Bab 6
Ada 25 siswa yang mengikuti kelas Sejarah secara daring, termasuk Aria Abrisam yang kini fokus mencatat materi yang sedang disampaikan oleh gurunya. Cowok itu menggunakan ruang tamu untuk belajar, karena harus memastikan Lily tetap dalam pengawasannya. Gurunya bercerita tentang penjajahan di Indonesia, khususnya kedatangan Belanda di tanah air. Bukan hanya materi Sejarah yang ia sampaikan, melainkan hal-hal yang masih satu topik, seperti: tempat-tempat peninggalan penjajah yang hingga sekarang masih berdiri kokoh.
Aria menitikkan pena ke notes, meski telinganya mendengar dan tangannya mencatat, namun pikirannya pergi ke tempat lain. Ia memikirkan Hotel Soelastri. Adakah cerita horor yang orang-orang di sini ketahui? Apakah bangunan itu termasuk peninggalan penjajah? Rintih tangis malam itu adalah hal mistis yang pertama kali ia alami dalam hidupnya. Oleh karena itu timbul banyak pertanyaan di benaknya tentang Hotel Soelastri. Ia pun mengetik "Hotel Soelastri Jakarta Timur" pada kolom pencarian Google.
Aria tercengang saat melihat beberapa artikel yang menyajikan cerita horor dari orang-orang yang melintasi Hotel Soelastri. Ia memilih salah satunya, membuka artikel milik Ratna Sari dan mulai membaca kisahnya.
Aku Bertemu Erika di Hotel Soelastri
Sebelum mengalami kejadian ini, aku emang sering denger cerita horor dari Hotel Soelastri. Terutama dari tetangga yang rumahnya dekatan sama hotel Soelastri. Cuman, aku nggak nyangka bakalan mengalaminya sendiri malam itu.
Kejadiannya November 2019. Sepulang dari rumah temen, ban motorku bocor di Jalan Kemuning. Karena udah pukul sebelas malam, aku kesulitan cari tukang tambal ban di jalanan. Aku pun terus menuntun motorku menyusuri jalan. Malam itu sepi banget, keringat juga udah mulai membasahi seluruh badan.
Salahnya, rasa lelah memuncak pas aku sampai di trotoar Hotel Soelastri. Aku memutuskan untuk duduk sebentar di bawah cemara dan tiang lampu yang redup. Sendirian di pinggiran hotel yang terbengkalai.
Aku ingat pamanku pernah bercerita, tentang seorang gadis yang bunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada keran. Mayat gadis itu ditemukan meringkuk di dalam bak mandi kamar 103. Erika Munti, namanya. Konon, arwah Erika masih bergentayangan di hotel dan kerap menunjukkan dirinya pada jam-jam ganjil.
Mobil penjual es krim melantunkan nada panggilannya yang khas dari depan rumah, membuat Lily melompat dari sofa seraya menenteng uang kertas sepuluh ribu rupiah. Aria menoleh memperhatikan Lily dan ia bisa melihat mobil oranye penjual es krim dari jendelanya. Aria merasa tidak harus mengikuti Lily keluar, toh ada dua anak lainnya yang menyerbu si penjual es krim. Ia pun kembali membaca ceritanya.
Ingatan itu langsung bikin aku bergidik, terlebih hotel ini luas banget, aku masih harus menuntun motor menyusuri trotoar dengan pemandangan mengerikan di samping kiri. Memaksakan tenaga, aku kembali menuntun motorku menyusuri trotoar. Nggak ada siapa pun di sini, aku takut banget kalau harus lihat penampakan atau disamperin begal motor.
Angin berembus dari belakang, mendinginkan keringat di seluruh tubuh. Aku sempat menoleh ke sana kemari dan nggak menemukan siapa pun. Bulu romaku berdiri, aku mempercepat langkah yang artinya semakin memeras tenaga.
Samar-samar, aku melihat sekelebat warna putih yang melayang di pekarangan Hotel Soelastri. Aku menoleh, melotot memperhatikan sosok yang terbang dan berhenti di ranting beringin. Sebelum aku sempat menatap wajah hantu itu, aku keburu lari mendorong motorku sekuat tenaga.
***
Serambi rumah Aria menjadi tempat yang dipilih Dita untuk berlatih gitar—pada siang bolong pukul satu siang. Dua remaja itu memeluk gitarnya masing-masing, duduk berhadapan dan saling memperhatikan. Sementara Lily tertidur pulas di sofa ruang tamu, mendengkur dan menggelembungkan ingus. Sudah sekitar tiga puluh menitan Aria dan Anindita berada di sini, Cowok itu sudah menceritakan beberapa hal bagaimana ia bisa bermain gitar hingga alasan mau mengajari Dita berlatih gitar.
"Dua juta," gumam Aria, "gue punya utang dua juta rupiah sama temen."
Dita termenung memperhatikan. Pada akhirnya, apa yang diceritakan Aria saat ini membuat Dita menyadari bahwa Aria adalah cowok yang akan berbicara apa adanya.
"Tapi," gumam Dita, "kalau gue bayar lu segitu, lu mau ajarin gue sampai bisa main gitar?" Dita mengangkat mug kopinya.
"Bisa apa nggaknya tergantung giat apa nggaknya lu berlatih. Gue bakal ngasih seperlunya yang bisa lu pelajari."
Dita menyesap kopi. "Baik," katanya, "ajari gue seenggaknya seminggu empat kali. Gue bakal giat berlatih."
Aria mengangguk, ia mulai menempatkan jemarinya pada senar gitar. "Jadi, syarat bermain fingerstyle adalah lu harus bisa kunci dasar. Ketika lu petik nada melodi dengan telunjuk dan jari tengah, lu sisipkan juga nada bas dengan ibu jari," tutur Aria. "Perhatiin, ya."
Cowok itu mulai menunjukkan teknik fingerstyle yang mudah. Dita terkesima, senyum tipis pun perlahan mekar dari bibir gadis itu.
"Ikutin," pinta Aria seraya memainkan dua kunci E minor dan A minor yang diulang-ulang, ada petikan indah pada senar nomor satu dan dua yang membuat Dita tertarik untuk mempelajarinya.
Gadis itu pun mengikutinya, ia terpeleset sesekali, tapi terus mengulangnya hingga lumayan lancar.
***
Mendung menghantarkan pusaran awan di tengah lapang, menampar-nampar jendela kelas, dan menggugurkan dedaunan. Karina Edelweis duduk di bangku panjang di bawah beringin, memakai setelan pramuka dan sedang mencatat sesuatu di halaman bukunya. Edi mendekat, membawa sebungkus gorengan beserta air mineral yang dibelinya dari kantin sekolah.
Cowok itu duduk di sebelah kanan Karina, menaruh makanan dan minumannya di tengah, lalu mengintip apa yang Karina tulis. Ada tiga paragraf yang Edi tangkap tapi tak ia baca. Ada gambar satu bola mata di sebelah paragraf paling bawah, mata bulat dengan arsiran yang indah pada pupilnya—sehingga tampak seperti cahaya yang memantul. Saat ini Karina sedang menebalkan garis tepian mata itu.
Sehelai daun jatuh di rambut Karina. "Gambarmu selalu bagus," puji Edi.
"Terima kasih," ucap Karina tanpa menoleh. "Kamu tahu, nggak? Yang bikin gambar mata lebih realistis adalah pencahayaannya. Menggambar pantulan cahaya pada pupil bakalan bikin gambar mata jadi lebih hidup. Terus, guratan-guratan tipis pada bagian putih mata bisa membuatnya nyata."
"Gitu, ya? Apa Grace yang ngajarin kamu?"
"Iya, Grace yang ngajarin aku teknik ini."
"Apa kamu juga bakalan gambar bagian wajah yang lainnya? Hidung mungkin? Atau bibir, biar wajahnya lengkap?"
"Nggak, cukup mata aja, aku nggak butuh bagian wajah lainnya."
Edi mengambil bakwan di bungkus dan mengunyahnya. "Terus, apa yang kamu tulis di buku itu?"
"Diari."
Untuk sesaat, Edi melihat ekspresi wajah Karina yang cemberut, membuatnya memiliki gagasan bahwa saat ini gadis itu sedang menulis sesuatu yang memengaruhi hatinya. "Kenapa kamu nulis diari sekarang? Bukannya lebih baik kalau nulis malam hari di dalam kamar?"
Karina menghela secuil rambutnya ke belakang telinga, membuat daun yang hinggap itu jatuh ke bangku. "Aku nggak bisa nulis di rumah, orangtuaku selalu bertengkar, aku cuma bisa menutup telingaku pakai bantal kalau malam. Mereka berdua udah kayak dua ekor kucing yang berantem di pinggir jalan."
Edi mengangguk, seolah memahami kondisi Karina ketika berada di rumah. Kemudian ia membuka botol air mineral dan meneguknya. "Aku beliin gorengan, ayok makan."
Karina menoleh dan menyunggingkan senyum yang indah, membuat Edi merasa hari ini begitu cerah, bukannya mendung. "Terima kasih," ucap Karina, "sebentar lagi kelulusan, kamu mau kuliah di mana? Atau mau kerja?"
"Aku pengin kuliah Akuntansi," jawab Edi, "cuma, aku nggak tau mau di mana. Kenapa?"
"Aku ikut sama kamu."
"Hah? Kamu nggak cocok Akuntansi, kamu lebih cocok kalau masuk jurusan Seni."
Karina mengangguk. "Aku memang mau pilih jurusan Seni, tapi, aku mau satu kampus sama kamu."
Saat ini Edi menebak-nebak dengan perasaan nikmat di hatinya. Meski secuil, ia menduga bahwa Karina menyukainya. Edi ingin menyebutnya cinta, tapi mungkin terlalu cepat.
"I-iya, aku tahu di mana tempatnya." Edi semringah.
Sesaat kemudian cowok itu mengernyit ketika melihat hal yang janggal pada rambut Karina saat ini, membuat ekspresi semringah itu memudar dengan perlahan—seperti embun di jendela ketika pagi menjelang siang. Bagian poni sebelah kiri Karina tampak pendek dan terdapat luka gores yang disebabkan oleh benda tajam pada keningnya. Kenapa rambutnya? batin Edi. "Kamu potong poninya?"
Karina menggeleng. "Vera," jawabnya. "Tadi di ruang Seni, dia sama Sarah memotong rambutku dengan paksa."
Sontak Edi melotot dan menyeringai, menunjukan ekspresi kesalnya lantaran gagal menjaga Karina hari ini. "Maaf, aku nggak bisa jaga kamu, tadi aku harus ke kantor ngerjain remedial." Mata Edi berkilauan, emosi turut mendorong air menghiasi matanya.
Kemudian, gadis yang sedang dibicarakan itu melangkah di selasar bersama teman-temannya, Vera Larsati terbahak-bahak entah membahas apa—tanpa menyadari Karina dan Edi sedang mengamatinya. Edi semakin kesal melihatnya, kini mukanya sudah semerah kepiting rebus.
Karina memegang tangan Edi. "Enggak apa-apa," ucap Karina lembut.
Edi mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napasnya yang sempat terengah-engah, dan menoleh pada Karina. Ia melihat gadis itu menunjukkan gambar mata di bukunya.
"Lihat," kata Karina, "bola mata ini indah bukan? Aku harap Vera juga punya bola mata seindah ini. Warna merah di sekitarnya pasti bakalan cocok."
Lanjutan kisah ini bisa dibaca di aplikasi Rakata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro