bukan orang gila yang tiba-tiba emosi tanpa alasan.

“Jangan takut. Gue gak akan marah-marahin elo lagi. Jadi jangan takut. Buat semua ini mudah ya?” Aku memintanya secara halus.

Melihat kondisi Altra membuatku jadi tak enak hati. Apalagi keadaan cowok itu yang sakit mental. Sekalipun aku salah satu manusia yang ditakutkan di SMA Bhakti ini, aku masih punya hati nurani.

Altra terlihat lebih rileks, kepalanya perlahan terangkat. Membuat salah satu sudut hatiku lebih tenang. Tatapan kami bertabrakan. Aku hampir tenggelam dengan wajah Altra yang mengingatkanku pada seseorang lagi. Namun, segera kutepis.

Altra berbeda dengannya. Altra bukan hasil metamorfosis dari dia. Dan aku harus berkali-kali menancapkan fakta itu dalam otakku.

“Ki-kita mulai aja.”

Aku mengangguk yakin dan mulai mengambil pensilku. Mengenyahkan semua pikiran yang bisa saja mengganggu konsentrasiku. Dan membuat semua ini terasa cepat untuk satu bulan ke depan.

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro