Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2b

Setelah memakai masker dan kacamata, Melva turun dari mobil. Adrian menjajari langkahnya saat mereka bersama-sama menuju butik. Seorang petugas berseragam membantu membuka pintu dan mereka disambut oleh seorang wanita amat cantik berumur sekitar empat puluhan memakai kain songket dan kebaya. Wanita itu tersenyum ceria, menjabat tangan Adrian.

"Mamamu sendiri yang meneleponku, Adrian. Rasanya tidak percaya kamu akan menikah."

"Bu Ayu," sapa Adrian ramah. "Maaf datang mendadak."

Ayu mengibaskan tangannya. "Aduh, jangan sungkan begitu. Kayak sama siapa aja. Ngomong-ngomong, ini calon istrimu?" Ia mengalihkan pandangan pada wanita cantik di samping Adrian, mengernyit karena merasa mengenali sosok wanita itu.

Adrian mengangguk, tersenyum ke arah Melva. "Benar, ini calon istriku."

Membuka masker dan kacamata hitam, Melva mengangguk ramah. "Apa kabar, Bu?"

Ayu melongo, tidak dapat menyembunyikan kekagetannya. Ia menatap Melva tak berkedp dari atas ke bawah lalu berucap keras. "Astaga, ini MJ?"

"Iya, ini MJ."

"Wah, sama sekali nggak nyangka kalau Adrian akan menikah dengan artis terkenal." Ayu meriah tangan Melva dan meremasnya. "Senang rasanya, bisa menjahit gaun pengantin untuk wanita secantik kamu, MJ."

Melva tersipu-sipu. "Bu Ayu jangan merendah. Siapa yang tidak kenal dengan Ayu Kaliwang, designer yang terkenal dengan detil yang indah. Beberapa kali saya berjalan di catwalk dengan gaun buatanmu."

Ayu mengangguk gembira."Iya, iya, sayangnya baru kali ini kita berkesempatan bertemu langsung. Ayo, masuk. Kita mulai fittingnya."

Adrian yang sedari tadi terdiam, mengikuti langkah Melva dan Ayu menuju ruang dalam. Di sana mereka diukur, dan berdiskusi tentang model, warna, dan bahan gaun yang akan dipakai. Total ada sekitar tiga pasang gaun yang dipesan. Untuk bagian Adrian sendiri, tidak terlalu merepotkan karena memakai jas berwarna sama dengan gaun Melva. Sepanjang pertemuan yang berlangsung hampir empat jam, lebih banyak Melva yang berbicara dengan Ayu.

"Aku akan meneleponmu kalau ada detil yang ingin diubah, atau pun warna yang cocok," ucap Ayu saat mereka mengakhiri pertemuan.

Melva mengangguk. "Dengan senang hati, Bu."

Hari sudah melampaui jam makan siang saat mereka keluar dari butik. Melva meringis saat di dalam mobil perutnya berkriuk lapar. Pagi tadi, ia tidak sempat sarapan diet dan sekarang harus menahan lapar. Ia mengernyit saat Adrian mengarahkan kendaraan menuju restoran.

"Mau apa kita?" tanya Melva.

"Makan siang."

Melva menggeleng. "Nggak bisa, aku nggak mau turun."

Adrian menatapnya sambil mengernyit. "Kenapa?"

"Kamu masih tanya kenapa? Ini jam makan siang dan bisa dipastikan restoran dalam keadaan ramai. Kalau aku sekarang masuk ke sana, bisa dipastikan akan terjadi kehebohan. Kasihan orang-orang yang sedang makan, terganggu sama aku."

Adrian terdiam sesaat, memikirkan ucapan Melva. Apa yang dikatakan wanita itu benar adanya, dan ia tidak terpikirkan sebelumnya. Mungkin, karena belum terbiasa bersama seorang artis yang begitu terkenal. Membuat pertimbangan sesaat, ia melajukan mobilnya kembali.

"Antarkan saja aku pulang. Aku bisa makan di rumah," ucap Melva.

Adrian tidak menjawab, tetap menjalankan kendaran dengan tenang.

"Di mana-mana restoran pasti penuh, lebih nyaman dan aman kalau makan di rumah."

Musik lembut mengalun dari radio saat Adrian memutarnya.

"Tuan Adrian, apa kamu mendengarku?" pekik Melva kesal. Seingatnya dulu Adrian yang ia kenal tidak sependiam sekarang. Meskipun dulu pemalu tapi masih bisa diajak bicara. Kalau laki-laki yang sekarang di sampingnya, entak kenapa dinginnya melebihi kutub utara. Melva tidak tahu, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat dirinya membeku karena sikap laki-laki itu.

Seakan menyadi kekesalan Melva, Adrian menoleh. Mengulurkan jari untuk mengetuk lembut bibir wanita itu dan berucap lembut. "Bawel."

Melva ternganga, baru kali ini ada yang mengatainya bawel. Seumur-umur, dari dia masih kecil sampai sekarang, semua orang memperlakukannya penuh cinta. Mendengarkan dengan tekun saat ia bicara, bahkan tanpa segan memberikan pujian kosong. Tapi, Adrian beda. Bisa-bisanya laki-laki itu menyebutnya, bawel?

Siang itu, Adrian mengajaknya ke restauran yang ada di dalam hotel. Meski Melva menolak, laki-laki itu tetap bersikukuh. Mereka masuk lewat pintu belakang, naik lift khusus yang langsung menuju restoran. Saat menyusuri lorong berkarpet, Melva berucap ringan.

"Jangan bilang kalau hotel ini milikmu."

Adrian mengangkat bahu. "Bukan, tapi aku ada saham di sini."

"Sama aja bukan?"

"Beda. Tapi, kalau kamu suka dengan hotel ini, aku bisa membelinya untukmu."

Melva melotot, mengulurkan tangan untuk mencubit pinggang Adrian dan membuat laki-laki itu mengernyit kesakitan.

"Apa?"

"Jangan pamer uang sama aku," desis Melva.

"Aku serius."

Percakapan mereka terhenti saat dua pelayan menyambut mereka dan mengantar ke meja privat. Melva yang terbiasa makan sedikit untuk menjaga berat badan, hanya memesan ayam yang ditim dengan saos lemon, dan Italian dressing. Adrian memilih iga panggang dengan salad.

"Kamu makan begitu sudah kenyang?" tanya Adrian.

"Iya, makanku memang segini dan nanti malam harus olah raga untuk membakar kalori. Lusa ada pemotretan, tidak boleh ada sisa makanan berlebihan di perut."

"Apa kamu menghitung setiap kalori yang masuk?"

Melva mengangguk. "Iya, biasanya tugas Talia itu."

Melva memperhatikan dari sepanjang mereka bersama hari ini, Adrian sering menerima panggilan di ponsel. Ia yakin, Adrian adalah laki-laki yang sibuk. Entah apa yang membuatnya rela meninggalkan pekerjaannya sepanjang hari hanya untuk menemaninya fitting gaun pengantin.

"Kak!"

Panggilan Melva membuat Adrian mendongak.

"Aku ingin tanya satu hal."

"Ya?"

"Melva menggigit bibir bawah lalu menghela napas panjang. "Kenapa Kakak mau menikah denganku? Maksudku, dengan kedudukan dan apa yang kamu punya sekarang, tentu banyak wanita di luar sana yang bersedia kamu nikahi. Kenapa harus aku?"

Adrian meletakkan ponsel, meraih gelas berisi anggur dan menggoyangnya. "Alasannya, sama sepertimu. Jadi, kenapa kamu ingin bersedia menikah denganku?"

Melva menghela napas, menatap Adrian tak berkedip. Pertanyaan balik dari laki-laki itu membuatnya kesulitan untuk menjawab, padahal ia justru ingin tahu alasan laki-laki itu. Untuknya sendiri, Adrian memang bukan laki-laki idamannya, tapi ia bisa mengalah demi orang tuanya.

"Aku nggak mau bikin orang tuaku kecewa."

Adrian mengedip lalu tersenyum singkat. "Sama kalau begitu."

"Tapi, kamu punya segalanya."

"Yang sebagian besar adalah aset keluarga. Jadi, bisa dibilang aku adalah budak orang tuaku dan juga perusahaan. Seorang budak, tidak boleh menolak keinginan tuannya."

Melva ternganga heran mendengar perkataan Adrian. Baru kali ini ia mendengar ada seorang CEO menjadikan diri sebagai budak orang tua. Sungguh pemilihan kata yang buruk.

"Ngomong-ngomong, aku benar pangling sama kamu. Seingatku dulu, kamu berbeda."

Mata mereka bertemu, Melva merasa tidak enak hati kalau harus jujur tentang bagaimana penampilan Adrian dulu.

"Kenapa kamu nggak bilang langsung saja, kalau aku dulu gendut."

Melva mengangkat bahu sambil tersenyum.

"Masa puber terlewati, banyak orang berubah."

Selanjutnya, mereka makan dalam diam. Sebenarnya, banyak yang ingin ditanyakan Melva pada laki-laki di depannya, termasuk alasan kenapa mau menikah dengannya. Namun, melihat sikap Adrian yang dingin dan kaku, Melva menunda pertanyaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro