Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

How This Story Ends - 4 - Sayonara, Sayonara. Sampai (Tidak) Berjumpa Lagi 3.1


Dunia belum berakhir
Bila kau putuskan aku
Wajahku juga nggak jelek-jelek amat
Ada yang mau

Dunia Belum Berakhir - Shaden 🎶

Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟

"Ini bisa nggak lo berhenti pakai tisu dan pakai kain aja buat ngelap ingusnya?"

Kalimat dari Karenina tidak menghentikanku untuk mengambil tisu dan menyusut hidung lalu membuang ingus.

"Aktivis lingkungan bakalan ngamuk kalau lihat kamar lo, Le. Sumpah, deh."

Aku masih mengabaikan Karenina, tapi ekor mataku sedikit setuju dengan lantai kamar yang penuh tisu. Setiap melangkah memasuki kamarku, Karenina harus berjengit jijik jika menginjak sesuatu yang basah lalu kabur keluar untuk mengambil sendal yang kini melindungi kakinya.

Tubuhku masih terbaring tengkurap di atas kasur yang berada di lantai dan menempel tembok, tepat di bawah jendela besar yang kini dibuka oleh Karenina. "Supaya udara masuk," katanya tadi. Semilir angin memasuki kamarku, dari panas yang tidak aku rasakan, aku menebak kalau hari ini matahari sedang memiliki mood yang sama denganku: menangis tanpa henti.

Karenina melihat sekeliling lalu berjalan ke arah kursi lesehan berwarna lavender yang berhadapan dengan meja kayu berukuran kecil yang merangkap tempat menaruh makeup seadaku (baca: lipgloss dan bedak bayi) dan laptop untuk belajar. Di samping meja serbaguna yang sudah berkali-kali ingin dibuang oleh Karenina dan Eyang itu, ada cermin seukuran tubuh lalu sebelahnya lemari baju dari kain yang aku beli online. Lemari juga termasuk sebagai benda yang amat sangat ingin Eyang buang dari dalam kamar ini.

"Udah, sih. Dunia belum berakhir—"

"Kalau gue putus sama Edo," sambungku menggenapi kalimat yang Karenina ucapkan selama dua minggu terakhir. Kalimat itu justru mengingatkanku dengan lagu jadul yang beberapa kali aku dengar Karenina mainkan yang judulnya "Dunia Belum Berakhir" dari Shaden. Sahabatku itu memang lebih sering mendengarkan lagu-lagu jadul di dalam rumah, berbeda dengan persona gaul dan up-to-date-chick yang digadang-gadangnya saat pergi dengan teman-teman seumurannya. "Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Paling-paling juga kalau kamu mentok, balik padaku." Aku berusaha menyanyikan bait yang aku percayai dua minggu ini, tapi gagal. Jadi aku mengucapkannya sambil tersedu-sedu.

"Dude, bait awalnya dong. Dunia belum berakhir, bila kau putuskan aku. Wajahku juga nggak jelek-jelek amat, ada yang mau." Karenina menyanyikannya dengan fasih tanpa cacat atau nadanya lari sepertiku. "Lagian, dia kemungkinan dia bakalan balik sama lo itu kemungkinannya kayak setipis kesabaran gue ke lo sekarang. Dia selingkuh sama sepupu lo sampai hamil. Gue sendiri bakalan putusin dia di kata selingkuh, tapi di kata sepupu dan hamil, gue kayaknya lebih mau potong sampai habis."

Aku tidak menggubris Karenina, tapi diam-diam mendengarkan caranya menghiburku.

"Gimana? Kita mau rencanain penculikan mantan berengsek lo itu terus kita adain khitanan lagi?"

"Otak kriminil banget lo. Ditangkep polisi baru tahu rasa."

"Lagian, lo kayaknya dendam sekumat—

"Kesumat. Jangan bikin gue benerin kata-kata lo, plis. Gue lagi mau menikmati momen sedih, bukannya mau ngakak," potongku.

"Itu pokoknya. Dia selingkuh dan selingkuhannya hamil. End of story. Mereka bakalan nikah bulan depan."

Aku menggeser ponselku ke arah Karenina yang duduk di seberang, berjarak tiga langkah dariku, yang langsung ditangkap dan dilihatnya.

"Aku bakalan ceraiin Lina begitu anaknya lahir. Please, jangan nyerah sekarang. Aku tahu ini too much buat diminta, tapi aku cinta banget sama kamu." Karenina membacanya tanpa banyak pikir hanya untuk meledak saat kalimat bertemu tanda titik. "Gila kali! Jangan bilang lo mau tunggu dia?! Gue bakalan bikin lo berendam kembang tujuh rupa di tengah malam selama tujuh hari berturut-turut kalau sampai muncul ide itu di kepala lo." Dia berdiri dari duduknya dan berpindah ke atas ranjang dengan raut horor dan mengancam yang silih berganti.

Apa aku kepikiran hal ini? Sedikit. Sehari setelah Edo menjatuhkan bom kalau Lina, yang ditemuinya saat aku membawa Edo untuk makan siang bersama dengan Lina, tengah hamil anak mereka. Konon, Lina mengancam akan memberitahukanku dan keluarga besarnya, jika Edo tidak memutuskanku dan menikahinya sesegera mungkin. "Dia malu kalau menikah waktu perut besar," kata Edo waktu itu. Kemudian membuatku bertanya, "Kalian nggak malu waktu selingkuh selama enam bulan terakhir?" Yang tidak dapat dijawab oleh mantan pacarku itu.

Otakku tahu kalau tidak ada yang dapat dimaafkan dari perbuatan mereka berdua, terutama Edo yang sudah menjalin kasih denganku selama bertahun-tahun, tapi hatiku yang berduka karena masa depan yagn dibayangkannya selama ini buyar ingin mempercayai kata-katanya. Bahwa selama ini tidak ada yang sia-sia dan kami masih memiliki masa depan bersama.

Mengucapkannya di dalam kepalaku saja sekarang membuatku terdengar naif, jadi aku tidak menjawab pertanyaan memburu Karenina, meskipun aku tahu dia tahu jawabannya dari helaan napas berat yang dikeluarkannya sambil menghadap langit-langit kamarku.

"To be fair, gue nggak pernah ada di posisi lo dan gue nggak akan tahu gimana rasanya. Tapiii, gue punya banyak teman, nggak kayak lo, yang diselingkuhin terus balikan. Ujung-ujungnya apa? Diselingkuhin lagi. Itu udah kayak textbook para tukang selingkuh. Kayak hukum tidak tertulis yang mereka jalankan dengan sepenuh jiwa dan raga."

"Gue bakalan mengabaikan sindiran lo di awal," gerutuku pelan. Bukannya aku tidak tahu, Ayah dan Ibu adalah contoh nyata dari hubungan itu. Ayah yang selalu berselingkuh dan meminta maaf saat ketahuan, dan Ibu yang selalu memaafkan dengan dasar cinta. "Cinta harus selalu memaafkan," katanya. Sampai aku tidak tahu batasan antara mencintai dan membodohi diri sendiri yang terlalu kabur untuk Ibu. Karena itu, aku berpikir kalau kehidupan percintaanku akan berbeda dari beliau, ternyata kami bernasip sama persis; sama-sama diselingkuhi.

Namun, aku memiliki pilihan untuk mengorbankan diri sendiri atau menghentikan kegilaan ini. Jadi aku memilih untuk berhenti dan tidak mau menjalani hidup seperti Ibu yang harus berlapang dada saat melihat anak hasil perselingkuhan Ayah yang kini harus dirawatnya.

"Enggak. Gue lebih milih jadi jomlo seumur hidup dibanding harus balikan sama dia."

Satu tepukan kencang bersarang di punggung yang membuatu mengaduh. "That's the spirit!" Karenina langsung berdiri dari kasurku dan menepuk tangannya dua kali. "Sekarang lo bangun. Kita perlu belanja baju buat kerja lusa. Eyang sudah bolak-balik nyariin lo juga."

Aku menutup wajah dengan bantal lalu mengerang. "Eyang ikutan juga?"

"Iya lah. Dia bosen di rumah dan mau lihat baju lo. Kataya biar dia buang baju nenek-nenek lo kalau sampai lo beli yang sejenis."

Aku mengerang lagi, kali ini Karenina menarik tanganku kencang hingga aku terjatuh ke lantai. "Ayo. Kita lusa mulai kerja. Gue di Benjo, lo di Beau."

"Siapa nama bos lo?"

"Benjamin. Benjo. Politikus muda yang terkenal itu. Yang lagi calonin diri jadi Gubernur."

"Nggak tahu siapa."

"God. You are hopeless. Gue aja tahu bos lo siapa."

"Gue nggak perlu tahu asal gue digaji."

"Tapi peraturannya itu kita harus berpakaian rapi. Dan pakaian lo enggak."

"Baju gue rapi, ya!"

"Rapi dan enak dipandang. Semua baju yang ada di sana," Karenina menujuk lemariku, "nggak ada yang masuk katergori terakhir."

7/7/23

Ini yang ikutan nyanyi, usianya langsung ketahuan wkwkwk

Si Lele dan Benjo~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro