Alka
"Alia! Andre udah nunggu di bawah!" teriak ayahku yang bisa kudengar sampai kamar.
Aku masih menatap bayanganku di depan cermin. Bukan sibuk membetulkan penampilan yang kurang cocok. Tapi merasakan sesuatu yang kosong dalam diriku.
Ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang hilang. Ada sesuatu yang tidak tepat. Entah apa itu aku tidak tahu. Hidupku yang pernah monoton, kini benar-benar tak terasa lagi warnanya.
Kebahagiaan yang dulu menyelimuti, sekarang aku tidak tahu bagaimana rasaya. Seolah hal dulu yang kujalani, hanya sebuah mimpi belaka.
Apa mungkin hanya perasaanku saja?
Baiklah, akan aku cari tahu nanti. Lebih baik saat ini aku menghampiri Andre dulu.
Aku menyelempangkan tas kecilku. Berjalan ke luar kamar. Setiap langkahnya aku berucap harapan. Semoga hari ini bisa memperbaiki perasaan kosong yang ada di dalam diriku.
Dan semoga juga Andre tak mengacaukan hari ini seperti sebelumya.
Aku kemudian turun dari lantai dua. Kulihat Andre tengah tersenyum dan mengobrol ringan bersama ayahku.
Tampilannya tak jauh beda dariku. Rambutnya terlihat sengaja diacak-acak. Berbeda dengan tampilan sekolahnya yang selalu rapi.
"Yuk, Ndre!"
Aku menginterupsi tawa yang terjadi antara Andre dan ayahku. Bukannya aku tidak sopan. Aku hanya sedang tak ingin menunggu.
Andre menyunggingkan senyumnya sambil berdiri. Diikuti ayahku yang berjalan ke arahku.
"Jangan pulang malem, ya," pesan ayahku sambil mengusap puncak kepalaku. Aku mengangguk.
"Saya sama Alia pergi dulu, Om," izin Andre seraya mencium punggung tangan ayahku disusul olehku. Kami berdua pun lekas pergi. Entah kemana Andre akan membawaku.
Yang terpenting aku sejenak melupakan kekosongan dalam hariku. Berdiam diri di rumah dengan melamun, malah menambah kegusaran perasaanku.
**
"Elo gak nanya kita mau ke mana?"
Andre bertanya memecah keheningan kami. Karena sedari tadi hanya kesenyapan yang mengatapi kami. Seakan tak ada satu makhluk hidup pun di dalam mobil Andre saat ini. Aku yang sedang tak jelas begini, memang malas sekali untuk mengangkat topik.
"Enggak."
"Kalo gue bawa lo ke tempat aneh-aneh gimana?" tanya Andre mencoba bergurau. Aku hanya mengendikkan bahuku tak peduli.
"Elo kok makin aneh sih, Al? Gue khawatir."
Aku menghirup napas dan mengembuskannya gusar. "Gapapa. Perasaan lo kali."
Saat ini aku benar-benar malas melakukan apapun. Kalau bisa pun, aku ingin sekali berhenti bernapas. Seandainya Andre bukan sahabatku, aku tidak akan menerima ajakannya.
Ternyata sama saja. Mau aku diam di rumah atau di luar pun, perasaanku tetap saja ambigu. Tidak ada sama sekali yang dapat melepaskanku dari kegamangan ini.
Sekonyong-konyong, suara ponsel menggema di mobil yang kami kendarai. Kulihat Andre melirik ke arahku.
"Al, jawabin telepon gue dong. Bilangin kalo gue lagi nyupirin dulu."
"Hp lo dimana?"
"Nih, di jeans gue," sahut Andre. "Di kiri kok. Lo tenang aja."
Aku mencari ponselnya yang Andre maksud. Tidak terlalu susah. Karena sebagian dari ponselnya sudah menyembul dari saku jeans yang Andre kenakan. Aku pun mengambilnya dengan mudah.
Satu nama yang tercetak jelas namun tak ku kenal, terpampang di layar ponselnya. Tak banyak bertanya, aku menggeser logo gagang telepon warna hijau. Lantas menempelkannya di telingaku.
"Ha—"
"Ndre, si cupu mati. Gimana nih?"
Mendengar satu kalimat itu, tubuhku seketika lumpuh. Pasokan oksigen seakan menjauh dari area sekitarku.
"Cu-pu?"
"Ini siapa? Andrenya ada gak? Kasihin hpnya!" Suara di sebrang terdengar sekali panik. Kata cupu selalu menjadi kata yang sensitif buatku. Kalau cupu terus ada hubungannya dengan Andre. Berarti cupu itu...
"Hallo! Cepet kasih hpnya! Si Altra udah diangkut ambulans! Hallo!"
Ponsel Andre lolos dengan mudah dari genggamanku. Andre yang masih menyetir melirikku sekilas. Wajahnya mendadak panik. Aku seperti kehilangan otakku. Semuanya terdengar tiba-tiba.
Altra?
Apa hubungannya Altra dengan Andre?
"Ndre..." suaraku terdengar bergetar. Aku tidak bisa menahan keterkejutanku. Dan ketakutanku semakin bergumul di dalam dadaku.
Mati?
Altra mati?
"Siapa yang nelpon, Al?"
"Gue tanya. Elo punya rencana apa soal gue dan Altra?"
Kulihat wajah Andre tiba-tiba mengeras. Mukanya memucat ketakutan. Tatapannya pun sudah mulai tak fokus. Seolah mencari pengalihan lain.
"G-gak ada. K-kok lo nanya gitu?"
"Jawab ANDRE!"
Suaraku menggema. Tidak ingin terlalu mengulur waktu. Ini menyangkut diriku dan nyawa Altra yang masih terlihat belum jelas. Dan Andre dengan seenaknya masih saja berdalih.
"Altra mati. Apa hubungannya ini sama elo?"
"Altra mati?" Ada nada keterkejutan di dalam pertanyaan itu. Sepertinya Andre pun kaget dengan kalimat yang kusebutkan tadi.
"Andre jawab! Ini nyawa orang dipertaruhkan, Ndre!"
Air mataku sudah bergumul di retinaku. Dadaku sudah bergemuruh. Ada sesuatu yang ingin aku ledakkan saat ini juga. "Ini soal Altra, Ndre."
Tangisku pecah. Suara telepon tadi masih terus terulang di dalam gendang telingaku. Membuat detak jantungku semakin bertalu-talu.
Andre memberhentikan mobilnya di samping jalan. Dan aku mulai terisak dengan tangisku. Tangisan yang tidak pernah aku tunjukkan pada siapapun.
"Altra... dia udah bunuh sahabat gue, Al."
"Bu-bunuh? Elo jangan bohong! Altra ga—"
"Tapi itu faktanya, Al!" bentak Andre tiba-tiba. "Dia buat sahabat gue mati. Dan dia juga ngambil lo dari gue, Al."
Andre mulai menatapku tajam. Matanya sudah merah. Berusaha menahan tangisan.
"Lo egois!"
"Terserah elo mau bilang apa! Tadinya gue cuma mau ngasih perhitungan sama dia lewat sahabat-sahabat gue yang lain waktu SMP. Pas denger dia tewas, itu udah di luar rencana gue, Al."
"Tapi kalo lo gak rencanain ini, Altra..." aku tak bisa menahan tangisku. Aku membekap mulutku sendiri. Menahan tangis dan isakkan yang menggema di mobil Andre.
Andre tak bersuara. Aku tidak tahu Andre saat ini bagaimana. Pandanganku memburam seiring air mata yang terus mendobrak.
"Anterin gue." Aku menghirup udara sekitar dalam-dalam, mencari pasokan energi untukku berujar, "Anterin gue ke rumah sakit."
**
Author pov
Suara derap langkah seseorang menggema sekoridor rumah sait yang saat ini ramai. Disusul oleh seorang cowok yang menatap khawatir dari belakang.
Andre tak bisa mendekat untuk menyeimbangi langkah Alia yang terburu-buru. Cowok itu sadar, karena dirinyalah Alia semenderita itu. Sehingga yang ia lakukan hanya mengamatinya dari jauh.
Beberapa orang mengumpat kesal. Alia sama sekali tak acuh terhadap orang-orang sekitar. Berbekal informasi yang didapat dari teman Andre, Alia menuju kamar Altra. Kamar tempat cowok itu saat ini tengah tak sadarkan diri.
Langkah Alia terhenti. Melihat wanita paruh baya yang ia kenal sedang terduduk dengan wajah yang ditutupi kedua lengannya. Tubuh lemah itu bergetar. Sambil isakkan yang begitu memilukan menjadi gema tersendiri di sepanjang koridor.
Alia melangkahkan kembali kedua kakinya. Air matanya sudah mengering. Tersisa titik-titik keringat serta mata yang membengkak.
Alia mendekatkan diri pada wanita yang melahirkan Altra itu. Dan duduk di sampingnya.
"Tante Maria," panggil Alia begitu lembut.
Maria sejenak tertegun. Kemudian membuka kedua lengannya dan menoleh.
"A-Alia?"
Alia mengangguk dan sedetik itu pula Maria memeluk Alia erat. Seolah ada sesuatu yang begitu menakutkan jika ia melepaksan pelukan itu.
Alia tak bisa berbuat apa-apa. Alia tak bisa berkata apapun. Dirinya sama-sama terpukul dengan Maria.
Ia tak bisa berkata semua kan baik-baik saja, jika dalam hatinya pun ragu kalau Altra akan selamat. Alia tak bisa optimis jika dalam otak Alia sudah terbayang bagaimana Altra tak bisa menghirup udara lagi.
"Tante gak mau kehilangan Altra kedua kalinya, Alia. Tante gak mau."
Suara Maria begitu mengenaskan. Alia hanya bisa mengusap punggung Maria. Berusaha memberikan kekuatan dan kesabaran. Walau Alia tahu, dalam dirinya pun tak ada sedikit pun harapan yang terucap.
Hingga suara pintu terbuka memecah keheningan di antara mereka. Maria bergegas berdiri dan menghampiri dokter yang berseragam serba hijau serta melepaskan maskernya.
"Anak saya gimana keadaannya, Dok? Anak saya masih hidup, 'kan?"
Alia meringis. Melihat Maria begitu terlihat putus asa. Semoga jawaban dokter tidak menghempaskan harapan wanita itu.
"Anak ibu sebenarnya hanya terbentur. Jika anak ibu dalam keadaan sehat, mungkin saat ini dia hanya pingsan atau sekedar pusing. Hanya saja..."
Suara dokter itu berhenti sejenak. Memberikan detik-detik yang begitu menentukan.
"...anak ibu pernah koma dan benturannya itu tepat mengenai bekas operasinya dahulu. Jadi, lukanya terbuka lagi. Dan anak ibu... sekarang belum sadarkan diri."
"Altra... koma lagi, Dok?" tanya Maria ragu dan dokter itu menganggukkan kepalanya dengan berat hati.
"Kita tunggu keajaiban Tuhan, Bu. Semoga anak ibu bisa ditolong untuk kedua kalinya. Saya permisi dulu."
Kepergian dokter sekarang sudah tak berarti lagi. Maria merosot duduk di atas marmer yang dingin. Alia hampir saja merasakan jantungnya berhenti berdetak. Semuanya masih terlihat tak tersusun.
Altra koma dua kali?
Kenapa semuanya jadi semakin terlihat pelik?
Alia mau kebenaran secepatnya.
"Tante...," panggil Alia pelan. Kini Maria hanya menangis dalam diam. Dan tersedu sesekali. Meratapi hidupnya yang sekarang begitu rumit dan penuh masalah.
Maria hanya ingin anaknya sehat. Dia hanya ingin anaknya dapat bersekolah normal. Dia hanya ingin anaknya bernapas tanpa bantuan apapun. Dia hanya ingin anaknya makan dan bermain seperti anak normal lainnya. Tapi kenapa Tuhan begitu tega merenggut semuanya?
"Alia tahu ini berat buat Tante," ucap Alia sambil mengajak Mari berdiri untuk duduk di atas kursi. "Tapi kita nggak bisa lakuin hal apapun selain bersabar dan berdoa."
Maria menyeka sisa-sia air matanya. Menghirup udara sedalam mungkin. Mencari kekuatan untuk dirinya agar bisa berbicara pada perempuan yang sudah memberikan kebahagiaan pada anaknya.
"Iya. Makasih ya Alia udah mau nemenin Tante."
Alia mengangguk. Walau Alia terlihat tegar, sebenaranya Alia ingin berteriak. Ingin menangis. Ingin meronta. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Semuanya terlalu cepat hingga Alia tak bisa menghambatnya.
"Tante... Alia boleh nanya?" tanya Alia setelah beberapa saat mereka diselimuti oleh keheningan.
"Apa, Sayang?" Maria menatap Alia lembut.
"Maksud tante... Altra pernah koma. Itu kapan ya?"
Maria berpaling kembali ke depan pintu tempat putranya tertidur lelap. Ditanya seperti itu sudah sekaligus membuka kembali luka lalu yang sudah Maria lupakan.
Luka itu sudah kering bahkan hampir terhapus oleh berlalunya waktu. Tetapi, saat ini luka itu basah kembali. Menganga lebar seiring dengan derita masa lalunya yang terputar kembali.
"Dulu, Altra pernah kecelakaan sama adiknya."
"Salma?"
Maria menggeleng. "Altra terlahir kembar. Kembaran Altra namanya Alka. Mereka berbeda. Altra terlahir dengan cacat mental. Sedangkan Alka terlahir sempurna tanpa ada cacat sedikit pun."
Alia tergodam tepat mengenai ulu hatinya. Satu kebenaran yang menghapus semua spekulasi tentang Altra dan dia.
Kepingan demi kepingan kini mulai tersusun berurut. Memberikan satu kisah kebenaran yang membuat Alia penasaran hingga sekarang.
"Tepat empat tahun lalu...." Satu tetes liquid meluncur di pipi yang sudah keriput itu, dan Maria tetap melanjutkan kisahnya. "Mereka beruda kecelakaan. Alka sama Altra waktu itu naik mobil dengan supir. Mobilnya menabrak pohon dengan Altra di dalamnya. Dan itu membuat Altra koma beberapa bulan."
"Terus sekarang Alka ke mana?"
Maria tak kuasa menahan isakkannya kembali. Wanita itu kembali menangis. Mengingat wajah terakhir putranya berhasil membuat hati Maria kembali remuk. Hancur dan tak beraturan. Bahkan seolah ada belati yang menghunus tepat di jantungnya.
Maria ingin menyalahkan takdir. Maria ingin menyalahkan semuanya. Tapi ia tak bisa apa-apa. Semuanya berawal dari dirinya yang tak becus memperhatikan anak-anaknya.
"Alka ditabrak truk malam itu dan tewas di tempat."
Tubuh Alia seketika bergetar hebat. Bumi yang ia pijak seakan runtuh berkeping-keping.
Kenyataan itu tak ingin Alia dengar. Kenyataan itu begitu mengerikan. Tahu begini, Alia lebih baik tak ingin kebenaran. Alia tak ingin tahu kenyataan. Lebih baik Alia menunggu kesemuan. Lebih baik Alia terus menunggu seribu lamanya.
Mendengar kenyataan pahit, rasanya begitu perih daripada harus menunggu ketidaktahuan.
Alia ingin mengulang waktu. Mengulang semuanya. Tapi ia tahu. Semua terlambat. Kebenaran itu sudah tertancap di otaknya. Alia tak bisa menghapus ingatannya.
Hingga akhirnya semua pandangan menggelap. Alia tak sadarkan diri.
**
Tbc tralala~
Ciee udah tau dia itu siapa.
Siapa coba yang spekulasinya bener? Kasih selamat deh! #ahay!
Tapi udah berakhir gitu? Terus Altranya kemanain?
Krisan diterima qaqa😅😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro