
5 - Kesialan Kedua
Hai, halo!
Sebelum masuk ke Bab 5, kenalan dulu sama Abella, yuk!
Oke, sekarang mari masuk ke kelanjutan kisah Abella yang lagi berlibur di Bangkok sendirian.
Aku kembali menangis sesaat setelah menertawakan keadaan. Para polisi berwajah sangar, tapi bersuara tenor mengerubungiku bagai semut. Mereka mengatakan banyak kalimat dengan nada meliuk yang enggak aku mengerti. Alhasil, air mata terus bercucuran tanpa henti karena gagal mereka tenangkan. Hingga saat semangkuk nasi panas dengan telur goreng yang baru matang, disodorkan oleh Pak Pat.
Tangisan berisik berhenti seketika. Semua orang mengembuskan napas lega secara hampir bersamaan. Aku menerima pemberian Pak Pat sambil masih sesenggukan, tetapi waktu mau menyuap suapan pertama aku sempat ragu. Walaupun cuma telur, bisa saja ada campuran penyedap rasa yang enggak aku tahu, kan?
Titik pandang jadi beralih ke sosok terdekat. Seolah tahu dengan yang akan ditanyakan, Pak Pat lebih dulu bersuara. "Halal." Lalu tangannya bergerak mempersilakan. Aku berusaha tersenyum. Kemudian menarik napas sebelum membuka mulut.
Hah ... akhirnya bisa merasakan nasi panas lagi. Meski telurnya keasinan, enggak apalah. Hal yang terpenting dapat asupan energi untuk bertahan di medan perang.
Sambil mengunyah penuh penghayatan, aku berusaha berpikir keras. Memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup dengan uang seratus delapan puluh baht yang tersisa di saku celana. Bahkan, kalau ditukar ke mata uang rupiah, nilainya enggak sampai seratus ribu! Rasanya mustahil. Fix! Aku bakal jadi gelandangan.
Apa meminta tolong ke Hasna saja, ya?
Enggak, deh. Jangan dulu. Pasti masih ada jalan.
Aku yakin. Semangat, Abella! Jangan putus harapan!
Sambil terus menyemangati diri sendiri, kuedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Sepi. Ternyata keramaian yang tadi sudah hampir bubar. Tinggal tiga orang polisi dan beberapa orang bermasalah yang tersisa di sini. Menunggu giliran, sama sepertiku. Mata mulai mengedip tak terkendali. Aku mengantuk parah.
Lelah banget, Ya Allah...
Saat sedang serius menggerutu, tiba-tiba aku teringat sama fakta penting yang terlupakan sepanjang hari.
Ya, ampun! Aku kan menyimpan uang di koper! Kok bisa lupa, sih?
"Miss Abella!"
Berbarengan dengan kabar membahagiakan, namaku juga dipanggil setelah menunggu hampir dua jam. Dengan langkah gembira, aku menyambangi polisi yang menanti sambil melipat tangan di atas meja. Begitu mendaratkan diri di kursi tanpa lengan, kedua tangan otomatis saling bertautan. Keringat yang tadi mengering, kini kembali membasahi telapak tangan.
"Hello, Miss Abella," sapanya ramah. "Start?"
"Yes," aku menjawab dengan yakin.
Lawan bicaraku menarik napas, lalu mulai bersuara pelan. Detik pertama mendengar pertanyaan lelaki berusia tiga puluhan berwajah lelah ini, aku langsung kehabisan kata-kata. Kepala menggeleng bersamaan dengan mata yang enggak bisa berkedip. Di saat begini seharusnya Pak Pat menemani, tapi penampakannya malah enggak kelihatan. Kuhirup napas dalam-dalam, berharap kepanikan yang menguasai perlahan menghilang.
"Sir, I'm so sorry. I don't understand. I will tell you about the incident slowly. Okay?" Barusan aku bicara super lambat.
Kepalanya mulai bergerak naik turun. Dia mengangkat tangan kanan dan memangku dagu. Menanti cerita panjang lebar yang akan kuungkapkan satu per satu. Sesekali aku mendukung penjelasan dengan menggerakkan anggota badan supaya lebih dapat feel-nya.
Proses interogasi berlangsung kayak kuis tebak-tebakan bahasa tubuh. Untungnya mereka cukup paham dan menerima perkataanku tanpa banyak tanya. Energi dari telur goreng tadi lenyap. Aku sudah kayak zombi waktu berhasil keluar dari kantor polisi sambil menenteng dokumen berlembar-lembar.
"Go to embassy tomorrow. Don't forget," ucap para polisi terus-menerus sampai sesaat sebelum kaki melangkah keluar dari ruangan. Mereka juga sempat mengatakan kalimat panjang-panjang yang ada kata national sama holiday. Karena enggak paham, aku mengiakan saja dengan senyum lebar.
AKHIRNYA SELESAI!
Keadaan jalanan yang lengang bikin aku agak terkesiap. Baru saja berteriak kegirangan, kini malah termangu di tempat. Tanpa ponsel dan jam tangan, aku benar-benar buta waktu dan arah.
Satu masalah memang selesai, tetapi masalah lainnya belum. Bodohnya, aku lupa bertanya di mana letak penginapan murah yang dekat dari sini. Ya, sudahlah. Kuputuskan untuk menyusuri jalanan yang sama dengan tadi sore. Kalau enggak salah, daerahnya kelihatan ramai.
Namun, perkiraanku meleset. Semula kukira enggak begitu jauh, ternyata salah. Entah sudah berapa menit aku menyeret koper kuningku. Melewati pertokoan yang hampir tutup dan trotoar yang enggak rata. Malah cenderung hampir rusak di semua sisi. Alhasil, Si Kuning kutenteng ke mana-mana. Berat pula. Aku bawa apa saja, sih. Heran.
Rambut panjang bergelombang yang biasanya selalu kugerai, sekarang dicepol tinggi tepat di puncak kepala. Muka berminyak. Ketiak gatal. Mata sepet. Sudah lengkap penderitaanku. Pokoknya, malam ini tidur di mana saja, deh. Yang penting bisa rebahan sama mandi air hangat.
Mata seorang kakek-kakek yang lagi duduk tanpa semangat di balik kiosnya, enggak sengaja bertubrukan dengan kedua mataku. Sorotnya kayak magnet. Membuat kakiku mendekat, padahal sudah meneguhkan hati bakal berhasil menemukan hotel murah tanpa bantuan orang lain. Beliau menatapku curiga, tapi enggak menghindar.
Aku berdeham, pura-pura tangguh. "Excuse me. Do you know where cheap hotel or maybe good hostel, around here?" tanyaku agak asal, yang penting maksudnya sampai.
Kepala kakek yang rambutnya hampir habis itu, berpaling ke arah kiriku. Dagunya maju mundur. Ah, maksudnya menyuruhku buat jalan ke sana kayaknya.
Aku memastikan dengan jari telunjuk. "That way?"
"Hm ....," jawab pria tua bersinglet putih belel.
Aku sirik sama kakek. Bisa menikmati tiupan angin dan tampil seksi tanpa takut diculik. Kalau aku mengikuti jejaknya malam-malam begini, cari mati banget sih, pasti.
"Khap khun kha," balasku seraya menunduk sekejap.
Kutarik kembali bawaan ke arah yang dimaksud. Melewati emperan ruko dengan pencahayaan remang-remang. Aku menelan ludah. Mulai gelisah karena enggak bisa melihat papan penanda satu pun.
Di mana sih, Kek. Apa jangan-jangan kakek tadi enggak paham bahasa Inggris terus asal tunjuk, ya? Waduh, gawat!
Masalahnya, mau memutar juga sudah tanggung. Penampakan kakek tadi sudah enggak kelihatan. Aku betulan sendirian sekarang. Rasanya ingin menangis. Hopeless.
Aku terus berjalan dengan mata yang sudah basah. Hingga akhirnya, sebuah cahaya kekuningan yang terang tiba-tiba muncul berkedap-kedip. Aku mengucek mata. Memastikan ini hanya khayalan atau betul kenyataan. Kupacu langkah semakin cepat. Apapun itu, pasti sesuatu yang masih buka.
Kakiku langsung lemas, saat berhasil mencapai lokasi tujuan. Sebuah papan penanda bulat warna kuning muda dengan tulisan Hostel for Singles berwarna biru sedang, menyelip di samping ruko terakhir. Kulangkahkan kaki mendekat. Ternyata, lokasi hostelnya berada di jalan kecil yang menjorok ke dalam. Aku takut, tapi enggak punya pilihan lain. Daripada tidur di emperan jalan, lebih baik aku tidur di hostel walaupun kasurnya keras sekalipun.
It's okay, Abella. Ingat. Yang penting kamu bisa rebahan.
Dengan bermodal kepasrahan, aku mulai menyeret koper masuk ke dalam gang yang muat untuk satu mobil. Gedung-gedung tiga lantai menyambut. Ini seperti kawasan pemukiman biasa. Ada beberapa mobil terparkir di lahan parkir. Sejauh ini enggak ada yang mencurigakan. Hingga akhirnya aku tiba di depan sebuah gedung yang membuat mataku terbuka lebar, saking kagetnya.
Wow...
Aku tercengang.
Penampakan hostelnya ternyata sangat instagramable! Jauh dari kata kumuh dan suram. Catnya serasi dengan papan penanda. Sama-sama kuning cerah dan ada kursi panjang di sebelah pintu kayu lebarnya. Senyumku mengembang sempurna.
Yuk, mari kita masuk!
Aku sedikit berlari menaiki tangga hingga tiba di pelataran pintu masuk gedung. Kudorong gagang dengan satu hentakan penuh percaya diri. Eh, tapi kok dikunci?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro