3. Aku ≠ Mirio
"Langitnya cantik banget, ..."
"Iy—"
"... Mirio, bukan begitu?"
Bruh.
Apa dia pikir aku Mirio atau ... Mirio benar-benar ada di sini? Ah, nggak mungkin, to?
"Oh!" ucap Trixie setengah memekik, seolah pikirannya yang kabur pulang. "Maaf, maksudku Adyasta. Sepertinya aku kurang Akua, atau mabok es jeruk, ahaha."
"O ... ke?" Jujur, aku nggak percaya 100% dengan jawabannya. Aku tahu trik bohong Trixie.
"Oh ya, besok Sabtu aku mau maraton nonton BNHA. Mau ikut nonton, nggak?"
BNHA? Oh, anime-nya Tintin-Superman itu, to? Sabtu depan ... sek, coba kulihat kalender jadwal di otak.
Yep. Nggak ada kerjaan.
"Yo, aku ikut."
Senyum tipis terukir di wajah Trixie. "Thanks, Dhiya," katanya sambil menepuk-nepuk kepalaku.
"Ck. Aku bukan anak kecil, Trix," decakku.
Saat itu juga, Trixie dengan berat hati mengangkat tangannya. Cepat-cepat aku menarik kembali tangan gadis itu. Sebenarnya aku malu banget bilang ini, "jangan berhenti, to."
Trixie tersenyum. Manis, sih, tapi entah kenapa menyebalkan—bikin aku tambah malu. Kira-kira senyumnya kayak gini:
Sayang sekali harus berhenti karena Trixie melirik jam dinding. "Sudah larut. Aku pulang dulu ya. Dah, Mirio!"
Mirio?
Baru saja akan aku ingatkan bahwa namaku masih Adhyasta ketika Trixie sudah hilang dari pandangan. Samar-samar aku mendengar langkah kaki perlahan menghilang.
Tak lama kemudian, kepala berambut biru ikonik tampak di halaman depan. Setelah melambai, Trixie menggenjot sepeda putihnya pulang.
Aku menyandarkan badan ke bantal-bantal. Pandangan lurus ke langit berhias bintang-bintang.
Ada apa dengan Cint—Bellatrix?
Belaian angin malam membuatku mengantuk—dan akhirnya aku ketiduran di balkon.
[][][]
[ 3 ]
[ problem: Sering salah sebut namaku dengan nama husbunya- ]
[][][]
Adhyasta pikir salah sebut namanya hanya berakhir sampai malam itu, malam hari ulang tahun Bellatrix. Welp, ternyata lelaki freckles itu salah.
Setiap kali bertemu—pulang sekolah, di komplek, atau sekedar tak sengaja berpapasan—selalu saja ...
"MIRIO! MaKsUdKu, AdYaStA!"
Salah menyebut nama. Anehnya, itu cuma berlaku saat ga banyak orang di sekitar mereka.
Adhyasta cuma tersenyum setengah hati.
Mungkin seharusnya Adyasta tak menanyakan ini: apa dirinya sudah tergantikan? Atau mungkin dirinya hanya sebatas cemburu dengan karakter 2 dimensi?
Sadewa tertawa kecil, nyaris tanpa suara setelah mencatat sinopsis masalahku. Kontras dengan saudara kembarnya yang tertawa terpingkal-pingkal.
"Maaf, Ad, aku nggak bermaksud ketawa, tapi aku—ahaha!" Sadewa memotong kalimatnya sendiri dengan tawa.
"Salah sendiri kasih hadiah gambar Mario! Eh nggak, deng. Kalau kamu nggak beli, aku sama Sadewa nggak jadi jalan-jalan," timpal Nakula tertawa.
Let me just—
"Mbok berhenti ketawa, to," titah, maksudku pintaku. Malu banget harus bilang begitu. "Berasa badut jadinya."
Mendadak Nakula kalem. Entah kenapa terlihat seperti anak 7 tahun yang baru tahu bahwa tidak ada monster di bawah kasurnya. Kemudian ia berkata dengan sok bijak,
Dan tertawa lagi.
Ingin ku marah, melampiaskan—tapi ku hanyalah badut sendiri.
"Jadi ... ada saran? Satu pun?" kataku agak keras, biar mereka dengar di sela-sela tawa.
"Kamu tahu aku nggak bisa hal-hal romantis, jadi serahkan pada Nakula," dengan berkata begitu, Sadewa mempersembahkan kakak kembarnya.
Tampak jelas senyum bangga (baca: sombong) di wajah lelaki itu. "Bagaimana cara biar pacarmu tidak memanggil namamu lagi? Caranya mudah."
Apa itu nada iklan yang kudengar?
"Ingatkan saja dia," ucap Nakula, lengkap dengan kedipan mata dan jempol ke atas.
"Makasih. Kalian berdua benar-benar membantu." Tentu saja itu majas ironi.
"Nggak masalah. Aku tahu aku harus berbagi ilmuku pada orang-orang yang membutuhkan," balas Nakula narsis, komplit dengan tangan di dagu.
... Bukannya di otakmu cuma tersisa 1 atau 2 sel otak?
"Biarpun konyol, kali ini Nakula memang benar, lho," Sadewa membela kakak kembarnya, seolah mengerti sindiranku.
Tersinggung dengan pembelaan itu, Nakula memukul meja Sadewa. "Hei! Sebodoh-bodohnya aku, aku masih bisa dengar, tahu!"
"Kamu ingatkan, bicarakan baik-baik saja dengan Kak Bella. Mungkin ada sesuai yang mengganggunya sampai salah sebut namamu terus," sambung Sadewa, mengabaikan Nakula, "seperti Nakula yang—ehm—jenius katakan."
"Nah, betul tuh!" Senyum Nakula lebar amat.
Aku memandang keduanya bergantian. Yang satu pemalu, yang satu lagi nggak punya malu. Kadang-kadang aku nggak percaya mereka itu bersaudara, bahkan kembar. Biarpun begitu, "makasih. Kalian berdua benar-benar membantu."
Sadewa melemparkan pandangan selidik.
"Yang barusan tanpa majas ironi, Sadde."
[][][]
Sesuai janjiku, aku ke rumah Trixie untuk menonton banha(?) bersama-sama. Karena jeruk di rumahku masih, aku membuatkan es jeruk sekalian. Sesuai dugaanku, Trixie menyukainya. Semoga kali ini dia—
"Wah, makasih es jeruknya, Mirio!"
—tidak memanggilku "Mirio" lagi.
Capek juga memendam kejengkelan. Trixie ...
"Bellatrix." Aku menghela napas panjang, berat. Kemudian menaruh tanganku di pundaknya. Lagi-lagi tenggelam di mata biru laut itu. "Lihat aku. Siapa yang kamu lihat?"
"Ya kamu lah."
"Siapa namanya?"
"Adhyasta."
"Adyasta, bukan Mirio," tambahku, "nggak susah, to? Namaku Adhyasta, Trix. Bukan Mirio."
"Oke, Adhy."
Bagus—tunggu, kenapa nada bicaranya seperti ok boomer? Ah, siapa peduli. Yang penting dia mengerti.
Aku tidak bisa menahan senyumku. Rasanya seperti mendidik anak sendiri. "Nah, begitu, dong." Dia berhak mendapat elusan kepala.
"Ck. Aku bukan anak kecil, Ad." Trixie melipat tangan di depan dada. Apa baru saja dia meniruku? ... Kok imut?!
Aku menahan tawa untuk bertanya, "jadi ... kok bisa kamu kebalik namaku dan Mirio?"
"Well ..." dia melirik ke sembarang arah. Ke sembarang arah selain aku. "Sebenarnya bukan cuma kamu.
Mungkin karena belakangan ini aku sering mencari dan mengembangkan teori—"
Wah. Aku tahu Trixie pintar tapi aku tidak menyangka dia sampai bikin teori.
"—tentang BNHA sampai jam 3, hehe."
"Pulang sekolah langsung bikin teori?"
"... Maksudku jam 3 pagi."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro