Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pelarian

"Saya pikir, kita tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini. Saya ingin fokus membangun bisnis saya dan takut kamu tidak betah menunggu terlalu lama."

Kenyataan yang tak ingin Cahya hadapi itu pun terjadi.

Semenjak Bapak meminta Azka ke rumah, pria itu memang tidak berani datang lagi ke rumah. Cahya merasakan sikap Azka mulai berubah, tidak lagi sehangat dulu. Chat atau telepon darinya sering diabaikan. Kalaupun dibalas, hanya beberapa kata yang disingkat-singkat.

Sampai akhirnya Azka mengajak Cahya bertemu di kafe tempat biasa mereka nongkrong, dan pernyataan yang membuat hati Cahya berkeping itu muncul.

Azka memang sedang merintis usaha baru untuk yang kesekian kalinya. Beberapa kali dia mencoba berbisnis seperti sablon kaus, jualan liquid vape, crepes, dan entah apa lagi, dan selalu berakhir dengan kegagalan. Berkali-kali pula Cahya mengingatkan agar Azka serius dan serta tidak cepat tergoda mencoba bisnis baru yang terlihat menjanjikan dan membiarkan bisnis yang sedang berjalan menjadi terbengkalai.

Tidak hanya memperingatkan. Cahya selalu membantu apa pun yang dia bisa untuk memastikan bisnis baru Azka tidak kembali berakhir dengan kegagalan.

Kali ini, dia mencoba bisnis apa lagi? pikir Cahya.

Azka meneguk latte yang sudah mulai dingin, membasahi tenggorokannya, dan melanjutkan ucapannya.

"Saya tahu kamu sangat kecewa, tapi kamu berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik dari aku, Cahya. Kamu punya mimpi dan aku juga. Tapi, kita tidak bisa mewujudkan impian kita itu bersama. Maaf kalau harus berakhir seperti ini."

Cahya hanya diam. Tidak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Kesal, marah, sedih,semua bergejolak dalam hatinya. Ingin dia memaki dan menyemburkan sumpah serapah kepada Azka, tapi lidahnya kelu.

Apa yang harus dia katakan kepada Mak dan Bapak? Apa kata teman-temannya nanti? Semua impiannya bersama Azka mendadak hancur berkeping-keping.

Dia memegang cangkir minuman yang masih penuh terisi. Ingin rasanya dia menyiramkan isinya ke wajah Azka, tapi tangannya terasa lemah tidak bisa digerakkan. Lagi pula, dia bukan wanita seberani dan sekasar itu.

Cahya hanya mengelus tangkai cangkir itu dengan ujung jemarinya. Dia juga enggan menatap wajah Azka. Bukan tidak berani, tapi karena terluka. Meskipun dia sudah punya firasat hubungan mereka akan berakhir, tapi ketika itu benar-benar terjadi, dia sungguh tidak siap.

"Kamu yakin?" Cahya bertanya dengan suara bergetar, nyaris tidak terdengar. Dia menyibakkan rambutnya ke belakang telinga, seolah ingin mendengar lebih jelas jawaban Azka.

"Ehm, kamu yakin mau mengakhiri hubungan ini?" Cahya mengulang pertanyaannya dengan agak keras, tapi terdengar masih lirih. "Kalau memang itu keputusanmu dan itu yang terbaik, saya tidak akan memohon kamu mengubah keputusan. Semoga kamu benar-benar sudah memikirkannya sebelum memutuskan dan tidak menyesalinya nanti," lanjut Cahya dengan suara lebih tegas.

Azka hanya membalas dengan anggukan yang terlihat ragu. Sebenarnya dia masih sayang kepada Cahya, tapi dia tidak punya cukup keberanian untuk memperjuangkan Cahya kepada mamanya. Dia lalu berdiri. "Maaf, saya harus pergi sekarang. Ada meeting dengan investor bisnis satu jam lagi. Saya tidak boleh terlambat dan membuat mereka menunggu lama."

Azka mengulurkan tangan ingin menyalami Cahya. Namun, jemari Cahya tidak beranjak dari pegangan cangkir.

"Baiklah. Selamat tinggal. Jaga kesehatanmu, ya."

Azka membuka dompetnya dan meletakkan selembar uang seratus ribuan di atas meja, lalu melangkah pergi. Cahya sebenarnya merasa terhina menatap lembaran kertas merah itu. Namun, dia terlalu malas untuk mencegah Azka meninggalkan uang itu.

Kafe itu dulunya tempat mereka biasa nongkrong, menghabiskan waktu berjam-jam untuk ngobrol dan menuliskan impian-impian mereka. Dulu, kafe ini selalu membuat betah karena suasananya yang nyaman. Namun, kini Cahya merasaa suasana kafe ini menjadi suram dan pengap. Dia tidak berselera lagi menghabiskan minumannya.

Cahya masih duduk mematung. Dia hanya melirik sekilas tepat ketika Azka membuka pintu, masuk ke mobilnya, dan pergi. Perlahan matanya yang bulat dan bening, terasa panas dan basah karena air mata.

***

Malamnya, Cahya yang biasa ceria di meja makan saat santap malam bersama keluarga, lebih banyak diam dan hanya sesekali tersenyum kecil ketika adik-adiknya bercerita. Padahal, biasanya dia ikut heboh menimpali.

Mak dan Bapak sadar ada sesuatu yang dialami anak mereka, saling pandang, tapi tidak ingin salah bertanya.

Selesai makan, Cahya yang biasanya membantu Mak membereskan meja, langsung masuk ke dalam kamar. Bapak memberi isyarat supaya Mak menyusul Cahya ke kamar.

Ketukan pintu kamar membuat Cahya cepat-cepat menghapus air matanya.

"Cahya .......," terdengar Mak memanggil dengan lembut.

"Masuk aja, Mak!"

Cahya menyembunyikan tisu yang basah karena air mata di balik bantal.

"Ada kejadian apa hari ini, Nak? Kamu tidak seperti biasanya?" ucap Mak pelan sambil duduk di pinggir ranjang. Pinggiran ranjang itu sedikit berdecit diduduki tubuh Mak yang gempal.

Cahya bangkit dari tidurnya, matanya sembap. Tanpa menjawab, Cahya memeluk erat tubuh Mak, tangisnya pecah. Hanya bahu Mak tempat paling tepat untuk dia menumpahkan kesedihannya.

Dia menceritakan keputusan Azka dengan terbata-bata dan terus menangis. Rasa kecewa ini terlalu dalam. Dia belum siap untuk kecewa, belum siap dengan kehilangan.

Mak dengan sabar terus mendengarkan semua kesedihan Cahya. Sesekali diusapnya air mata yang jatuh di pipi Cahya. Tidak tega rasanya Mak melihat kepedihan hati putrinya ini.

"Lalu, apa rencanamu, Nak?" Mak bertanya pelan, menyibak dan merapikan rambut Cahya yang kusut dengan jemarinya. Tampaknya Cahya sudah mulai tenang dan bisa menguasai diri.

"Entahlah, Mak. Cahya butuh waktu untuk menerima semua ini. Tapi, kalau masih dikota ini, mungkin berat karena banyak kenangan kami di sini."

"Maksudnya Cahya mau pergi?" tanya Mak lembut.

Cahya hanya mengangkat bahu.

"Bagaimana kalau kamu pergi ke luar kota, liburan beberapa hari untuk menenangkan diri?" Mak meberi saran.

"Hilang untuk healing ya, Mak?" jawab Cahya tersenyum. Meski Mak tidak paham ucapan Cahya, tapi melihat putrinya mulai bisa tersenyum, Mak mengiyakan.

Saran yang diberikan Mak tiba-tiba mendatangkan ide. Namun, Cahya ragu apakah idenya ini akan diizinkan oleh Mak dan Bapak. Lama dia termenung, menimbang-nimbang dan memilih kata yang tepat. Lalu, dengan ragu-ragu dia bertanya, "Mak, bagaimana kalau saya perginya tidak untuk liburan? Tapi, saya pergi selama beberapa bulan ke Jakarta."

Mak kaget. Tidak percaya dengan apa yang baru dia dengar. Belum sempat Mak bertanya, Cahya melanjutkan, "Ada Dewi, teman kuliah dulu yang sedang mondok diJakarta. Semacam pondok pesantren khusus untuk menghafal Al-Qur'an."

"Cahya akan pergi beberapa bulan?" Mak memotong ucapan Cahya cepat.

"Iya. Dewi sudah dua tahun di pondok itu menghafal Al-Qur'an," Cahya mengangguk.

"Jadi, Cahya juga akan pergi selama itu?" kata Mak lirih. Dia menunduk sedih membayangkan kepergian putrinya.

"Paling lama dua tahun, Mak. Kalau di pondok, selain menghafal Al-Qur'an, kan, juga bisa memperdalam agama, memperbaiki diri, dan mendekat kepada Allah," jawab Cahya.

Entah kenapa, dia merasa dia harus melakukan itu. Dia benar-benar ingin pergi jauh dari kota ini. Jauh dari kenangannya dengan Azka.

Cukup lama Mak terdiam membisu. Matanya menatap foto-foto di dinding kamar Cahya. Tidak pernah dia membayangkan Cahya akan pergi meninggalkan rumah ini.

Akan tetapi, Mak paham apa yang sedang dirasakan Cahya. Toh, Cahya pergi menuntut ilmu agama. Jadi, tidak ada salahnya memberi sedikit ruang buat Cahya sendiri untuk beberapa waktu.

"Baiklah, kalau memang itu keputusanmu, Mak akan bicarakan dulu sama Bapak semoga beliau bisa mengerti dan memahami keputusanmu."

Cahya tersenyum dan memeluk erat tubuh ibunya. Tapi, jauh di lubuk hatinya, dia merasa gentar. Apakah benar langkah yang akan diambilnya ini?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro