How This Story Ends - 10 - Offering On Silver Platter 5.3
Question of the day: musim kemarau atau musim hujan?
vote, komen dan follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado. Thank you
🌟
"Eyang?" Suara itu disusul dengan suara pintu yang tertutup membuat leher kami bertiga menoleh otomatis ke arah suara yang sudah berdiri di depan pintu ruang tengah.
Reaksi kami bertiga berbeda-beda; Eyang hanya berdeham kecil, aku mendengkus, dan Karenina buru-buru memperbaiki duduknya sambil memberi sapaan sopan.
"Beau di mana?"
"Toilet," jawab Benjamin yang sudah mengambil duduk di single sofa, dia memamerkan senyumnya ke arahku dan Karenina. Tiba-tiba saja aku mual. "Kalau ada yang mau diomongin, nggak lebih baik..." Benjamin menggantungkan kalimatnya, masih menyunggingkan senyum, sembari menatapku dan Karenina yang langsung sadar kalau kami diusir secara halus.
Dasar manusia berwajah dua. Di depan orang-orang dia memakai topeng ramah, tetapi di belakangnya dia sangat menyebalkan. Bagaian mananya dari orang ini yang menarik? Semuanya palsu. Aku juga yakin kalau Beau yang menjadi dalang di belakang karier politiknya. Benjamin hanya melakukan apa pun yang Beau katakan.
Aku bersyukur dalam hati karena diusir, tapi eyang menghentikanku yang sudah berdiri dan siap ngibrit keluar rumah ini sebelum berpapasan dengan Beau. Aneh kalau bertemu bosmu di luar tempat kerja.
"Di sini saja. Kalian juga termasuk yang diomongin."
Karnina menarikku untuk duduk di sofa yang kosong. Kami menunggu Eyang memulai pembicaraan. Udara di ruangan ini berubah berat dan membuatku ingin mengambil langkah seribu.
Eyang menunjuk pada sofa di sebelahku yang kosong saat Beau memasuki ruang tengah. "Saya mau omongin soal permintaan sponsor kampanye kamu," katanya kepada Benjamin yang langsung menyahuti dengan, "Tapi? Selalu ada tapi setiap Eyang setuju sama sesuatu."
"Kamu harus menikah."
"Topik ini lagi? Seriously?" Benjamin melarikan jari ke rambutnya yang tersisir rapi ke belakang.
Dari obrolan ini aku menarik benang merah kalau mereka dekat dan mungkin juga memiliki hubungan darah. Aku memaki diri sendiri di dalam kepala karena tidak memikirkan kemungkinan itu sejak awal. Mataku mengikuti siapa pun yang berbicara seperti tengah menonton pertandingan bulutangkis.
"Siapa yang mau investasi kalau presentase kemenangannyanya kurang dari lima puluh persen? Kamu pikir saya jalanin badan amal? Semua yang menyumbang ke politikus pasti punya sesuatu sebagai timbal baliknya. Hal mendasar seperti itu saja masa harus saya ajarin lagi?" Eyang meletakkan kedua tangannya di lengan sofa. Aura yang mengelilingi tubuh yang tua sama sekali tidak memperlihatkan gelutan keraguan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya setegas biasanya, tapi kali ini aku melihat sisi Eyang yang baru dan asing bagiku.
Suara Eyang yang biasanya sok-sok tidak peduli padahal menaruh perhatian kini terdengar sangat tidak dapat dibantah dan tegas. Sama sekali tidak terintimidasi dengan dua orang cowok yang duduk tegap di sofa seberangnya. Yang satu bermuka ruwet dan yang lainnya menaruh perhatian penuh pada Eyang. Yang ruwet sudah pasti Benjamin.
Aku dan Karenina masih bingung dengan posisi kami di topik ini.
"Siapa yang mau dengan calon pemimpin yang keluarga saja tidak ada?"
"Aku punya keluarga."
Eyang menarik napas melalui giginya yang terkatup yang otomatis membuat Benjamin melipat bibirnya ke dalam. Lucu juga melihat orang bermuka dua ini menutup mulutnya tanpa Eyang perlu berkata-kata. "Kamu tahu maksudnya. Saya mau kamu menikah, setelah itu saya akan kasih dana kampanyemu."
Kedua siku Benjamin berada di atas paha dan telapak tangannya menarik rambutnya sedikit. "Eyang, aku nggak bisa menikah secepat kilat. Susah cari calon kalau semua yang dekat sama aku nggak ada yang Eyang suka."
Eyang membuang napas kencang melalui hidungnya. Ini aku sering lihat Eyang lakukan ketika melihat pakaianku yang menurut seleranya sangat buruk. Dengusan mengejek dan merendahkan.
"Kamu sebut yang kayak begitu calon? Kamu bahkan nggak bisa bedain mana yang palsu dan asli. Dari segi fisik dan sifatnya."
Beau menutup mulut untuk menahan tawa, tetapi bahunya yang bergetar membuat semua orang bisa tahu.
"Semua yang mereka mau itu hanya spotlight dari kehidupanmu, latar belakang keluargamu, dan juga uangmu. Kalau kamu nggak punya apa-apa, memangnya mereka masih mau? Tampangmu saja tidak bisa menggaet banyak perempuan."
"Wow. Triple kill," bisikku kepada Karenina yang sedari tadi fokus pada pembicaraan yang terjadi di ruangan ini. Degkulnya dibenturkan ke dengkulku lalu menggeleng kecil, menyuruhku untuk diam.
"Apa yang kamu punya kalau kariermu mandek? Kalau kamu nggak bisa menangin pemilihan ini? Kamu mau apa?" Eyang mengangkat tangannya, tidak membiarkan Benjamin menjawab. "Lagian, menurutmu apa orang-orang dengan pakaian gemerlap dan hidupnya hedon di sosial media bisa membantu kamu? Yang mau kamu gaet itu kelompok orang-orang menengah ke bawah. Makanya personamu selama ini bersahaja. Menikahi sosialita memangnya bisa membantu? Bukannya itu menghancurkan usahamu selama ini?"
Eyang melirikku dan Karenina sekilas, kemudian lanjut berbicara kepada Benjamin. "Bukannya lebih bagus cari yang biasa saja?"
Beau menjentikkan jarinya dua kali. "Kalau dipikir-pikir Eyang benar juga. Lo jadi lebih membumi kalau calon istri lo normies. Lebih mudah dijangkau sama orang-orang. Sejujurnya, siapa yang bakalan percaya kalau lo tahu kesusahannya mereka kalau lingkungan lo saja nggak memperlihatkan yang kayak gitu? Orang-orang terdekat lo mau nggak mau memproyeksikan bagaimana diri lo. Internet juga menyeramkan. Jejak digital mereka pesta-pesta pasti ada di mana-mana.
"Lebih bagus lagi kalau lo calon lo punya karier yang umum, kayak: pekerja kantoran, punya usaha. Yang bangun karier dengan usahanya sendiri tanpa bantuan keluarga atau jalur belakang. Soalnya, lo langganan disebut nepo baby."
Benjamin menyilangkan kakinya yang dibalut pantalon hitam. "Biarin mereka mau mikir kayak gimana. Gue sampai di sini hasil usaha gue sendiri."
"Dinasti politik kalau begitu," sahut Beau.
Gantian aku menyenggol Karenina. "Gue nggak bisa ngikutin pembicaraan ini sama sekali. Nepo baby? Dinasti politik?" bisikku ke telinganya secar langsung. Aku yakin tidak ada satu pun manusia di ruangan ini yang memperhatikan kami.
"Lo bener-bener harus upgrade kehidupan lo, deh."
"Gue nggak ikutin politik."
"Dude, Benjo dan keluarganya nggak cuma ada di berita soal politik."
13/7/23
Yok yok pencet bintang n komen
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro