Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

How This Story Ends - 13 - Dilema 6.2



Question of the day: pizza atau spaghetti?

vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado. Thank you

🌟


Bertanya kepada Karenina mengenai hal ini adalah hal yang percuma karena dia sudah berat ke arah uang. Dia belum benar-benar bisa melepaskan gaya hidup lamanya.

"Ya, kalau lo tanya sama gue, jawaban gue sudah pasti ambil kesepakatannya Eyang." Dia menyeruput cocktail yang baru saja selesai dibuat. "It's not that bad you know. Eyang bilang bisa sekolahin lo, kuliahin Bora, hidup orang tua lo juga lebih baik. Kalau pakai akal sehat buat berpikir, gue nggak melihat hal buruk dari itu. Win-win solution for everybody."

Ini lebih buruk lagi kalau aku memasukkan akal sehat ke dalam pembicaraan mengenai topik pernikahan ini. Lo menikah sekarang. Kalau pemilihan sudah selesai lo bisa sekolah keluar. Tanpa lo perlu menunggu beberapa tahun lagi, itu pun belum tentu kalau uang lo nggak kepakai untuk hal lain.

Hal lain yang aku garis bawahi dan aku khawatirkan di sini adalah uang kuliah untuk Deborah dan juga dana kesehatan untuk orang tuaku. Biarpun ada BPJS, ada beberapa penyakit yang tidak dapat dijaminkan oleh kartu ajaib itu, dengan perubahan peraturan yang konstan terjadi setiap gantinya pemimpin pemerintahan, aku juga harus menyiapkan dana darurat untuk berjaga-jaga.

Satu lagi untuk dimasukkan ke keranjang kenapa-menikahi-Benjamin-adalah-pilihan-yang-tepat yang semakin berat di tiap detiknya.

"Bagaimana sama moral gue? Gue ngerasa bersalah ikutan dalam kebohongan orang lain yang dipublikasikan secara besar-besaran. Seenggaknya satu kota tahu pernikahan ini dan kalau sesuai yang lo omongin mengenai keluarganya, satu negara bakalan tahu juga. Bagaimana kalau nanti ketahuan sama orang banyak? Gue yang bakalan jadi bulan-bulanan mereka, bukannya Benjamin."

"Moral lo sudah longsor begitu lo jualan foto kaki buat puasin kinks orang lain demi uang."

Ouch. Tepat sasaran.

Karenina memajukan bibir bawahnya, "Posisi lo memang lebih rentan buat dikunyah sama masyarakat kaalu sampai mereka tahu, tapi kalau nggak ketahuan gimana? Ini kayak kesempatan sekali seumur hidup. Lo bukannya bakalan jadi super kaya dalam satu malam dan bisa kuliahin Bora dengan kemampuan memasak lo. No offense, masakan lo enak banget, tapi perlu keajaiban buat hal ini terjadi.

"Lo harus rasional, Le. Lo sudah ngelakuin ini selama bertahun-tahun dan sekarang harus ditambah lagi karena lo dan rasa tanggung jawab lo untuk kuliahin adik lo? Kita berdua tahu kalau itu nggak bakalan berhenti di kuliah. Gimana dengan biaya tugas-tugasnya Bora? Gimana dengan ongkos, jajan dia selama kuliah? Lo nggak bakalan punya uang sisa buat ditabung, karena kita tinggal googling biaya semesteran kedokteran—bahkan di universitas negeri—nggak murah."

"Berapa Benjamin bayar lo untuk rayu gue?"

"Dia bahkan nggak ngomong sepatah kata ke gue. Sejujurnya, gue ngira gue bakalan dipecat karena ngomong kayak kemarin."

Bayangan hitam yang tinggal di pojok hatiku bergerak secara lambat namun pasti ke seluruh tubuh. Memikirkan masa depan yang tidak pasti selalu membuatku merasa seperti terombang-ambing di tengah lautan hanya dengan satu kayu sebagai pegangan. Aku tahu aku harus bertahan, tetapi aku tidak punya ide bagaimana melakukannya dengan benar. Tawaran Eyang—meskipun Benjamin belum setujui—ibarat pelampung yang dilemparkan oleh yacht.

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri apakah pilihan ini tepat saat Benjamin mengetuk pintu rumah.

"Husband me up." Adalah kata pertama yang langsung dilontarkan oleh cowok bertubuh besar di depanku. Tidak ada halo, tidak ada apa kabar. Hanya "Husband me up," ulang Benjamin lagi. Seolah-olah aku tidak mendengar yang pertama dengan suara besarnya itu.

Helaan napas berat keluar dari bibirku tanpa dapat aku tahan. "Duduk dulu."

Karenina berdiri dan memberi sapaan dengan angukkan kepala kepada Benjamin. "Gue mau tidur dulu," katanya kepadaku yang membuatku mengatakan "Kenapa lo tinggalin gue sama behemoth ini?" tanpa suara. Tidak perlu orang pintar untuk dapat menebak kalau Karenina mengabaikanku.

"Husband me up," ulang Benjamin ketiga kalinya.

"Saya yakin slang yang benar itu wife me up."

"Since you asked me nicely, okay."

"Bukan, yang saya maksud itu ... terserah deh," kesahku pasrah saat sadar kalau Benjamin sengaja melakukannya. Tidak mungkin cowok ini tidak tahu slang yang benar. Dia terlalu pintar untuk salah di hal yang sederhana.

"Kita perlu menikah secepatnya. Nothing extravagant, tapi cukup untuk diendus media. Telling them without actually telling them."

Aku mengangkat jari telunjuk untuk menghentikan Benjamin yang tampaknya sudah berpikir panjang kali lebar, "Saya nggak pernah bilang saya setuju."

"Tapi kamu juga nggak pernah bilang kalau kamu menolak ide ini."

"Kamu kayaknya amnesia. Jelas-jelas saya bilang di rumah Eyang kalau saya nggak mau menikah sama kamu." Meskipun sekarang keyakinan yang aku miliki beberapa hari lalu sudah tidak lagi sama. Kedua orang tua dan adikku menjadi pemicu utama, tetapi mimpiku juga memainkan peran besar di dilema yang aku alami sekarang.

Benjamin mengetuk jari di dengkulnya yang berlapis pantalon hitam. "Saya akan berikan yang kamu mau. Apa pun itu."

"Uang satu triliun?" Terdengar matre? Biarkan saja. Aku tidak perlu menjaga sikapku ke orang ini. Dia harus tahu orang seperti apa yang akan dinikahinya.

"Saya bahkan nggak punya uang sebanyak itu di tabungan pribadi."

"Berapa lama?"

"Nggak ada kontrak, tapi kamu bebas melakukan apa saja kecuali punya hubungan lain. Saya punya rencana karier politik yang panjang dan perceraian tidak akan membantu sama sekali." Dia lalu menambahkan, "Saya juga akan melakukan hal yang sama."

Mau apa memangnya dia? Jadi presiden dan menguasai dunia? Aku mencoret keinginan untuk menikah. Setelah lulus sekolah kuliner, aku akan sibuk bekerja hingga namaku dapat dikenal orang banyak Mungkin juga memiliki restoran.

Siapa juga yang mau aku nikahi lagi di masa depan? Pacarku sudah selingkuh dan menikah kurang dari dua minggu lagi. Mengingat itu, amarah menggerogoti tenggorokanku.

"Ada beberapa hari yang kamu harus ikut saya, terutama di musim pemilihan ini. Setelah itu, kamu bebas mau melakukan apa."

Aku tidak mungkin membohongi diri sendiri dengan mengatakan kalau ini bukan pilihan yang menarik. Berapa lama pemilihan ini? Tidak sampai satu tahun, kan? Itu berarti tahun depan aku dapat berangkat untuk sekolah tanpa perlu memikirkan apakah uang di tabunganku cukup atau tidak. Moral yang kujunjung tinggi mulai digeser oleh insting bertahan hidup dan mimpiku sejak dulu.

Behemoth di hadapanku tahu kalau kailnya sudah dilahap oleh ikan yang diincarnya, sehingga cowok itu menarik pancingan. "Saya akan memberikan apa pun. Kecuali uang satu triliun."

Cepat sekali dia langsung revisi. Aku tidak perlu uang itu, karena Eyang sudah pasi akan memberikannya padaku. Tapi, dia tidak perlu tahu hal itu, kan?

18/7/23

Katanya kasih apa pun, diminta uang 1T dia langsung revisi wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro