Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

How This Story Ends - 20 - Akhir Masa Lajang 9.1


Question of the day: film komedi atau horror?

Jangan lupa vote, komen, share cerita ini dan follow akun WP ini + IG @akudadodado.

Thank you :)

🌟


Aku tahu kalau Benjamin di depan umum, jauh berbeda dengan Benjamin di balik panggung. Contohnya, bagaimana dia judes ketika kami di ruangan tertutup tanpa ada mata lain yang mengintai dan ketika ada kamera atau mata yang melirik kami penuh minat. Exhibit A: di pasar dan di rumah setelahnya.

Rasanya seperti ada orang yang berteriak "Camera, rolling, action!" Begitu pintu mobil terbuka dan Benjamin melakukan hal yang tidak pernah dilakukan sebelumnya: menggenggam tanganku. Biasanya, aku yang menginisiasi segala bentuk sentuhan fisik. Itu tertera dalam perjanjian kami. Just a light touch. A feather one. Karena itu aku hanya mengaitkan lenganku dengannya.

Mengingat bagaimana perilaku cowok itu, aku melirik sekitar secara sekilas, berpura-pura melihat-lihat sekeliling rumah orang tuaku dan menemukan apa yang aku cari di dalam mobil yang letaknya tidak jauh dari tempat mobil Benjamin parkir. Ada wartawan yang aku duga disuruh Behemoth satu ini datang untuk merekam.

"Tangan kamu," bisik Benjamin. Matanya melotot ke arah jari kami yang bertaut.

"Kenapa?"

"Lepasin."

"Orang kamu yang pegang-pegang tangan saya duluan, kok."

"Kamu kelamaan nggak pegang tangan saya," balasnya sengit yang semakin membuatku tidak paham arah pembicaraan manusia satu ini dan di mana letak masalahnya.

Aku balik melotot ke arah Benjamin dan melepaskan genggaman tangannya dengan sekali hentak lalu melingkari lengannya. Inget duitnya, Le. Inget duitnya. Aku mengulangi kalimat itu di dalam kepala guna menenangkan diri.

Rumah kontrakan yang kami tinggali delapan tahun terakhir masih sama. Hanya cat kremnya yang semakin lusuh dimakan waktu.

Taman berukuran 1x1 meter yang penuh dengan pot-pot kecil. Tanaman yang dikerjakan Ayah untuk mengisi waktu luang dan Debora yang ditugaskan untuk menyiram. Ada carport tanpa mobil, sehingga Ayah menaruh pot-pot yang ukurannya lebih besar di sana. Ada juga lemari kayu sederhana yang dibuat Ayah untuk tempat Ibu berjualan.

Selalu ada asbak di jendela sebelah pintu karena Ayah selalu merokok di sana, sehingga tidak heran jika aku melihat beberapa puntung rokok di dalamnya.

Rindu menghantamku dengan cukup keras hingga aku harus menahan nafas jika tidak ingin terisak. Aku tidak tahu kalau selama ini aku merindukan rumah, hingga melihatnya membuat perasaan itu membuncah. Kesibukan dengan seluruh kegiatan menyerap atensi dan tenagaku.

Bayangan Ibu yang dulu suka duduk di dekat pintu sambil menemani Debora menyiram tanaman dan aku yang baru pulang sekolah dapat kulihat dengan jelas seperti baru saja terjadi kemarin. Termasuk daster lusuh dengan corak bunga yang sering Ibu pakai. Satu tawa lolos dari bibirku saat mengingat lagu yang menjadi pengiring kegiatan sore kami: dangdut. Adikku yang masih SD akan merengut, tapi tidak berani protes karena baru saja bergabung bersama keluarga kami. Dia masih menjaga sikap, terutama denganku yang jutek.

Aku yang masih mengenakan seragam putih-abu dan terlalu hijau untuk memahami keadaan keluarga kami hanya dapat menatap sinis ke arah Ibu dan Debora. Aku tidak hanya marah terhadap Ayah yang meninggalkan anaknya untuk Ibu rawat, juga terhadap orang yang melahirkanku karena bertahan di pernikahan ini padahal sudah tahu sejak lama.

Aku merasa dikhianati oleh dua orang yang paling aku sayangi dan dua orang yang paling aku percayai. Waktu dan jarak memang terkadang obat terbaik untuk luka, meskipun tidak menghilang seutuhnya.

"Cukup bilang kalau kamu mau menikahi saya. Kita berdua yang akan mengatur acaranya. Kalau ditawari makan, jangan mau. Langsung pulang saja," kataku pelan yang tidak disahuti oleh Benjamin.

Sedetik setelah Benjamin mengetuk pintu rumah, wajah Debora langsung muncul di balik pintu. Wajah semringahnya dengan lesung pipi di kanan serta kacamata bundar yang bertengger di hidungnya menyapa dengan pekikan girang. "Mbak Lele!"

Aku sudah menumpangkan tanganku ke jidat Debora sebelum dia menerjangku dengan tangannya yang sudah terbuka lebar. "Bora, ini Benjamin. Benjamin, ini Debora."

Debora memajukan bibir bawahnya saat aku sudah menurunkan tanganku. "Pulan-pulang bawa pacar, padahal aku diceramahin mulu supaya nggak pacaran."

"Kita beda sel telur, ya. Aku bisa ngerjain ini-itu berbarengan kayak Ibu. Kamu kan fokus satu doang."

"Cih. Kelebihannya itu doang aja udah belagu."

"Bu, Bora ejek kelebihan kita katanya begitu doang." Aku melepaskan tanganku dari lengan Benjamin dan menerobos masuk ke rumah.

Adikku mengekor dari belakang sembari berteriak "Enggak, Bu. Mbak Lele tukang ngibul!"

Dari pintu masuk, aku langsung bisa melilhat dapur, tempat Ibu biasa menghabiskan waktu lebih banyak dalam satu hari. Ada konter dari semen dan ubin berbentuk L. Bagian bawahnya lemari untuk menaruh peralatan dapur milik Ibu. Di atasnya ada kompor dan sink untuk mencuci piring. Di seberangnya ada kulkas dua pintu yang bersebelahan dengan meja makan kayu dengan empat kursi.

Aku melewati ruang tamu dengan sofa dua seater dan single sofa yang menempel di tembok pintu masuk.

Tidak sampai sepuluh langkah untuk aku bisa memeluk Ibu yang kali ini tidak menggunakan daster kebesarannya.

"Kalian itu, lho. Lama nggak ketemu, tapi masih ribut terus," tegur Ibu yang membuatku menggigit lidah untuk menahan tawa jika tidak ingin kena semprot. Ibu menepuk tanganku yang melingkari perutnya. "Kamu sudah makan? Itu ada nasi kuning sama lauk pauknya. Kamu makan dulu, ajak teman kamu." Beliau melirik Benjamin yang masih berdiri kaku di depan pintu.

Untuk sesaat aku lupa kalau datang bersama Benjamin dan masa lajangku yang akan segera berakhir secara resmi.

29/7/23

Benjo dan personanya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro