Tawaran yang Tak Diharapkan
Tingkah Dewi yang meloncat-loncat kegirangan saat memasuki kamar membuyarkan lamunan Cahya. Bajunya basah kuyup kena hujan. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, menunjukkan paket makanan siap saji dengan logo band K-pop pada kemasannya.
"Akhirnya, setelah ngantre berjam-jam dapat juga paketan ini!" teriaknya.
"Sssssst nanti ketahuan Ummi, elo bisa disuruh bersihin WC asrama." Cahya mendelik, menempelkan telunjuknya ke bibir, isyarat agar Dewi merendahkan suara.
"Ups, heheh. Maaf, soalnya gue hepi banget akhirnya bisa beli ini," ucap Dewi cekikikan.
Pondok tahfiz memang lazim memiliki aturan yang sangat ketat dan hukuman berat akan menanti bagi siapa saja yang berani melanggar. Tidak berbeda dengan pondok ini. Meskipun awalnya kesulitan beradaptasi, Cahya mulai terbiasa dengan semua peraturan itu.
Akan tetapi, tentu saja tidak setiap saat pengelola pondok bisa mengawasi para santri. Jadi, selalu saja ada yang melanggar. Seperti Dewi ini.
Meskipun tidak seperti Dewi yang selalu mencari celah untuk melanggar aturan, Cahya sebenarnya sembunyi-sembunyi melanggar satu larangan ketat di pondok ini, yaitu mendengarkan musik.
Menurut Ummi pengelola pondok, musik hanya akan membuat santri lalai dan sulit untuk menghafal Al-Qur'an. Selain itu, tidak pantas buat seorang santri tahfiz mengidolakan artis K-pop.
Dewi memindahkan isi paket makanan siap saji itu ke piring dan menyimpan baik-baik kemasannya dalam map khusus. Dia menatap map itu dengan puas karena koleksinya bertambah.
Teman sekamar Cahya ini bisa dibilang gadis yang menyenangkan. Dia bisa membawa suasana seketika ceria. Berbeda dengan Cahya yang sederhana, Dewi lebih modis dan heboh. Dia mirip gadis-gadis berhijab yang trending di Tiktok karena dance-nya.
"Ngapain elo tadi bengong depan jendela?" tanya Dewi. Mulutnya sibuk mengunyah makanan. Baju basahnya kini sudah berganti daster, tapi handuk masih melilit di kepalanya.
"Gue nungguin elo, tahu. Perginya kelamaan!" kilah Cahya. Meskipun sudah tinggal bersama selama setahun, dia tidak pernah menceritakan kisahnya dengan Azka pada Dewi. Dia benar-benar ingin melupakan makhluk satu itu dan tak ingin membahasnya dengan siapa pun.
"Laaah, gue, kan, sekalian pergi ama Bagus. Kami tadi sekalian nongkrong juga di kafe," sambung Dewi sambil mengedip-ngedipkan matanya dengan genit.
"Dih santri apaan lo? Ngaji iya, pacaran juga iya. Ibadah jalan, maksiat lanjut. Ketahuan Ummi bisa digantung lo." Cahya mendelik.
Menurutnya, Dewi nekat karena minta izin keluar pondok dengan alasan pergi belanja kebutuhan, tapi malah pacaran.
"Gue normal, nggak kayak elo. Udah setahun belum pernah sekali pun gue liat elo teleponan sama cowok," balas Dewi dengan sengit.
"Iya sih, kita anak pondok dilarang pacaran. Tapi, kan, kita masih muda, harus seleksi banyak cowok sebelum menikah. Masa lo mau nikah kenalannya cuma taarufan? Mau nikah sama orang yang nggak kita kenal sebelumnya? Tukeran CV, cocok di atas kertas, terus nikah aja, gitu?" sambung Dewi.
Cahya hanya diam. Teringat kembali hubungannya dengan Azka. Mereka telah saling kenal dengan berpacaran, saling merasa cocok, toh tetap akhirnya batal menikah. Namun, dia malas mendebat Dewi.
"Ya udah, hati-hati aja lo."
Entah maksud Cahya hati-hati ketahuan Ummi atau hati-hati dengan yang namanya laki-laki. Dewi tidak menjawab, hanya mengacungkan jempol dan menghabiskan sisa makanannya.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Cahya dari Ummi, menyuruhnya menghadap ke ruangannya. Ummi biasa melakukan ini. Paling-paling mau membahas progres pembelajaran santrinya di pondok ini.
***
Cahya mengetuk pelan pintu ruangan Ummi.
"Masuk!" Terdengar suara wanita di balik pintu. Lembut, tetapi tegas.
Cahya masuk dan duduk di hadapan Ummi.
Menurut Cahya, panggilan Ummi kurang cocok buat wanita ini. Usianya masih sekitar 40-an tahun. Namun, jilbab polos yang lebar menjuntai menutupi tubuhnya, memang membuat penampilan Ummi menjadi terlihat sedikit lebih tua.
Di tangannya, Ummi memegang beberapa lembar kertas. Dia membolak-balik kertas itu, mengangguk-angguk, lalu berkata sambil tersenyum.
"Cahya, Ummi mau kasih kabar gembira, nih. Barusan Ummi menerima CV dari seorang ikhwan yang mencari jodoh. Anak temannya Abi. Orangnya baik, hafal Al-Qur'an 30 juz, pula. Sekarang dia mengajar di sebuah sekolah tidak jauh dari sini. Tadi pagi dia ketemu Abi dan menyerahkan CV-nya, berharap dapat jodoh anak pondok sini dengan cara taaruf. Menurut Ummi, kamu cocok untuk jadi istrinya. Usia sudah cukup untuk menikah, cantik, pintar. Kamu bisa memperdalam ilmu agama dari dia setelah kalian menikah nanti."
Cahya kaget sekali dengan ucapan Ummi. Dia sama sekali tidak menduga dan tidak siap dengan jawabannya. Baru saja Dewi membahas soal taaruf ini dan langsung kejadian.
Dia ngeri membayangkan menikah dengan orang yang belum dikenalnya. Dengan orang yang sudah sangat dikenal saja dia kecewa, apalagi nanti dengan orang yang sama sekali asing.
"Apabila ada lelaki yang baik agamanya datang melamar, tidak elok kalau kita menolak lho, Cahya. Nanti Ummi akan bantu menelepon orang tuamu menjelaskan tentang hal ini. Mereka pasti bahagia punya menantu yang soleh," sambung Ummi dengan semangat.
Cahya hanya bisa senyum dengan terpaksa. Ingin rasanya dia langsung menolak saat itu juga, tapi sebagai santri, dia paham adab, tidak ingin menyakiti hati gurunya.
Ummi mengulurkan lembaran kertas yang berisi biodata lelaki itu. Meski enggan, Cahya menerimanya. Sekilas dia membaca data-data yang tertulis di situ. Terlampir pas foto ikhwan yang dibanggakan Ummi itu.
Namanya Salman. Wajahnya lumayan tampan dan memiliki beberapa catatan prestasi. Cahya percaya santriwati lain akan langsung mengiyakan kalau dilamar lelaki seperti ini.
Akan tetapi, Cahya tidak merasa tertarik sedikit pun. Dia masih merasa menikah dengan cara taaruf bukanlah ide yang ideal untuk dilakukan pada zaman sekarang.
"Baik Ummi, saya pertimbangkan dulu, ya," ucap Cahya sesopan mungkin.
"Jangan lama-lama mikirnya. Rugi lho, Nak Cahya, kalau melewatkan ikhwan satu ini. Ummi dulu nikahnya sama Abi juga dengan cara taaruf, lho. Nak Cahya lihat sendiri bagaimana Abi."
Kelihatannya Ummi sangat berharap Cahya menerima lamaran ini. Ummi memang tidak salah. Dia beruntung mendapatkan suami yang sangat penyayang, setia, dan taat agama.
Pondok pesantren ini pun mereka bangun berdua dari bawah. Hari-hari mereka sibuk dengan kegiatan amal dan bermanfaat buat orang banyak. Perekonomian masyarakat sekitar pesantren pun meningkat pesat seiring makin ramainya santri yang datang belajar di pondok itu.
"Iya, Ummi. Segera Cahya kabarin. Mau salat Istikharah dulu," jawab Cahya. Padahal, dia hanya ingin cepat-cepat keluar dari ruangan itu.
Ummi tersenyum dan kembali mengingatkan Cahya akan membantu mempermudah semua proses ini kalau menerima.
Cahya tersenyum terpaksa sebelum pamit kembali ke kamarnya.
***
"Ada apa Ummi manggil barusan?" tanya Dewi penasaran. Dia melepaskan earphone dari telinga dan meletakkan ponselnya.
Cahya tidak menjawab, hanya memberikan lembar-lembar kertas yang diberikan Ummi. Dewi menerima dengan heran, lalu berteriak setelah membacanya.
"Tuh, kan, apa gue bilang! Wahahaha. Eh, tapi ini anak cakep juga. Lo terima aja, biar nanti tuanya bisa ngurus pondok pesantren bareng juga sama dia, kayak Ummi sama Abi. Tapi lo bakalan seumur hidup dilarang dengerin K-pop ama suami modelan begini, ganti ama kasidahan," cerocos Dewi menggoda Cahya.
Cahya kesal dan melempar bantal. Dewi mengelak. Hampir saja bantal itu mengenai wajahnya.
"Wi, gue mau ngomong serius nih," Cahya menarik Dewi duduk di kursi di hadapannya.
"Gue belajar ke pondok ini bukan buat cari jodoh atau serius buat belajar agama, sih, sebenarnya. Ini semacam pelarian aja." Cahya ragu-ragu untuk bercerita.
"Heh, pelarian?" Dewi heran. Ingin dia menanggapi dengan candaan, tapi melihat wajah Cahya serius, dia mengurungkan niat. Dia membetulkan posisi duduk dan mendengarkan dengan serius.
"Oke, lo bisa cerita serius. Gue nggak akan bercandain kali ini. Sumpah!" janjinya sambil mengangkat dua jari memberi kode bahwa dia sungguh-sungguh.
"Benar ya, gue sumpahin lo putus kalau bercanda lagi," kata Cahya tersenyum tipis.
"Iya, serius!" Dewi memasang wajah yang lebih serius kali ini, meyakinkan Cahya untuk bercerita.
Cahya menceritakan soal berakhirnya hubungannya dengan Azka, soal kepergiannya dari kotanya untuk melupakan semua kenangan. Hingga akhirnya memutuskan menutup aurat dan menjadi santri di pondok ini.
Di luar dugaan, Dewi ternyata bisa menanggapi dengan serius.
"Gue paham posisi lo. Beneran. Gue juga pernah merasakan hal yang sama. Ditinggalkan orang yang benar-benar dipercaya. Sekarang sih, gue pacaran bukan niat serius sebenarnya. Malah gue niat balas dendam ke cowok-cowok berengsek itu.
"Lo pikir gue serius pacaran sama Bagus? Nggak! Gue sudah berkali-kali ganti pacar. Gue ingin mereka merasakan sakitnya ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Gue mah pacaran nggak pakai hati lagi.
"Gue ada di pondok ini karena Bokap sama Nyokap udah nyerah sama kelakuan gue. Gue terpaksa di sini, Cahya. Mereka nyerah sama gue dan membuang gue ke pondok ini, berharap kalau di sini gue bakalan sadar, biar gue nggak salah pergaulan, biar gue nggak jadi cewek rusak. Padahal, yang gue butuhin cuma perhatian mereka, tapi mereka sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Gue merasa ditinggalkan semua orang. Tapi, setidaknya di sini gue punya teman seperti elo yang nyambung, doyan K-pop, suka nongkrong di kafe sama kayak gue. Makanya gue nggak terlalu kesepian di sini, Ca."
Cahya menatap teman sekamarnya. Dia tidak menyangka Dewi yang selama ini dia kenal pecicilan, ceria, dan heboh ternyata menyimpan kisah yang tidak kalah sedih dengan dirinya.
"Wah, maaf ya, Wi. Gue sungguh nggak tahu kisah elo kayak gini," ucap Cahya simpati.
"Ah, nggak papa, kok. Gue mah santai orangnya," sambar Dewi.
"Sekarang kita pikirin aja tuh masalah taarufan itu. Kalau masih di sini, pasti Ummi akan tiap sebentar nanyain. Terus elo yang nggak enak hati akan terpaksa menerima, terus elo akan nikah sama dia, terus ...."
"Terus gimana, dong?" Cahya memotong. Dia tiba-tiba ngeri membayangkan kalau hal itu benar-benar terjadi.
"Satu-satunya cara, elo harus secepatnya pergi dari pondok ini," kata Dewi tegas.
"Jadi, gue harus nyari pondok lain?" tanya Cahya lemas.
"Menurut gue, sebaiknya lo nyari kerjaan aja, Ca. Biar gimanapun, elo butuh duit, kan? Soal hafalan, kan, elo bisa nyari kelas online atau apalah. Lo kerja, dapat duit, tujuan lo belajar Al-Qur'an tercapai, dan elo tetap jauh dari mantan lo itu," sambung Dewi cepat.
Sejenak hening.
"Terus kalo gue pergi, elo di sini nggak ada teman, dong?" tanya Cahya ragu-ragu.
"Gila lo. Elo mau nikah sama orang itu hanya karena mikirin gue di sini sama siapa?" hardik Dewi.
"Gue mah kalau nggak betah nanti tinggal kabur ke mana, atau kalau udah nggak ada jalan, ya gue masih punya rumah untuk gue pulang, Ca. Lagi pula kalau nikah, elo juga bakalan dibawa suami lo dan tetap ninggalin gue, kan?" Dewi berusaha meyakinkan.
"Ayo, sekarang kita hunting kerjaan aja dulu. Elo, kan, lulusan manajemen bisnis. Lo juga pinter ngegambar, pinter nulis ...."
"... caption," sambung Cahya geli.
"Ya itu bisa dimanfaatin. Masukin dulu aja lamaran sebanyak-banyaknya. Yang penting elo bisa segera pergi dari sini."
Dewi bergerak cepat, langsung mengambil ponselnya dan membuka browser, lalu mengetikkan beberapa kata di kolom pencarian. Dalam hati, Cahya setuju dengan Dewi. Dia harus segera pergi dari sini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro