Ponsel canggih keluaran terbaru yang dibelikan A Abi, agaknya jadi kurang terasa manfaatnya. Dentingan yang berdatangan, lebih banyak mengabarkan pesan dari Hasna, atau grup-grup berisi teman-teman kuliah, SMA hingga SMP yang masih rutin berkumpul satu tahun sekali.
Damar hanya mengirim enggak lebih dari lima chat per hari, semenjak mulai bekerja kemarin. Bahkan, dia masih belum memberi kepastian bisa datang ke wisudaku atau enggak. Dia berubah. Entah karena alasan pribadi yang baru membuatnya sadar setelah kembali ke Jakarta atau karena tuntutan pekerjaan.
Pikiran negatif perlahan menghantui. Seolah menjadi cobaan perdana bagiku yang sedang mencoba setia menanti. Ucapan Hasna juga enggak membantu. Dia malah bilang kalau aku sudah jadi korban ghosting.
Aku kesal, kecewa dan rasanya ingin mengamuk. Damar memang sempat memberitahu kalau dia akan langsung sibuk begitu mulai bekerja. Jadi mau enggak mau aku harus bersedia menerima. Namun, tetap saja susah.
"Bell! Lama banget pup-nya? Hayu jalan!" Seruan Hasna yang begitu kencang, mengagetkanku yang tengah berjuang sembari melamun.
"Sebentar! Dikit lagi!" aku menjawab, sementara sibuk bergerak membersihkan diri.
Begitu selesai, aku mematut riasan wajah dan kebaya warna peach yang membalut tubuh. Kucoba untuk mengulas senyum di muka yang sebelumnya terus cemberut.
Sepertinya kalau Damar enggak juga kasih kabar, dan benaran enggak datang ke wisuda, aku harus mulai mempersiapkan diri, deh. Walau enggak rela, tapi mau bagaimana lagi.
Aku mendesah begitu sedih saat terpaksa memikirkan kemungkinan yang terburuk. Setetes cairan bening lolos dari sudut kelopak mata. Aku segera mengusapnya dengan tisu yang ada di genggaman. Sebelum benar-benar membuka pintu, aku menarik napas dalam-dalam.
Senyum, Abella. Ini adalah hari bersejarah yang begitu kamu nantikan. Ingat, Mama dan Papa pasti hadir dan melihat kamu dari sana. Semangat!
"I'm ready!" teriakku mengabarkan.
Hasna sudah berdiri dari duduknya dan hendak berjalan keluar kamar. "Buru, Oneng! Bunda sama Ayah udah siap dari tadi!"
"Aku nggak oneng, ya! ENAK AJA!"
***
Cavero Danendra, cowok berengsek tukang selingkuh yang bersembunyi di balik kedok wajah baik-baiknya, sedang duduk di sana. Di jajaran kursi paling belakang program studi Kewirausahaan. Dia sedang bercanda, tertawa lepas tanpa beban dengan teman satu gengnya. Ketika enggak sengaja bertatapan, kami sama-sama terdiam. Bukan akibat rasa rindu atau apa. Aku justru mengepalkan tangan dan ingin meninjunya saat ini juga. Namun, senggolan Hasna segera menyadarkan dan membuatku memalingkan kepala.
Dia mendekat, seraya berbisik di samping telingaku. "Tahan, Bel. Kalau kamu masih gondok, berarti belum betulan move on. Katanya situ suka pakai banget sama si Mas?" Hasna menasehati sekaligus menyindir di waktu bersamaan.
Aku mendengkus sebal, lalu berjalan mendahuluinya ke arah kursi yang masih kosong enggak jauh dari posisi kami sekarang. Kuliah di satu fakultas bahkan di satu jurusan sama mantan itu, antara enak dan enggak enak. Enaknya, pas masih pacaran gampang buat ketemu. Malah bisa hampir setiap hari. Enggak enaknya, ya giliran putus kayak sekarang. Kagok, canggung, jengkel enggak berkesudahan, dan lain-lainnya. Belum lagi predikat campus couple yang sudah kuemban selama tiga tahun terakhir.
Jujur, aku bersyukur kami baru putus setelah lulus. Sebab, kalau sampai terus-menerus terjebak di situasi yang mengharuskan berdekatan dengannya, mungkin aku bakal susah banget buat move on. Enggak bisa dimungkiri, lelaki titisan dajal itu pernah menjadi satu-satunya cinta dalam hidupku.
Omong-omong, Damar betulan enggak ada kabar sama sekali hingga sekarang. Sudah berkali-kali aku mengetuk layar ponsel supaya layarnya menyala. Namun, chat yang kutunggu-tunggu belum juga muncul. Hanya ada satu pesan baru dari A Abi, yang mengabarkan kalau dia sudah duduk di kursi tribun belakang barisan kursiku bersama kedua orang tua Hasna.
Setelah mengirim balasan singkat, kumasukkan ponsel ke dalam clutch berwarna kuning gading yang melengkapi tampilan cantik dan femininku pagi ini. Desahan panjangku, menarik perhatian Hasna. Dia kembali menoleh. Memperhatikan wajah sahabatnya yang sedang enggak bersemangat.
"Mau diteleponin, nggak?" tawar gadis bersanggul bulat besar sedikit berantakan, yang nama kerennya boho messy bun.
Dia tampil manis dengan riasan natural ala artis-artis Korea. Begitu juga denganku, walau agak terasa percuma. Orang yang kuharap memberi pujian, kemungkinan besar enggak akan datang.
Aku menggeleng lemah, sambil berusaha tersenyum. "Nggak usah, Na. Aku udah pasrah. Kalau dia datang, alhamdulillah. Kalau nggak, ya berarti lagi benaran sibuk," kataku pelan, dengan dada yang mulai terasa janggal. Kucoba untuk menghipnotis diri sendiri, bahwa semuanya bakal baik-baik saja.
He deserved to be trusted.
Yeah. Aku percaya, Damar serius dengan janjinya sewaktu di Taman Lumpini.
"Ya, udah. Tapi jangan cemberut terus. Teman-teman pada ngiranya kamu masih sedih gara-gara baru putus sama si Ero," bisik Hasna hati-hati. Mataku melebar saking kagetnya.
Malas banget dikira belum move on. Idih, enggak sudi!
"Siapa yang bilang begitu?" kataku sembari menoleh cepat ke kiri dan kanan. Telunjuk Hasna mendorongku agar kembali melihatnya.
"Kalem, Bu. Tunjukin kalo kamu nggak terganggu. Lihat ke depan aja terus. Fokus sama pidato sambutannya Pak Rektor," sarannya sebelum bergerak menjauh dan kembali duduk manis.
Aku menelan ludah. Memperbaiki posisi jadi lebih anggun dan memusatkan pikiran hanya pada rangkaian acara yang baru saja dimulai. Sesuai imbauan dari sang penasehat cinta, yang sampai sekarang masih betah menjomlo.
***
Sebuah pelukan erat dan lama dari kakak tersayang yang tampil super menawan dengan jas biru gelapnya, menghangatkan hatiku sekaligus memberi rasa haru. A Abi berkata kalau dia bangga padaku. Bahkan, sepasang matanya sempat sedikit sembab saat mengatakan itu. Aku ikut sedih sampai hampir menangis. Diam-diam aku terus berandai-andai ada Mama dan Papa di sini bersama kami berdua. Sayangnya, mereka enggak mungkin datang.
"Sekali lagi, selamat ya, Bell," ucap A Abi.
Aku menyengir, kemudian melepaskan pelukan. Saat pandangan beredar ke sekeliling, aku dikagetkan dengan banyaknya jumlah pasang mata yang tengah terarah padaku dan A Abi. Memang, ya. Keberadaan lelaki bening di antara kerumunan para mahasiswi, bisa cepat banget menarik perhatian. Bukan hanya teman-teman satu jurusanku, bahkan beberapa mahasiswi fakultas lain, satu per satu menghampiri A Abi dan meminta foto bareng!
Ya, ampun. Serasa punya kakak artis, deh.
Saat tengah meladeni permintaan para penggemar dadakan, tiba-tiba sorot mata A Abi berubah menajam. Spontan aku mengikuti arah tatapannya yang ternyata sedang berlabuh di sosok Cavero. Rahang tegasnya menegang. Sebelah tangannya sudah mengepal. Sebelum terjadi hal yang enggak diinginkan, aku menarik A Abi dan pamit undur diri dari kerumunan. Menuntunnya cepat, hingga tiba di dekat Hasna dan kedua orang tuanya.
"Bell, sini foto bareng dulu!" panggil sahabatku sambil melambaikan tangannya.
Aku membalas agak berteriak. "Oke, sebentar!" Kemudian kepalaku beralih ke A Abi, yang masih menatap nanar ke arah yang sama. "A, Abel udah nggak apa-apa, kok. Seriusan." Ucapan penuh penekananku akhirnya membuyarkan fokusnya. A Abi mendaratkan kedua tangan di pundak kiri dan kananku.
"Oke. Tapi, kalau dia macam-macam lagi, bilang sama Aa ya, Bel. Oh, ya. Si Damar itu nggak jadi datang?"
Begitu mendengar namanya disebut, kepala yang semula terangkat ke atas mulai menurun secara perlahan. Namun, tetap kupaksakan mengukir senyum optimis agar pikiran A Abi enggak ikutan negatif.
"Damar lagi sibuk, A. Mau ada konser dua minggu lagi. Jadi, kerjaannya meeting terus," elakku sekenanya, sebelum melipir ke sisi Hasna yang sudah menunggu.
"A Abi kenapa, Bell? Mukanya nyeremin abis," celetuk Hasna kepo.
Aku mengangkat bahu. "Biasa, lagi OP."
"OP? Apaan, tuh?" Kening Hasna mengernyit.
"Overprotective, Oneng," balasku sambil menahan tawa. Puas banget bisa menyebutnya dengan sebutan Oneng juga. "Foto dulu, yuk. Itu anak-anak udah manggilin."
Kemudian, aku menghampiri kedua orang tua Hasna yang sedang mengobrol dengan A Abi. "Bun, Om, A, aku sama Hasna foto ke situ dulu, ya!" kataku mengabarkan sembari menunjuk ke arah kumpulan teman-teman satu prodi yang sudah dalam posisi ready. Cavero juga ada, cuma aku sudah enggak peduli.
"Kita tunggu di luar, ya. Jangan kelamaan. Bunda ngantuk, nih," balas Bunda yang memang sudah tampak kelelahan. Setelah mengiakan, aku menarik Hasna dan berlari kecil mendekati kerumunan.
***
Keadaan sangat ramai dan penuh, saat aku tiba di pelataran gedung Sabuga. Banyak tukang jualan bunga, boneka sampai aksesoris bertema wisuda. Aku dan Hasna berjalan menuju tempat di mana A Abi berada. Katanya sih, di sisi kanan pintu masuk utama. Kedua orang tua sahabatku sudah pulang lebih dulu. Bunda sudah enggak kuat berdiri lama-lama. Jadi, Hasna pulangnya menebeng mobil A Abi.
Enggak sulit menemukan kakakku. Tinggi badannya yang hampir seratus sembilan puluh sentimeter, membuatnya terlihat mencolok dari kejauhan. Ketika kaki hendak melangkah lebih cepat, mataku menangkap sosok lain yang hampir berhasil dilupakan. Sosok lelaki yang sedang melambaikan tangan sembari menyunggingkan senyum termanis yang pernah kulihat. Dia sedang mengangkat tinggi-tinggi buket bunga mawar berwarna peach yang begitu cantik.
Ya, ampun! Damar ingat warna kesukaanku!
"Mas Damar!" seruku seraya berlari ke arahnya sambil melompat kegirangan.
Damar merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Siap menyambutku masuk ke dalam dekapan. Namun, panggilan tegas dari lelaki bersuara berat tapi lantang, membuat langkahku berhenti seketika. Bisa-bisanya aku lupa kalau ada A Abi di sini!
Kuberikan tatapan penuh kode pada lelaki yang menatap bingung. Tangannya sudah turun ke bawah, senyumannya pun memudar. Tergantikan oleh ketegangan yang perlahan semakin jelas menghiasi wajah bersinarnya.
Aku menghampiri A Abi lebih dulu, disusul oleh Damar yang sekarang sudah berdiri di sebelah. Hasna enggak mau ikut-ikutan. Dia berjaga di belakangku. Keburu takut sama ekspresi suram dari kakakku.
Damar mengangkat tangan kanan, mengajak A Abi bersalaman. Untungnya, uluran tangan Damar langsung disambut olehnya.
"Halo, Mas Abinaya. Perkenalkan, nama saya Damar Pradipa, teman dekatnya Abella."
Kepala A Abi mengangguk, sementara alisnya sedikit terangkat. Jelas banget dia lagi menimbang-nimbang. Apakah lelaki yang tengah menjabat tangannya ini pantas atau enggak buatku.
"Halo, saya Abinaya. Kakak Abella satu-satunya," balasnya tenang.
Embusan napas lega mengalir lancar dari mulutku. Sayangnya, walau sudah berkenalan suasana masih juga tegang. Bahkan mereka masih salaman dalam keheningan. Seolah mengobrol lewat tatapan mata.
"Udah kan, kenalannya?" putusku mengambil inisiatif.
Tautan pun terlepas. Damar terdiam. Raut wajahnya kaku dan tampak ragu ingin menyentuhku. Sementara A Abi berjaga dan Hasna malah jadi penonton setia. Aku menoleh ke belakang. Berkomat-kamit, meminta bantuan.
"Ayo, kita pulang! Hareudang, Guys!" teriak sahabatku, menyelinap di antara ketiga orang yang enggak tahu harus berbuat apa. Walau mukanya tegang maksimal, Hasna tetap berusaha menengahi.
Untuk pertama kalinya, Hasna berani menyeret A Abi supaya berjalan di depan. Meninggalkanku dan Damar yang langsung menarik napas panjang. Ketika tatapan kami bertemu, tawa pelan pun lolos hampir bersamaan. Kemudian, pandangannya turun ke arah tanganku yang menganggur. Tanpa ada ragu, dia meraih, menggenggam dan sedikit meremas telapak tanganku yang lembab.
"Maaf, ya. Aku nggak sempat bales chat. Tadi pagi aku telat bangun, terus langsung ngebut ke sini. Alhamdulillah, tolnya nggak begitu macet. Jadi masih sempat ketemu kamu," ungkapnya pelan, penuh penyesalan.
"It's okay, Mas. Yang penting—"
"ABELLA! SINI!"
Teriakan A Abi membuat pegangan tangan terlepas secepat kilat. Aku buru-buru menyusul, diikuti Damar yang tertinggal di belakang. Momen kebersamaan pun terpaksa usai dalam hitungan menit. Meski kecewa, tapi aku enggak punya pilihan. Sebagai adik kecil yang baru saja berulah, untuk sementara waktu aku harus jadi anak baik-baik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro