Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

How This Story Ends - 34 - Benjamin, Wajah yang Memerah, & Mantan Pacar 16.1


Question of the day: 4 tangan atau 4 kaki?

vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟

Untuk mengetes teori yang tidak terbantahkan dariku, aku menyentuh Benjamin di berbagai kesempatan. Lebih sering di rumah karena dia tidak bisa kabur ke mana-mana, dan aku tidak perlu menjaga perilaku karena adanya orang yang tidak aku kenali, juga dengan reaksi suamiku yang terkadang berlebihan. Entah dia yang langsung kabur dan mengunci diri di kamar atau lari menghindar. Untung saja dia tidak sampai tahap refleks melemparku. Setiap itu juga wajahnya semerah kepiting rebus. Bukan karena kesal, seperti dugaanku pertama, karena wajahnya tidak menunjukkan kemarahan. Di justru ingin menyembunyikan wajah dengan menggunakan apa pun yang dapat diraih.

Minggu kedua, dia tidak bisa menghindariku terus-terusan dengan alasan meeting, sehingga tidak bisa menjemput. Kami harus menempel seperti perangko karena pemilihan yang semakin dekat. Minggu ketiga, dia sudah kembali ke jadwalnya seperti sedia kala; menjemputku di dapur umum.

Aku tidak pernah berpikir mengenai kemungkinan Benjamin yang tidak mau skinship karena malu. Siapa juga yang bisa percaya? Ditertawai sampai terkencing-kencing iya.

Aku menautkan jemari kami di atas meja makan. "Jadi, kalau kamu pegangan lama sama cewek, muka kamu bakalan merah?" Tidak sampai satu menit, seluruh wajah Benjamin, yang tidak tertutup tangan besarnya memerah. Iya, dia berusaha untuk menyembunyikan wajahnya menggunakan telapak tangan karena aku sudah melempar cushion sofa ke ujung ruangan.

"You are annoying."

"You are cutie pie. Baru ini lihat aki-aki mukanya bisa merah karena pegangan tangan sama anak gadis."

Dia tertawa mengejek. "Kamu nggak semuda itu buat panggil aku aki-aki."

"Kamu kelas 4 SD, aku baru berojol. Itu kalau bukan kategori tua, apalagi memangnya?"

Benjamin menggerutu di helaan napas panjangnya.

"Dari dulu sudah kayak gini?" Aku menarik tangan Benjamin, hingga tubuh suamiku itu menempel dengan sisi meja. Tangan kanannya aku buka, menengadah ke langit rumah lalu aku rentangkan dengan kedua tanganku.

"As far as I remember."

Aku jadi membayangkan Benjamin kecil yang-tidak-bertubuh-kecil dengan pipi serupa apel saat diajak berkenalan bocah perempuan lainnya.

"Ah, jangan-jangan ini respons trauma waktu kecil yang diejekin sama teman-teman ceweknya ya? Waktu kecil kamu korban intimidasi cewek-cewek karena badan kamu kecil, terus kamu baru bebas dari itu setelah growth spurt."

"Kamu lagi bikin skenario apa, sih, di sini?" Benjamin menyeberangi tubuhnya di atas meja hingga kini jari itu bisa menyentil dahiku cukup kuat. "Ini otak yang sama dengan yang mau nyingkirin dan ambil hartaku." Sekali lagi dia melakukannya.

"Kan aku harus siap-siap kalau mau jadi janda kaya raya kayak Eyang. Biar nggak kagok. Harus latihan dulu dari sekarang."

"Usia pernikahan belum seumur jagung, kamu sudah kepikiran jadi janda."

Tanganku yang tidak lagi menggenggam Benjamin terasa sedikit kosong, dan aku tidak mau keinginan impulsifku adalah menarik tangannya kembali, jadi aku menyembunyikan milikku di bawah meja. Mengunci kesepuluh jari sebagai pengaman tambahan.

"Balik ke muka kamu yang memerah. Itu jadinya karena apa?"

"Dari kecil sudah begini. Bukan kayak drama picisan yang kamu pikirin."

"Makanya kamu nggak mau pegangan kalau bukan di depan kamera dan terbatas di lengan saja?" Setelah aku ingat-ingat lagi, Benjamin selalu memakai lengan panjang, sehingga kulit kami jarang bertemu. "Sayang banget, padahal ini gemes."

Dia mendengkus. "Mana ada pria dewasa di pertengahan kepala tiga yang mau dipanggil gemes? Terlebih dengan pekerjaan saya yang seperti ini, yang ada saya nggak bakalan dianggap serius sama orang-orang."

"Kamu bukannya sering keluar sama cewek-cewek? Banyak fotonya di media."

"Jangan percaya mentah-mentah apa yang ada di media. Kamu harusnya juga sudah tahu itu sekarang."

"Makin sering pegangan, makin lama nggak merahnya muncul?"

"Nggak tahu, nggak pernah coba."

Persetan dengan akal sehat yang melarangku untuk banyak melakukan skinship dengan Benjamin. Aku akan mengikuti kegilaan Karenina. Aku sudah terlanjur tercebur dalam relasi ini, lebih baik aku menikmatinya sekalian. Dan kalau aku mau Benjamin terbiasa denganku, ini adalah saat yang tepat.

"Kamu tahu Habit Theory?"

"Kebiasaan yang muncul dari memori? Wait a minute, kamu terlalu banyak tahu untuk-"

"Lulusan SMA?" Aku menggenapi Benjamin yang menggantung kalimatnya. "Kamu nggak tahu kalau internet tempatnya banyak ilmu? Bahkan anak kuliahan pun bikin paper banyak yang cari di internet."

"Aku mau bilang bocah."

"Whatever. Jadi, habit itu jadi aksi yang dilakukan terus menerus dan secara konsisten. Dari yang aku baca di website Cambridge, setelah banyak repetisi, representasi mental dari kebiasaan ini akan terbentuk dan otomatis teraktivasi dengan even yang nge-trigger di aksi ini."

"Who am I married to?"

"Punya bayak waktu senggang, tapi nggak punya uang buat jalan-jalan, internet adalah hiburan yang bermanfaat. Kamu pasti nggak tahu kalau ada kelas yang bisa diambil di google dengan beasiswa, kan?"

Hal yang dapat aku banggakan sangat sedikit, tetapi jika aku dapat menyombongkan sesuatu, akan aku lakukan, termasuk ini. Pengetahuanku untuk benda gratis sangat dapat dibanggakan.

"Dasar anak orang kaya," ejekku. Aku berdeham untuk lanjut mengutarakan ide busukku dengan kamuflase kalau yang diuntungkan bukan hanya aku, tetapi juga Benjamin. "Teorinya, kalau kamu pegangan tangan terus-terusan, mungkin muka kamu bakalan lebih lama merahnya. Karena tubuh kamu sudah terbiasa. Of course teori ini belum pernah diuji, tapi nggak ada salahnya buat coba, kan?"

"Yang kamu dapat dari ini apa?"

Kamu. Maunya jawab itu, tapi aku menelan satu kata itu sebelum meluncur keluar dari mulut. "Aku orang baik yang terbiasa bantu orang lain."

Benjamin tidak begitu saja percaya padaku. Dia memicingkan matanya dengan penuh curiga.

"Okay. Aku cuma minta rumah ini."

"Nah, ini baru orang yang aku nikahi." Dia menutup kalimat itu dengan senyuman yang kembali memicu jantungku bekerja lebih keras seperti saat berlari. Dan aku benci lari. "No way in hell. Ini rumah pertama yang aku beli hasil kerja keras sendiri," sambungnya kemudian.

"Kamu bisa beli rumah kayak gini seratus biji."

"Pertama, rumah hitungannya bukan biji. Kedua, uang aku nggak cukup untuk beli rumah kayak gini seratus buah. Satu aja mengumpulkan uangnya bertahun-tahun karena lokasinya yang strategis. Juga, ini rumah pertamaku."

"Kamu ternyata melankolis juga."

Pipi Benjamin sedikit merah. Tubuhnya kini sudah mundur dan matanya sudah jatuh ke arah dapur, bukan lagi kepadaku. "Enggak. Lokasinya strategis ke mana-mana."

"Aku akan pikirin mau apa nanti. Kamu harus siap kalau aku minta apa pun."

"Okay. Terus kita harus apa?"

Aku menimbang pilihan yang paling mungkin di tengah jadwal Benjamin yang padat, juga jadwalku sendiri yang tidak kalah baiknya dari Benjamin. Dari pagi hingga malam. Seharusnya aku juga mendapatkan uang lembur.

"Malam? Sebelum tidur. Bikin timer, misalnya mulai dari satu menit, terus naik bertahap. Ini lebih gampang kalau kamu sudah rileks di tempat tidur, kan?"

🌶️🌶️🌶️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro