Bab 4b
Orang-orang berpindah dari ruang tamu menuju taman belakang yang sudah disulap menjadi ruang makan dengan meja kayu panjang. Beberapa chef pribadi didatangkan untuk melayani mereka. Malam ini menunya kambing guling, dan berbagai masakan khas lokal. Saat menatap menu di tangan, Melva berharap dirinya tidak kalap dan makan tanpa terkontrol.
Nadav bangkit dari kursi, mengangkat gelas berisi cairan merah dan berucap lantang. "Mari kita bersulang untuk kedua calon mempelai yang berbahagia."
"Cheers!"
Semua orang mengangkat gelas dan berteriak bersamaan. Begitu pula Melva dan Adrian.
"Keluarga besar Wangsa, sangat menantikan pernikahan ini," ucap Laily, menimpali suaminya.
"Pernikahan pertama dari generasi ketiga Wangsa."
"Diharapkan, pernikahan ini akan membuat Adrian kami menjadi lebih bahagia. Doa yang baik untuk kedua calon mempelai." Laily mengangkat gelasnya dan meneguk perlahan isi gelas.
Tepuk tangan sopan terdengar bergemuruh di sekitar meja panjang. Setelah sambutan tuan rumah selesai, mereka mulai memesan makanan. Para koki membuat langsung makanan yang hendak disantap.
Melva memilih daging panggang dan salad. Menikmati hidangan sambil mendengarkan obrolan orang-orang di sekitar meja. Saat Adrian bangkit untuk mengambil botol minuman, ia melihat Nikita mengikuti laki-laki itu. Keduanya berdiri bersisihan di dekat bar dan terlihat bicara serius.
"Jangan cemburu, kami saudara meskipun hanya kerabat jauh." Agnes yang berada di sampingnya, menyemangati.
Melva mengangguk. "Aku tahu."
"Kak Nikita memang menyukai Kak Adrian dari dulu, tapi sampai hari ini hubungan mereka hanya sebatas saudara, tidak lebih."
Penjelasan dari Agnes membuat Melva mengulum senyum. Sebenarnya, ia tidak terlalu peduli kalau pun Adrian menjalin cinta dengan wanita. Ia menyadari laki-laki itu bukan orang sembarangan. Setiap wanita pasti menginginkannya menjadi pendamping. Terlepas dari sikapnya yang dingin, Adrian adalah tipe kekasih idaman wanita. Tinggi, tampan, dan kaya raya adalah kombinasi mematikan. Melva pun akan menginginkan laki-laki itu menjadi kekasihnya, kalau saja mereka tidak dijodohkan. Jauh di dalam hati ia menyesal, untuk laki-laki yang terpaksa menikah dengannya.
"Agnes, kakakmu laki-laki sempurna, kenapa dia mau menikah denganku?"
Pertanyaan Melva membuat Agnes mendongak lalu mengernyit. "Kenapa memangnya?"
"Bukankah ada banyak wanita yang menginginkannya?"
"Memang, tapi Kak Adrian tidak pernah tertarik pada mereka."
"Kenapa?"
"Entahlah, nanti kamu tanya sama dia sendiri, Kak."
Melva menelan kembali berbagai pertanyaan di otaknya tentang Adrian. Ia tidak mungkin bertanya banyak hal pada laki-laki itu yang akan memberi kesan ingin tahu. Pernikahan adalah rencana jangka panjang. Masih banyak waktu untuk memastikan banyak pertanyaan dan mereka akan menemukan jawabannya kelak.
"Melva, kamu makan apa?"
Sofia bertanya dari seberang meja.
Melva menatap wanita dengan kipas di tangan. "Salad, Tante."
"Hah, kamu terlalu kurus. Mana kenyang makan salad. Ayo, pilih lagi yang lain!"
"Ini saja cukup."
"Kenapa? Takut gemuk? Apa semua artis makan sedikit seperti kamu?"
Melva mengangkat bahu. "Kurang tahu."
Sofia mengibaskan kipas, mengedarkan pandangan ke sekeliling meja. "Sebenarnya kita semua sepakat, kalau standar kecantikan para wanita bukan berdasarkan bentuk tubuh. Entah kenapa para artis justru berlomba-lomba ingin menunjukkan pada kami, tentang betapa beruntungnya mereka punya tubuh kurus, nyaris hanya berupa tulang yang terlihat."
Perkataan Sofia mendapat banyak anggukan dari para wanita. Mereka kini bergantian menatap ke arah Melva.
"Kalian sepakat bukan? MJ terlalu kurus?"
"Iya, harusnya makan lebih banyak."
"Punya tubuh berisi bukan dosa."
Laily menatap calon menantunya lalu mengetuk permukaan gelas untuk mendapatkan perhatian. "Yang akan menikah di sini adalah anakku, bukan kalian, apalagi aku. Jadi, kalau Adrian nggak keberatan dengan bentuk tubuh istrinya, aku rasa kita semua nggak ada hak untuk menghakimi MJ."
Melva tersenyum ke arah calon mertuanya. Tidak lama Adrian kembali duduk di sampingnya dan ikut mendengarkan perkataan Laily.
"MJ seorang artis, memangnya kalian mau kalau wanita yang selalu memainkan peran ternyata bertubuh subuh dan tidak ada baju yang cocok untuknya? Lalu, bagaimana dengan banyak penonton yang akan memprotes karena artis mereka dinilai tidak bisa menjaga badan?"
Pembelaan Laily membuat Sofia mencebik. Wanita itu mendengkus ke arah Nikita yang baru saja duduk. Agnes yang sedari tadi terdiam, tidak dapat menahan seringainya saat mendengar sang mama bicara.
"Ada apa?" bisik Adrian pada Melva.
"Nggak ada apa-apa, hanya diskusi tentang berat badan."
Adrian mengangguk, meminta steak pada koki. Ia melirik ke arah piring Melva yang masih terisi penuh, hanya salad yang baru dimakan setengah.
"Minggu depan aku akan keluar negeri."
Melva mengangguk. "Kita nggak ada jadwal ketemu bukan?"
"Ada, kita belum membeli cincin."
"Ah, benar. Kalau begitu tunggu kamu pulang saja."
"Nggak usah, takut kelamaan. Apa lusa kamu ada waktu?"
Melva berpikir sesaat lalu menggeleng. "Aku ada syuting mini seri, iklan produk kecantikan. Biasanya bisa sampai beberapa hari."
"Kalau begitu, kita akan sesuaikan jadwal."
Saat pelayan membawa steak yang diminta Adrian, laki-laki itu memotongnya menjadi kotak-kotak kecil. Menusuk dengan garpu, menyelupkannya pada saos lalu memberikannya pada Melva. "Wagyu, dengan pemanggangan delapan puluh persen matang. Cobalah."
Melva ragu-ragu sesaat lalu mengangguk. Mengambil potongan daging dan memakannya. Daging yang empuk dan juicy, membuat lidahnya berdecak nikmat. Ia memakan tidak hanya satu tapi lebih dari sepuluh potongan daging yang diberikan Adrian untuknya, diselingi dengan meminum anggur merah. Saat pulang, Melva merasa dirinya sedikit mabuk.
"Hati-hati langkahmu. Awas, jatuh!"
Adrian membantunya duduk di kursi dan membantunya memasang sabuk pengaman. Melva terkikik, saat rambut Adrian menusuk hidungnya.
"Hihihi. Kamu wangi."
Adrian menegakkan tubuh. "Apa?"
"Kamu wangi Tuan Adrian. Campuran seperti buah peach dan kesegaran pohon pinus."
Adrian tidak menjawab, menutup pintu dan duduk di belakang kemudi. Selama ia menjalankan kendaraan menuju apartemen Melva, wanita itu terus menerus bernyanyi. Kadang lagu ceria sambil menggoyang tubuh, sesekali lagu sedih yang membuatnya bernyanyi sambil meratap. Hingga mereka berhenti di parkiran apartemen, Melva masih bernyanyi.
"Kita sudah sampai."
Melva mengangguk. "Ah, ya. Biar Talia yang menjemputku."
"Nggak usah, aku akan mengantarmu naik."
Melva terkikik. "Hai, terima kasih Tuan Adrian, calon suamiku yang kaya raya dan tidak sombong."
Dengan sabar Adrian memapah Melva melintasi lobi, menaiki lift sementara wanita itu masih terus bersenandung.
"Malam ini aku senang, bisa ketemu calon mertua."
"Hati-hati langkahmu."
Mereka keluar dari lift dan menuju pintu nomor 10B. Tiba di depan pintu, Melva berusaha menegakkan tubuh dan melepaskan diri dari tangan Adrian.
"Terima kasih calon suamiku yang baik."
Adrian mengamati Melva. "Jangan lupa minum obat sakit kepala."
Melva menggoyangkan telunjuk. "Nggak, ah. Aku masih kuat kok." Ia maju, mengalungkan lengannya pada leher Adrian dengan tubuh menempel satu sama lain. Tersenyum manis karena laki-laki itu tidak menghindar, dan melingkarkan lengan di pinggangnya. "Aku punya sesuatu sebagai ucapan terima kasih," bisiknya.
Adrian mengedip, hangatnya napas Melva terasa di lehernya. "Apa?"
"Ini?"
Tanpa diduga, Melva melayangkan kecupan di bibir laki-laki itu. Bukan hanya sekali melainkan tiga kali dan tindakannya membuat Adrian berdiri kaku bagai patung. Pintu terbuka, Talia muncul dalam balutan piyama dan menatap malu pada pasangan yang sedang berpelukan dengan bibir menempel.
"Eh, maaf, ganggu. Lanjutkan!" Gadis itu kembali menutup pintu.
Melva terkikik melihat ulah asistennya. Ia mengetuk dan pintu kembali terbuka. Masuk dengan sempoyongan dan meninggalkan Adrian termenung dengan tangan terkepal di sisi tubuh.
***
Di Karya Karsa sudah bisa dibaca sampai bab 9. Akan terupdate hari ini bab 10 yang memabukkan. Cukup dengan tiga ribu rupiah per part.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro