How This Story Ends - 8 - Offering On Silver Platter 5.1
Question of the day: kalau lagi hujan, kamu sukanya ngapain?
vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado. Thank you
🌟
Setiap orang punya tempat yang membuatnya tenang. Beberapa ibu yang aku tahu dari sekitaran rumah saat belanja sayuran, mengatakan tempatnya untuk tenang adalah kamar mandi. Karena itu berarti anak-anaknya berada di bagian pintu yang berbeda dengan mereka. Those 5 minutes of bliss. Atau bisa lebih sebentar atau lebih lama, tergantung seberapa kacau keadaan di luar sana, atau jenis teriakan yang dapat didengar. Jika itu sudah delapan oktaf dengan rentang waktu lebih dari sepuluh detik, maka itu berarti harus keluar langsung.
Bagiku, dapur adalah sanctuary. Those 30 minutes of bliss after a lot of chaos in a day. Tempat aku bisa kabur dari dunia dan mengandalkan muscle memory untuk bergerak dan mengosongkan otak. Sayangnya, dapur di rumah sudah jarang aku datangi karena terlalu lelah berada di dapur restoran terus menerus.
Mungkin, ini kenapa orang-orang mengatakan jangan membuat hobi menjadi pekerjaan. Ledakan kembang api di perut yang muncul setiap kamu melakukan hobimu akan padam sedikit demi sedikit karena beban yang muncul.
Setelah bekerja menjadi personal chef selama satu bulan lebih, dengan waktu yang sangat sedikit di dapur—meskipun Sabtu juga harus datang untuk menyiapkan makanan tidak hanya hari sabtu, tetapi juga minggu—aku sedikit merindukan dapur. Aroma masakan yang menguar, suara kulit dan lemak yang berdesis di atas pan panas yang berisikan butter serta rosemary dan bumbu dapur lainnya. Warna-warni yang ditata di atas piring sebelum disajikan. Semuanya memanjakan indramu sebelum mengenyangkan perut.
"Garlic butter lo selalu enak." Karenina yang sejak tadi memilih menjadi penonton dengan alasan "gue sekali-sekali mau ngerasain punya personal chef." Lalu duduk di konter dapur. "Gue bikin nggak pernah bisa kayak gini. Memang tangan tiap orang bakalan hasil rasa yang beda, biarpun resep dan takarannya sama persis."
"Personal touch."
"Right. Personal touch." Karenina menjilat jarinya sehabis memakan satu udang. Hari ini aku membuat garlic butter shrimp. "Jadi, gimana kerjaan lo? Beau sebaik yang digadang-gadang orang?"
"NDA."
"Don't be mean. Gue tanya kepribadiannya, bukan rahasia macam apa yang dia punya sama Benjo."
Nama itu menarik perhatianku. "Benjo itu bos lo bukan, sih?"
"Yep. The mighty Benjo aka Benjamin. In case lo nggak tahu, bos lo salah satu penasihat politiknya bos gue."
"Sial banget lo punya bos kayak dia."
"Dia nggak buruk-buruk amat. Benjo selalu habisin makanan yang gue buat, nggak kayak bos lo yang pilih-pilih makanan kayak bocah."
Aku mendengkus. "Lo pikir gue nggak pernah masak buat dia? Dia itu nightmare tiap dateng ke rumah Beau. Sebulan ini aja sudah dua kali dia datang. Kulit salmon terlalu crispy, ladanya terlalu banyak, dan yang paling parah kemarin. Dia bilang dia nggak suka potongan wortel gue." Telunjukku bersarang di pelipis dan mengetuknya tiga kali. "Lo bayangin saja. Siapa di dunia ini yang bakalan protes sama potongan wortel yang nggak simetris sedikit. Emangnya dia makan sambil bawa penggaris buat ngukur apa?"
Karenina menyanggah dagunya dengan tangan kiri, "Di gue dia nggak pernah komentar apa-apa. Dia punya dendam sama lo kali. Lo pernah ketemuan sama dia sebelumnya?"
Ini adalah detik terakhir Karenina serius sebelum dia tergelak dan kehilangan kata-kata, begitu juga dengan suaranya saking terlalu kencang tertawa.
"Lo nyangka Benjo apa? Gigolo?" Karenina mengusap ujung matanya yang berair. "Damn. Orang pakai jas ganteng dan mukanya di baliho hampir setiap jalan besar, tapi lo sangka gigolo."
"Ya, mana gue tahu. Eyang kan kerjanya sewa male escort. Masih pada muda-muda pula. Mana gue tahu kalau dia politikus."
"His face is everywhere."
"Itu berarti mukanya nggak cukup memorable buat gue."
"Buat orang-orang dia menarik, sih. Lo pikir gimana dia sampai punya fan base yang mayoritas cewek dan ibu-ibu? Bahkan sampai nenek-nenek juga ikutan."
Aku membawa piring yang berisikan nasi yang baru matang ke atas meja makan kecil kami. "The jury is still out. While we are in this conversation, kenapa dia ada di rumah Eyang, ya? Apa Eyang melebarkan sayapnya dengan nggak membatasi diri di male escort?"
"Mereka kenalan di bar, terus jatuh cinta. Benjo nggak peduli perbedaan usia yang hampir setengah abad."
"Okay, setop. Gue nggak sanggup bayanginnya," kataku bergidik.
"Gue juga." Karenina melenguh pelan ketika satu suapan memasuki mulut. "Gila. Ini enak. Ngomong-ngomong soal Eyang, kok gue lama nggak lihat beliau, ya?"
"Lagi liburan kali. Kan Eyang sering ngilang tiba-tiba, terus balik tanpa dijemput sambil bawa oleh-oleh." Ini sudah terjadi selama beberap akali selama setahun kami bertetangga dengan Eyang. Beliau sungguh seperti jelangkung yang datang tak dijemput, pulang tak diantar.
"Dan gue penasaran tanahnya ada berapa hektar dan di mana saja sampai bisa hidup tenang di waktu tua. Mak sama Bapak gue saja hidupnya masih susah sampai sekarang." Aku menjilat bumbu dari sendok di suapan terakhir. "Gue mau nikah buat duit juga, biar kayak Eyang."
"There's a price to pay for that kind of marriage."
"Like selling your soul to the devil?"
"More like you trade something to the devil, but it might like an offering on silver platter. Susah buat ditolak.Orang-orang lihat enaknya saja. Nikah sama orang kaya, nggak perlu mikirin duit, tapi ada yang harus ditukar. Entah itu kebebasan lo, atau pilihan hidup atau yang lain. Orang-orang kayak gini nggak jatuh cinta ke orang-orang macam kita. Kita nggak ada di radar mereka."
"Kayak gue doang kali," sahutku yang diabaikan oleh Karenina. Kedua tanganku naik ke udara, salah satunya berada di bawah dan yang lainnya di atas. "Gue di sini, lo di sini."
"Percaya, deh. Ada lebih banyak yang nggak kelihatan karena terlalu silau sama berlian."
"Lo sadar kalau kita ngomongin hal yang nggak mungkin, kan? Hal kayak begitu cuma kejadian di novel dan film Hallmark."
11/7/23
Vommeeent hiihi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro