Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hujan

Belum hilang letih Aldi sepulang dari Bandung kemarin, hari ini dia diminta pimpinan untukmeeting khusus berdua di ruangannya.

"Bagaimana laporan penjualan bulan kemarin, Di?" Atasan Aldi tanpa basa-basi menodongnya dengan pertanyaan begitu Aldi dia memasuki ruangan kantor dan menyerahkan berkas laporan, termasuk hasil evaluasi cabang di Bandung. 

Pimpinan kantor pusat ini bernama Burhan Bachtiar. Meskipun menjabat direktur, usianya masih sekitar 45 tahun. Wajahnya tampan dengan tubuh yang tegap berisi. Serasi dengan rambut hitam mengilat dan disisir rapi. Menambah karismanya sebagai pemimpin.

"Dibanding bulan lalu, laba bersih turun 5%, kalau dibandingkan dengan bulan yang sama tahun kemarin, turun 8%, Pak," jawab Aldi sambil membolak-balik lembaran kertas laporan di tangannya.

Air muka Pak Burhan berubah tidak senang. Dia langsung melontarkan pertanyaan menohok. 

"Kenapa? Bukankah kita sudah menjalankan semua idemu dalam memasarkan produk? Kita juga sudah merekrut karyawan khusus yang handle pemasaran online sesuai saranmu." Suara berat Pak Burhan begitu mengintimidasi. 

Dia membuka lembaran laporan dari Aldi dan menggeleng-geleng melihat angka, tabel, dan grafik di sana. Aldi gelagapan, berusaha memberikan penjelasan.

"Iya, Pak, tapi karyawan itu udah resign minggu lalu, karena katanya tidak betah dengan suasana kantor," jawab Aldi merasa bersalah.

Posisi sebagai manajer pemasaran membuatnya paling bertanggung jawab atas kinerja perusahaan yang terus memburuk.

"Kamu kan, bisa pakai jasa agency, jadi tidak perlu repot-repot rekrut anak manja zaman sekarang yang dengan mudah keluar-masuk perusahaan hanya karena merasa tidak betah. Mereka pikir kita start up yang dengan gampangnya bakar duit?" Pak Burhan bersungut-sungut kesal.

"Dengan kebutuhan konten dan pemasaran kita, akan jauh lebih hemat merekrut karyawan, Pak. Saya sudah tanya beberapa agency untuk handle, tapi budget yang mereka minta di atas anggaran pemasaran kita. Untuk menutupinya, mau tidak mau akan berimbas pada harga produk. Sementara dengan harga saat ini saja, kita kesulitan menjualnya," Aldi memberikan argumen yang masuk akal.

"Terus bagaimana dengan serum antiaging yang baru dirilis?"

"Nggak ngangkat, Pak. Jauh di bawah target."

Perusahaan ini sebenarnya sudah lumayan lama bermain di pasar, tapi mulai kewalahan bersaing dan terus mencatat penurunan laba yang mengkhawatirkan. Selain gempuran brand baru yang lebih lincah dalam marketing, birokrasi kantor yang berbelit dan pegawai yang didominasi karyawan senior, membuat setiap perubahan daninovasi memerlukan waktu yang lebih lama untuk dijalankan. Ada saja hambatan dari mereka yang nyaman dengan status quo. Ide-ide kreatif dan inovatif dari pegawai yang lebih muda mentah di ruangan rapat sehingga pegawai muda menjadi malas untuk berkreasi. Ponsel Pak Burhan berdering memecah kebisuan. 

Dia bicara sejenak di ponsel, "Halo? Iya ... Mungkin pulangnya malam. Nggak, nggak usah ditungguin. Kalian makan aja duluan. Papa ada janji dinner dengan klien." Dia meletakkan ponselnya, dan langsung menatap Aldi lagi. 

"Apa rencanamu selanjutnya? Kita tidak bisa membiarkan perusahaan begini terus. Bisa-bisa kita harus ngurangin karyawan untuk efisiensi."

"Minggu lalu saya sudah koordinasi dengan Tim HRD, Pak. Mereka sudah membuka lowongan baru untuk posisi marketing. Seharusnya dalam bulan ini sudah ada penggantinya," jawab Aldi.

"Oke, saya beri kesempatan tiga bulan ini untuk berbenah. Kamu harus memastikan nanti karyawan baru bisa mencapai target dan kalau perlu ikat dia dengan kontrak jangka panjang, biar kita nggak repot rekrut karyawan berulang kali," pesan Pak Burhan.Pembicaraan kembali terpotong dering ponsel Pak Burhan. 

Dia tersenyum ketika melihat nama yang muncul di layarnya.

"Halo, Sayang," sapa Pak Burhan, 

"nggak nih, lagi santai. Gimana?" Dahinya berkerut, tapi segera hilang, dan senyumnya terulas kembali, 

"iPhone? Baiklah, sebentar lagi saya transfer ya." Aldi pura-pura sibuk membuka ponselnya. 

Dia paham siapa yang sedang berbicara dengan Pak Burhan. Selain istri sah, Pak Burhan juga memiliki wanita lain yang dinikahi siri. Aldi tidak tahu berapa orang yang menjadi simpanan Pak Burhan karena dia tidak sekurang ajar itu untuk bertanya langsung. Namun di kantor, hal ini sudah menjadi rahasia umum.

"Oh iya, Pak, sekalian saya minta izin hari ini pulang cepat. Mau nganterin putri saya ke dokter. Sejak semalam badannya panas. Istri saya minta ditemani." 

Pak Burhan mengiyakan. 

Setelah beberapa saat mengetik di layar ponselnya, dia berkata, "Barusan saya transfer sedikit uang jajan buat anakmu. Nanti kalau dia sudah sehat, ajak beli makanan kesukaannya. Salam buat keluargamu, ya!"

"Terima kasih, Pak."

Aldi hafal, Pak Burhan paling tidak suka kalau pemberiannya ditolak dengan basa-basi. Orangnya memang keras kalau urusan kerjaan. Namun, dia tipe pimpinan yang royal dan tidak pelit membantu anak buahnya atau sekadar memberi uang traktiran seperti ini. 

Pak Burhan kembali menghubungi wanita di seberang telepon tadi.

"Sudah saya transfer, ya. Sama-sama, Sayang."

Pak Burhan hanya mengangguk sambil terus menelepon ketika Aldi pamit. Aldi melirik jam tangannya ketika sampai di parkiran mobil. Masih pukul satu siang, tapi langit gelap tertutup gumpalan awan yang menghitam. Satu-satu tetes hujan turun ketika Aldi meninggalkan kantor.

***

Di sudut lain Ibu Kota, hujan makin deras turun mengguyur bumi. Berdenting-denting menimpa atap pondok tahfiz yang ditempati Cahya, gadis muda berusia sekitar 25 tahun.

Cahya bukanlah wanita yang bisa membuat lelaki terpana pada pandangan pertama. Bukan wanita yang bisa mencuri perhatian di tengah keramaian dengan kecantikannya.

Akan tetapi, wajahnya cukup manis. Kulitnya sawo matang, alisnya melengkung teratur menaungi bola matanya yang bening dan bulat. Hidungnya tidak begitu mancung, tapi harus diakui, Cahya memiliki dagu yang indah dengan sedikit belahan simetris.

Dia menutup mushaf Al-Qur'an setelah menyelesaikan tilawahnya pada surah SurahAn-Nur ayat 43 seusai menunaikan shalat Zuhur."Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan- Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan."

Tidak terasa sudah satu tahun dia berada di pondok ini, pergi dari kampung halamannya, merantau ke Jakarta. Pelan dia angkat mushaf itu, mengecupnya dengan takzim dan sejenak meletakkannya di atas kepala. Dia tidak tahu dari mana kebiasaan itu muncul. Namun, seingatnya, Nenek dulu sering melakukannya setiap selesai tilawah.

Dengan agak malas Cahya bangkit, melipat sajadahnya, meletakkan mushaf itu di rak pakaian bagian atas, lalu berjalan menuju jendela. Mukena satin putih bermotif sakura pink lembut, masih membalut tubuhnya. Jendela mulai basah kena tempias hujan yang makin menderu. Namun, bunga-bunga dan tanaman liar di taman yang merunduk basah tertimpa derasnya hujan, masih terlihat di sela embun yang menutupi kaca.

Hujan membawa ingatan Cahya melayang kembali ke masa lalu, ketika dia memutuskan untuk pergi dari kota kelahirannya. Bukan keinginan untuk bertumbuh yang membuatnya berangkat, melainkan lari dari semua masalah yang dihadapi.

***

"Kapan Azka datang untuk melamar?" Pertanyaan Bapak waktu itu membuat Cahya seketika salah tingkah.

"Tidak elok wanita seumuran kamu bepergian ke mana-mana dengan lelaki yang bukan pasangan sah. Terus terang Bapak sama Mak malu sama tetangga. Suruhlah pacarmu ke sini bersama orang tuanya, kita bicarakan tentang pernikahan kamu!"

Ini bukan lagi sekadar pertanyaan, melainkan ultimatum. Kalau Bapak yang biasanya lebih banyak diam sampai bicara seperti ini, artinya masalah ini sudah sangat mengganjal hatinya.

Cahya hanya menghela napas. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Azka sebenarnya pria yang baik, tapi dia belum dewasa dan matang untuk hal yang satu itu. Tidak hanya sekali Cahya membicarakan kelanjutan hubungan mereka kepada Azka, tetapi jawaban Azka hanya membuatnya makin frustrasi. 

Pria itu mengaku belum siap dan ingin mandiri dulu sebelum menikah, supaya tidak bergantung dan menjadi beban keluarga. Cahya paham itu hanya alasan Azka saja menutupi kegamangannya. Azka sangat tergantung kepada mamanya. Semua keputusan yang diambil, selalu harus melalui persetujuan mamanya. Meskipun seorang anak memang harus taat kepada orang tua, terutama ibu, tapi seorang pria harus berani mengambil sikap untuk masa depannya dan menentukan wanita mana yang akan dinikahi.

Satu hal lagi, Cahya sebenarnya ragu mama Azka akan menerima dirinya sebagai menantu dengan mudah. Meskipun di depannya mama Azka sangat baik, tapi perbedaan status sosial keluarga mereka yang terlalu jauh membuat Cahya berpikir dia tidak akan mudah diterima dalam keluarga Azka. Itu juga yang membuat Azka mengulur-ulur waktu untuk melanjutkan hubungan mereka ke tahap yang lebih serius.

Sementara Cahya tenggelam dalam kenangannya tentang Azka, hujan makin lebat, angin menderu kencang. Setangkai bunga matahari yang mekar indah, patah karena kelopaknya yang penuh berisi, tidak kuat menahan deras air dan kencangnya angin. Cahya sedih. Bunga matahari itu ditanamnya dengan tangan sendiri, tumbuh mekar dan indah, kini patah, sepatah hati Cahya.

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro