How This Story Ends - 26 - Dapur Umum 12.1
Question of the day: introvert atau extrovert?
vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Dapur umum yang dibicarakan adalah rumah salah satu relawan yang tidak terpakai. Kondisinya memang tidak bagus-bagus amat, tetapi masih layak digunakan sebagai tempat memasak dengan banyaknya kompor dan peralatan masak hasil pemberian relawan lainnya. Dan juga bersih. Ini penting untukku.
Saat aku, Karenina, Beau, dan Benjamin tiba di sana, sudah ada seorang relawan yang menyambut, Lisa. Usianya lebih muda dariku. Mungkin masih kuliah.
"Lewat sini dapur terbukanya," sapanya ramah. Dia mengenakan kaos relawan berwarna putih dengan logo kecil di bagian dada dan tulisan relawan di belakang. Kami melewati banyak orang yang berdiri di dekat kompor dengan senyum yang tidak berhenti mengembang. "Ini relawan yang akan bantu memasak hari ini. Menunya sederhana, tapi mencakup empat sehat, lima sempurna sesuai kemauan Bapak kemarin."
Aku sedikit senang mendengar penuturan Lisa. Entah itu karena ceritaku saat kami di hotel dan Benjamin mendengarkan dengan saksama, atau memang para relawan hanya mau membuat Benjamin terlihat baik saja.
Kami berjalan semakin ke belakang, ke bangunan kecil yang menjadi tempat penyimpanan beberapa bahan makanan yang awet untuk diletakkan di suhu ruang. Aku melihat tumpukan cabai yang membuat mulutku tidak dapat direm. "Pakai cabai?"
"Iya, Bu."
Perhatianku kemudian teralih ke tumpukan kotak makan yang sudah pasti di dalamnya menggunakan plastik. Alisku berkerut dalam dan protes ke Benjamin yang berdiri di sebelahku. "Wadah plastik? Makin banyak sampah yang susah diurai, dong. Kenapa nggak pakai ricebox aja?"
Aku tahu dari tatapannya Benjamin sedang menyumpahiku di dalam kepala, tetapi aku tidak peduli. Dia seharusnya memikirkan efek dari semua sampah yang dihasilkan ini, bukan hanya memikirkan jangka pendeknya saja. Memangnya masalah sampah kurang banyak apa sampai harus ditambah lagi di era pemilihan seperti ini?
Lisa hanya diam dan melemparkan pandangannya bergantian ke arahku dan Benjamin.
"Ini sudah dibeli berapa banyak?" Benjamin akhirnya bertanya kepada Lisa saat aku bersikeras tidak mau membiarkan bahasan ini berlalu begitu saja.
"Untuk satu minggu, Pak."
"Bisa diminta tukar? Kalau ada tambah biaya nggak apa-apa. Nanti saya yang akan tambahi." Dia lalu tersenyum ke semua orang. Satu tangannya mengelus lenganku yang melingkari miliknya. "You heard the boss. Ini bidangnya istri saya. Dia yang lebih paham."
Lisa mengangguk dalam dan izin untuk menelpon di luar gudang. Benjamin melirik ke pintu dan langsung berbisik ke arahku. "Kamu nggak bisa protesnya di rumah aja? Harus di depan orang lain kayak gini?"
"Enggak bisa. Soalnya kalau di rumah belum tentu kamu mau dengerin saya," jawabku dengan nada berbisik yang sama, tetapi aku tambahi senyuman manis yang aku sadari akan membuatnya kesal. "Lagian juga, ini penting buat imej saya di media sosial. Saya itu lagi berusaha buat ajak kurangin sampah plastik, kenapa saya malah bagi-bagi makanan yang menggunakan plastik sebagai wadahnya? Bukan imej kamu aja yang perlu dijaga di sini. Menu juga bakalan saya cek nanti.
"Kalau yang makan anak-anak bagaimana? Kamu bukannya mau fokus ke stunting? Kamu sadar kan kalau stunting itu kasusnya bayi dan anak-anak?" Aku menyipitkan mataku ke arah Benjamin yang memutar bola matanya. "Belum lagi, nggak semua orang bisa makan pedas. Kalau yang ambil ini orang tua, berarti kemungkinan dimakan sama anaknya juga."
Saat aku mengatakan imej, ini benar-benar yang aku pikirkan. Sejak aku dan Karenina mulai fokus membangun branding di media sosial, aku memutuskan untuk membuat satu konten mengenai menu bekal sederhana dan enak, tetapi gizinya juga seimbang. Terima kasih kepada ahli gizi yang diperkerjakan oleh Beau sehingga aku sedikit paham dan mencuri ilmunya untuk menu-menu itu. Aku juga membuat menu untuk bekal anak-anak karena sekarang tren itu sedang tinggi di kalangan para ibu yang menjadi target pasar Benjamin. Yes, aku juga memanfaatkannya untuk menarik engagement media sosialku. Tapi toh ini menjadi media kampanyenya juga secara tidak langsung. Aku sudah diasosiasikan sebagai istri Benjamin.
Namun, ketimbang memasak dari awal, aku lebih banyak menggunakan makanan leftover yang diolah ulang sebagai menu utamanya. Ini salah satu caraku untuk mengedukasi mengenai food waste ke banyak orang secara sederhana dan subtle.
Satu tangan Benjamin memasuki kantong pantalonnya dan dia mengembuskan napas melalui mulut yang terbuka lebar. "Terserah kamu. Tapi, mereka ini relawan yang bantuin saya. Bukan orang yang bekerja di bawah saya, jadi tolong hati-hati kalau bicara sama mereka."
"Saya yang lebih paham soal itu dibanding kamu," gumamku saat melihat Lisa kembali memasuki gudang.
"Bisa ditukar, Pak. Nanti orangnya akan antar yang ricebox sekaligus ambil yang di sini."
"Terima kasih, Lisa." Benjamin tersenyum dan efeknya membuatku mau muntah. Ekspresinya langsung berubah 180 derajat saat melihat orang lain. "Kamu bisa langsung obrolin soal menu dan teknisnya sama istri saya. Dia bakalan datang setiap hari dan bantu-bantu di sini sama Karenina." Suamiku menunjuk Karenina yang tidak berhenti mengekoriku sejak kami tiba di sini.
"Kamu mau langsung pergi?" Ini aku mengusir Benjamin secara halus. Biarpun orang lain membacanya seperti aku yang tidak mau ditinggal oleh suami baruku.
"Iya. Masih ada meeting. Aku jeput pukul lima?"
Aku tidak ingat kalau ada perjanjian soal jemput ini saat Benjamin briefing di mobil tadi. Tapi aku menganggukkan kepala dengan senyum sebagai jawaban atas pertanyaan tadi.
"Okay. Hubungi aku kalau ada yang kamu perlukan."
Senyum menjadi satu-satunya jawaban yang aku berikan ke Benjamin sampai dia pergi dari dapur umum ini dengan senyum yang diumbar ke semua orang dan tentunya ucapan terima kasih.
Aku dan Karenina langsung bekerja. Mengutak-atik menunya sedikit agar tidak perlu memakai cabai. Aku berencana untuk membuat sambal dan menjualnya. Hasil penjualan 100 persen masuk untuk dana dapur umum. Penjualannya melalui akun media sosial yang ternyata sudah dibuat sejak Benjamin menginisiasi hal ini.
Menu hari ini ayam goreng dengan telur orak-arik dan sayur lalapan. Ricebox diberikan sekaligus dengan pisang dan susu. Menunya memang sengaja aku pilih yang sederhana agar dapat diterima oleh lidah dan perut orang-orang yang menjadi target dapur umum. Toh, itu lebih mudah juga untuk orang-orang yang memasaknya.
Aku sudah pasti akan menerima komplain dari Benjamin saat dia menjemput, tapi aku akan mengurusnya nanti. Sekarang aku fokus mengerjakan 500 ricebox yang harus diberikan sore nanti. Karena ini pilot project, aku tidak mengharapkan terlalu banyak, tetapi aku sudah meminta ke orang media sosial agar mengunggah alamat untuk mengambil nasi di beberapa titik di media sosial, lalu meminta bantuan untuk di-repost oleh netizen.
"Gue tunggu di café depan, ya." Karenina langsung membalikkan badan, tapi aku langsung menarik kerah bajunya sebelum dia sempat mengambil langkah seribu.
"Enak aja lo. Cepet pakai celemek, ikat rambut, dan masker. Lo ikutan masak."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro