Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

| 3 |

Kamu mulai mengintip sosok yang sejak tadi menarik perhatian. Tubuhnya penuh balutan, kecuali wajahnya. Cantik, oriental. Rambutnya juga lumayan panjang. Sayang, dia terbungkus bak mumi di dalam peti. Kamu memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Ah, sial. Tak ada orang yang membukakan. Baiklah, masuk saja!

🍃🍃🍃

Kitty berjalan cepat setelah mendapat kabar kedatangan Dian. Laki-laki itu sudah menunggunya di depan gerbang rumah sejak sepuluh menit yang lalu. Ia berniat berangkat bersama ke rumah sakit untuk menjenguk Nanda.

"Maaf lama," ucapnya.

"Santai, ayo!" Dian memberikan helm pada Kitty. Gadis itu mengangguk lalu mengambilnya.

"Gimana Nanda, Kak?"

"Lihat saja sendiri nanti."

Kitty pun diam. Ia telah mengenal Nanda sejak kecil karena rumah mereka dulu bersebelahan. Begitu pula dengan Dina dan Dian. Sejak mereka pindah, Kitty tetap menjalin hubungan dengan sering mampir ke rumah sakit atau sekedar ngopi bersama di sebuah kafe.

Kitty dan Nanda juga satu sekolah. Sejak SD sampai SMA. Kedekatan mereka sudah melegenda sampai semua orang tahu akan hal tersebut. Bahkan perawat dan dokter yang telah mengenal Nanda pernah menjodoh-jodohkan Kitty dengannya. Mereka sering mengatakan bahwa sejoli itu tampak serasi.

Namun, tidak ada yang spesial di antara mereka. Setidaknya, itulah alasan yang selalu mereka siapkan.

Terjebak friendzone. Mungkin itu istilah yang tepat. Ketika sudah nyaman dengan suatu status, tentu akan tinggi risikonya jika berganti begitu saja. Hanya ada dua pilihan, menerima dan melanjutkan atau menolak dan canggung kemudian.

"Kak Dian langsung ke kampus setelah ini?" tanya Kitty sambil berteriak. Dian mengendarai motor dengan cukup laju.

"Iya, kamu kuturunkan di parkiran aja, ya."

"Oke, Kak."

Sesampainya di rumah sakit, gadis penyayang kucing itu bergegas ke kamar Nanda. Rupanya pemilik kamar tengah tertidur. Ia pun mendekat dan memperhatikan raut muka Nanda yang merah matang.

"Panas!"

Kitty terkejut saat menyentuh kening Nanda. Lelaki itu masih bergeming, lengkap dengan nasal kanul di hidungnya. Kitty ngeri sendiri setiap mendengar suara tarikan napas Nanda yang menyakitkan.

Gadis itu bangkit dari duduknya dan mengambil kain yang disediakan suster di atas nakas. Ia membasahi kain tersebut dengan air hangat yang ia ambil dari dispenser. Kitty meletakkan kain kompresan itu di kening Nanda dengan hati-hati.

"Cepet sembuh, ya."

"Iya."

Lagi-lagi harus Kitty tersentak karena mendengar jawaban tersebut. Ia kaget dan refleks memukul lengan Nanda. Lelaki itu bahkan belum membuka matanya, tapi suxah bersuara begitu saja.

"Kaget tau, ih!"

Nanda lekas membuka matanya diiringi kekehan tak tertahankan. Ia memandang wajah Kitty yang penuh kekesalan. Nanda berusaha menetralkan tawa yang menyakiti paru-parunya.

"Nggak usah ketawa."

Kitty mengusap-usap dada Nanda setelah melihat lelaki itu kepayahan sendiri. Ia tahu pasti dada Nanda tengah sakit akibat radang. Sekesal apa pun Kitty, ia masih punya hati.

"Makasih, sama siapa ke sini?" tanya Nanda

"Sama masmu, tapi dia langsung balik lagi ke kampus. Ada kelas, katanya."

"Mbak Dina nggak ke sini?"

"Entahlah, aku ke sini sepi. Nggak ada orang. Kamu jomlo."

"Resek!"

Nanda berusaha bangun dari tidurnya. Kitty yang peka segera membantu lelaki tersebut dan tak lupa memosisikan bantal Nanda secara vertikal. Lali-laki itu pun tersenyum.

"Makasih," ucapnya.

"Bosen dengernya."

"Hm, bakal lama di sini?"

Kitty langsung melihat jam tangan. "Enggak, paling setengah jam lagi Mama bakal nyuruh pulang."

"Padahal weekend, tetep aja ada jam keluar," sindir Nanda.

"Ya mau gimana lagi, daripada nggak boleh sama sekali. Ngomong-ngomong, kamu besok bolos lagi, dong?"

"Lah, kenapa?"

"Sadar diri, kek. Tampang masih kucel kayak rombeng begini."

"Ck, sejam lagi aku udah bisa kelayapan kali, Kit," terang Nanda.

"Ah, yang bener?"

"Aku buktiin, besok aku nggak akan bolos sekolah."

•••

Nanda berjalan dengan tertatih-tatih. Sendi-sendi di kakinya masih nyeri tak karuan. Namun, bukan Nanda namanya kalau tetap di kasur seharian.

Lelaki itu sudah keluar kamar tanpa infus dan oksigennya. Bertahun-tahun di rumah sakit membuatnya dapat melepas perawatannya sendiri. Bahkan, ia juga hafal nama-nama obat yang harus ia terima, kapan dan bagaimana cara mengonsumsinya.

Nanda berhenti sejenak untuk menarik napas. Ia berusaha melonggarkan jalur pernapasannya yang macet layaknya lalu lintas padat merayap. Perhatiannya kemudian teralihkan saat melihat sosok baru di ruang VIP III. Makin mendekati jendela, ia menajamkan mata untuk memastikan hal tersebut.

Dengan berani, Nanda mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak ada jawaban maupun tanda-tanda kehidupan di dalam. Ia pun mencoba sekali lagi dengan lebih melantangkan suara. Masih nihil, tidak ada sautan.

Nanda menelan ludah. Ia akan mencoba kembali untuk ketiga kalinya. Ketukan pintunya ia pertegas, suaranya juga diperlantang lagi. Namun, masih tidak ada suara yang menyahut.

Bukan Nanda namanya kalau tidak nekat. Ia mencoba membuka pintu dan betapa senangnya menyadari benda itu tak terkunci. Laki-laki itu langsung berteriak bahwa ia akan masuk.

"Aku masuk, ya!"

Nanda mendekati seseorang yang penuh perban di tubuhnya itu. Betapa terkejutnya ia saat mendapati pasien tersebut sangat sadar seratus persen. Ternyata seorang gadis cantik tengah menatapnya dengan raut menakutkan.

"Otak kamu nggak sekolah, ya? Main masuk kamar orang seenaknya," ucap gadis tersebut.

"Hua …." Nanda berteriak penuh kagum.

Ia mengelilingi ranjang gadis itu. Pandangannya tak lepas dari ujung kaki sampai ujung kepala. Matanya berbinar dan mulutnya menganga.

"Kamu ngapain? Mesum, ya?!"

"Baru ini aku lihat mumi hidup. Cantik lagi," ucap Nanda polos.

"Basi! Udah, keluar sana!"

"Lah, kenapa?" Nanda mengambil kursi dan duduk di samping gadis itu. "Kamu sendirian, kan?"

"Aku sendirian atau enggak, itu bukan urusan kamu!"

"Kan kalau ada aku, kamu butuh apa-apa jadi gampang. Mau apa? Minum?"

Gadis itu mengalihkan pandangannya dari Nanda. Tampangnya terlihat kesal dan mungkin ia sudah mengumpat dalam hati karena harus berurusan dengan lelaki aneh semacam Nanda.

"Namaku Nanda, kamu siapa?" Nanda mengulurkan tangannya. "Oh, iya, lupa. Kan tanganmu dibungkus, hehe."

"Dasar nggak jelas."

Tidak mendapat jawaban, Nanda lekas bangkit dari duduknya dan membaca informasi pasien dari ranjang gadis itu. Ia tersenyum setelah mengetahui nama calon teman barunya--kalau yang bersangkutan mau.

"Axela, nama yang cantik. Kayak orangnya."

"Berisik."

"Kamu habis kecelakaan? Keren, ya." Nanda berdecak kagum.

"Keren? Gila kali, nih, orang."

"Aku nggak gila, kok, La. Biasanya, kan, anak cowok yang masuk rumah sakit gara-gara kecelakaan. Baru kali ini aku nemu cewek, terus sampai jadi mumi begini," jelasnya.

"Aku ditabrak."

"Oh, pantes. Cewek kayak kamu nggak mungkin main kebut-kebutan, kan?"

Axela melihat Nanda dari atas sampai bawah. Dilihat dari penampilannya, lelaki itu tidak seperti seorang pasien rumah sakit. Namun, kalau dilihat dari fisiknya, sepertinya iya. Wajahnya pucat, berkeringat dan tangannya gemetaran pula.

"Kamu pasien di sini?" tanya Axela.

"Iya, kenapa?"

"Nanya aja."

"Kamarku VIP VI, terpisah tiga ruang aja sama kamar ini. Sebelumnya, Kakek Ridwan yang tinggal di sini. Setelah meninggal minggu kemarin, baru kamu pengganti penghuni kamarnya." Nanda berbicara dengan nada datar dan santai.

Walaupun berbalut perban, Axela dapat merasakan bahwa bulu kuduknya merinding. Ia harus maklum bahwa kamar di rumah sakit pasti dihuni oleh berbagai pasien, yang kemungkinan keluar ruangan hanya dua, yaitu sembuh atau meninggal. Ia menelan ludah mendengar cerita dari Nanda.

"Kamu udah lama tinggal di sini?" tanya Axela lagi. Sepertinya ia sudah dapat menerima keberadaan Nanda di kamarnya.

"Ya, lumayan. Dua tahun kayaknya."

"Hah? Dua tahun? Bohong banget." Axela tidak percaya.

"Serius. Aku salah satu manusia paling sial di dunia ini. Kamu tau kenapa?"

Axela ingin menggeleng, tetapi rasanya masih sangat kaku. "Enggak."

"90% pengidap penyakitku ini adalah wanita. Sialnya, aku harus masuk ke dalam 10% tersebut."

~ to be continued ~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro