How This Story Ends - 41 - Satu Hal yang Orang Nggak Tahu 19.2
Question of the day: sunrise atau sunset?
vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Hari ini Benjamin menyalakan berita di televisi. Semuanya dipenuhi dengan dugaan korupsi yang kemarin disebutkannya. Ini menjadi kehebohan tersendiri karena dalam masa pemilu dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk meminimalisir efek pukulan yang diterima oleh petahana. Apatisan bergerilya di media sosial, menggoreng isu ini semakin heboh dan melakukan penyelidikan sendiri. Mengangkat banyak kejanggalan dari harta melalui keluarga yang hobi flexing di media sosial. Ada juga yang membandingkan laporan harta kekayaannya sebelum menjabat sebagai gubernur, lalu saat dia mengikuti pemilihan kedua, kemudian disisipi banyak analisis. Karyawannya pun kebagian dikuliti jika ditemukan harta yang tidak sesuai dengan kemampuan keuangannya.
Intinya, netizen ini adalah detektif yang mengerikan. Hal yang kamu kubur hingga ke kerak bumi pun dapat ditemukan dan dibahas.
"Musuh dari musuhmu adalah temanmu." Adalah kalimat yang aku tahu sejak lama, tapi baru aku pahami maknanya sekarang.
Tidak ada berita yang naik selain mengenai dugaan korupsi petahana yang menyeret beberapa orang lainnya. Ada berita mengenai artis yang tertangkap menjual dirinya, tetapi berita itu pun tidak dapat memasuki sepuluh besar trending di Twitter.
Orang yang dapat memanipulasi media untuk keuntungannya adalah orang yang menyeramkan.
Di malam hari, tensi di antara kami berdua tidak juga turun. The tension zipping through air and I breathe it. Berdua di dalam kamar, berbaring di ranjang yang sama, dan kini ritual malam kami pun dimulai; menautkan jari, tapi aku tidak dapat melihat keberadaan stopwatch.
Diam pun tidak membuat keadaan lebih baik, jadi aku mengajukan pertanyaan yang dapat mendistraksi kami.
"Ceritain satu hal yang orang-orang nggak tahu soal kamu. Yang nggak bisa aku baca di kanal-kanal berita."
"Aku dan papaku nggak akur."
"Aku bisa ngerasain itu, tapi cerita panjang, bukannya satu kalimat doang."
"Dia kira ibuku selingkuh, dan aku anak orang lain. Dulu, aku kira dia nunjukin tough love, tapi ternyata karena selama bertahun-tahun dia pikir kalau aku anak orang lain. Usia 11 atau 12, waktu aku bikin kesalahan, dia bilang kalau aku bukan anaknya. Nggak mungkin dia nggak punya anak kayak aku dan minta tes DNA ke Mama. Hasilnya aku memang anaknya. Tapi semenjak itu aku menarik diri dari dia. Jaraknya terlalu jauh. Aku dan dia nggak ada yang punya usaha buat nyebranginnya.
"Mama juga minta cerai, tapi nggak bisa karena dulu perceraian masih terlalu tabu, katanya. Nama baik keluarga and all of that shit. Aku lebih banyak dibesarin di rumah Eyang dari pihak Mama. Yang jadi tetangga kamu itu setelah Mama meninggal."
Aku sudah membaca mengenai mamanya yang meninggal, tapi cerita yang pertama tidak ada di wikipedia. Aku kini paham kenapa dia tidak mengedipkan mata saat mengeluarkan berita itu, meski pun awalnya ragu. "Yang di nikahan itu mama tiri?"
"Iya. Dia menikah lagi nggak sampai setahun setelah Mama meninggal."
"Tapi kamu ikutin jejak beliau?" Aku tidak bisa menghentikan mulutku untuk mengeluarkan pertanyaan yang ada di dalam kepala. Setelah pertanyaan itu keluar aku menangkup mulutku dengan tangan yang berada di atas perutku.
"Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya."
"Terus kenapa kamu masuk ke politik?" Mumpung kami sedang membahas hal ini, aku akan menanyakan hal yang paling membuatku penasaran. Beau bilang aku harus menanyakan ini langsung ke orangnya.
"Idealisme nggak sejalan dengan lapangan. Harus berada di posisi yang orang lain akan memandangmu, memegang kartu setiap orang-orang penting agar dapat bernegosiasi atau memberikan tekanan. Untuk tahu itu semua kamu harus berada di dalam lingkarannya." Aku tahu Benjamin belum selesai. "Itu alasan yang aku bilang ke media. Alasan personal karena aku mau buktiin kalau aku lebih baik dari papaku."
Alasan terakhir lebih masuk akan dan mengena untukku. "Ck. Cerita hidupku kalah dibanding kamu. Aku nggak tahu harus komentar apa soal hidupmu. Ini kayak bahan cerita buat sinetron di televisi."
"Emangnya ini lagi lomba hidup siapa yang paling mengenaskan? Giliran kamu yang cerita."
"Nggak ada yang menarik. Kalau pun ada, kamu sudah tahu semua."
"Kalau uang bukan masalah, kamu maunya kerja apa?"
Aku memicingkan mata, mengingat rencana di dalam kepalaku yang semakin jelas seiring berjalannya tahun, dan tidur menyamping, menghadap Benjamin. "Punya restoran." Itu jawaban yang paling jelas. Benjamin menunggu dengan sabar untukku melanjutkannya. "Nggak perlu yang besar, tapi bisa buat keluarga. Seminggu sekali tutup supaya bisa buka untuk orang-orang makan gratis. Kayak dapur umum, tapi versi dine in dan take away, buat pengalaman yang mau."
Aku terlarut dalam ceritaku sendiri. Imajinasiku berlari liar ke seluruh sisi tubuhku dan semangat memenuhi dada. Sudah lama aku tidak membicarakan perihal ini ke orang lain. Takut dianggap konyol dan mimpiku terlalu jauh untuk digapai. Tapi Benjamin sudah terlanjur jeblos ke lubang yang sama denganku dan tidak ada jalan keluar lagi untukku. Juga, aku percaya pada Benjamin untuk tidak menertawakanku.
Suamiku ikut memiringkan tubuhnya hingga kini kami berhadapan. Aku mengoceh terus. "Kalau ada rezeki mau bikin kayak dapur umum juga. Tapi bukan pakai relawan, pakai orang-orang sekitar buat kasih pekerjaan juga. Tapi kalau begitu harus ada donor tetap, ya?"
"Aku bisa jadi pendonor tetapnya." Benjamin menjumput rambutku yang keluar dari telinga dan terjatuh di pipi. Jantungku kembali berulah dan berdetak seperti palu godam.
Cari obrolan lain, cari obrolan lain. Cari obrolan yang nggak menggambarkan masa depan berdua Benjamin. "Ngomong-ngomong soal pendonor, kamu sudah baca proposal yang mau aku kirim ke perusahaan FnB itu?" tanyaku gagap.
Tangan Benjamin mengawang sesaat, "Belum. Aku coba baca setelah rada lega, ya? Aku mau istirahat dulu."
Ah, iya. Dia pasti sibuk banget. "Kamu setelah ini mau periode kedua?"
Mata Benjamin berkeliling di sekitaran wajahku. Menarik rambut dan mengembalikannya ke belakang telinga. Terus menerus sambil menjawab. "Tergantung kesempatan yang datang. Tapi endgame-ku bukan gubernur. What is something you are not willing to compromise in relationship?"
"Perselingkuhan. Itu yang paling nggak bisa aku tolerir. Deal breaker. Hatiku dibuat Tuhan sempit, jadi nggak bakalan bisa sesabar Ibu. Aku bakalan minta cerai saat itu juga dan minta harta yang banyak. Kalau bisa, dia bakalan aku bikin miskin tujuh turunan biar selingkuhannya kabur juga."
"Dia itu aku kan maksudnya?"
"Eh, iya lupa. Aku sudah nikah, ya." Benjamin menarik pipiku. "Ini sudah 30 menit lebih belum?"
"Sudah harusnya." Setelah menjawab pun Benjamin tidak melepaskan tangan kami. Dia meletakkan tangannya di pinggangku untuk menarikku mendekat. "Tidur."
Sekarang giliranku yang sekaku kayu.
Kenapa Benjamin jadi touchy begini?!
🌶️🌶️🌶️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro