Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30 - Hasna Bikin Heboh

Pertanyaan demi pertanyaan seputar kisah hidupku selama sembilan hari terakhir, terus dilayangkan setelah sesi meminta maaf dan menjelaskan kronologis bagaimana sampai sandiwara kami ketahuan, selesai Hasna jabarkan dengan begitu detail. Beragam ekspresi terukir di wajah manisnya. Mulai dari sedih, kesal, kaget, sampai yang paling parah, dia menempelengku begitu mendengar cerita kalau aku sudah tidur sekasur dengan Damar, dua hari yang lalu. Bola matanya memelotot, sampai mau keluar. Persis kayak kuntilanak. Seram habis.

Aku dibilang kegatalan terus sudah berdosa besar, karena sudah melakukannya dengan lelaki yang bukan muhrim. Malah Hasna langsung ingin melabrak Damar detik itu juga. Dia memaksaku memberitahu akun instagram Damar, yang berujung pada pergulatan heboh karena Hasna tahu semua kata sandi akun sosial mediaku.

Sebisa mungkin aku mengelak. Sembari menyembunyikan ponselnya di dalam beha, aku berlari berkeliling rumahnya yang cukup luas. Bunda yang kebetulan sedang bersantai di ruang keluarga, sampai geleng-geleng kepala melihat ulah dua gadis dewasa yang masih saja kekanak-kanakan.

Ini enggak bisa dihindari. Hasna selalu serius dengan perkataannya. Kalau sampai lengah, bisa jadi dia betulan melabrak Damar. Terus kalau Damar jadi ilfeel sama aku kan, gawat.

"Na, please! Kamu nggak mau lihat sahabatmu ini bahagia? Aku suka sama Damar, Na. Suka banget! Aku belum ngapa-ngapain, kok! Ciuman aja belom! Please, restuilah kami!" mohonku di sela napas yang mulai tersengal-sengal.

Langkah cepat Hasna perlahan memelan lalu terhenti total. Dia terperangah. Kemudian berlari menerjangku yang lambat bereaksi.

"Mulutmu, Bell! Kalau Bunda dengar, bisa disidang kita berdua!" tegurnya dengan menarik lenganku kencang. Menyeret gadis yang mulai kelimpungan, sampai masuk kembali ke dalam kamar bernuansa kuning cerah.

Hasna mengunci pintu, sementara aku melemparkan ponsel yang mengganjal ke arah sofa, lalu berleha-leha di atas kasur empuk beralaskan seprai super wangi dengan keringat yang masih mengalir di sekujur tubuh. Keadaan Hasna juga sama, enggak jauh berbeda denganku. Penampilannya sudah enggak puguh. Maklum, baru lari maraton.

Baru sekejap beristirahat, Hasna kembali memaksaku untuk membuka mulut. Dia duduk di hadapan. Menyilangkan kedua tangan di depan dada dan menyipitkan mata curiga, sembari mengangkat sebelah alis.

"Jadi, maksudnya tidur sekasur itu, betulan tiduran doang? Nggak sambil bercumbu atau pegang-pegang? Kamu beneran masih perawan, kan?" tanyanya sudah mirip kayak penyidik di kepolisian.

Rasanya ingin kulempar bantal ke mukanya sekarang. Bisa-bisanya, dia menilaiku seperti itu. Ya, walaupun sempat terpikir, sih. Namanya setan, ya tugasnya pasti menggoda. Kuakui sudah sempat ada niat, tapi untungnya akal sehatku masih berfungsi di atas tujuh puluh persen. Damar juga lelaki baik-baik. Bahkan ketika kesempatan terbuka lebar, dia malah memilih untuk kabur. Sampai bikin aku gondok sendiri.

"Suwer demi langit dan bumi, Na. Dia baru nyium pipiku doang!" aku bersumpah sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengah dari tangan kanan.

"Yakin?" tanya Hasna seraya bergerak mendekat.

Dia terang-terangan ingin mengorek lebih dalam dan masih meragukan jawaban yang kuberikan. Sayangnya, memang ada satu hal yang belum aku bilang ke istrinya Taehyung ini.

Mataku mulai mengerling, kala benar-benar merasa tersudut. Gadis beraroma vanila ini membuatku terus mundur dan mundur, hingga tiba di tepi kasur. Sekali lagi bergerak, pasti bokongku terjun bebas. Jadi akhirnya aku menyerah.

Kuangkat kedua tangan ke udara, sebagai simbol lambaian bendera putih. Hasna tersenyum puas. Dia menarikku sampai berada di posisi aman. Dia enggak bertanya lagi. Hanya mengangkat dagu lancipnya, ketika aku enggak kunjung menjawab.

"Okay," anggukku pasrah. "Kamu tahu cuddle, nggak? Yang kayak di The Sims itu, loh," sambungku mulai memberi petunjuk.

Hasna mengangguk-angguk. "Tahulah, cuddle doang, mah."

Awalnya dia masih mencerna, lalu tiba-tiba kelopak matanya melebar kayak di kartun-kartun.

"APA??? Jadi, maksudmu itu, kamu udah, cuddle-cuddle-an sama Damar? Tidur mepet-mepet, terus kepala kamu di dadanya dia, gitu? Yang kayak foto-foto di Google?" teriaknya keras, sambil meremas rambut sampai acak-acakan.

"Nggak di dada, kok. Lebih tepatnya, di ketek, Na," balasku ingin menjelaskan, walau sia-sia.

Hasna sudah kepalang frustrasi. Wajahnya suram, kayak baru menangkap basah anaknya yang habis berbuat zina. Aku ikutan mengacak rambut. Baru sadar, kalau aku betulan sudah berdosa besar.

Kenapa pas kemarin, enggak kepikiran, sih? Ah, iya. Ini gara-gara godaan setan yang terkutuk. Sialan! Eh, Astagfirullahaladzim!

Aku menepuk-nepuk mulut, saat pikiran kotor dan kata-kata umpatan mulai berlompatan riang di kepala. Kemudian, tiba-tiba Hasna menarik kedua tanganku.

"Udah, kan? Nggak ada lagi yang kamu tutupin dari aku, kan?" tanya Hasna betul-betul serius. Maniknya enggak berkedip. Dia menatapku lamat-lamat dari jarak dekat, sampai mataku hampir juling.

Begitu kepala mengangguk kecil, sahabatku yang tersayang langsung menunduk sembari mengembuskan napas panjang. Hasna kelihatan lega banget. Di satu sisi aku merasa terharu dengan kepeduliannya yang sangat besar. Tetapi, di sisi lain aku malah waswas. Kayaknya sekarang bertambah satu orang yang bakal jadi satpam.

"Na, boleh pinjem hape, nggak? Aku belum ngabarin Damar dari kemarin. Mau pinjem hape A Abi, takut diciduk," rayuku yang sekarang sudah mulai manja, sembari bergelayutan. Meski jelas dia enggan, tapi kepalanya bergerak perlahan untuk mengiakan.

Seperti terbebas dari jeratan hukum, aku melompat dari kasur supaya tiba di sofa lebih cepat. Dengan segera, posisi enak pun tercipta. Aku rebahan di sofa dua seater yang terletak di dekat jendela kaca besar. Kamar Hasna ini memang nyaman, besar, dan kesan estetiknya sangat kental. Pernak-pernik serba natural, tali-tali dari daun kering dan pajangan berbahan kayu juga sebuah pot tanaman besar, disusun sedemikian rupa.

Ini alasan yang bikin aku suka betah berlama-lama di rumah Hasna. Di rumah sering sepi. A Abi pergi pagi pulang malam. Kebalikan dari Bi Parti yang datang pagi, pulang setelah selesai menyiapkan makan malam.

Jemari lentikku aktif bergerak tanpa henti. Mengetik pesan untuk Damar lewat aplikasi whatsapp, setelah memasukkan nomor ponselnya ke daftar buku telepon Hasna. Senyum semringah, sepertinya enggak lepas-lepas dari wajahku.

"Happy amat," sindir si gadis yang lagi enggak punya gebetan.

Aku mencebik acuh tak acuh. Pengin cuek, tapi enggak enak. Begitu selesai mengirim pesan yang langsung mendapat tanda centang dua, aku menyimpan ponsel Hasna ke dalam saku celana, lalu menghampiri sahabatku yang sedang sendu.

Dia terus memindahkan siaran televisi. Entah bingung, atau memang enggak niat menonton. Kudaratkan punggung di sebelahnya yang tengah bersandar penuh ke bingkai tempat tidur.

"How's life?"

Aku sampai lupa menanyakan kabarnya, saking sibuk dengan duniaku sendiri. Hasna hanya mengangkat kedua pundak. Raut wajahnya enggak berubah. Masih datar kayak talenan. Kucoba mengalihkan perhatiannya, sembari menunggu Damar membalas pesan.

"Oh, iya. Na, entar A Abi mau minta maaf. Tapi dia enggak bilang, caranya gimana. Kamu siap-siap aja, ya. Kalau A Abi telepon, angkat aja gitu. Jangan di-reject," kataku mengabarkan.

Hasna mengangkat sekilas bahunya. "A Abi udah whatsapp tadi. Pas kamu baru banget sampai. Bilang minta maaf doang, sih. Garing banget isi chat-nya."

"O, iya?" sahutku kaget.

Segera kuambil ponsel Hasna dan membuka aplikasi yang dimaksud. Ternyata nama A Abi ada di barisan agak bawah, makanya enggak kelihatan olehku tadi. Betul apa kata Hasna. Isi chat A Abi, benaran kering banget. Cuma satu kalimat, tanpa embel apa-apa. Hasna juga membalas enggak kalah pendek. Kayaknya sengaja, mau balas dendam. Aku jadi tertawa geli memikirkan mereka berdua.

"Kenapa ketawa?" tanya Hasna galak.

"Lucu aja gitu. Kamu kan, biasanya bawel kalau ngetik chat. Ini balesannya malah pendek amat."

"Ya, lagian. Aa kamu tuh, galaknya minta ampun," keluh Hasna sembari melipat kedua lengannya.

Aku menyandarkan kepala ke pundaknya. "Maaf ya, Na. Aku udah kapok, kok. Nggak akan gitu lagi."

"Iya, iya."

"By the way, aku belum nyiapin kebaya buat wisuda, deh. Kamu udah belum?"

Aku betulan belum menyiapkan kebaya buat wisuda dua hari lagi. Baru aja kepikiran.

"Belum. Aku nungguin kamu pulang. Besok kita cari bareng, ya?"

Hasna mulai antusias. Dia membuka laptop, lalu memperlihatkan foto-foto kebaya yang sudah dia temukan dari internet. Meminta pendapat model mana yang paling oke. Lalu, mengajakku untuk menyewa tukang make up bersama supaya dapat diskon.

Aku terus mengiakan. Idenya selalu cemerlang, dan aku percaya seratus persen sama Hasna. Saat keputusan sudah mencapai kata sepakat, ponsel di saku akhirnya berbunyi. Deringnya panjang, bukan pendek tipikal notifikasi pesan singkat.

Dengan semangat menggebu-gebu, kuangkat panggilan dari orang yang sudah ditunggu-tunggu. Suara berat nan merdu itu, terdengar menyapa begitu lembut. Membangkitkan getaran-getaran kecil di hati yang tengah berbunga.

Damar bertanya pelan. [Lagi ngapain?]

"Lagi di rumah Hasna, sambil mikirin Mas Damar."

Aku terkikik geli, setelah mengucapkan kalimat terakhir. Damar pun terkekeh di seberang sana. Namun, sebuah bantal yang menghantam belakang kepalaku langsung merusak momen cringe yang baru saja dimulai. Aku menoleh cepat, dan bersiap menyemburkan kalimat-kalimat protes. Tetapi, nyanyian lantang Hasna membuatku enggak berkutik.

"Cukuplah saja berteman denganku. Janganlah kau meminta lebih. Ku tak mungkin mencintaimu. Kita berteman saja. Teman tapi mesra."

"HASNA! APAAN, SIH?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro