10. Hafidzokallah (Semoga Allah Melindungimu)
Malam.
Sebelumnya aku mau minta maaf ya baru update.
Karena laptop aku lagi bermasalah dan aku lupa mindahin file cerita ke flashdisk jadi udah terlanjur di servis jadi ya gitu deh. Hehehe.
Sebagai permintaan maafku, aku akan bom part update 3 hari berturut turut.
Terima kasih. 🙏🏻
Buat pembaca baru, salam kenal. Jgn lupa vote sebelum baca dan komentar setelah baca ya, love u gaes 💖.
***
Alma cepat-cepat menutup pintu kamar dan menyandarkan punggungnya. Meletakkan salah satu tangannya di depan dada, merasakan detak jantungnya yang berdebar hebat. Napasnya ngos-ngosan, karena berlarian naik ke lantai atas ini. Ia tertangkap basah, pesona Faris menyihirnya. Tubuhnya nyaris sempurna, perutnya pun berotot berbentuk kotak. Benar-benar tipe ideal Alma. Perempuan itu tak banyak tahu tentang suaminya. Bisanya hanya berteriak, menghina dan mencaci saja. Meski disibukkan dengan dakwah, setiap selesai sholat subuh Faris selalu menyempatkan diri berolahraga. Sedangkan Alma lanjut molor, dia mana tahu.
“Ada apa? Mau berenang juga?”
Faris berhasil membuatnya salah tingkah, kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepala Alma. Semburat merah muncul di pipinya. Tak cerewet seperti biasanya, sedikitpun mulutnya tak melontarkan kata. Alma malah melarikan diri.
“Sial.”
“Kenapa gue jadi gini?!” Alma mengusap kasar wajahnya.
“Oke, lupain kejadian tadi.”
Alma menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya perlahan. Menghempas jauh-jauh ingatan tentang Faris tadi. Kini ia memikirkan pacarnya karena hari ini mereka akan bertemu. Tak sabar, Alma segera mandi ingin cepat-cepat pergi dari rumah ini.
Lima belas menit, Alma selesai mandi. Tak mau repot, ia memilih handuk dari pada baju mandi untuk menutupi setengah badannya. Lalu keluar dari kamar mandi.
“Heum, wanginya,” ucapnya setelah mencium bau badannya sendiri yang segar. Bau sabun masih melekat di kulitnya.
“Akhirnya, ketemu,” kata seorang laki-laki yang entah sejak kapan berada di dalam kamar ini. Ia mengambil sesuatu di dalam lemari kecil di samping tempat tidur.
Alma terkejut, matanya terbelalak. Spontan ia berteriak seraya menyilangkan tangan di depan dadanya. “AAAAAAAA!”
Faris terperanjat, kaget karena istrinya tiba-tiba datang dan berteriak histeris. Alma mengambil bantal di atas tempat tidur lalu melempar bantal tersebut ke arah suaminya.
“NGAPAIN LO DI SINI?!”
“DASAR USTADZ MESUM, KELUAR SANA!”
Terus diserang dengan bantal, Faris pun keluar dari kamar. Padahal tak ada niat buruk di hatinya, ia hanya mengambil buku yang ketinggalan di kamar ini. Karena yang membereskan rumah sebelum dia menikah adalah sopir pribadinya, Supri. Suhu badannya memanas, jantungnya berdegup kencang. Ya, hati siapa yang aman melihat tubuh wanita hanya terbalut handuk kecil. Meski halal, Faris tetap tak bisa menyentuhnya karena tahu wanita itu tak mencintainya.
“NGAPAIN LO MASIH DI SINI?!” jerit Alma.
“PERGI SANA!”
BRUK!
Alma menutup pintu kamar dengan keras, Faris lagi-lagi terkejut. Jantungnya nyaris copot kali ini. Ia beristigfar sambil mengelus dada dan melangkah turun ke lantai bawah.
“Astagfirullahadzim.”
Sedangkan di kamar, Alma masih dalam keadaan emosi. Handuknya terlalu kecil, bahkan hanya sedikit melewati pantat. Sebenarnya handuk tersebut digunakan untuk mengeringkan rambut. Alma menatap dirinya di pantulan cermin, ia benar-benar menyesal menggunakan handuk.
“Ih, kesel gue!”
“Kapan gue pergi dari rumah neraka ini, sih.”
“Lagian ngapai dia gak ceramah hari ini?!”
Alma terus mengoceh, sambil mengenakan pakaian dengan terburu-buru. Lalu menyisir rambutnya yang masih basah dan tak perlu berdandan karena dia sudah merasa cantik natural. Menyemprotkan parfum ke seluruh badannya, meraih handphone dan keluar dari kamar. Kemudian turun ke lantai satu.
“Mau ke mana?”
Faris meletakkan buku yang dibacanya di atas meja, beranjak dari sofa menghampiri istrinya. Alma menghentikan langkahnya.
“Bukan urusan lo!” ketusnya dengan wajah sinis.
“Biar saya yang antar.”
“Apasih? Astaga, kayak gue anak kecil aja!”
Alma ingin melanjutkan langkahnya. Namun, Faris menahan lengannya.
“Saya hanya khawatir, kamu gak---“
“Khawatir buat apa? Lo bukan suami gue, gue gak cinta sama lo!” pekiknya menyingkirkan tangan Faris dengan kasar.
“Tapi, dalam agama kita sah suami istri,” balas Faris.
“YA, MENURUT GUE ENGGAK!”
“BYE!”
Faris menahan kepergiannya lagi. Alma melotot, alisnya berkerut. Ia sangat geram pada suaminya.
“Baju kamu kebalik,” ucap Faris memberitahu Alma.
Alma memperhatikan bajunya, ternyata benar. Seketika amarah di jiwanya luntur, wajah masamnya pun hilang. Sesekali ia menunduk malu.
“E… emang modenya gitu,” ucapnya terbata-bata. Lalu lari naik tangga, kembali ke kamar membenarkan bajunya.
Faris menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung. Entah mengapa istrinya tiba-tiba naik ke lantai atas lagi.
“Mungkin ada yang ketinggalan,” batinnya.
Tak sampai satu menit, Alma sudah turun. Faris melihat baju istrinya sudah kembali normal. “Loh, katanya mode bajunya emang gitu? Kenapa diubah lagi?” batinnya.
Faris membuntuti Alma, sampai ambang pintu rumah.
“Alma, jangan lama-lama. Pulang jangan sore, ya. Jangan lupa makan dan sholat Dzuhur,” teriak Faris.
Percuma, perempuan itu tak mendengar. Alma sudah pergi bersama ojek online yang dipesannya.
“Hafidzokallah.”
(Semoga Allah melindungimu.)
***
Setelah Alma turun dari motor ojek, Kevin langsung membayar ojek online tersebut karena pacarnya itu tak punya sepeser uang. Kemudian mereka berpelukan, melepas rindu.
“Aku kangen banget sama kamu, Ma.”
“Aku juga,” balas Alma.
“Tapi…” Kevin melepaskan pelukan, menyentuh lembut pipi kekasihnya.
“Kamu kecepatan ke sini, aku masih kerja loh Ma,” lanjutnya.
“Gak papa, aku tunggu di sini. Kamu kerja aja, gak papa,” ucap Alma tersenyum tipis.
“Yakin?”
Alma mengangguk.
“Oke deh, aku juga gak bisa lama-lama di sini. Mana diam-diam lagi keluar, kamu ngerti ‘kan?”
“Ya, jangan khawatir. Aku akan nungguin kamu di sini.”
Kevin mencium kening Alma, ia merasa sangat beruntung mempunyai kekasih yang pengertian. “Nanti kita ke starbuck,” ucapnya mulai melangkah.
“Iya, iya, bye.” Alma melambaikan tangan padanya, begitu pula dengan Kevin. Laki-laki itu pergi masuk ke kawasan tempat kerjanya. Perusahaan perdagangan. Gedungnya begitu besar dan tinggi. Kevin bekerja sebagai karyawan kontrak.
Alma mencari tempat yang bisa diduduki. Lokasi perusahaan ini letaknya di pinggir jalan, hanya ada mobil yang berlalu lalang. Tak ada apapun, kecuali halte bus di seberang yang sedikit jauh. Alma segera ke sana, duduk santai di halte. Sorot matanya tak sengaja tertuju pada rumah makan di hadapannya, perut Alma jadi lapar. Dia lupa meminta sedikit uang pada Kevin, untuk mengganjal perut saja.
“Okey, tahan. Please, bisa pasti,” ucapnya sambil mengelus-elus perut.
“Adek hamil, ya?” tanya seorang wanita paruh baya yang sedang menunggu bus duduk di samping Alma.
“Ah, enggak Bu,” jawab Alma cepat.
“Terus kenapa? Jangan hamil dulu, kasihan kamu masih kecil. Kelas berapa?”
Alma menggaruk kepala yang tak gatal. Ada banyak orang yang berkata begitu. Ini bukan yang pertama kali ia disebut masih sekolah, mempunyai badan kecil serta wajah imut karena tanpa bermake up.
“Gak Bu, saya udah selesai kuliah kok,” balasnya.
“Serius? Ya, ampun. Saya kira kamu masih SMA, soalnya kamu kayak anak SMA ya.”
“Oh, iya. Ibu habis pulang dari seminar, banyak banget dikasih snack. Kamu mau?” sambungnya, mengambil sekotak snack di dalam plastik.
“Ayo ambil.” Ia memberikan snack pada Alma.
“Jangan malu-malu.” Ibu itu meletakkan snack di pangkuan Alma.
Melihat bus yang datang, Alma segera memberitahunya. “Ibu, nunggu bus ya?”
“Iya, nak.”
“Itu bus, Bu.”
“Oh, iya. Makasih, ya. Ibu duluan, ya.”
“Iya, Bu hati-hati.”
Wanita itu masuk ke dalam bus, ketika bus sudah melaju jauh, Alma membuka snack. Terdapat dua roti dan sebotol kecil air minum. Entah, ini kebetulan atau bagaimana. Alma merasa sangat senang dan setelah sekian lama hari ini dia bersyukur kepada Tuhan.
“Alhamdulillah, makasih ya Allah.”
Alma makan roti dengan lahap. Menunggu kekasihnya, sebenarnya ia bosan berada di sini. Namun, mau bagaimana lagi. Tanpa uang dia seperti batu. Sudah berjam-jam, cahaya matahari pun semakin redup. Mengantuk sudah pasti, lapar apalagi. Roti yang dimakan hanya bisa membuatnya kenyang sesaat.
“Cewek.”
Alma langsung berdiri, yang ditunggu akhirnya datang. Ia naik ke atas motor, memeluk pinggang kekasihnya. Kevin ingin menepati janjinya, akan membawa Alma ke starbuck. Tak lama, beberapa menit mereka sudah sampai di starbuck terdekat.
“Kapan kita menikah?” tanya Alma, wajahnya cemberut.
“Astaga sayang, aku bahkan baru kerja hari ini. Belum nerima gaji, tunggu beberapa bulan lagi, ya,” jawabnya melepaskan helm Alma.
“Ayo kita masuk.” Kevin menggandeng tangan Alma, membawanya masuk ke starbuck bernuansa hutan.
Tak ingin melewatkan pemandangan indah, seorang laki-laki mengabadikan kebersamaan dua sejoli itu. Memfoto Alma dan Kevin, meski berada di dalam mobil wajah mereka tertangkap dengan jelas.
“Sayang, mereka siapa? Kenapa di foto?”
“Ah, mau lapor ke sahabatku,” jawabnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro