How This Story Ends - 21 - Akhir Masa Lajang 9.2
Question of the day: mending nggak sarapan atau nggak makan malam?
Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.
Thank you :)
🌟
Aku memaksa ujung bibirku untuk tertarik ke atas. Berjalan ke arah Benjamin lalu mengalungkan lenganku di lengannya. Sedikit menarik cowok itu supaya mengikuti arahanku untuk berhenti di depan Ibu. "Ini Benjamin. Benjamin, ini Ibu." Aku melepaskan lengannya agar dia menyalami Ibu, tetapi dia menarik punggung tangan ibuku ke dahinya.
"Benjamin, Bu."
Ibu tersenyum singkat lalu mendorongku ke arah meja makan dengan satu tangannya yang tidak memegang pisau. Beliau tengah memotong mangga dan aromanya menggugah seleraku. "Makan dulu. Kalian belum makan siang, kan?"
Aku melirik Benjamin karena ini tidak sesuai urutan yang aku sebutkan di awal. Makan seharusnya bagian paling akhir sehingga kami bisa kabur dengan alasan banyaknya pekerjaan Benjamin. Dari cerita Karenina mengenai bosnya yang pickyeater, dan bagaimaan bahan makanannya yang hanya menggunakan kualitas terbaik. Aku tidak mau melihat bagaimaan dia menolak ajakan makan orang tuaku yang berprinsip semua orang harus makan sebelum pulang.
Otakku bekerja keras memikirkan alasan yang tepat untuk menolak ajakan Ibu, tetapi dia memilih untuk mogok bicara. Padahal saat aku tidak perlu dia untuk mengoceh, dia justru tidak berhenti. Aku tidak ada hati untuk menolak, terutama melihat jumlah lauk yang ada di atas meja. Memikirkan seberapa banyak waktu yang dibutuhkan oleh Ibu memasak ini semua seorang diri, karena adikku sudah pasti memilih untuk ngorok dibandingkan bangun menyaingi matahari di hari libur.
Aku tahu ini akan terjadi saat aku menghubungi Ibu dua hari lalu untuk mengabari kalau aku akan pulang dan membawa seseorang. Ibu sudah pasti menyiapkan segala macam. Selama itu pula aku memikirkan alasan yang tepat. Menyusunnya berdasarkan yang paling sempurna hingga tidak masuk akal, tetapi tidak ada satu pun yang tidak membuatku sedih jika membayangkan wajah Ibu dan bagaimana letihnya beliau saat memasak.
Dengan Benjamin yang sama diamnya denganku, aku mengambil sikap dengan menolak meskipun ini meremat hati. "Boleh bungkus aja nggak, Bu? Benjamin sedang sibuk keliling. Biar kita bisa sempat untuk bicara." Aku melongo ke dalam kamar, ke pintu kayu yang sedikit terbuka. Sejujurnya aku akan melihat ke arah mana pun agar tidak menanangkap kekecewaan yang tampak jelas di mata tua yang dikelilingi keriput itu. "Ayah di kamar?"
"Ayah! Mbak Lele dateng." Debora berteriak sambil berlari kecil ke dalam kamar. Dia melirik lalu tersipu sendiri saat melewati Benjamin.
Dasar bocah ingusan.
"Kamu tidak usah teriak. Ayah bisa dengar kalian bicara dari tadi."
"Kalau dengar, ngapain di dalam kamar saja? Minta dicariin sama Mbak Lele?" cibir adikku yang berdiri di daun pintu dengan Ayah yang muncul menggunakan salah satu dari dua kemeja yang dimilikinya. Beliau tidak suka memakai kemeja karena gerah menurutnya. Kemeja lain yang dipunya Ayah juga seragam kerja kalau beliau sedang menyetir bosnya. Pantalon yang juga hanya dikenakan saat bekerja kini melapisi kakinya. Begitu pun dengan rambut yang tersisir rapi.
Jika hubunganku dengan Ibu berangsur membaik, hubunganku dengan Ayah masih jalan di tempat. Tidak ada pembicaraan bila tidak ada hal yang penting-penting amat. Semua komunikasiku bersama Ayah melalui perantara Debora.
Tanpa banyak bicara, Ayah langsung menyambangi Benjamin dan mengangsurkan tangannya tanpa menatapku.
Harus aku akui kalau Benjamin mudah beradaptasi. Dia tahu harus menempatkan dirinya di dalam stituasi dan lingkungan baru denan cepat. Perbincangan dengan Ayah mengalir ringan, terutama saat dia menangkap kegemaran Ayah menonton berita mengenai politik Indonesia.
Dan ayahku justru membicarakan hal yang mengusik Benjamin: Elektabilitasnya yang masih rendah, biarpun sedikit naik semenjak berita mengenai hubungannya tersebar. Ayahku terlalu cerdas untuk dibohongi.
"Kamu bukannya sudah pacaran delapan tahun? Siapa itu? Edo?"
Tubuh Benjamin yang semula rileks berubah menjadi kaku. Dia melihatku dengan satu alis yang naik.
Okay, aku harus memikirkan alasan dan kebohongan yang masuk akal. Karena ini sudah pasti pertanyaan jebakan. Ayah tahu semuanya, tanpa aku ceritakan. Gosip dengan mudah menyebar di keluarga mana pun. Siapa yang tiba-tiba tidak heran jika pacarbu meikah dengan sepupumu? Saat kabar itu tersebar, ponselku penuh dengan pesan masuk dari keluarga yang menanyakan keberannya. Tidak terkecuali Ibu dan Bora.
"Sudah putus beberapa bulan lalu. Ayah kan tahu sendiri kalau dia sudah nikah juga sama Rani. Dia hamil."
Benjamin mengambil alih pembicaraan ini. "Saya mau izin untuk menikahi Leah, Pak."
Reaksi semua orang berbeda terhadap permintaan Benjamin yang terdengar serius. Debora terkesiap lalu memekik sambil memukul bahuku tiga kali. Ibu menatap Benjamin dan aku bergantian sembari menutup mulutnya. Ayah mengetuk pahanya dengan jari telunjuk. Histeria Debora masih terus mengisi ruangan.
Aku lupa bagaimana kelanjutannya karena aku masih terlalu terkejut dengan kalimat Benjamin. Sudah lama ingin mendengarnya keluar dari mulut Edo. Membayangkan bagaimana rasanya mendengar seseorang memintamu dari orang tuamu. Jantung yang menggedor rongga dada dengan tempo debaran yang berbeda dari biasanya. Aku juga membayangkan perut yang tergelitik dengan kebahagiaan yang tumpah ruah.
Namun, aku tidak merasakan apa pun tadi. Ini terlalu kosong untuk seseorang yang akan menikah. Ini membuatku bertanya-tanya, apa seperti ini juga nantinya? Ada kekosongan yang tidak bisa aku isi.
Aku menggeleng. Mungkin semuanya akan berbeda jika aku sudah melanjutkan sekolah. Aku dapat mengisinya dengan ambisiku yang tercapai dan keluargaku yang hidup tenang. Aku tidak perlu khawatir mengenai uang dan seberapa banyak yang dapat aku tabung, jika tetap ingin menyekolahkan Debora. Mau dipikirkan seperti apa pun, ini win-win solution untuk semua orang.
"Beau, ganti press release untuk besok. Ada detail yang salah perihal waktu pacaran." Suara Benjamin menarikku dari kekalutanku. Mau tidak mau aku memasang telinga lebar-lebar. Ini bukan menguping. Ini penting untuk bagaiamana aku menentukan sikap nantinya. "Leah lupa kalau dia punya pacar sampai beberapa bulan lalu." Benjamin menekankan kata lupa yang aku hadiahi tatapan sinis.
"Ada detail-detail yang harus kita perbaiki. Lo bisa datang malam ini ke rumah. Iya, Leah gue drop di rumah gue. Habis ini masih harus ketemu sama partai petahana. Okay."
"Kapan saya bilang mau ke rumahmu?" tanyaku saat panggilan itu sudah ditutup.
"Orang yang bikin saya mau kelihatan kaya pecundang dengan jadi selingkuhan, nggak bisa protes. Kamu tahu itu bisa berpengaruh ke saya?"
Ini pertanyaan retorik yang tidak perlu aku jawab, kan?
"Lebih baik kamu jelaskan detailnya nanti. Jangan ada yang terlewat."
"Bossy banget jadi orang."
31/7/23
Ribut mulu ini couple wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro