
7 - 'Mas Petugas Medis'
Hampir jam dua pagi, mata ini baru terlelap. Setelah mandi aku bersembunyi di balik selimut, lalu menghitung sisa uang yang ada di amplop dan saku celana. Semampunya kuhipnotis diri sendiri kalau jumlahnya pasti cukup. Meskipun akhirnya, aku terlelap dengan mata basah kuyub.
Bangun di pagi hari dengan nyeri di sekujur tubuh bikin ingin bersantai penuh seharian. Pegal parah dan rasanya enggak berdaya mau melakukan apa-apa. Tetapi, begitu teringat ucapan Pak Polisi, aku paksakan diri untuk bangkit meski hanya duduk di tepi kasur. Beberapa kali mulut menguap lebar sembari meregangkan otot. Bunyi ranting patah keluar bersahut-sahutan.
Ah, dipijit kayaknya enak, nih.
Tatapan yang semula beredar, berhenti setelah bertubrukan dengan sepasang mata beriris gelap milik si mas petugas medis yang juga baru bangun. Aku langsung pura-pura sibuk. Lebih tepatnya, menyembunyikan muka yang pastinya masih kusut. Kukira semua orang sudah pergi, ternyata masih tersisa dia di sini.
Semalam, setelah mendengar tebakannya aku malah kabur ke kamar mandi tanpa mengiakan. Coba dibayangkan. Dua kali pertemuan kami selalu terjadi di saat kesialan menimpaku.
Yang pertama, pas pingsan dan habis menangis cirambay. Awalnya kupikir kondisi mukaku enggak buluk-buluk amat. Tahunya, aku hampir pingsan untuk yang kedua kali waktu becermin di kamar. Eyeliner, maskara, luntur semua.
Lalu yang kedua, kemarin malam. Kebiasaan tidur dengan mulut menganga setiap kali capek berlebihan, agaknya membuat pemandangan mata si mas pasti enggak akan indah. Namun, dia selalu berhasil menahan diri. Enggak memberi komentar seperti waktu itu. Buktinya dia masih bisa fokus membantuku, dan malah marah-marah penuh emosi sama si penjaga hostel.
Tetap saja, sih. Harga diriku sudah telanjur terjun bebas dan merosot tajam di depannya. Aku cuma bisa menyengir waktu dia mengangguk dan menyapa sambil mengucapkan selamat pagi. Begitu sosoknya beranjak ke toilet, baru aku bisa bernapas lega.
Ya, ampun. Macam artis saja aku ini.
"Hai!"
"Astagfirullah!"
Seorang wanita bermata sipit tapi senyumnya manis, tahu-tahu sedang duduk di tempat tidur sebelah. Dia sempat keheranan melihatku yang terjungkal ke belakang. Memang luar biasa efek samping ketemu sama si Mas. Aku jadi susah fokus.
Kuangkat kedua sudut bibir, ketika detak jantung sudah terkendali. "Hai, too," sapaku mencoba riang.
"Hai. What's your name? My name is Maria. I'm from Busan, South Korea. And you?" Tangannya terjulur padaku ketika selesai mengenalkan diri.
Kugeser bokong hingga tangan ini bisa mencapai ulurannya. "My name is Abella, and I'm from Indonesia."
"Ah ...." Kepalanya mengangguk-angguk. "Nice to meet you, then."
"Yes, yes. Nice to meet you too." Pagi-pagi sudah amburadul mulutku.
Dia bangkit hingga tubuh mungil terbalut gaun terusan berwarna kremnya terpampang nyata. Aku suka gaya berpakaian Maria. Sederhana, tapi manis. Enggak berlebihan.
"Hm, don't forget to eat your breakfast. It's," kepalanya menunduk ke arah jam tangan di pergelangan tangan, "almost 10." Apa? Waduh, telat!
"Okay. Thank you, Maria!"
Saat lawan bicaraku yang perempuan sudah berbalik, eh, yang lelaki malah keluar dari dalam kamar mandi. Sudah bodoh amat dengan tampilan muka, aku berjalan cepat ke toilet dengan menggenggam sabun muka dan sikat gigi.
Mandinya nanti dulu, deh. Isi perut itu nomor satu.
***
Area makan yang disebut kafe sama si penjaga hostel ini berukuran sedang. Enggak bisa dibilang besar, dan enggak kecil juga. Letaknya tepat di belakang meja resepsionis dan menghadap ke taman kecil dengan rumput sintetis. Ada meja panjang berisi roti tawar, aneka selai, minuman seduh, juga mi instan di bungkus plastik sampai yang di cup. Dan, ada si mas petugas medis di meja dekat televisi yang sedang duduk sendiri sambil meminum kopi. Maria juga ada. Bahkan dia sudah melambaikan tangan, memintaku untuk duduk bersama.
Selesai memberi kode kalau akan ke sana setelah mengambil makanan, fokusku beralih ke meja lagi. Dua lembar roti sudah berpindah tempat ke piring kecil berwarna kuning. Aku mengambil dua kotak kecil selai stroberi, lalu cangkir untuk menyeduh teh. Senyumku mengembang. Bahagianya, bisa menikmati menu sarapan favorit.
"Hai, Abella. Your name is very unique and beautiful," sapa Maria saat aku duduk di hadapannya.
Aku menjawab pendek. "Thanks."
Belum sempat mengoleskan selai ke permukaan roti, pertanyaan Maria kembali membuatku harus membuka mulut. Di balik tubuh mungil itu ternyata tersembunyi energi yang begitu besar. Kayaknya kalau diajak lomba maraton dia bisa menang. Maraton berbicara maksudnya.
Rasa ingin tahu Maria, lama-lama bikin aku kewalahan. Dia selalu bertanya 'kenapa', setiap aku mengatakan sesuatu. Hingga akhirnya obrolan seru terus mengalir dan jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua belas siang.
Dari pembicaraan tadi, aku tahu kalau Maria datang sendirian ke Bangkok. Dia juga bercerita tentang hostel ini. Ternyata nama Hostel for Singles bukan hanya nama. Si pemiliknya memang khusus membuat hostel untuk para turis lajang yang bepergian sendirian. Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta kalau Maria baru saja berulang tahun yang ketiga puluh satu, minggu lalu!
Wah, aku semacam lagi ketemu kopiannya Park Bo Young. Imut, manis dan awet muda. Tetapi, dari ucapan penuh antusiasnya tadi, seperti terselip kesedihan. Entah apa. Kami belum sedalam itu bercerita.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku enggak melihat ada siapa pun di kamar. Mungkin orang-orang sudah keluar jalan-jalan sekalian cari makan siang. Untungnya perut datarku belum bergejolak. Jadi masih aman.
Kuulas riasan tipis, lalu mengikat rambut dengan ikatan ekor kuda. Rasanya aku seperti terlahir kembali.
Okay, it's time to go!
Pasti KBRI enggak menakutkan, kok. Isinya kan, orang Indonesia semua. Semangat, Abella!
"Excuse me," aku memanggil penjaga hostel yang sedang serius menatap layar ponsel dengan suara sok imut.
Orangnya sudah ganti. Bukan lelaki muda yang kemarin malam. Kali ini seorang perempuan muda berkacamata bulat mirip Harry Potter.
Saat mendengar sapaanku, dia langsung berdiri. "May I help you, Miss?" tanyanya dengan logat Thailand yang kental.
Aku menarik napas. Agak menahan tawa. "Do you know where is Indonesian Embassy?"
Dia menatapku bingung sekaligus kaget. "Did something bad happen to you?"
"Ya ... begitulah. I mean, yes. My bag was stolen, yesterday," jawabku lemas.
Mbak penjaga hostel ikut sedih dan mendoakan semoga masalahku cepat selesai. Lalu, dengan gerakan gesit dia mencarikan alamat KBRI di komputer. Bukan hanya memberi tahu alamat, perempuan muda ini juga menggambarkan peta untukku. Sebab, ternyata jarak dari hostel ke tempat tujuan enggak begitu jauh. Hanya sekitar satu kilometer. Dia menyarankan agar berjalan kaki, daripada memakai kendaraan umum karena lebih mudah. Tentu aku menurut. Menghemat uang adalah segala-galanya sekarang.
"Thank you so much, Miss?" aku bertanya dengan alis terangkat.
"Ramida," dia menjawab cepat.
Saat hendak berbalik, aku baru ingat kalau belum mengabarkan Hasna sejak kemarin. Pasti dia sudah kalang kabut di Bandung. Bisa-bisa aku masuk daftar orang hilang kalau sampai hari ini enggak kasih kabar.
"Hm, Miss Ramida. Can I borrow the computer for a minute. I have to tell my family, that my phone is gone," pintaku sambil menautkan kedua tangan di atas meja. Dokumen kukepit di ketiak, saking ingin memohon.
"Of course you can. Come in."
Embusan napas lega mengalir cepat. Begitu bersyukurnya aku, dipertemukan Allah sama orang-orang baik. Perempuan beraroma buah mangga, mempersilakan aku menempati kursinya. Setelah membukakan laman internet, dia pamit ke belakang. Kayaknya sengaja supaya aku bebas mau buka apa.
Direct Message Instagram-ku sudah menerima sepuluh pesan! Isinya dari Hasna semua. Kubaca satu per satu dari yang paling bawah. Betul, kan. Di pesan terbaru, anak lebay itu sudah memperingatkan akan menghubungi polisi internasional kalau sampai aku belum ada kabar.
Hadeuh. Pengin terharu, tapi enggak jadi.
Setelah selesai mengirimkan beberapa pesan balasan yang menjelaskan kondisiku sekarang, juga permohonan agar Hasna mengirim pesan atas namaku ke A Abi, aku betulan pamit sama Ramida. Setidaknya Hasna sudah tahu kalau ponselku hilang. Meski bagian paspor sama dompetnya enggak kubahas. Berjaga-jaga takut dia histeris, terus jadi keceplosan bilang ke A Abi.
Wah, aku bisa dipasung entar.
Terpaan sinar matahari begitu menyengat mata, ketika pintu kayu kubuka. Pertimbangan untuk ganti hari bermunculan di kepala. Namun, kehadiran lelaki yang entah kenapa ingin sekali kuhindari langsung bikin kaki bergerak cepat.
"Hei, Adik mau ke mana? Kok, buru-buru banget?"
Suara merdu itu kembali meminta perhatian. Aku langsung berhenti di tempat. Kemudian kepala berangsur menoleh, hendak menjawab pertanyaan.
"Maaf, Mas. Mau ke KBRI. Takut keburu tutup," jawabku sambil meletakkan telapak tangan kanan di atas kening.
"Lho? Ngapain? Ada masalah, Dik?"
Kok enggak enak ya, dipanggil adik terus. Lama-lama kita jadi kakak beradik pula. Eh, A Abi aja enggak pernah manggil aku adik, lho.
"Iya, pasporku hilang kemarin. Jadi mau ngurusin ke sana."
Kepalanya manggut-manggut. "Mau aku temenin?" Hah?
Buru-buru kugelengkan kepala. "Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri, kok. Tadi udah dikasih peta sama yang jaga hostel. Jadi Insyaallah nggak akan nyasar."
"Oke, kalau begitu. Hm ... kita belum sempat kenalan aja sebelumnya." Tiba-tiba dia mengulurkan tangan ke arahku. "Aku, Damar."
"Abella."
Berkat ajakan berkenalannya, aku jadi terpaksa mendongak sampai mata kami bertemu. Dia tersenyum lebar. Menampilkan lesung pipi di kedua sisi wajah. Di bawah sinar matahari yang terik ini, aku dibuat enggak berkedip.
"Well. Hati-hati di jalan kalau begitu. Sampai ketemu nanti, Abella."
Dia sengaja memberi jeda sebelum menyebut namaku dengan begitu teduhnya.
Wait, perasaan apa ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro