26 - Pillow Talk
Hari yang sangat ingin aku hindari, akhirnya datang juga. Setelah berbaikan dan mendapat suntikan dana tambahan dari A Abi, hatiku terasa sedikit lebih lega. Namun, bayangan akan berpisah dengan Damar yang masih memberatkan. Entah bagaimana hidupku nanti. Apakah masih bisa berjalan normal?
“Morning ...,” sapanya dengan mata setengah terbuka.
Aku menengadah dan membiarkan embusan napasnya membuai. Bola mata gelapnya enggak terlihat. Dia kembali tertidur sambil mendengkur halus. Raut yang begitu damai, membuat senyum simpul terukir di wajahku yang sedang sekuat tenaga memendam kegelisahan.
I know this is wrong, but I can't help it.
Keinginanku hanya satu. Memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik mungkin. Maka, setelah membereskan barang-barang, kubawa bantal dan menepuk pelan punggung Damar yang baru saja mulai terlelap. Aku masih ingat, betapa kagetnya dia sewaktu mendengar permintaanku. Matanya membelalak, keningnya berlipat banyak. Bahkan mulutnya pun menganga lebar.
Aku sampai harus menjelaskan dua kali, baru dia bisa betul-betul paham. Awalnya Damar mengira kalau aku memintanya untuk tidur bersama, padahal bukan. Yang kuinginkan itu hanya tidur sekasur. Enggak perlu berpelukan kayak di film-film. Aku cuma ingin berada di dekatnya. That's it.
Siapa yang bisa menyangka, Abella bisa berbuat nekat seperti ini. Situasi yang mendukung, membuatku memberanikan diri. Edric sudah pulang kemarin sore. Menyisakan kamar yang hanya terisi oleh kami berdua.
Pada akhirnya Damar setuju. Dia bergeser pelan, lalu berdiri meski agak sempoyongan. Damar mempersilakanku untuk tidur di sisi yang menempel dengan dinding.
Well, situasi canggung enggak bisa terhindari. Tanpa sadar, aku selalu ikut bergerak setiap kali dia bergerak. Ketika Damar memunggungi, aku berbalik jadi menghadapnya. Dengan detak jantung yang sudah enggak terkendali, kupandangi sosoknya diam-diam. Dalam hati aku terus meminta dan berharap. Aku enggak ingin yang lain. Damar sudah lebih dari cukup.
“Mas Damar,” panggilku dengan berbisik.
Setelah sepuluh menit berlalu, dia belum juga bergerak. Masih memelukku yang tengah menatapnya dari bawah. Lubang hidung besar, bibir yang meliuk dan tebal, juga rambut-rambut halus yang mulai memenuhi dagu tirusnya, telah menjadi fokus utamaku sejak tadi.
“Hm,” desahnya sembari menarik napas dalam-dalam.
Damar tampak sedang bersiap-siap untuk menerima kenyataan kalau sekarang sudah pagi. Sinar matahari telah menembus tirai jendela. Belum seterang biasanya, tapi cukup menyilaukan mata.
“Hari Sabtu, aku diwisuda. Mas Damar bisa datang, nggak?”
Lelaki berbau sedikit asam yang ada di pelukan perlahan menunduk, hingga sepasang matanya bertemu dengan kedua mataku.
“Aku usahain, ya. Kalau nggak ada meeting, nanti aku sempetin ke Bandung.”
Jawabannya enggak memuaskan.
“Kamu bete, ya?” timpalnya lagi.
Anggukan kepalaku membuat dia tersenyum, lalu mengusap lembut pipiku yang halus.
“Maaf, ya. Setelah pulang, aku langsung mulai kerja di tempat yang baru. Langsung ada proyek juga. Konser penyanyi solo dari Amerika kalau nggak salah.”
“Wah! Siapa, Mas?”
“Rahasia, dong,” jawabnya sembari menyipitkan mata.
Wajahku kembali tertekuk kecewa. “Mas Damar ini penuh rahasia deh, kayaknya.”
Dia melebarkan kelopak mata. “Masa?”
Aku mengangguk penuh keyakinan, lalu menautkan kedua alis.
“Yang pertama, setiap ada pembahasan yang menyerempet ke arah 'kita', Mas Damar kayak sengaja menggantungkan kalimat di udara. Dan aku, nggak punya pilihan lain selain mengiakan. Itu udah terjadi beberapa kali. Terus, yang terakhir ini.”
Damar kembali mengangkat kepala, hingga pertemuan titik fokus pandang kami berakhir. Dia meneguk ludah. Detak jantungnya pun mendadak semakin cepat. Terdengar dan terasa jelas di telingaku yang menempel di dadanya.
“Mas Damar pasti belum yakin sama semuanya, ya? Aku juga masih merasa ini kayak mimpi. Mulai dari perkenalan kita, momen kebersamaan penuh tawa, sampai sesi salah paham dan berakhir bisa nyaman menunjukkan kekurangan masing-masing. Seperti sekarang,” aku mengakhiri kalimat dengan mendesah cukup lama.
Sekumpulan rasa haru dan bahagia menyatu dalam hati. Menimbulkan percikan-percikan asing yang mengganggu. Tanpa sadar, aku sudah meremas kaus Damar. Berharap bisa membantu meredakan emosi yang memaksa ingin mengambil alih.
“Ini—”
“Aku yakin, kok. I take all of this, seriously, Abella,” Damar berkata sungguh-sungguh.
Tiba-tiba dia mengangkat lengan yang berfungsi sebagai bantalku, lalu berbalik hingga kini kami berbaring sembari menatap mata masing-masing. Kedua telapak tangan kusimpan di antara bantal dan sisi wajah. Kupikir, situasi di antara kami enggak akan seintens ini. Namun, aku salah. Damar memberikan tatapan yang begitu dalam dan lama. Dia seakan ingin menelaahku yang belum juga memberi jawaban.
Aku menggumamkan terima kasih kecil, setelah sukses menetralkan irama jantung. Kini seluruh perhatian gadis berpiyama polkadot warna pink muda sudah teralihkan. Satu-satunya yang ada di pikiranku saat ini adalah: how to kiss a guy who's trying hard to hold himself.
“Mas Damar ... nggak kepikiran mau cium aku?” aku bertanya setenang mungkin, sambil menahan keringat dingin yang mulai keluar dari anak-anak rambut.
Aku sudah enggak peduli sama citra, image atau apalah itu namanya. Namun, bukannya mendekat, kepala Damar malah menjauh begitu mendengar pertanyaanku. Dia kembali tidur terlentang dan melipat kedua tangan di atas perut datarnya. Sementara aku terdiam membeku. Ingin menyesal, tapi sudah kepalang tanggung.
“Aku mandi duluan, ya!” pamit Damar cepat sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.
Targetku kabur. Aku ditinggalkan. Sesi pillow talk pun terpaksa berakhir mengambang. Bisa-bisanya ya, Damar. Padahal aku sudah berbaik hati menawarkan bibir seksiku, eh, malah ditolak mentah-mentah.
Meski agak sakit hati, tapi di sisi lain aku jadi bersyukur. Berarti Damar bukan laki-laki sembarangan. Entah bagaimana caranya, aku harus bisa mendapatkan dia.
Semangat, Abella!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro