11. Pernikahan Bukan Permainan
Alma mencium pipi kekasihnya. "Makasih, ya," ucapnya. Ia sangat bahagia, Kevin mentraktirnya makan di tempat favorit mereka. Dia tak tahu, uang yang digunakan mentraktirnya itu jatah biaya hidup Kevin satu bulan yang diberi orang tuanya. Demi pacarnya, Kevin rela melakukan apa saja kecuali menikah. Ia belum siap akan itu.
"Jaga diri baik-baik, nanti kalau ada waktu kita ketemu lagi," balas Kevin.
"Okey, bye sayang I love you."
"I love you too, aku pulang bye."
Alma melambaikan tangan padanya. Melihat kekasihnya sudah pergi jauh, ia berjalan menuju rumahnya. Kevin sengaja mengantarnya tak sampai rumah karena takutnya nanti ketahuan apalagi Faris ada di rumah.
"Kenapa baru pulang?"
Percuma Alma membuka pintu pagar halaman rumah dengan hati-hati dan begitu pula saat ia masuk ke rumah, Faris sengaja menunggunya pulang. Kehadirannya diambang pintu membuat Alma terkejut.
"Bisa gak sih, gak usah kagetin!" pekiknya, selalu tak santai jika berbicara dengan Faris.
"Kamu tahu ini jam berapa? Udah jam 8 malam, Ma," ucap Faris selalu sabar menghadapi istrinya.
"Kamu pergi dari pagi dan baru pulang sekarang, kamu ke mana?"
"Jujur sama saya," lanjut Faris.
"Suka-suka gue dong---"
"Alma," Faris menahan istrinya yang hendak naik ke lantai atas.
Sepasang mata mereka kini beradu. Pancaran mata laki-laki itu berubah dingin, rahang tegasnya pun mengeras, Faris tahu yang sebenarnya. Ia hanya ingin istrinya jujur.
"Jujur, kamu dari mana?" tanyanya lagi.
"Bukan urusan lo!" jawab Alma spontan.
Faris menghela napas berat, tak ada pilihan lain. Ia memamerkan foto di layar ponselnya pada Alma.
"Sekarang kamu jujur sama aku, dia siapa?" Faris menunjuk laki-laki di foto itu.
Mata Alma terbelalak, sangat terkejut. Ia merampas ponsel Faris, memastikan foto mesra kedua pasangan tersebut dan ternyata benar. Itu dia dan Kevin yang berada di tempat parkir starbuck. Alma ingin menghapus foto itu, menekan tombol kembali pada chat, ia jadi tahu siapa yang mengirim foto itu pada Faris. Siapa lagi kalau bukan Supri, Alma semakin membencinya sekarang.
"Nih." Ia mengembalikan handphone dan berhasil menghapus foto itu bukan hanya di chat dan galleri, tapi di tempat penyimpanan sampah juga.
"Tolong jelaskan," pinta Faris.
Alma membuang napas gusar, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Badannya tiba-tiba memanas, ia sangat jengkel pada Faris.
"Memangnya kalau gue jelasin lo bakal apa? Ceraikan gue? Ya, silahkan. Gue akan pergi dari sini!" ketusnya. Kemudian melangkah lari naik tangga menuju ke lantai atas meninggalkan Faris.
"Astagfirullahaladzim." Faris terus beristigfar, sambil mengelus dada dan kembali duduk ke sofa. Memijat pelipis dengan tenang, hatinya sedang tidak baik-baik saja. Ia menghidupkan layar ponsel, tak ada lagi foto-foto itu. Alma telah menghapusnya.
Hati siapa yang tak hancur melihat sang istri pergi dengan laki-laki lain. Faris mengusap wajahnya, terus menyebut nama Allah dalam hati. Tak ingin kecemburuan dan rasa sedih menguasai hatinya karena tak ada cinta yang lebih besar selain cintanya kepada Allah SWT. Faris memang mencintai Alma. Namun, dia tak ingin menduakan Allah. Mungkin ini teguran untuknya bahwa mencintai manusia cukup sewajarnya.
Bagaimana bisa Faris menceraikan istrinya, sedangkan di bahunya terdapat amanah yang begitu besar dari kedua orang tua Alma. Apa yang dikatakan Alma ketika mabuk memang benar. Faris tak tahu sejak kapan Alma mempunyai kekasih. Andai sebelum menikah Alma jujur, maka dengan senang hati Faris tak akan meminangnya. Sungguh keji wanita itu, sikap manisnya hanya di awal saja.
"Sebenarnya apa yang diinginkan Alma sehingga mau dijodohkan denganku."
"Astagfirullahaladzim, ya Allah."
Tak ingin lanjut memikirkan itu, karena pikirannya akan kotor sebab berprasangka buruk terhadap istrinya. Sejahat apapun Alma padanya, Faris tak bisa melepaskannya sampai hidayah mengetuk hatinya.
Di lantai atas sana, setelah memasukkan semua pakaian ke dalam koper Alma bergegas keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah. Alma ingin pergi, dia tak tahan terus menetap di rumah ini. Faris yang baru saja beranjak dari sofa, mau tahajud menenangkan diri nampak terkejut melihat istrinya membawa koper menuruni tangga dan berjalan ke arah pintu.
"Mau ke mana?" tanya Faris mendekat padanya.
"PERGI!" teriaknya.
"Alma."
"Hei, tunggu."
"Berhenti." Faris menahan lengannya.
"Sudah larut malam, kamu mau pergi ke mana? Saya gak akan biarkan kamu pergi," tegas Faris.
"Lepasin!" Alma berusaha melepaskan tangannya dari Faris.
"Baik, saya akan lepaskan, tapi janji kamu gak akan pergi."
"GAK, GUE AKAN TETAP PERGI!" teriaknya.
"Baiklah, kalau begitu saya akan ikut."
"WHAT? GILA LO? NGAPAIN MAU IKUT GUE?!"
"Saya khawatir sama kamu, pertama kamu pergi berduaan dengan laki-laki lain yang bukan mahram. Yang kedua kamu boros dan suka mabuk dan yang ketiga kamu membohongi saya dan orang tua kamu, bukan hanya kedua orang tua kamu saja, tapi orang tua saya juga. Pernikahan bukan permainan, Ma. Bertaubatlah sebelum Allah murka. Saya berjanji akan membimbing kamu." Faris tersenyum tipis.
"Jadi, maksud lo gue pendosa gitu?"
"Lo bisa gak sih, gak usah bawa-bawa Allah. Gue tahu kalau lo itu Ustadz!"
"Gue akan tetap pergi!"
Keputusannya sudah bulat, Alma akan pergi. Ia melepaskan tangan Faris dengan kasar, membalikkan badan, tanpa menyadari pintu rumah di hadapannya. Kepalanya pun terbentur.
Brak.
"Aduh."
Alma jatuh terduduk. Ia mengusap-usap dahinya, rasanya begitu perih. Sampai-sampai air matanya keluar sendiri.
"Tuh, apa saya bilang," ucap Faris mencoba membantunya berdiri. Faris benar-benar lelaki yang hebat, sedikitpun tak mentertawakan istrinya, dia malah khawatir dengan keadaan Alma sekarang.
"Gak usah sentuh gue!" Alma mendorong Faris, ia berdiri sendiri.
"Lagian nih pintu ngeselin banget, ih rasain!" Alma menendang pintu, kemudian kembali ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya. Berkaca di cermin meja hias, kaget melihat benjolan dahinya sebesar telur ayam, Alma menjerit histeris. Jeritan melengkingnya sampai ke bawah terdengar oleh suaminya.
"AAAAAA, JIDATKU!"
Faris hanya bisa menghela napas. Miris, apa yang ia katakan terbukti. Itu adalah peringatan dari Allah, entah bagaimana kondisi istrinya sekarang. Faris segera menyiapkan air hangat dan handuk kecil untuk mengompres jidat Alma. Dilihat tadi jidatnya membengkak dan memar. Sekarang Faris sudah berada di depan pintu kamar istrinya.
Tok, tok, tok.
"APA?!" teriak Alma, tahu jika yang mengetuk pintu suaminya.
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Faris.
"PARAH, JIDAT GUE PECAH. KELUAR DARAH DAN OTAK GUE SAMPAI KELUAR!" jawabnya spontan.
Faris berusaha menahan tawa, disaat keadaan sakit pun istrinya masih bisa bercanda. "Serius?" balas Faris.
Alma tak menjawab.
"Saya bawain air hangat, kamu bisa kompres sendiri?"
Faris tahu, istrinya itu tak akan mengizinkannya masuk. "Saya letakin di depan pintu, ya," ucap Faris. Berlalu dari depan pintu.
"SEMUA GARA-GARA LO, KALAU LO GAK NAHAN GUE TADI JIDAT GUE GAK KAYAK GINI!"
"LO TUH, NGESELIN BANGET!"
"GUE JADI GAGAL PERGI 'KAN DARI RUMAH, MASA GUE KELUAR DARI RUMAH JIDAT BENJOL!"
Tak ada respon, kesempatan untuk Alma bisa mengambil air hangat di depan pintu. Bukan marah atau kesal tak mau bertemu suaminya, tapi malu dengan benjolan di dahinya. Dia hanya tak mau mengakui, meluapkan malunya itu dengan menyalahkan Faris dan berteriak tak jelas.
Alma membuka pintu, menatap sekeliling. Tidak ada batang hidung Faris, dengan cepat ia mengambil nampan berisi mangkuk air hangat dan handuk kecil. Lalu masuk kembali ke kamar, mengunci pintu.
Bukannya pergi, Faris bersembunyi disamping lemari buku dekat kamar istrinya. Memastikan keadaan Alma, Faris jadi kasihan setelah melihat benjolan di jidat istrinya lebih besar dari sebelumnya. Ia merasa sedikit legah Alma mengambil air panas yang dibawanya.
"Syafakallah, Alma."
(Semoga Allah menyembuhkanmu, Alma.)
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro