Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1: First Love

"Ih, kamu suka sama Alif, ya, Pir?"

Aku refleks menyemburkan es teh yang baru singgah sepersekian detik di mulutku. Syukurlah hanya sedikit, tapi tetap saja kerudung seragamku jadi basah sedikit.

"Kesimpulan dari mana itu?" gerutuku. "Kenapa kalian akhir-akhir ini suka bikin gosip nggak jelas, deh?"

"Ih, mukanya merah!" Rania, si biang gosip, tertawa lepas seraya menunjuk-nunjuk wajahku. "Berarti bener nggak, sih?"

Dalam hati, aku merutuk. Kenapa pula Allah memberiku wajah yang dengan gamblang bisa menampilkan isi hati? Aku hanya bisa mendengkus dan pura-pura cuek, walau sebenarnya tangan ini gatal untuk mengunci mulut kawan-kawan laknatku yang ada di sini.

Kenapa bisa ketahuan, sih? Padahal, aku berusaha menyimpan perasaan ini serapi mungkin. Ayo Pira, coba diingat lagi. Kebodohan apa yang membuatmu berakhir menjadi bahan ceng-cengan satu tongkrongan di meja kantin sekolah hari ini?

Benar. Pasti ini gara-gara Rania seenak jidat membuka buku gambarku saat pelajaran Matematika tadi pagi! Anak itu pasti menyimpulkan kalau sketsa yang terpampang di pojokan halaman itu adalah muka Alif gara-gara bola basket yang dipegang di gambar itu. Yah, nggak salah sih, tapi aku sudah berusaha agar ciri khas cowok itu tidak tampak kentara di sana untuk mengantisipasi hal-hal semacam ini. Jadi, kenapa tetap ketahuan?

Oke, Pira. Kamu harus tetap tenang dan stay cool. Keluarkan image-mu yang tidak peduli dengan cinta-cintaan itu.

"Pir, Pir, Pir! Lihat deh, itu si Alif keren banget main basketnya!"

Wah, mana? Alif yang sedang bermain basket itu pemandangan terbaik! Aku langsung menoleh ke lapangan basket yang riuh dengan anak-anak lelaki dalam naungan kaos dan celana abu-abu, mencari sosok jangkung dengan kulit kecoklatan, yang entah bagaimana, selalu terlihat berkilauan di mataku. Nihil.

"Wah, beneran ter-Alif-Alif ini anak." Sabya, cewek dengan pipi gembil itu tertawa puas hingga mengeluarkan air mata. "Ran, lihatlah teman kau yang satu ini!"

Rania senyum-senyum. "Pira, Alif kan nggak masuk hari ini. Nyariin, ya?"

Astaga. Aku masuk perangkap! Langsung saja kulayangkan pukulan terkeras yang kupunya pada Rania dan Sabya. Kedua anak itu malah makin kencang kekehannya. Menyebalkan!

"Pira, nggak apa-apa tahu, kalau emang punya rasa sama Alif." Gadis ceking dengan rambut dikuncir kuda-Rania-menepuk-nepuk bahuku setelah puas tertawa. "Sebagai sahabat yang baik, kita akan bantu pedekate. Iya kan, Sab?"

Sabya mengangguk penuh semangat. "Kapan lagi coba kita bisa lihat Pira kasmaran? Kita dukung seratus persen, dah!"

Suhu wajahku semakin hangat. Pasti karena cuaca yang sedang terik dan tempat duduk kami yang tak begitu dinaungi pohon. Buat apa malu-malu di hadapan mereka? Nanti tambah ketahuan!

"Nggak usah disembunyiin, Pir. Semua orang kalau lihat buku gambar kamu, sekali lihat juga pasti tau itu Alif." Sabya tersenyum penuh makna. "Rania, kita punya misi baru berarti. Bikin Pira dan Alif jadian!"

"Hei-"

"Sepakat!" Rania tos dengan Sabya, sama sekali tak peduli dengan protesku. Mereka berdua langsung berembuk seakan-akan itu misi paling penting di dunia.

Ya ampun, aku hanya ingin mencintai dalam diam. Kenapa jadi begini?

❤️

Kalau ditanya apa yang membuatku jatuh cinta pada Alif, sejujurnya aku juga tidak tahu. Entah sejak kapan sosok pemilik lesung pipit itu jadi sangat mudah kutemukan, bahkan dari ujung lorong yang ramai sekalipun. Matanya yang tajam itu mendadak terasa lembut kala tatapan kami tak sengaja bertemu, dan isi hatiku langsung meletup-letup.

Apakah ini memang dinamakan jatuh cinta?

Tidak, tidak. Perasaan ini biasa saja, kok. Belum sampai tahap jatuh cinta. Aku memang suka mengamatinya dari jauh dan mengabadikan senyum manisnya ke dalam sketsa-yang terkadang tak tahu tempat-tapi ini bukan jatuh cinta seperti yang sering dibicarakan orang-orang. Aku yakin sekali.

Namun, kenapa rasanya aku khawatir sekali hingga detik ini hanya gara-gara absensi kehadirannya?

"Jangan mikirin Alif melulu." Rania menyikut pinggangku. Kalau tidak ingat sedang di kelas, tentu aku akan langsung membalasnya dengan cubitan. Siku Rania itu kurus kering. Tentu saja sakit kalau disikut!

Sepertinya-bukan sepertinya, seharusnya anak itu memang sadar-Rania menangkap kedongkolanku. Manusia pemilik wajah segitiga tirus itu mengedikkan bahu ke arah depan kelas dengan raut wajah datar. "Bu Fatih lagi jelasin rumus kimia. Kalau ketahuan melamun, mampus kau."

Astaga. Aku lupa kalau aku sedang berada dalam kelas paling mencekam di seantero SMA Harapan Bangsa. Segera kuenyahkan bayang-bayang Alif dari benak ini. Masalahnya, ekspresi wajah manis lelaki itu jauh lebih mudah dipahami daripada huruf dan persamaan yang nyaris memenuhi papan di hadapanku. Suara Bu Fatih yang lembut itu hanya lewat sayup-sayup.

"Safira Febrianti?"

"Ya!" Aku berseru-lebih mirip menjerit. Kenapa tiba-tiba namaku dipanggil? Mataku mengerjap.

"Anak-anak, tolong perhatikan penjelasan saya sungguh-sungguh. Kalau bosan di kelas, bilang. Jangan seperti teman kalian yang satu ini." Bu Fatih menatapku datar-membuat bulu kudukku merinding. "Safira, keluar."

Rania melempar tatapan aku-sudah-memperingatkanmu. Tidak ada gunanya membantah guru, dan aku juga tak ingin memulai keributan, jadi pilihanku hanyalah pasrah keluar dari kelas. Dengan langkah gontai, aku menyeret kakiku ke luar.

Lihatlah. Sudah diusir begini pun, Alif masih bercokol dalam pikiran. Aku tidak tahu kenapa Alif tidak masuk. Wali kelas kami bilang, ia izin. Pertanyaannya, kenapa izin? Apakah ia sakit? Ataukah ada sesuatu yang terjadi? Apakah ia baik-baik saja sekarang? Sedang apa dia?

Cukup, Pira. Itu urusan Alif.

Namun, demi Allah, rasanya nggak tenang! Aku takut anak itu kenapa-kenapa. Kemarin, saat pulang sekolah, aku melihat bahunya gontai. Aku tahu karena aku mengikutinya sampai gerbang. Maunya kuikuti sampai rumah, tapi aku masih cukup waras untuk tidak melakukannya. Sebenarnya, apa gerangan yang terjadi hingga anak itu tidak masuk hari ini?

Dari balik pilar yang kusandari, aku melihat Bu Fatih keluar dari kelas bersamaan dengan lonceng penanda pergantian jam pelajaran. Artinya, pelajaran beliau sudah selesai, kan? Buru-buru aku masuk ke kelas.

Rania hanya geleng-geleng kepala. "Bucin boleh, goblok jangan."

Anak ini memang kadang-kadang mulutnya nggak difilter. Minta dijepret.

"Kok bisa, sih, suka sama anak itu?" Gadis berkulit putih pucat itu menyeringai, memajukan kepala agar bisa berbisik-bisik. "Apa yang kamu lihat dari dia?"

Bayangan Alif yang sedang tertawa lepas dengan teman-temannya langsung muncul sekelebat. Kemudian, sosok lelaki itu yang memberikan orasi selaku perwakilan OSIS di awal semester lalu melintas. Wajahku terasa panas.

"Yeuh, ditanya malah malu-malu kucing." Rania mendelik. "Mending kucing lucu, lah kamu?"

"Kepo, sih, kamu!" Aku menjulurkan lidah. "Lagian, aku nggak suka yang kayak gitu, tau. Biasa aja."

"Mana ada orang biasa aja gambar muka orang lain di tiap halaman catatan?" Sampul buku catatan kimia menyapa wajahku. Rania mencebik. "Tinggal jawab apa susahnya, sih? Biar aku sama Sabya bisa bantuin, nih!"

Gagasan punya teman mak comblang sama sekali tidak terdengar baik bagiku. Aku menggeleng. "Nggak usah, Rania, makasih. Begini pun bagiku sudah cukup."

Rania menatapku gemas. "Kamu pernah cerita penasaran gimana rasanya naksir orang, kan? Mumpung sekarang udah nemu tambatan hati, kenapa nggak sekalian coba biar jadian?"

Tambatan hati. Ya ampun, terdengar sangat menggelikan, tapi nyatanya memang nama dan sosok Alif sudah tertambat di dermaga hatiku. Pun sepertinya, lelaki itu tak ada niatan untuk bertolak dari sana dalam waktu dekat. Meski begitu, aku juga sadar diri. Aku ini cewek biasa-biasa saja, dan Alif itu bintang. Kalaupun rasa suka ini kian membesar, tidak mungkin juga perasaanku berbalas.

"Pira, kamu tuh harus pede!" Rania mengguncang-guncang bahuku, seakan bisa mendengar monolog dalam benak barusan. "Kamu itu cakep, tau. Lagian, si Alif kan humble sama semua orang. Coba dulu, lah!"

Coba dulu, coba dulu. Enteng betul itu bicaranya. Bagaimana caraku mendekati Alif, kalau dari jarak jauh saja lutut ini rasanya meleleh?

"Kalau yang begini-begini butuh Sabya, nih. Dia suhu dunia percintaan." Rania melirik jendela. "Kelas sebelah jamkos nggak, ya? Kayaknya kelas kita bau-bau jamkos, deh, Pir. Kalau kelas Sabya jamkos juga, kita bisa diskusi gimana caranya kamu sama Alif pedekate!"

"Nggak usah sampai kayak gitu, Rania." Sumpah, rasanya maluku sudah sampai ubun-ubun. Rania ini lupa, kah, kalau Alif idola sejuta wanita di SMA ini? "Nggak mungkin juga kami jadian."

"Kenapa nggak mungkin?" ketus Rania. "Dicoba aja belum!"

"Tapi-"

"Ini pengalaman jatuh cinta pertamamu, kan?" Rania menyengir. "Ayo buat masa SMA-mu lebih berwarna, Pira!"

Sepertinya, semakin aku menolak, akan semakin teguh dua anak ini menyeretku dalam skenario mereka. Kenapa pula mereka harus tahu kalau aku suka seseorang, sih?

"Sabya kan jago urusan ginian. Kamu tau, kan, sudah berapa banyak couple SMA kita yang jadian gara-gara dia?" Suara Rania sungguh menggebu-gebu. "Ayolah, Pir. Kalau berhasil, kan, kamu juga yang bakal senang!"

Haruskah aku mencoba?

❤️

Jangan sekali-kali menuruti ide pedekate yang tidak berasal dari dirimu sendiri.

"Nggak usah malu-malu gitu lah, Pir." Rania senyum-senyum. Kelihatannya dua anak laknat ini menikmati penderitaan hatiku. "Siapa coba yang nggak suka dikasih jajan? Apalagi bonus gambar!"

Iya, aku tahu nggak akan ada yang menolak jajan gratis. Namun, ini baru hari pertama dari proyek pendekatan. Mana ada orang pendekatan yang langsung frontal begini? Punggungku bersandar pada tembok lorong yang bersambung pada tangga, memeluk kedua lutut karena rasanya ingin menghilang. "Ini sama sekali bukan ide bagus."

"Kamu sama Alif, kan, bukannya yang jarang ngobrol juga. Orang satu OSIS." Sabya turut berjongkok, menyejajarkan posisi wajah denganku. "Atau, kamu taruh jajannya aja? Sama surat, biar anaknya nggak takut diracun gitu?"

"Tetap ketahuan, dong," erangku. "Kalian ngerti malu nggak, sih?"

Dua manusia itu kompak menggeleng. Baiklah, aku salah tanya.

"Lebih cepat kamu taruh lebih baik, Pira. Makin siang malah makin banyak anak, ketahuan nanti." Rania berkacak pinggang. "Buat apa kita datang jam 6 pagi?"

"Lagian, kamu kan jarang banget posting gambarmu," timpal Sabya. "Sayang banget sih, tapi di kondisi ini jadinya menguntungkan, lho. Kalau sampai Alif tahu, berarti dia juga merhatiin kamu, nggak, sih?"

Baiklah, aku kehabisan argumen. Kalau aku tidak menaruh jajan itu, pasti Rania dan Sabya akan makin menerorku. Dengan langkah mengendap-endap seakan yang kubawa itu benda terlarang, aku masuk ke dalam kelas.

"Ini kan kelasmu sendiri, anjir! Nggak bakal ada yang curiga!" Rania geleng-geleng kepala. "Kok, kamu jadi bodoh gini sih, Pir?"

"Diam kamu!" Aku meletakkan sekotak susu dan secarik kertas yang sudah kulipat-lipat sekecil mungkin, secepat kilat. Syukurlah tidak ada orang lain yang masuk kelas dalam rentang waktu itu. Bahkan setelah sekian menit berlalu pun, jantungku masih berdegup kencang. Menyebalkan!

Hingga bel masuk berdentang, dalam lima menit pasti ada minimal sekali aku melirik meja Alif. Semoga dia masuk hari ini. Aku ingin bertanya kenapa ia tidak masuk lewat chat semalam, tapi jari-jariku sudah mengkeret duluan setelah membuka kontaknya. Padahal, kemarin-kemarin kami banyak berinteraksi karena sering piket bersama, dan biasa saja kalau aku menghubunginya duluan. Kenapa semuanya jadi berubah di saat aku menyadari perasaanku padanya?

Aku benci merasa bingung begini!

Alif datang tepat saat bel masuk selesai berdentang. Peluh menghiasi wajahnya. Dia pasti habis berlari meloloskan diri dari gerbang maut. Bahkan, di saat seperti itu pun wajahnya terlihat berkilauan di mataku.

Lelaki itu mendapati susu di mejanya. "Siapa nih yang ngasih aku susu?" Alif berseru memberi pengumuman.

Oh, tidak, tidak, tidaaak!

"Bukannya kamu udah biasa dapat makanan dari secret admirer?" Seorang cowok tambun terkekeh. Itu Roni, teman basket Alif. "Pasti dari cewek-cewek penggemarmu-atau jangan-jangan cowok?"

"Lambemu!" Alif mendelik. Mata elangnya menyusuri kelas dan kami bertemu pandang. Buru-buru aku mengalihkan wajah. Kenapa juga aku malah mengamatinya terang-terangan begitu, sih?

Kuharap mata pelajaran pertama segera dimulai. Aku malu banget. Ini cringe nggak sih? Kenapa aku mau-maunya menuruti Rania dan Sabyan?

Ternyata, jam pertama kosong. Takdir tak berpihak padaku. Ini semakin tidak baik untuk jantungku.

"Pira?" Alif menghampir mejaku. "Boleh bicara sebentar?"

Alif. Menghampiri. Mejaku!

Rania tersenyum penuh arti, apalagi setelah melihat kertas berisi sketsa wajah itu terbuka di meja Alif. Aku mau mengiyakan, berusaha terlihat biasa saja, tapi gagal. Lidahku mendadak kelu. Kenapa aku salah tingkah di waktu yang tak tepat begini, sih?

Akhirnya, aku hanya mengangguk dan berjalan mengikuti punggung Alif yang tegap itu. Syukurlah, anak-anak kelas sedang ribut sendiri, sehingga tak menyadari-atau mungkin lebih tepatnya, tak peduli-kami keluar dari kelas.

Di lorong, Alif tampak berpikir sejenak. "Kamu yang ngasih susu sama gambar itu, ya?"

Kok bisa ketahuan secepat itu? Wajahku langsung terasa panas. Sial. Pasti sekarang ia semerah kepiting rebus! Perkataan Sabya terngiang di kepala. Kalau sampai Alif tahu, berarti dia juga merhatiin kamu, nggak, sih?

Apakah aku boleh berharap?

"Haloo, Pira? Kenapa diam aja?" Tangan Alif melambai di depan mukaku. Aku refleks berjengit kaget. "Bener ya?"

"Eh-i-i-iya-"

Terkutuklah hati dan mulut yang tidak sinkron ini. Kenapa salah tingkahku begini kentara, coba?

Alif tersenyum manis. "Makasih, ya, Pira. Gambarnya bagus. Kenapa coba dilipat-lipat sekecil itu? Kan sayang, lecek jadinya."

Apa maksudmu, wahai Alif? Kalau jantung punya kaki, sepertinya ia sudah berdansa dengan irama begitu cepat detik ini juga. Sebisa mungkin aku mengontrol diri, tetap terlihat kalem. Aku berdeham. "Iya, sama-sama."

"Aduh, gimana ngomongnya, ya?" Alif mengusap tengkuknya, tampak gusar. "Pira ... aku makasih banget udah dikasih susu, apalagi pagi ini aku belum sarapan. Tapi, besok-besok jangan gitu lagi, ya?"

Hatiku mencelus. "Ya?"

Lelaki itu melirik ke kanan-kiri, mungkin takut kalau tiba-tiba ada guru lewat?

Ada jeda cukup lama sebelum akhirnya Alif melanjutkan. "Aku ... lagi marahan sama pacarku. Takutnya nanti dia tambah ngamuk kalau tahu ada cewek yang ngasih makanan."

Aku yakin wajahku saat ini pasti sudah pias.

"Anu, bukannya nggak menghargai kebaikanmu, ya!" Alif buru-buru menambahkan. "Gambarnya tetap kusimpan, kok. Tapi, aku nggak mau pacarku ngamukin kamu. Maaf banget ya, Pira ...."

Jantungku merosot ke perut rasanya. Jadi, ini rasanya patah hati?

💔

Tema day 1 adalah:

Buat cerita dengan tema pengalaman pertama (misal: pertama kali makan jengkol, pertama kali menjadi kucing, dst.) Buat sekreatif mungkin!

Aku bikin pengalaman jatuh cinta pertama kali-nya Safira. Siapa yang NT alias mice try sama first love-nya? HAHAHAHA tos dulu dong 😘. Bedanya, aku nggak senekat Safira yang pedekatenya beneran dilakuin 😭

Btw, Safira itu datang dari cerita aku yang Life Search, mampir ya~ (lho)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro