How This Story Ends - 44 - Awal & Akhir 22.2
Question of the day: sneakers atau heels?
vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Karenina terlalu mengenalku untuk aku tipu. Aku mengintip sekali lagi untuk memastikan Eyang tidak mendengar percakapan ini. "Gue tadi sudah hubungin Beau, dia bilang Benjo sudah pulang dua jam yang lalu."
"Bukan pulang kali, tapi rapat di luar kantor sama orang lagi. Suami lo kan super sibuk. Banyak dicaci sama netizen pula."
"Gue tinggalin pesan kali, ya? Bilang kalau Eyang dirawat, tapi gue nggak kasih tahu dulu karena apa."
"Iya. Mending begitu, sih. Takut dia nyetir sendiri malam-malam. Gue juga lebih milih lo di sini, Le. Tungguin Benjo, dibanding pulang sendiri. Lo siang tadi aja hampir pingsan. Lo nggak mau cek sekalian? Mumpung lagi di rumah sakit. Gue takut lo kenapa-kenapa kayak Eyang." Karenina melirik Eyang, ketakutan mewarnai wajahnya semenjak siang. Aku yakin ekspresiku adalah cerminan sempurna dari Karenina.
"Gue capek doang. Lo kan ikutin jadwal gue juga. Lo juga mau tepar."
"Tidur aja. Ntar gue bangunin kalau Benjo hubungin atau kalau dia ke sini."
Begitu kepalaku menyentuh Bantal, kesadaranku terbawa oleh kantuk yang tidak aku tahu aku rasakan sejak tadi. Aku terbangun saat perutku terasa nyeri, tetapi aku mengabaikannya dan yang pertama aku cek adalah ponsel. Nihil. Tidak ada pesan masuk dari Benjamin, atau panggilan darinya. Ruang rawat inap Eyang pun masih berisikan aku dan Karenina yang masih terlelap. Ini masih pukul empat pagi.
Eyang sudah terbangun dan terbatuk. Aku buru-buru menuangkan minuman yang hanya sedikit memasuki tenggorokan beliau. "Benjo tidak datang?"
Aku tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun saat Benjamin juga tidak membalas pesanku.
"Biarin saja. Dia sibuk. Kamu pulang dan istirahat. Di sini mana bisa. Ajak Kare pulang."
"Nggak mau. Ntar Eyang di sini sama siapa?"
"Kamu pucat banget, Lele. Kayak mayat hidup. Kamu di sini kalau pingsan juga ngerepotin saya." Eyang lalu menunjuk pada ponselnya yang tidak berhenti berbunyi, "Tolong ponsel saya."
Aku memberikan ponsel Eyang dan duduk di kursi sebelah ranjang rumah sakit. Intensitas nyeriku bertambah sering, meski timbul tenggelam. Ponsel di tanganku tidak juga bergetar, mau aku meliriknya sesering mungkin.
Decakan Eyang mencuri perhatianku dari ponsel. "Kenapa, Eyang?"
"Suamimu," jawaban singkat Eyang memantik jantungku berdetak lebih cepat.
"Benjamin? Kenapa?" Aku mengambil ponsel di tangan Eyang, melupakan sopan santun karena jantung dan otakku tidak bisa diajak kompromi. Pikiran buruk sudah berseliweran; kecelakaan adalah yang paling banyak aku pikirkan semenjak semalam.
Di layar ponsel Eyang, aku melihat postur tubuh yang aku hafal di luar kepala. Berjalan bersisian dengan perempuan berambut panjang keluar dari gedung. Tidak ada yang salah dengan foto itu, meskipun aku tidak menyukai Kimmy, yang berjalan di samping Benjamin, tetapi headline beritanya menyadarkanku dari mana mereka baru saja keluar.
Benjo dan Kimmy dari Klinik Bersalin?
Judulnya memang kalimat pertanyaan yang terkesan polos, tapi apa yang tidak dituliskan dari judul sudah terangkai di kepalaku.
Pikiran positifku terkikis melihat foto lain yang juga ditampilkan di kanal gosip itu. Tanggalnya dari sebelum pernikahan, hingga setelah pernikahan kami. Dan foto yang kemarin adalah yang terbaru. Aku melihat tanggal di salah satu foto, lalu mengecek chatku dan Karenina untuk memastikan sesuatu. Itu adalah tanggal di mana Benjamin mengatakan kalau dia akan pulang malam dan tidak bisa membantu di dapur umum, sehingga Beau yang melakukannya. Mataku tidak berhenti di satu foto, mengecek tanggalnya lagi, lalu ponselku. Begitu terus. Entah apa yang aku cari dari hal ini, tapi merasa aku perlu melakukannya.
Aku mengambil satu napas panjang, memaksa paru-paruku untuk mengolah oksigen sebelum aku kehabisan napas. Emosiku bercampur menjadi cocktail dan aku akan menenggaknya sampai habis. Di kepalaku sudah ada satu keputusan, tetapi hatiku memintaku untuk menghubungi Benjamin untuk memastikan apa yang aku baca benar atau tidak. Tapi satu yang pasti, dia tidak mengatakan yang sejujurnya di tanggal dia mengatakan akan bekerja. Atau aku yang mengasumsikannya bekerja, padahal dia mengatakan harus bertemu seseorang.
Aku tertawa kecil. Dia memang mengatakan bertemu seseorang dan aku yang langsung mengambil kesimpulan. Aku bahkan membuatkan sambal pesanan Kimmy dan mereka datang berdua untuk mengambilnya. Aku merasa tolol seketika. Semuanya sudah ada di depan mata, tapi aku mengabaikannya dan memilih menjadi Ibu yang membutakan mata terhadap perselingkuhan Ayah.
"Saya nggak suka Kimmy dari dulu. Dia putus dari Benjo karena selingkuh." Potongan informasi lain yang tidak aku perlukan, tapi Eyang terus menjejaliku. "Dia baik untuk jadi teman, tapi enggak untuk jadi pasangan. Benjamin sudah nggak ketemu dia lagi semenjak hubungan kalian baik-baik saja-"
"Eyang tahu dia masih ketemu Kimmy setelah kami menikah?" selaku. I was expecting this from him, but not from Eyang. Aku sudah membaca ini di awal, hanya memilih untuk tidak mendengarkan akal sehatku, tapi pengakuan Eyang barusan layaknya belati yang ditusukkan dari belakang. Eyang yang tidak menjawab pertanyaanku aku anggap sebagai jawaban.
Amarah meluap di dada, mendesak sesak naik, kemudian meledak seperti ribuan jarum di balik bola mataku. Sengatan di hidung dan mataku menjadi pertanda kalau sesuatu akan mengalir keluar dari sana. Aku harus kabur sebelum benar-benar menangis.
"Aku perlu cari udara sebentar." Mau semarah apa pun, aku tidak bisa bersikap tidak sopan terhadap orang yang usianya lebih tua. Ibuku mengajarkan tata krama terlalu baik hingga aku tidak bisa mengabaikannya.
Aku berjalan keluar rang rawat inap, terseok-seok mencari tempat untuk menenangkan diri di tengah emosi. Kantin yang penuh dengan suara menjadi pilihanku. Tempat sepi hanya akan membuatku semakin larut dalam keriuhan di kepala yang bising.
Ditemani teh hangat yang baru aku beli, aku duduk di salah satu kursi. Mataku berlarian ke berbagai arah. Berharap menemukan sesuatu yang menarik agar mengalihkan perih yang merajai seluruh tubuhku. Mulutku pahit dengan emosi yang merangkak naik dari ulu hati, sedangkan kepalaku seakan dipukul oleh palu Thor. Nyeri di perutku juga tidak tertahankan.
Yang terakhir aku ingat adalah kegelapan menelanku.
**
"Keguguran di trismester pertama banyak terjadi karena chromosome imbalance di embrio. Ini genetik. Bukan salah ibunya."
Aku tidak mendengar lagi kata lain di kalimat itu selain keguguran. Telingaku tertutup dan sekujur tubuhku lunglai di atas ranjang rumah sakit. Karenina berdiri di sebelahku. Menahan tangisan sembari mendengarkan penjelasan dokter. Tangannya meremasku erat. Gemetar hebat.
Sekelilingku mirip seperti kamar rawat inap Eyang. Putih dengan warna biru di benda-benda kecil yang tersebar. Aku perlu melakukan hal lain, agar tidak fokus pada telingaku. Atau pada orang di sisi kiri ranjangku dengan jas putih dan pulpen di kantungnya. Atau ke perawat dengan seragam biru yang tengah mengecek jarum infus di tangan.
Aku tidak tahu harus apa dengan informasi yang baru saja aku dengar. Aku tidak tahu keberadaannya dan tiba-tiba saja dia sudah menghilang dari dunia. Apa yang aku harus tangisi?
Kedua orang itu berlalu, meninggalkan ruangan yang hanya diisi oleh isakan Karenina yang sudah tidak dapat ditahannya lagi. Aku lelah, tapi tidak dapat menyuruhnya untuk menutup mulut, tapi aku tahu kalau aku tidak ingin bertemu orang lain lagi sehingga aku mengambil tombol untuk memanggil suster. Ketika datang aku langsung mengatakan "Saya nggak terima pengunjung lagi selain dia. Siapa pun. Tolong jangan ada yang dikasih masuk. Terima kasih." Aku menunjuk Karenina yang masih dibuai emosi lalu tersenyum lemah di akhir kalimat saat suster mengangguk dan pergi meninggalkan ruangan.
"Gue capek, Kare. Mau tidur."
"Ya lo tidur aja. Gue masih mau nangis," jawabnya terus terisak. Aku tidak tahu apa penyebabnya menangis, saat aku yang harusnya berada di posisi itu hanya merasakan gamang. Ada sesuatu yang kosong, tetapi aku tidak tahu apa dan di mana atau bagaimana cara untuk menghilangkannya.
"Eyang tahu gue di sini?"
"Enggak. Gue tadi cari lo, terus ada suster yang hubungin gue dan ngabarin lo tiba-tiba pingsan di kantin. Gue masih jadi kontak emergensi di ponsel lo." Karenina menjelaskan dengan ingus yang terus disusut. "Yang lo bilang ke suster, maksudnya Benjo nggak boleh ke sini? Karena gosip itu?"
"Gue capek," ulangku lagi.
"Le, lo denger kan tadi kata dokter kalau itu lumayan common di trisemester perta-"
"Gue nggak mau ngomongin itu."
"Tapi, Le-"
"Karenina," aku menekankan namanya, amarah mengalir deras di setiap kata-kata yang coba aku tahan, tapi gagal. "Gue capek. Kalau lo nggak bisa duduk diam, lo balik ke kamar Eyang aja."
Karenina menutup mulut, menggeret bangku dan duduk di sebelahku. Dia tidak berkata-kata hingga jam makan siang, itu pun hanya bertanya apakah aku mau dibantu makannya atau tidak. Aku menjawab dengan "Bisa, tapi gue nggak lapar. Lo aja yang makan."
"Mau gue beliin yang lain?"
"Enggak."
"Le, ponsel lo nggak berhenti bunyi terus. Benjo bolak balik telepon sama kirim pesan."
"Biarin aja. Gue mau tidur dulu. Lusa kan, ya, gue keluar dari sini?"
Karenina mengangguk. "Tapi Benjo juga hubungin gue. Tanyain soal lo, gue nggak berani angkat teleponnya. Gue sudah info ke dia pagi tadi kalau gue cuti dua hari."
"Dua hari ini jangan ngomongin soal ini ya, Kare? Gue mau banyak istirahat. Nggak mau mikir apa-apa."
🌶️🌶️🌶️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro