Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bumbu Baru

Satu minggu.

Tujuh hari.

Tepat hingga hari ini, aku tidak bertemu Altra. Walau hanya untuk menyapa, menurutku itu adalah hal percuma.

Bukan aku yang tidak ingin menemuinya. Aku tidak mempunyai alasan untuk menemui Altra. Dan aku pun tidak bisa menemuinya dengan mudah. Karena sahabatku yang belum menerima keberadaan Altra. Entah apa penyebabnya.

Dan juga meski modus bertanya soal matematika, akan kentara sekali kalau aku ingin melihatnya.

Jujur.

Ada satu sudut hatiku yang ingin aku berada di sekitar Altra. Hari-hariku terasa kosong dan tidak bergairah lagi. Bahkan semangatku untuk dangdutan maupun berduet dengan Malik, tiada lagi kebahagiaan di sana. Semua yang kulakukan terasa sia-sia.

Apa saatnya aku bilang... kalau ini rindu?

Ketika tidak mendengar suaranya. Ketika tidak melihat rupanya. Ketika tidak berinteraksi dengannya, maka ada rasa kosong di dada. Ada rasa ingin berlari walau untuk mendengar satu huruf dari mulutnya.

Jika memang ini rindu, sungguhlah menyiksa.

Memiliki perasaan selain perasaan netral ternyata memiliki efek samping pada hati. Perasaan benci, harus menahan emosi. Perasaan cinta, harus kuat merasakan rindu.

Ya, aku telah mengakuinya. Bertapa di kamar setiap malam, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi padaku, belum lagi riset terhadap beberapa orang, aku telah menyimpulkan. Meski aku enggan mengucapkannya, tapi aku juga ingin sekali menyuarakannya.

Aku jatuh cinta pada Altra.

Rindu tak bertemu. Sakit jika dia tak melihat ke arahku. Sudah cukup bukti kalau aku memang telah jatuh cinta pada cowok idiot itu.

"Ayu!" Aku hampir terjungkal mendengar suara teriakkan Bapak Botak menggelegar di kelas.

Namanya Pak Iwan, dia adalah guru sejarah. Atau mungkin sekaligus komandan pasukan militer.

Suaranya begitu berat, bahkan mengalahkan Dicky maupun Andre ketika memimpin barisan. Aku tidak menyukainya. Hmmm... lebih tepatnya aku juga sedikit takut. Jika beliau sudah berteriak, nyaliku ciut. Bahkan aku berharap untuk mati detik itu juga.

"Coba kamu bacakan isi dari sumpah pemuda."

Kulihat Ayu sudah gemetaran. Seisi kelasku juga tak sedikit yang menunduk. Padahal tidak ada yang membuat masalah, tapi Pak Iwan selalu punya alasan untuk memarahi kami. Pantas saja wajahnya cepat tua. Tugasnya marah-marah mulu.

"Sa-saya gak tahu, Pak."

Bhakk!

Aku ketawa ngakak. Si Ayu kelihatan banget mukanya memias. Seolah malaikat sudah datang mencabut nyawanya. Kalau tahu begini, kubawa kamera untuk mengabadikannya.

"Wah, Pak. Jangan nanya Ayu deh! Bacain Pancasila aja dia harus dituntun," cecarku di sela-sela ketawa. Ayu seperti ada di film-film sinetron, langsung menyorot ke arahku. Dengan mata yang sudah mengilat kesetanan.

"Maksud lo apaan, hah?!"

"Apa? Mau gue ulang lagi apa yang gue bilang ke elo tadi? Atau harus gue umumin ke seluruh sekolah? Mau?"

Wajah Ayu memerah. Rahangnya terlihat mengeras. Ketika kulihat dia ingin mengangkat mulutnya, suara berat menukik telinga kami sekelas.

"ALIA! AYU! DIAM KALIAN!"

Degh!

Aku lupa. Bapak botak masih di kelas. Salahkan aku yang terlalu bahagia jika Ayu teraniaya.

Aku pun menunduk pelan. Berharap pergerakanku tak tercium sama sekali. Aku tidak peduli lagi wajah Ayu akan memucat seperti apa lagi. Karena saat ini aku benar-benar ingin membuat makamku sendiri. Berharap Bapak Botak tak melihatku meski sampai Negara Athena sekalipun.

"KATAKAN APA YANG KAMU BILANG TADI PADA AYU!"

Jantungku sudah memompa keras. Bahkan aku sampai kesusahan untuk bernapas.

Aku tidak punya keberanian sedikit pun untuk melihat Bapak Botak. Bibirku pun terasa kaku untuk diangkat. Meski aku ahli dalam bidang bela diri, tapi aku masih punya otak untuk tidak melawan Bapak Jahanam ini.

Suaranya benar- benar bak malaikat yang mengadili perbuatan dosaku selama di dunia. Sangat mengerikan.

"BICARA ATAU BAPAK HUKUM KAMU?!"

Aku berhenti bernapas. Dikte Bapak Botok terdengar seperti hukuman mati buatku. Tidak ada pilihan yang lebih baik. Semuanya sama. Mau aku bicara atau diam, semuanya akan berakhir di toilet yang akan kubersihkan.

"Baik. Bapak hukum kamu membersihkan toilet belakang. Dan Ayu, kamu bersihkan tempat wudhu masjid."

Suara Bapak botak memang memelan. Tapi nada suaranya tetap terdengar menakutkan. Aku masih menunduk. Menatap warriorku yang terlihat lebih indah daripada malaikat penjaga neraka seperti Pak Iwan itu.

Aku berani bertaruh. Kalau sama cucu pasti ekspresi Pak Iwan bakalan jadi unyu-unyu.

**

Aku sedang grasak-grusuk mencari alat kebersihan di dalam gudang. Sembari menahan bau yang menyengat. Darimana lagi kalau bukan toilet yang letaknya begitu dekat dengan gudang sekarang. 

Perasaan, aku sudah menyuruh trio cabe waktu itu untuk membersihkan toilet ini. Tapi kenapa baunya masih membuatku mual?

Dasar bapak botak yang pilih kasih! Sudah kupastikan kepalanya akan semakin mengilat diterpa matahari.

Aku meratapi nasibku seraya menatap toilet yang baunya minta dibunuh.

Mentang-mentang letaknya di belakang, para cewek itu jorok menggunakannya. Kupikir hanya para cowok yang tidak cinta kebersihan. Ternyata para cewek juga bisa melakukan perbuatan maksiat seperti itu. Alias mungkin BAK yang tidak disiram. Ewhh...

Ketika aku mulai meletakkan pel di daerah yang kotor, spontan kepalaku menoleh pada seseorang yang memanggilku.

BINGO!

Altra sedang berjalan dengan wajah idiotnya seperti biasa. Hanya kali ini wajah itu lebih terlihat tampan.

Sudah kuduga.

Cinta memang buta. Bau kaus kaki yang tidak dicuci seminggu saja jadi tercium seperti minyak wangi Paris.

"A-Altra?"

"Alia kenapa di sini?"

"Elo juga kenapa ke sini?"

Altra menggaruk kepala belakangnya. Wajahnya mendadak kaku. Dia gugup? Ah tidak mungkin manusia spesies Altra punya perasaan selain senang dan sedih.

"Altra tadi liat Alia ke sini. Jadi Altra ikutin."

Aku berusaha menahan senyumanku. Namun sepertinya gagal. Aku tetap menyunggingkan senyum semringahku ketika mendengar jawaban Altra.

"Oh gitu. Lagian kenapa elo ke sini? Gue lagi bersih-bersih, Al," ucapku sambil mulai mengepel lantai di depan toilet cewek ini. Karena aku pasti tidak akan kuat untuk masuk ke dalam. Biarlah Pak Agus saja yang membersihkannya. Tapi ingatkan aku untuk membawa ID LINE Ayu untuk menyogoknya.

"Altra boleh bantu?"

"Gak usah." Aku mencoba secuek mungkin menjawab. Padahal jantungku sudah berdebar cepat. Hatiku ketar-ketir. Mataku tak bisa menatap lama wajah Altra. Maunya nunduk terus. Sialan ucapan Iqbal! Ada benarnya juga tuh bocah mesum.

"Elo gak ke kelas?" tanyaku yang mulai heran. Pasalnya Altra masih berdiri ganteng di tempatnya.

"Altra mau ngomong sama Alia."

Kontan tubuhku mengeras. Satu kalimat itu sejenis kalimat gaib. Kalimat laknat yang menimbulkan setitik harapan. Kalau yang jomblo pasti berharap ujung-ujungnya ditembak. Kalau yang pacaran, pasti ujung-ujungnya mau diputusin. Dan kalau yang boke, pasti ujung-ujungnya minta duit.

Karena aku lama-lama encok juga terlalu lama mengepel, aku kembali menegakkan tubuhku. Dan menghadap ke arah Altra. Aku berusaha keras untuk menatap dalam wajah Altra. Ah aku jadi bingung. Kenapa ya aku bisa suka sama cowok idiot kaya dia?

Semuanya kalah dibandingkan apa yang Andre punya. Bahkan tidak pantas untuk disandingkan.

"Elo mau ngomong apa?"

"Altra suka sama Alia."

"Hah?" Aku cengo mendengar untaian kalimat Altra barusan. Sudah kupastikan wajahku ngakak seperti baru nerima NEM kelulusan yang katanya 'MATEMATIKA KAMU SERATUS'.

Kalimat tadi sama urutannya ketika masa tutoring dulu. Meski begitu, entah kenapa ada makna yang berbeda sekarang.

"Altra suka sama Alia," jawab Altra. "Sebagai perempuan."

Hatiku terhenyak. Napasku tercekat. Ribuan kupu-kupu yang nggak ada kerjaan menggelitik perutku. Darahku mendesir.

Cukup! Reaksi ini terlalu menyenangkan untuk dideskripsikan. Yang jelas aku bahagia.

"Maksud elo?" aku masih menagih kebenaran. Mencari kejujuran. Mencari keseriusan. Altra lugu. Altra idiot. Ia pasti tidak mengerti tentang apa yang dia rasakan. Aku tidak ingin berharap banyak dulu.

"Altra seneng liat Alia senyum. Altra sedih waktu Alia marah-marah. Dada Altra," cowok itu memegang dadanya. "Kaya ada yang mukul pas liat Alia sama cowok. Kata Dimas, Altra suka sama Alia sebagai perempuan. Bukan suka sebagai keluarga ataupun teman."

Aku menatap wajah Altra. Berusaha mencari makna yang terkandung di dalam sederetan kalimat yang Altra ucapkan tadi.

Aku mendadak bodoh. Hanya ketulusan yang bisa kutangkap dari ucapannya. Ekspresi wajah serius ini tak pernah kulihat sebelumnya. Ada binaran harapan yang bisa kuterka.

Otakku ingin mengelak. Namun hatiku malah bersorak bahagia.

"Elo ngelindur ya? Atau lagi hafalin teks bahasa Indonesia?" Aku mencoba menutupi ketegangan ini. Aku tidak bisa langsung menerimanya. Masih terlihat ambigu ucapan Altra. Masih terkesan meragukan bila kulihat dengan otakku.

"Altra gak pernah ngelindur dan Altra lagi gak hafalin bahasa Indonesia."

"Ohiya? Terus waktu lo nyium gue apa dong namanya kalo bukan ngel—"

Aku keceplosan. Aku spontan menutup mulutku. Alia bego! Bisa-bisanya aku terlampau bahagia meledek Altra dan malah aku sendiri yang kena.

Kulihat wajah Altra mendadak kaku.

"Ja-jadi itu bukan mimpi Altra?"

Aku menurunkan pelan kedua tanganku. Menenangkan tubuhku yang mulai panas dingin karena ketahuan berbohong selama ini. Ada guratan kekecewaan di mata Altra. Aku tidak mengerti.

Altra lugu. Altra idiot. Harus aku ucapkan berapa kali fakta itu? Tapi kenapa? Kenapa tingkah Altra seolah memberitahuku kalau dia cowok normal?

Kenapa?

Tubuhku menegang. Altra semakin mendekat. Membuat aura tersendiri seperti didatangi setan. Aku mundur beberapa langkah. Tetapi lengan kananku diraih olehnya. Memberikan setruman khas yang membuatku mendadak menjadi patung.

"Kenapa?" Aku alihkan mataku ke arah netra Altra dibalik lensa itu.

"Kenapa... apanya?" Aku bertanya seolah menjadi anak kecil yang baru mengetahui 5W1H.

"Kenapa Alia bohong?"

Aku menurunkan kepalaku. Menatap dada Altra yang kini tepat di depanku.

"Gue gak mau kita canggung. Kita temen, Al. Dan gue gak mau kita tiba-tiba risi kalau ketemu."

"Kalau sekarang?" Suara Altra semakin jelas. Cowok itu mengikis jarak di antara kami. Aku merasakan sapuan halus yang kupastikan dari hasil bernapas Altra menyentuh wajahku.

"Gu—"

Sedetik kemudian, Altra memelukku. Erat hingga membuat tubuhku kaku sejenak. Bahkan kejadian ini begitu cepat. Aku yang tidak siap, terdorong beberapa senti. Aku sendiri pun hampir lupa untuk bernapas.

"Jadi pacar Altra ya?" Aku merasakan degup jantung Altra yang begitu cepat. Tepat di telingaku, suaranya begitu terdengar seperti sebuah genderang. Sejenak aku tercenung.

Pertanyaan Altra masih terasa ambigu.

"Alia gak mau?" Aku kembali tersadar. Altra melepaskan pelukannya. Tetapi kedua lengannya masih melingkar di tubuhku. Dan matanya serius menatap retinaku.

"Alia gak suka ya sama Altra?" Entah aku diracuni oleh apa, aku menggeleng tanpa ragu. Jelas, tadi adalah hatiku yang menggerakkan sel saraf leherku. Kedekatan kami sangat intim. Membuat akal sehatku semakin menipis.

"Terus jawaban Alia apa?"

Aku tidak pernah menduga. Aku tidak pernah membayangkannya. Sejak kapan cowok itu mendadak menjadi cowok serius seperti sekarang?

"Sejak kapan?"

Altra menatapku bingung.

"Sejak kapan lo kaya gini, Al? Gue kira elo gak bisa ngelakuin hal yang kaya gini. Gue kira..."

Altra semakin mengeratkan dekapannya. Aku tidak menolaknya. Aku mulai merasa nyaman dengan posisi seperti ini.

"Altra cuma ikutin apa yang ada di otak Altra."

Aku menautkan alisku bingung. Maksudnya apa? Aku masih tidak mengerti.

"Jadi, jawaban Alia?" Altra masih menagih jawabanku.

Cowok itu dengan cueknya menatap mataku. Aku sendiri sudah tidak berdaya untuk melawannya. Seakan-akan seluruh sel sarafku mati. Semua verbal yang kupelajari selama sebelas tahun bersekolah, seola-olah hilang tak berbekas.

"Yaudah kalo Alia gak mau."

Altra perlahan melepaskan pelukannya. Tubuhku melawan akal sehatku. Tanganku beralih untuk menarik pergelangan tangan Altra.

"Gue mau."

Altra terperangah. Cowok itu menatapku tak percaya.

"Gue mau jadi pacar lo," ucapku penuh keyakinan.

Dan kuyakin, saat ini wajahku telah merona. Jantungku dag-dig-dug. Aku tidak bisa mengelak lagi. Aku bahagia mengatakannya.

Altra memelukku kembali. Dengan dagu yang kurasakan bersandar di bahuku.

Aku tersenyum. Entah bagiamana semuanya terjadi begitu cepat.

Aku yang ilfil melihat Altra. Aku yang terkadang dibuatnya kesal dan gemas. Kami yang asalnya sebatas guru dan murid, kini semuanya berubah.

Aku dan Altra jadian.

Mengatakannya pun masih terasa aneh di lidahku. Tapi aku tak bisa berkilah lagi.

Aku mencintainya.

Cara ia menatapku, cara ia menyebut namaku, cara d
ia berkomunikasi denganku. Semuanya terasa berbeda dan spesial.

Meski hari ini terasa begitu indah, aku tidak tahu.

Apakah inilah akhir dari kisahku? Ataukah... hanya salah satu bumbu untuk sekadar menyedapkan kehidupanku?

**

Pegangan tangan.

Salah satu hal yang menurutku perbuatan kurang kerjaan. Kenapa orang-orang, khususnya sepasang kekasih harus saling menautkan lengan? Padahal kan mereka punya kaki untuk berjalan. Dan juga punya mata untuk melihat. Benar-benar perbuatan yang kurang kerjaan.

Tapi itu dulu.

Pemikiranku muncul karena aku hanya melihat dari luar saja. Namun, kalau dialami sendiri, benar-benar tidak bisa dirumuskan oleh rumus matematika yang rasional.

Ada setruman jutaan volt yang menjalar. Ada jutaan kupu-kupu yang menggelitik. Ada jutaan kata yang tertahan di sudut otak terdalam. Itulah peritiwa yang akan dirasakan kala berpegangan tangan dengan seseorang. Terutama dengan orang yang dicintai.

Apa aku berlebihan? Tidak. Sebab saat ini aku sedang merasakannya.

Tangan kananku digenggam erat oleh Altra. Bahkan tanganku sebelah lagi kini terasa dingin. Bukan karena matahari mendadak menurunkan salju. Tetapi karena kegugupanku yang semakin tak terkontrol.

Altra Nais Fajar.

Satu nama yang sudah menjadi kunang-kunang di setiap malamku. Satu nama yang menjadi alasanku tersenyum di pagi hari. Satu nama yang membuatku merasa menjadi manusia paling beruntung di bumi. Satu nama yang berhasil membuat sifat pembangkangku seketika lenyap. Satu nama yang saat ini bukan hanya menggenggam tanganku, tetapi juga hatiku.

"Alia seneng Altra ajak ke sini?" tanya Altra setelah kami sama-sama duduk di kursi taman. Altra masih menggenggam tanganku, dan menjadi mantra tersendiri sehingga aku menjadi anak yang patuh.

Aku pun mengangguk kaku. Karena lisanku mendadak beku.

"Alia kenapa diem aja?" tanya Altra sambil menoleh padaku.

Aku seketika kesusahan menelan ludahku. Keringat dingin membanjiri sekujur tubuhku. Dengan perlahan, aku melepaskan genggaman Altra. Meski aku tahu, ada guratan kecewa di matanya.

Aku berdeham sebentar dan bergeser sedikit dari Altra. Karena aku masih sayang dengan jantungku. Sebab inti dari tubuhku itu sudah mulai kesakitan. Ritmenya terlalu cepat melewati batas ketika aku terlalu dekat dengan Altra.

"Gu-gue seneng. Cuma gue aneh sama elo, Al."

Aku mulai mengeluarkan isi otakku. Berharap ada jawaban yang sangat jelas dari segala macam pertanyaanku.

"Elo mau jawab pertanyaan gue?" tanyaku seraya menoleh pada wajah Altra.

Altra tak menjawab dan kemudian mengangguk.

"Kenapa lo suka sama gue?" Altra tersenyum kemudian berpaling ke arah orang-orang yang sedang berlalu-lalang di taman ini.

"Altra gak tau kenapa suka sama Alia. Yang Altra rasain adalah Altra seneng liat Alia senyum. Altra seneng waktu kita deketan gini. Altra seneng Alia gak marah-marah sama Altra. Dan Altra sedih kalo gak liat Alia. Atau Alia bareng cowok lain."

Aku mengangguk dan Altra menginterupsi kegiatanku. "Kalo Alia kenapa suka sama Altra?"

Aku sejenak terperangah. "Gue su-suka sama Elo? Perasaan gue gak pernah bilang."

Aku berusaha fokus pada keramaian. Menahan gejolak yang terus membuncah rongga dadaku. Kurasakan pipiku memerah. Dituduh seperti itu benar-benar membuatku malu.

"Iya. Kalo Alia gak suka, gak mungkin Alia mau jadi pacar Altra."

Rasanya aku ingin mati detik ini juga. Ucapan Altra akhir-akhir ini selalu berhasil menohok hatiku. Membungkam lisanku untuk beralibi lebih banyak. Dan kenapa Altra yang seidiot itu jadi memahami hal serumit seperti itu sih?

Apa otaknya sudah mulai terkontaminasi oleh ucapan Dimas?

Sebagian aku berterimakasih pada ketua kelas itu karena bisa mengajari banyak hal pada Altra. Tapi sisanya aku benar-benar mengutuk perbuatan Dimas. Bisa-bisanya cowok itu mengotori pikiran Altra.

"Gue...." Aku meremas kedua tanganku yang sudah dingin seperti es. Mencoba menstabilkan detak jantung yang bisa saja terus bergemuruh. Membuatku kesulitan untuk berucap.

"Suka sama elo, tiba-tiba aja. Maksud gue, perasaan itu ada ketika gue liat muka elo, Al. Gue seneng."

Aku tidak tahu wajah Altra seperti apa sekarang. Entah terkejut ataukah ekspresi wajah lainnya. Karena aku tidak berani menoleh. Kedua tanganku tampak lebih indah sekarang.

"Altra tahu." Aku refleks menoleh. Ada siratan kesedihan dan kekecewaan yang begitu jelas di wajah Altra.

Aku tidak mengerti. Kenapa? Apa jawabanku terdengar salah? Apa jawabanku tak diharapkan oleh Altra?

"Elo... kenapa?" tanyaku ragu. Altra refleks mengulas senyumannya. Kekecewaan yang tadi sempat terlihat di retinanya, sekarang tampak hilang tak berbekas. Seolah Altra ingin menyembunyikannya dariku. Ataukah tadi hanya imajinasiku saja?

"Gapapa. Altra seneng. Altra masih gak percaya aja bisa pacaran sama Alia."

Aku pun akhirnya ikut tersenyum. Berusaha keras untuk menghilangkan sebuah keraguan dari ucapan Altra. Sebab entah kenapa, ada satu makna yang tersembunyi dari satu larik terakhir yang Altra ucapkan. Dan makna itu begitu terasa kepedihannya.

Hingga seterusnya, aku dan Altra pun berbagi cerita. Cerita Altralah yang mendominasi. Aku tak aneh lagi. Lantaran Altra memang paling suka bercerita. Meski verbalnya tak selancar remaja seusianya.

Cowok itu lebih banyak menceritakan keluarganya. Ayahnya yang sering bekerja dan ibunya yang begitu perhatian. Tak lupa Salma –sang adik yang katanya sering ngusilin Altra.

Dan aku sebagai pendengar, hanya sekadar mengangguk dan berusaha menanggapi.

Aku tak bosan. Sungguh.

Biasanya aku akan mudah jenuh ketika mendengar orang bercerita. Tetapi entah kenapa, nada suara Altra begitu menyenangkan aku dengar. Ada bahagia yang terus menjalar ke seluruh tubuhku.

Dan entah sejak kapan, posisi dia sudah tergantikan oleh Altra. Bahkan perasaan ini lebih membahagiakan dibandingkan perasaan dulu. Menimbulkan rasa syukur yang tiada berujung.

Terima kasih Altra.

**

Tbc tralala~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro