Bab 2a
Matahari menyelusup masuk melalui celah gorden yang terbuka. Membuat kamar yang semula gelap menjadi remang-remang. Sesosok tubuh terbujur pulas di atas ranjang dengan selimut tebal menutupi, menyisakan kepala dengan rambut terurai. Suara panggilan dari pintu, awalnya hanya berupa ketukan pelan lalu berubah menjadi gedoran saat lima menit tanpa ada sahutan.
"MJ, please, bangun! Sudah jam sembilan!"
Melva hanya menggeliat sebentar lalu kembali tertidur, tidak mengacuhkan panggilan untuknya.
"MJ, calon suamimu datang. Ayo, bangun!"
Awalnya, Melva mengira salah mendengar saat Talia mengatakan tentang calon suami. Ia menggeliat malas hingga suara asistennya kembali terdengar.
"MJ, Tuan Adrian ada di lobi menunggumu! Banguuun!"
Kali ini, Melva benar-benar membuka mata, duduk tegak ia berteriak. "Masuk! Nggak dikunci!"
Pintu menjeplak terbuka, Talia menyerbu masuk dan menghampiri ranjang. "Ayo, bangun! Calon suamimu di lobi."
"Hah, maksudmu siapa?"
"Memang siapa yang mau menikah? Kamu, MJ."
"Tu-tunggu, Adrian ada di lobi?"
Talia mengangguk. "Iya, dan menelpon ke atas dengan sangat sopan. Memberikanmu waktu untuk mandi dan berdandan. Dia menunggu di bawah sambil mengopi. Katanya, akan mengajakmu ke suatu tempat."
Kali ini Melva mengernyit, mengucek mata dan balik bertanya. "Jadwalku hari ini apa?"
"Kosong. Sebenarnya ada pemotretan tapi ditunda lusa."
"Oh, jadi Adrian mau mengajakku ke mana?"
"Mana aku tahu. Cepat sana mandi, dan berdandan. Jangan biarkan Tuan Adrian yang agung menunggumu."
Melawan rasa enggan karena bangun lebih awal di saat jadwal kosong. Melva bergerak lambat menuju kamar mandi. Sepanjang membersihkan diri, benaknya bertanya-tanya tentang Adrian. Ke mana laki-laki itu akan membawanya? Kenapa bisa tahu tempat tinggalnya? Setahunya, apartemennya sangat rahasia dan hanya sedikit sekali orang yang tahu ia di sini.
Selesai mengguyur tubuh dengan air hangat, ia duduk di depan cermin. Memoles wajah dengan pikiran bertanya-tanya, pakaian apa yang harus ia kenakan sekarang. Ia tidak tahu acara apa yang harus ia hadiri. Bukankah seharusnya Adrian meneleponnya dulu sebelum mengajak pergi? Jadwal kerjanya sering tidak menentu. Namun, ia menyadari satu hal kalau mereka belum berbagi nomor ponsel.
Berdiri di depan lemari yang terbuka, Melva meminta Talia datang dan membantunya memilih baju.
"Bagaimana ini?" Ia menunjuk setelan putih tanpa tali.
Talia menggeleng. "Terlalu sexy."
Menarik gaun merah mini. "Ini?"
"What? Ini nggak cuma sexy tapi provokatif!"
Setelah banyak baju tidak disetujui oleh asistennya, akhirnya mereka sepakat memilih gaun biru dari bahan rajut berlengan panjang. Menggunakan anting besar dan sepatu hak tinggi warna hitam, Melva merasa dirinya perawan yang akan menemui pangeran. Berpenampilan rapi tanpa cela, bahkan tidak dengan pakaian yang dianggap menggoda.
Menenteng tas kecil di tangan, Melva turun sendirian. Ia meminta Talia untuk menunggunya di atas sementara menemui Adrian sendiri. Ia berpapasan dengan beberapa penghuni saat melintasi lobi dan mereka mengangguk ramah padanya. Langkahnya terhenti di dekat sofa besar, menatap sosok laki-laki tinggi menjulang yang berdiri di dekat tanaman palem besar. Berdehem sesaat, ia mendekat.
Seolah ada panggilan lirih, Adrian membalikkan tubuh dan menatapnya. Melva berusaha menyunggingkan senyum.
"Kamu mencariku?"
Adrian mengangguk, masih memandang tanpa kata.
"Kita mau ke mana?"
"Ikut aku!"
Saat Melva hendak memakai masker dan kacamata, Adrian menggeleng. "Tidak perlu. Kita nggak akan ke tempat yang ramai."
Ragu-ragu sesaat, Melva mengangguk, mengikuti langkah Andrian menuju mobil hitam mengkilat yang sudah menunggu di lobi. Adrian sendiri yang menyetir, dengan Melva duduk di sampingnya. Hingga kendaraan keluar dari halaman apartemen, mereka tidak saling bicara.
Melva yang lelah berdiam diri akhirnya buka suara. "Jadi, waktu kita ketemu selama, kamu sudah tahu siapa aku?"
Adrian mengangguk. "Siapa yang nggak kenal MJ?"
"Bukaan, maksudku, aku sebagai calon istrimu. Kamu tahu bukan kalau kita akan menikah?"
"Iya."
"Nah itu. Kalau kamu tahu aku, kenapa aku nggak tahu kamu selama ini? Maksudku, kita memang mengenal saat kecil dulu. Tapi, itu duluuu sekali. Sekarang, kamu mengenalku sebagai MJ, nah, aku? Sama sekali nggak kenal kamu."
Adrian melirik wanita di sampingnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mobil berhenti di lampu merah dengan Melva menoleh, menunggu jawaban Adrian. Namun, hampir sepuluh menit berlalu, laki-laki itu tak jua menjawab.
"Kok diam? Jawab, dong?"
"Soal apa?"
"Soal apaa? Tadi aku tanya, kenapa setelah sekian lama kamu masih mengenaliku?"
"Kamu nggak berubah."
Melva ternganga tidak percaya. "Yang benar saja. Selain nama, aku sudah pasti banyak berubah, Tuan Adrian."
"Mungkin, bagi banyak orang, tapi tidak bagiku."
"Ah, sudahlah. Kamu dari tadi diajak ngomong malah jawabannya nggak nyambung. Sekarang aku tanya hal lain, kita mau ke mana?"
"Fitting baju pengantin."
Seandainya Melva sedang makan atau minum, pasti tersedak sekarang. Tanpa angin tanpa hujan, Adrian mengajaknya fitting baju pengantin. Sedangkan mereka sama sekali belum pernah membahas detil pernikah berdua. Memang, semua yang mengatur adalah keluarga besar, tapi setidaknya ia diberi kesempatan untuk mengenal calon suaminya.
"Berhenti!"
Adrian mengernyit. "Kenapa?"
Melva mengangkat bahu. "Aku merasa kita terlalu cepat fitting baju pengantin. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu."
"Setahuku, baju pengantin dibuat dengan waktu yang tidak sebentar. Terutama kalau yang memakai artis besar sepertimu."
"Haiz, ini bukan masalah waktu tapi, aku merasa kita belum cukup saling mengenal."
"Tidak, kita sudah saling mengenal sejak lama."
"Eh, tapi—"
Perkataan Melva terputus saat kendaran berhenti di halaman sebuah butik ternama. Ia masih tidak mengerti dengan kondisi yang terjadi dan mendadak sudah tiba di tempat tujuan. Ia masih duduk kaku di mobil, saat Adrian mendekat. Melva menahan napas, melihat tangan laki-laki itu bergerak perlahan ke samping tubuhnya, untuk membuka sabuk pengamannya. Mata mereka bertatapan dan Melva bisa merasakan hangat napas laki-laki itu.
Adrian, masih tanpa senyum di wajah, berucap lembut dengan wajah berjarak beberapa senti dari Melva.
"MJ, kamu tahu kalau pernikahan kita sudah diatur?"
Melva menelan ludah lalu mengangguk.
"Lalu, kenapa kamu masih ragu dan bimbang?"
"Bu-bukan begitu, aku merasa kita masih harus saling mengenal."
"Mau mengenal bagaimana lagi? Kita teman dari dulu."
"Memang, tapi hanya teman. Bukan pacar atau apa pun, yang bisa membuat kita memutuskan untuk menikah."
Jemari Adrian terangkat, membelai lembut dagu Melva lalu bergerak pelan ke pipi dan telinga. Melva menahan diri untuk tidak bergidik karena bulu kuduknya berdiri.
"MJ, kita bisa lebih saling mengenal kalau sudah menikah nanti. Kalau kamu nggak mau membuat kedua orang tua kita kecewa, sebaiknya kamu pakai masker dan kacamata lalu turun. Aku menunggumu."
Dengan sapuan lembut di telinga Melva, Adrian mengakhiri sentuhannya. Laki-laki itu turun lebih dulu dan meninggalkan Melva gemetar karena sentuhan tak terduga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro