
34 - Patience Bring Happiness?
Belum.
Dia belum juga menyatakan cinta sampai detik ini. Padahal kami sudah pendekatan hampir empat bulan lamanya, tetapi kalimat yang aku nanti-nanti belum juga dia katakan. Ternyata mendapatkan status jelas sebagai pacar Damar Pradipa, membutuhkan kesabaran seluas samudera.
Teman tapi mesraku itu, memang hampir setiap weekend datang ke Bandung. Mengajakku pergi jalan-jalan ke mal, restoran, sampai objek wisata terkenal yang menyajikan pemandangan alam luar biasa. Komunikasi sehari-hari pun terjalin cukup lancar. Dia selalu mengabariku tiga kali sehari, dan menyempatkan untuk menelepon hampir setiap malam.
Aku tuh, gatal banget. Pengin menodong to the point, tapi takut dia menjauh. But please, sampai kapan kita mau begini? Mesra iya, akrab iya, tapi kalau dikenalkan ke orang-orang, aku dibilang hanya teman. HANYA TEMAN! Sedih banget, kan?
Damar memang terbilang perhatian, manis, baik dan sangat melindungi. Namun, kalau menjalani hubungan tanpa status begini terus, lama-lama aku capek juga. Hasna yang menjadi saksi mata kegalauanku sudah mulai gerah. Tiga hari belakangan ini dia terus mencoba meracuni. Menyuruhku untuk berani bertindak tegas.
Kata Hasna, mungkin Damar memang bukan jodohku. Cuma aku yang enggak mau menerima nasib, jadi bikin diri sendiri terlunta-lunta. Padahal dia enggak tahu saja. Selama di Bangkok, aku sudah beberapa kali menanyakan status hubungan kami pada Damar. Namun, kalau memang dari pihak lelakinya belum ingin meresmikan, aku bisa apa?
[Aku serius deh, Bel. Kalau sampai Sabtu besok, dia nggak juga ada niat buat memperjelas hubungan kalian, bakal aku cabut restunya, ah!]
"Na ... laper."
[Aku serius, Bel!] Hasna mulai emosi.
Omongan juga otakku memang lagi agak melantur hari ini. Tadi A Abi meminta laporan penjualan bulan lalu, malah aku kasih setahun lalu. Terus, dipinta menuliskan proposal buat dikirim ke perusahaan rekanan, isinya malah curahan hati. Sumpah, aku malu banget! Untungnya yang baca cuma A Abi sama Teh Ira-sekretarisnya. Kalau sampai proposalnya sudah keburu dikirim ke alamat tujuan, enggak kebayang apa yang bakal terjadi.
"Aku juga serius, Na. Pengin baso tahu Sin Chan yang di jalan Cikawao, deh," kataku mulai merengek.
Sengaja, ingin membelokkan topik pembicaraan yang selalu berujung pada aksiku menolakan kenyataan. Sementara Hasna malah diam. Cuma embusan napas panjangnya yang terdengar mengalun di telinga.
[Ini maksudnya, aku disuruh beli, gitu?] Jelas banget dia enggak terima.
"Iya, Na. Kamu kan, masih pengangguran. Nggak ada kerjaan. Daripada seharian melototin lelaki yang nggak akan pernah dimiliki, mendingan beliin aku makanan, gitu," lanjutku meminta digebuk.
Senyum jailku sudah tercipta sekarang. Sementara napas Hasna semakin memburu. Bentar lagi dia bakal meletup, nih.
[Cih! Nggak sudi! Beli aja sendiri! Pake ojek online gitu kan, bisa!]
"Nggak mau. Pengennya dibeliin langsung sama kamuh. Please... Kamu nggak kasihan gitu sama akuh?"
Kini nada bicaraku mulai berubah jadi merayu. Enggak sampai satu menit, Hasna sudah melunak.
[Ah! Ya, udah!] Asyik, rayuanku sukses besar! [Siomay tiga, telor satu, sama kentang satu, kan?]
"MANTAP JIWA!" aku memuji sepenuh hati.
[Mantap, mantap! Nyusahin aja kerjanya!]
"Tapi sayang, kan?"
[Tau, ah!]
"Kerja, hei! Kalau malas-malasan, nanti Aa potong gaji kamu!"
Suara tegas dari A Abi terdengar menggelegar memberi peringatan. Ruangan kami hanya dibatasi oleh dinding yang setengahnya terbuat dari kaca buram. Jelas, cekikikanku tadi terdengar sampai ke telinganya.
"Na, udah dulu, ya. Nanti langsung ke ruanganku aja. Jangan lupa bawa piring di pantry. Bye!"
Sebelum sambungan benar-benar terputus, aku masih bisa mendengar omelan nyaring dari sahabat tersayang. Setidaknya, keberadaan gadis yang gemar mengatai aku oneng itu, mampu membuatku tetap waras ketika sedang diterpa banyak masalah.
And I'm grateful for that.
***
Maaf, hari ini aku enggak bisa ke Bandung. Ada urusan mendadak yang harus aku beresin hari ini juga. InsyaAllah, Sabtu depan, ya.
Miss you...
Sebuah pesan yang terbaca ketika membuka mata, segera menghantarkan gelombang kekecewaan yang menyesakkan dada. Kuletakkan kembali ponsel ke atas nakas. Membiarkan layarnya menyala, hingga akhirnya mati dengan sendirinya.
Dalam keadaan berbaring, kutatap plafon putih yang kini memenuhi pandangan. Sekelebat potongan kenangan yang terjadi selama di Bangkok, mulai menyelinap ke dalam benak. Menggoda dan membuai, lalu membuatku tersenyum meski penuh kegetiran. Tarikan napas semakin memanjang. Pergelangan tangan kanan kini sudah naik dan menutupi wajah bagian atas. Menekan cairan di dalam kelopak mata yang akhirnya meluap begitu bebas.
Permulaan hari liburku pun diawali dengan menangis sesenggukan tanpa suara. Menahan luapan kesedihan sampai membuat isakanku tersendat-sendat. Aku takut ada yang menyadari kalau harapan gadis berpiama polkadot merah putih ini, sudah menipis dan hampir tiba di penghujung.
Aku merasa bodoh sekaligus munafik. Jelas-jelas jalan untuk mundur dari jeratan hubungan tanpa status ini, sudah terbuka sejak lama. Namun, yang kulakukan malah terus berjalan dan mencoba. Inilah yang terjadi, ketika sisi sentimental telah mengalahkan logika. Keseharian jadi kacau balau, karena lebih fokus mengharapkan sebuah perubahan yang entah akan terjadi atau enggak.
Sungguh. Aku hanya ingin Damar. Sang Pencipta pasti tahu jelas, hanya nama lelaki itu yang kuucapkan berkali-kali dalam setiap doa. Masalahnya, apa dia juga menyebutku dalam doanya?
"Neng Abel ...."
Suara nyaring Bi Parti yang memanggil sembari mengetuk pintu, telah menyelamatkanku dari peristiwa banjir lokal. Sementara berdeham untuk menormalkan suara, tanganku sibuk mengelap sisa air mata yang tersebar rata di seluruh permukaan pipi hingga ke leher. Kupaksa kaki melangkah menyeberangi kamar untuk membuka pintu. Wajah semringah wanita yang sudah merawatku dari balita, muncul dari baliknya.
"Kenapa, Bi?" Aku bertanya sambil pura-pura masih mengantuk dengan mengucek kedua mata bergantian.
"Diajak sarapan bareng sama Aa, Neng."
"Aku masih ngantuk, Bi. Tolong bilangin ke Aa, duluan aja sarapannya gitu," tolakku sebelum menguap lebar, sembari menarik napas yang terputus-putus.
Kening Bi Parti mengernyit. Dia menelengkan kepala, sambil menatap bingung. Sebelum beliau menyimpulkan sendiri, buru-buru kuberi penjelasan yang mendukung.
"Saking ngantuknya, jadi keluar air mata, Bi. Aku turun siangan, yah. Nanti bikin sarapan sendiri aja," putusku, lalu menutup pintu tanpa menunggu persetujuan. Begitu terdengar langkah kaki yang semakin menjauh, baru aku bisa bernapas lega.
Aku lanjut berjalan dengan menyeret kaki menuju nakas di samping tempat tidur. Meraih ponsel untuk memutarkan lagu yang belakangan ini selalu menjadi pilihan teratas setiap kali mendengarkan musik. Setelahnya aku berencana untuk membuka jendela. Aku butuh udara segar supaya bisa berpikir jernih.
We keep holding on
To moments that we had when we were so in love
I don't want them to vanish so I let you go
Yeah, I let you go
So I let you go and we can keep each other on a pedestal
Let's let it go and leave it beautiful
Bukannya menuntaskan keinginan, aku malah terduduk di tepi tempat tidur. Menatap dan terpaku pada barisan foto-foto yang menjadi bukti kebersamaan kami berdua, sambil menghayati seluruh lirik lagu. Gambar-gambar itu sebagian besar berisikan dua orang manusia yang sedang saling bertatapan begitu mesra dan tertawa lepas. Aku dan Damar tampak begitu bahagia.
Lalu, kenapa sekarang jadi begini? Dasar ekspektasi sialan!
Antara ingin menangis atau ingin mengumpat. Entahlah. Yang jelas, tiba-tiba kekuatan kaki untuk menumpu hilang secara perlahan. Aku beringsut turun ke lantai marmer yang dingin. Udara kota Bandung di pagi hari, semakin membuat emosi enggak terkendali. Aku meringkuk. Menikmati nyeri yang tengah mencabik-cabik. Gerombolan air mata sudah bersiap di balik pelupuk yang terpejam.
Aku kangen Damar. Kangen banget.
Saat sedang asyik meratap, pintu kamarku kembali diketuk. Kali ini enggak ada suara nyaring Bi Parti yang memanggil. Berarti, itu pasti A Abi. Gawat!
"Sebentar!" sahutku mengabarkan.
Aku ambil banyak tisu dari wadahnya, lalu berlari ke meja rias untuk menghapus bukti-bukti terlarang. Begitu melihat pantulan wajah di cermin, rasanya usahaku bakal percuma. Rambutku berantakan, mana mata merah pakai bengkak pula. Belum lagi hidung yang megar kayak habis digigit nyamuk. Anak TK saja pasti tahu kalau aku baru saja menangis.
Bodoh amatlah. Lebih baik jujur daripada berpura-pura selalu bahagia. Capek!
Dengan berniat mengutarakan isi hati pada kakak tercinta, aku mantap melangkah ke arah sumber ketukan yang kembali terdengar. Namun, bukan sosok lelaki jangkung yang seharusnya sedang memakai kaus belel, malah sebuah buket bunga mawar merah super besar yang menyembul dari balik pintu. Saking besarnya, mataku sampai enggak bisa melihat apa-apa selain kelopak bunga mawar yang disusun berdempetan. Keberadaannya sempat membuatku terlonjak kaget sekaligus kebingungan.
Detik berikutnya, kepala dari lelaki yang sangat kurindukan muncul dari sisi kanan kosen pintu. Damar menyengir, lalu tersenyum kikuk sembari menyerahkan buket bunga mawarnya padaku. Saking terkejutnya kedua kakiku malah jadi lemas. Aku terduduk di lantai dengan posisi berjongkok.
Damar buru-buru mengikuti, dan menarik tubuh yang kehilangan tenaga masuk ke dalam pelukan. Cairan bening pun kembali mengalir dari sudut kedua mata. Namun, kali ini yang membasahi wajahku bukan air mata kesedihan atau kekecewaan seperti tadi. Melainkan air mata bahagia yang begitu aku nantikan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro