Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

| 2 |

Kamu bergidik ngeri, padahal bukan sekali dua kali brankar itu berlalu lalang hari ini. Warna darah yang segar terngiang-ngiang dalam pikiranmu. Tiba-tiba, kakimu bergetar. Sial, ponselmu tertinggal di atas nakas. Pensil warna dan buku gambar yang sejak tadi di pangkuan meluruh begitu saja. Sungguh nasib.

🍃🍃🍃

Axela mengerjap-erjapkan matanya. Lehernya kaku, ia tak dapat menoleh ke mana pun. Lidahnya juga kelu, meski ingin mengumpat karena sekujur tubuhnya terasa sakit seperti disayat. Namun, tidak ada yang bisa ia kontrol.

Seorang dokter mendekatinya dan mengarahkan sebuah benda serupa senter kecil ke matanya. Lagi-lagi Axela mengumpat dalam hati. Apa-apaan dokter ini, pikirnya. Sepertinya lelaki yang terlihat muda tersebut berbicara sesuatu, tetapi hanya dengungan yang terdengar.

Detik-detik berikutnya, dengungan menyakitkan itu berubah menjadi sayup-sayup perbincangan dokter dengan perempuan. Tunggu, Axela menajamkan pandangannya--yang semula buram--dan mencoba melirik ke samping. Benar, itu memang Ratih, mamanya.

Wanita itu tampak kalut dan kalang kabut. Rambutnya bahkan acak-acakan, begitu pula dengan riasannya. Sudah pasti mamanya panik dan melenggang begitu saja dari kantor setelah diberi kabar oleh pihak rumah sakit.

"Kami permisi dulu, Bu."

Dokter tersebut pergi setelah membicarakan entah hal apa dengan Ratih. Dua perawat yang datang bersamanya pun mengikuti dari belakang. Axela masih menunggu mamanya mendekat dan berbicara.

Wanita itu duduk di sebelah ranjang putrinya dan mulai mengusap lembut rambut Axela. Syukurlah, aset terbesar gadis itu masih aman. Hanya leher dan kakinya saja yang patah. Wajah dan mahkota putrinya tak ada yang berkurang.

"Ma," panggil Axela dengan suara yang amat pelan.

"Hem?"

"Ka-ku."

Air mata Ratih jatuh begitu saja tanpa permisi. Ia buru-buru menghapusnya karena tak mau putrinya melihat. Walau dapat dikatakan aman, melihat putrinya berbalut perban di sana-sini tetaplah ngeri. Di saat seperti ini ia sangat membutuhkan Jaya, ayah dari putrinya yang sudah sah menjadi suami orang lain, tiga tahun yang lalu.

"Kamu istirahat lagi, ya. Mama temani."

Axela mengedipkan matanya, tanda mengerti. Gadis itu belum dapat menganggukkan kepala. Ia prihatin dengan keadaannya sendiri. Begitu banyak kemungkinan yang dapat menjadi efek dari kemalangannya hari ini. Kariernya sebagai bunga sekolah juga menjadi taruhan.

Gadis itu sudah memejamkan mata. Namun, bayangan mobil CRV yang menabraknya saat melintasi zebra cross masih terbayang. Suara pejalan kaki yang meneriaki pengemudi tak tahu dosa itu juga bertahan di otak Axela. Sepertinya, ia tak akan bisa tidur nyenyak kali ini.

•••

"Sudah ketemu, Ners?"

Sosok yang diajak bicara menggeleng. Claudia mengentak-entakkan kakinya kesal. Hari Sabtu adalah hari kebebasan bagi Nanda sekaligus sumber bencana bagi para perawat tersebut.

"Ke mana perginya anak itu? Ini sudah waktunya minum obat. Dokter Dina bisa mengamuk kalau tahu."

Claudia tidak dapat menahan emosinya. Hari ini ia tengah mengalami sindrom pra menstruasi. Nyamuk yang melintas saja bisa ia marahi habis-habisan. Rekan yang menemaninya bukanlah perawat yang bertugas menjaga Nanda, tetapi wanita itu tak dapat menolak seruan darinya.

"Di taman dan di koridor sebelah juga nggak ada, Ners. Mungkin dia sudah kembali ke kamar."

"Saya baru saja dari sana dan masih kosong."

Wanita berhijab itu mengangguk saja. Ia sudah kehabisan kata-kata. Claudia masih saja mondar-mandir dengan kedua tangan yang setia berkacak pinggang.

"Ya sudah, terima kasih bantuannya ya, Ners. Saya cari Nanda sendiri saja."

Claudia menepuk bahu rekannya dan kembali berlari, meninggalkan sosok yang menggeleng dan mengembuskan napas panjang. Perawat tersebut segera kembali bertugas dan melupakan kekalutan yang terjadi.

Claudia berpindah dari koridor satu ke koridor berikutnya. Namun, masih nihil. Apakah ia harus memasuki ruang rawat sampai ruang mayat? Sepertinya Nanda tidak segabut itu. Ia mulai menggigiti jarinya sendiri. Kurang 15 menit lagi dr. Dina akan berkunjung.

Nanda merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dokter Dina adalah kakak perempuan sekaligus sulung dan kakak kedua Nanda adalah laki-laki bernama Dian.  Dina dan Nanda memiliki selisih sangat jauh, yakni 12 tahun. Mereka bertiga adalah saudara yatim piatu. Orang tua mereka telah tiada dua tahun yang lalu, tepatnya saat diagnosa Nanda terungkap.

Dina telah berkeluarga dan tinggal bersama suami, serta putri tunggalnya, sedangkan Dian masih menempuh kuliah semester akhir dan memilih tinggal di indekos dekat kampus. Keputusan mereka untuk menjual rumah orang tua dan hal lainnya, membuat Nanda berakhir tinggal rumah sakit tempat Dina bekerja.

Walaupun bukan dokter yang menangani adiknya, Dina kerap kali meluangkan waktu untuk berkunjung. Sekadar mengecek keadaan Nanda yang sangat susah diatur. Hal tersebut yang membuat Claudia berantakan sekarang. Perawat yang telah menjaga Nanda sejak ia bertugas di rumah sakit itu sudah lelah mencari keberadaan Nanda. Belum lagi kalau Ners Tyas ikut menyemprotkannya. Ah, ia benar-benar hilang akal hingga mengacak-acak rambut.

Di lain tempat, orang yang dicari-cari malah meraba dan memijit-mijit pelan kakinya. Ia biarkan pensil warna yang selalu ia bawa ke mana-mana jatuh berserakan. Orang yang berlalu lalang di depan IGD itu tak ada yang berniat membantunya. Nanda sendiri tak ada hasrat untuk mengambil. Ia masih fokus dengan kakinya yang sejak tadi tidak beres.

"Dek!"

Nanda menoleh ke sumber suara. Ia menghapus bulir keringat yang mengelilingi keningnya. Sebuah senyuman langsung ia pasang setelah melihat kakaknya-lah yang melambaikan tangan.

Dian mempercepat langkahnya sambil membenarkan tali ransel. Ia mendekati Nanda dan berjongkok di depan laki-laki itu. Nanda hanya menatap kakaknya lekat.

"Ck, sengaja nunggu orang buat mungut?" tanya Dian.

Nanda terkekeh, "Hehe, nggak juga, Mas."

"Kamu ngapain di sini? Tumben nggak di taman?"

"Lagi pengen ngisi presensi. Liat! Udah delapan orang yang masuk IGD sampai siang ini."

Dian mengacak rambut Nanda gemas. Lelaki itu sungguh kurang kerjaan. Ia benar-benar mencatat pasien-pasien yang masuk IGD dengan detail. Mulai dari anak kecil yang memakai plester dan merengek kencang sampai gadis serupa mumi yang sepertinya baru saja kecelakaan.

"Ayo masuk, Mbak Dina pasti nyariin."

Nanda refleks melihat jam tangan. Ia menepuk dahinya sendiri karena lupa waktu. Ia segera merebut pensil warnanya dari tangan Dian dan memasukkannya ke dalam tas, begitu pula dengan buku gambarnya.

Dian berdecak dan melangkah lebih dulu. Ia meninggalkan adiknya begitu saja yang masih sibuk dengan mainan-mainannya. Namun, belum sampai tiga langkah, suara gedebuk dari belakang membuat Dian lekas menoleh. Betapa terkejutnya ia setelah melihat Nanda tergeletak di lantai. Orang-orang yang berlalu lalang di depan IGD berbondong-bondong mendekatinya.

Dian segera menyuruh mereka mundur dan meminta untuk tidak mengerumuni adiknya. Sebuah kebiasaan buruk masyarakat kini adalah mengelilingi tanpa bertindak atau malah hanya berbisik-bisik membicarakan hal yang tak penting, dan Dian sangat benci itu. Ia segera memangku adiknya yang masih setengah sadar.

"Nda, Nda," panggilnya sambil menepuk pipi adiknya

"Le-mes, Mas."

Dian mengusap peluh Nanda. Adiknya itu sudah pucat dan napasnya tidak teratur. Ia lantas menggenggam tangan Nanda yang sudah dingin dan lembap.

Suara sebuah brankar mengecoh perhatian Dian. Ia bersyukur setelah melihat benda itu mendekat ke arah mereka. Setidaknya, Tuhan telah mengirimkan orang yang tanggap dan segera membantunya. Ia membiarkan para perawat yang datang bersama brankar tersebut mengangkat Nanda.

"Langsung ke ruang rawat VIP VI," ucapnya.

Raut wajah Dian tak bisa berbohong. Ia takut dan khawatir sekaligus. Keringat dingin mulai muncul dari kening dan telapak tangannya

Bagi Dian, Nanda dan film adalah nyawanya. Ia masih ingat saat ibu mereka mengatakan keselamatan adik adalah tanggung jawab kakaknya. Dian akan sangat emosional kalau hal-hal tak diinginkan terjadi pada Nanda. Mungkin, itu juga yang terjadi pada Dina.

Jangan kenapa-kenapa, batin Dian merapal doa.

~ to be continued ~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro