Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Hijrah

 Hati siapa yang tak bahagia ketika cintanya terbalaskan, berkat kesabaran dan usahanya kini membuahkan hasil. Kekuatan doa sangat luar biasa, cinta yang pertama dibangun atas dasar keterpaksaan dan penuh sentimental berujung cinta suci dalam mahligai kebahagiaan. Mengutamakan Allah dalam cinta akan membuat kita semakin dekat pada-Nya. Tepat hari ini, Faris lagi-lagi dikejutkan sang istri yang mengenakan pakaian tertutup dan berhijab di malam hari. Tidak main-main, bukan berhijab saja Alma memutuskan akan bercadar menutupi wajahnya tanpa paksaan dari sang suami.

"Apa yang membuatmu ingin bercadar Almahyra?" tanya Faris.

"Aku ingin hijrah, hubby."

"Aku ingin melaksanakan sunnah yang dicontohkan para istri Rosulullah Shalallahu Alaihi Wassalam," sambungnya.

"Masya Allah."

Kagum terhadap kerendahan hati istrinya, Faris ingin memberikan hadiah kecil untuk Alma, membawanya pergi ke toko baju muslim langganan di dekat rumahnya. Alma menyetujui dan sangat bahagia, dengan senang hati mereka pun bersiap-siap dan pergi, sebelumnya Faris mengajak Alma bermobil. Namun, Alma bersih keras meminta jalan kaki karena ingin mengabiskan waktu lebih lama berdua dengan sang suami di luar rumah. Mereka pun berjalan dengan santai sambil berbincang hangat. Tibanya di sana Alma memilih beberapa gamis berserta cadar dengan warna yang indah menurut sang suami.

"Kalau mau dicoba dulu gak apa-apa mbak," ucap karyawan toko tersebut.

"Hubby, bolehkan?" ucap Alma meminta izin.

"Ya, silahkan," balas Faris tersenyum tipis.

Alma mencoba salah satu pakaian yang dibeli. Memasuki ruang ganti pakaian, mengenakan gamis dan kerudung syar'i berwarna hijau serta yang terakhir, Alma hampir lupa memakai cadar. Setelah itu Alma memperlihatkan penampilan barunya pada Faris.

"Bagaimana?"

"Apa aku terlihat kayak Ustadzah?" tanya Alma seraya berputar-putar sehingga gamis yang membaluti tubuh mungilnya itu mekar bak teratai.

"Gak," jawab Faris singkat.

"Kok enggak, sih?"

"Habis perut kamu buncit," kata Faris. Hanya bercanda, ia pun menahan tawa.

Alma melihat perutnya, benar. Sekarang perutnya mulai membesar, Alma mengelus-elus perutnya sendiri. Ekspresi wajahnya berubah cemberut.

"Kok kamu gitu? Emang Ustadzah gak boleh hamil?"

Faris membisu, Alma membawa candaan itu serius. Perasaan Faris mulai tidak enak. Ia benar-benar merasa bersalah.

"Maaf---"

"Aku tahu, aku gak pantas menjadi Ustadzah, aku memang seorang pendosa. Kukira kamu orang baik yang bisa menjaga perasaan orang lain, ternyata tidak!" ucap Alma dengan nada suara tinggi, membuat orang-orang sekitar terdiam dan mengalihkan pandangan padanya. Mereka baru menyadari akan kehadiran Faris dan istrinya di toko ini.

"Alma---"

"Aku mau ganti pakaian, jangan ikutin aku Faris."

"Baik."

Alma mengganti pakaiannya kembali, lalu mengembalikan satu set gamis dan cadar itu ke karyawan toko. "Gak jadi belinya mbak, jual aja ke orang lain," ucapnya kesal dan pergi.

"Maaf ya mbak, saya akan kembali nanti."

Faris bergegas pergi menyusul istrinya, tak ingin membuat mood Alma semakin hancur Faris membiarkannya berdiam diri. Alma sedikit menjauh dari Faris yang berada disampingnya. Kini kedua pasangan itu pulang ke rumah tanpa sepatah kata.

"Kenapa diem?!" tanya Alma sinis pada Faris yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Bingung mau berkata apa, Faris menggaruk kepala yang tak gatal. Ibu hamil memang sering kali sensitif, mungkin itu penyebabnya, Faris memakluminya saja. Namun, rasa bersalah tetap ada di dalam hatinya.

"Maaf," ucap Faris.

"Itu doang?" protes Alma, ia berharap Faris memeluk atau melakukan sesuatu membuat hatinya kembali membaik.

"Biasanya kamu sering peluk dan cium aku, kenapa kalau keadaan seperti ini kamu diam aja kayak kutu mati?"

"Kutu mati bukan mati kutu," balas Faris memperbaiki kata kiasan itu.

"Ya, gitulah," pekiknya.

"Capek, aku mau tidur," sambungnya. Melangkahkan kaki naik tangga menuju ke kamarnya di lantai atas.

Faris menarik napas, lalu membuangnya perlahan. Memberi istrinya waktu menenangkan diri. Sembari itu Faris membaca buku, dari kecil ia memang suka membaca apalagi di waktu kosong. Sepuluh menit berjalan, Faris baru ingat jika istrinya belum minum susu. Faris bergegas ke dapur membuat susu untuk istrinya, setelah selesai ia membawa segelas susu menemui.

"Assalamualaikum."

"Alma," panggil Faris sambil mengetuk pintu kamar istrinya.

"Kamu sudah tidur, ya?"

"Saya bawain susu buat kamu, kamu belum minum susu 'kan?"

"Alma." Faris menekan knop pintu, pintunya terkunci Faris tak bisa masuk.

"Almahyra."

Di dalam sana, Alma tak bisa mengabaikan suaminya. Rencananya yang berpura-pura tidurpun gagal, meski menutup telinga dengan bantal pikirannya terus tertuju pada laki-laki di luar sana. Tanpa ragu Alma beranjak dari tempat tidur, membuka pintu kamarnya dan langsung memeluk sang suami.

Faris terkejut, hampir sedikit lagi segelas susu itu mau tumpah. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Faris mulai panik.

Alma menggeleng. "Aku gak bisa marah lama-lama sama kamu," ucapnya.

"Rasanya, aku tuh tersiksa," lanjutnya.

"Alhamdulillah," batin Faris legah. Tak terjadi apapun pada istrinya, Faris tersenyum tipis, mengusap lembut pucuk kepala istrinya.

"Bagaimana kalau minum susu dulu."

Faris membawa Alma kembali ke kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Alma meraih segelas susu dari sang suami lalu meminumnya sampai habis dan meletakkan gelas di atas meja kecil di samping tempat tidur.

"Udah."

Alma terlihat menggemaskan, seperti anak kecil yang baru bisa minum. Ada sisa air susu membentuk kumis di bawah hidungnya. Wajah polos Alma membuat Faris tertawa singkat, ia menghapus sisa air susu itu dengan jari jempolnya.

"Saya sangat bersyukur mempunyai istri yang lucu," ucap Faris mencubit lembut pipi istrinya.

"Tadi kamu bilang, kalau kamu gak bisa marah lama-lama dengan saya. Kenapa?"

Alma menggeleng. "Gak tahu," balasnya.

"Gak tahu atau gengsi mau bilang?" goda Faris.

"Ya, karena aku cinta sama kamu," kata Alma, akhirnya jujur.

"Tuh 'kan, baru ngaku."

"Bagaimana denganmu, hubby?"

"Ya, begitulah."

"Begitulah apa? Kenapa kamu susah banget buat ungkapin cinta sama aku?"

"Emangnya cinta harus diungkapin, ya? 'Kan bisa diungkapin melalui doa."

Alma menarik napas dalam-dalam dan membuangnya sambil memejamkan mata sejenak. "Terserah kamu aja, tapi aku punya permintaan sama kamu."

"Permintaan apa?" tanya Faris, mengangkat salah satu alisnya.

"Mulai malam ini, seterusnya dan selamanya aku mau kita tidur bersama. Kamu gak ngerasa aneh gitu, ya? Kita udah sah suami istri, tapi kenapa pisah ranjang? Atau emang kamu yang gak mau tidur sama aku? Atau kamu jijik tidur sama wanita yang udah gak perawan lagi dan lagi hamil anak orang lain pula."

"Astagfirullahaladzim, Alma. Kenapa berkata seperti itu?" bantah Faris.

"Ya, lagian kamu kutunggu setiap malam di sini."

Faris terdiam sejenak, menggenggam tangan Alma. "Maaf, terkadang saya bingung dengan sikap kamu yang sulit ditebak. Maaf kalau sampai sekarang saya belum bisa mengenal kamu seutuhnya, tapi saya akan selalu berusaha memperbaiki diri dan menjadi suami yang baik buat kamu. Jadi, mari kita tidur sekarang." Faris merebahkan diri di tempat tidur, melentangkan salah satu tangannya agar bisa dijadikan bantal untuk sang istri.

Dengan hati bahagia, Alma pun ikut merebahkan diri di samping Faris. Tanpa jarak diantara keduanya, kini Faris membekap erat tubuh mungil Alma, sesekali mencium kening dan membelai rambutnya.

"Selamat tidur, Almahyra. Ana uhibbu ki."

***

Maaf ya slow update.

Pokoknya jangan khawatir, ikutin cerita ini terusss karena perjalanan Alma dan Faris masih panjaaang bangeet!

Sampai jumpa di next part :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro