Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

How This Story Ends - 37 - Cemburu Jilid2? 17.2


Question of the day: bisa terbang atau invisible?

vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌶️

Rumah Beau tata letaknya mirip dengan Benjamin. Satu lantai. Bedanya dia punya wine cellar dan dapurnya sedikit lebih luas dan menjadi center dari rumah ini.

"Kemarin nggak sempat. Seharian di luar." Beau menjawab dengan teriakan yang berasal dari kamarnya di ujung lorong.

"Aku panasin meatballs dan mashed potato aku buat jadi hashbrown, ya? Kamu sukanya itu, kan? Buat brunch. Sayang banget kalau dibuang-buang."

"Dibungkus aja buat bekel nanti. Aku bawa ke kantor."

"Pagi ini smoothies saja?"

"Iya."

"Ok." Aku mengeluarkan buah dari kulkas dan berbalik untuk melihat Benjamin duduk di kursi meja makan, memerhatikanku di dapur. "Apa? Kalau mau minum ambil sendiri."

"Beau disiapin," protesnya kecil.

"Aku digaji sama dia."

Aku memotong buah untuk smoothies Beau, memasukkan sedikit bubuk kale yang tidak dia sukai dan menyamarkannya dengan nanas. Di belakangku ada suara laci-laci konter yang dibuka. Mataku otomatis melirik melewati bahu.

"Cari apa? Gelas? Laci konter atas sebelah kiri kulkas."

Benjamin ngedumel sendiri, sekilas terdengar seperti "Hafal banget." Tapi aku tidak terlalu yakin juga karena suara juicer yang sudah menyala lebih kencang. Aku juga sudah sibuk membuat hashbrown dan memanaskan meatballs. Menatanya di kotak bekal stainless yang aku beli dan simpan di lemari dapur. Beau lebih sering meminta bekal untuk dimakan selama perjalanan atau ketika dia di kantor.

Aku baru berbalik sebentar untuk memasukkan hashbrown ke airfryer untuk kembali menata kotak bekal Beau dan melihat Benjamin memasukkan satu meatballs ke dalam mulutnya. Keterkejutanku menghasilkan bengong dan hanya dapat melihat suamiku memasukkan bola-bola daging kedua ke dalam mulutnya.

Insting karyawan yang ogah dimarahi bos memasuki tubuhku setelah dia sempat mengawang. "Behemoth, kenapa kamu makan bekal Beau?!"

"Oh, ini buat bekal? Aku pikir bisa dimakan," jawabnya sok polos. Tidak mungkin dia tidak dengar pembicaraanku dengan Beau tadi. Dia ada di sini dan telinganya menempel dengan sempurna di kepalanya.

"Aku nggak sempat masak buat bekel Beau lagi kalau kalian berangkat sekarang." Panikku berada di level maksimal. Aku kesetanan mengeluarkan semua bahan yang aku perlukan untuk menu hari ini yang cocok dengan hasbrown yang masih berada di airfryer. Sementara itu si sialan yang menyebabkan ini semua asyik mengganyang meatballs.

Mau aku sumpahi sakit perut, tapi itu masakanku sendiri.

"Berangkat baru sejam jam lagi, kok."

Jawaban Beau menjadi kalimat terakhir yang aku dengar sebelum telingaku tertutup rapat dari suara-suara dan fokus ke makanan yang sedang aku siapkan. Para orang di belakangku bisa pergi ke neraka, terutama penghuninya yang berstatus suamiku, dan aku tidak akan mengedipkan mata ketika mendengar beritanya.

Aku berakhir membuat brussel sprouts dengan bacon. Semuanya sudah siap, aku tidak membiarkan kotak bekal ini berada di jangkauan Benjamin dan hilang dari jarak pandangku. Aku masih memberikan tatapan sinis ke cowok itu yang ditanggapi dengan wajah sok polos. Dasar iblis berbulu domba.

"Makan malam salmon, ya," kata Beau saat aku menyerahkan kotak bekal yang sudah aku bungkus furoshiki, kain tradisional Jepang untuk membungkus benda, berwarna hitam dengan corak chevron putih.

"Consider it done."

"Aku mau juga," timpal Benjamin.

"Minta sama Kare sana."

Without missing a beat, tanpa berpaling dia berucap kepada Beau. "Be, gue mau makan malam di sini. Suruh chef lo masak on the spot."

Aku memelototi Benjamin lalu meminta pembelaan ke Beau yang hanya mengedikkan bahunya sekali. "Aku sama dia juga perlu ngobrol soal pemilihan minggu depan."

Minggu depan memasuki masa tenang, empat hari sebelum pemilu. Segala kegiatan kampanye harus dihentikan, termasuk rapat terbatas, dan kampanye di media sosial. Mungkin ini masa genting bagi Benjamin, karena biarpun angkanya memang meningkat dari sebelum kami menikah dan segala macam kampanye yang memang memikat banyak orang, terutama masa muda yang menjadi pemilih pemula yang meningkat tahun ini.

Para pemilih pemula lebih peduli mengenai isu-isu lingkungan yang sedang hangat-hangatnya dibahas secara global, Benjamin dapat dikatakan mampu menggaet mereka dengan program-program yang merujuk pada sustainable development yang ditawarkannya. Untuk sekarang dia berfokus pada kelaparan, lingkungan, dan pendidikan

Damn him, untuk memahami apa yang dia bicarakan dan agar aku tidak tampak bloon jika ada yang menanyakan program suamiku, aku harus membaca banyak hal. Aku tidak tahu kalau harus belajar lebih dari yang aku suka lantaran menikahi politisi, kalau ada yang info sejak awal, mungkin aku sudah menolak mentah-mentah tawaran ini. And kiss good bye to your dream? ejek suara di dalam kepalaku.

Beau menepuk lengan atasku pelan dua kali untuk menunjukkan simpati atar rekues bosnya yang seenak udel. "Lembur, ya. Buatkan dua salmon dengan asparagus, terus dessert."

"Yang satu boleh pakai obat pencahar?"

**

Masa tenang adalah siksaan baru bagiku.

Kemarin Benjamin sudah menyelesaikan periode kampanyenya, dia bertekad penuh untuk tidak mengusik peraturan dengan melancarkan serangan subuh atau kegiatan curang lainnya dengan mengerahkan relawan. Dapur umum sendiri sudah berhenti beroperasi seminggu sebelum pemilu. Jadi kegiatanku hanya kembali ke rumah Beau saja lalu bersantai seharian dengan Karenina. Entah aku yang ke rumahnya, atau dia yang ke sini. Menghabiskan series yang kami janji untuk tonton bersama, setelah menyadari kalau menonton sendiri tanpa ada yang memberikan komentar sarkastik atau teori yang kami karang sendiri mengurangi kesenangannya.

Selama empat hari ini juga aku bertukar dengan Karenina. Aku kebagian memasak untuk Benjamin, sedangkan sahabatku itu untuk Beau. Otomatis itu membuatku tidak keluar rumah dan terkurung dengan behemoth yang tinggal di dalamnya.

Benjamin tidak membuka berita, baik di tabletnya atau di TV. Jadi, dia ikut menonton ulang series mengenai istri yang membunuh suaminya bersamaku. "Kamu nggak taruh aneh-aneh kan di makananku?" Komentarnya saat melihat istri yang memasukkan racun ke smoothies suaminya.

Aku mengangkat bahuku sekali. "Di mana letak kejutannya kalau aku kasih tahu kamu?"

Benjamin melemparkan tatapan ngeri kepadaku, tetapi di siang hari, dia tetap memakan masakanku. Ragu di suapan pertama, seakan dia tengah meraba sesuatu dengan lidahnya dan tatapan penuh curiga kepadaku. Setelah itu dia tampaknya memutuskan untuk tidak peduli dan makan dengan nikmat. Mungkin dia sudah menerima nasibnya kalau mati di tanganku. Or he blindly trust me. Bah, I even can't trust myself with the feeling that floating around me lately.

Sepuluh detik yang lalu kami sangat santai, sampai Benjamin mengangkat panggilan telepon dari Beau dan matanya langsung memakuku. Eerie feeling that I hate fill my stomach.

"Ok, gue tanya dulu ke Leah. Kare masih di sana? Sekalian ke sini sama dia aja." Benjamin menutup teleponnya dengan gusar.

Udara yang tiba-tiba saja berat di ruangan ini membuatku ikutan gelisah juga. Aku mematikan televisi dan bertanya kepada Benjamin. "Ada apa? Ada masalah?"

Benjamin menipiskan bibirnya hingga membentuk satu garis. Guratan muncul di kening yang ditutupi beberapa helai rambut mengakibatkan tanganku basah.

"Kamu jual foto kaki kamu untuk orang dengan fetish itu?"

Jantungku lupa caranya beretak dan perutku melilit mendengar pertanyaan itu. "Well, yeah, I used to. Setelah kerja dengan Beau enggak lagi." Jengah muncul karena Benjamin tidak juga mengalihkan tatapannya dariku. Aku dapat mengartikan banyak hal di tatapan yang diberikannya kepadaku dan satu pun tidak ada yang aku sukai.

"Fotonya tersebar di media sosial dan ada yang bilang kalau dia beli di kamu." Benjamin menyerahkan ponselnya, memperlihatkan tangkapan layar yang Beau kirimkan.

Tanganku menyambar ponsel itu sangat cepat. "Nggak mungkin. Aku nggak pernah kasih lihat muka. Itu bisa foto siapa-" aku langsung pias. Aku mengenali semua foto yang aku jual. Terutama karena kakiku berada di sana. Memang tidak ada tanda lahir atau apa pun, tapi aku mengenali tubuhku sendiri dan ada barang-barangku serta Karenina yang menjadi properti foto.

"So, it's your photo then," bisik Benjamin lebih kepada dirinya sendiri, "bagusnya nggak ada foto mukamu dan kamu pakai nama samaran."

"Tapi itu-"

"Leah, saya harus urus ini dulu, karena berita-berita kayak gini efeknya bisa langsung terasa. Buat banyak orang ini termasuk pelanggaran norma dan budaya timur kita."

Penjelasanku terpotong dan aku gagu seketika. Ucapan tegas Benjamin seperti belati yang menancap tepat di ulu hatiku dan dia hanya memperparahnya ketika pergi ke ruang kerja. Meninggalkan aku yang gamang dengan apa yang baru saja terjadi.

🌶️🌶️🌶️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro