
2 - 'Nekat' is My Middle Name
"Ya, ampun! Serius si Cavero selingkuh, Bel?" pekik Hasna-sahabatku yang suka lebay-dengan mata membelalak. Aku yang sudah menangis sejak detik pertama masuk ke dalam kamarnya, hanya bisa mengangguk pelan. Sembari terus mengelap ingus dengan tisu, aku melanjutkan cerita lengkapnya.
"A-aku diputusin. Ditinggalin di konser sendirian. Terus ... saking stresnya, aku pingsan, Na."
Aku terisak lagi. Pundak kurusku naik turun tanpa henti.
"Wah ... minta digeplak itu anak! Samperin aja ke rumahnya, yuk! Di Batununggal juga, kan?" Hasna berdiri, berancang-ancang mau pergi sembari mengangkat lightstick kesayangannya tinggi-tinggi.
"Kamu yakin mau mukul pake itu, Na?" tunjukku ke arah tangan kanannya.
"Innalillahi! Hampir aja tongkat keramat jadi korban." Hasna memeluk mesra benda kesayangannya dengan sepenuh hati, sebelum menaruhnya kembali ke atas nakas.
"Sini, sini. Aku peluk dulu, deh. Biar nggak sedih lagi," ucap gadis berambut pendek dengan manisnya.
Hasna ini kalau lagi waras, memang sweet banget. Tetapi, kalau sudah bahas grup boyband asal Korea Selatan kesukaannya, jangan harap bisa melarikan diri.
Dia membuka lebar-lebar kedua tangan. Memintaku untuk mendekat. Namun, aku malah menolak. Menggelengkan kepala sambil sesenggukan.
"Udah, mandi, belum?" tanyaku susah payah.
Pertanyaanku membuat Hasna menarik napas sambil memejamkan mata. Kayaknya salah banget gitu, mempertanyakan status kebersihannya.
"Astagfirullah, Abella... Penting banget ya, aku udah mandi apa belum?"
"He-eh," anggukku yakin.
Hasna memutar bola matanya sambil mengembuskan napas super panjang. Dengan gerakan malas, dia menarik selimut handuk yang tergeletak di ujung kasur untuk melapisi tubuh bagian depannya.
"Dah, nih. Puas?" tanyanya lagi sambil membentangkan diri.
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku merangsek ke dalam pelukan berlapis kain lembut. Wangi detergen pilihan bundanya Hasna memang enggak pernah gagal. Walau suka gonta-ganti, tapi enak semua.
"Terus, kemarin si Kunyuk bilang apa lagi sama kamu?"
Ucapan Hasna bikin aku ingat sama pertanyaan-pertanyaan yang sejak kemarin terus lalu-lalang di kepala. Aku duduk tegak. Mengelap ingus dan air mata dengan tisu, lalu menatap lurus ke iris mata cokelat gelap di dalam kelopak berukuran sedang miliknya. Wajah Hasna langsung panik melihat ulahku yang berubah mode tiba-tiba.
"Na, tolong jawab sejujur-jujurnya, ya. Nggak usah berdusta, oke?" kataku memulai interogasi.
Hasna menelan ludah. "Kamu kenapa, deh, Bel. Kayaknya parah banget luka hatimu, ya? Apa mau kutemenin ke dokter aja? Siapa tahu ada dokter IGD ganteng di rumah sakit komplek."
Anjuran si gadis yang suka mengaku sebagai istrinya Taehyung ini, membuat aku menepuk jidat.
"Na, aku teh lagi serius pake banget ini. Fokus, atuh ih," bentakku mulai galak.
Hasna malah tertawa kecil sambil menutup mulutnya. Dasar sok imut!
"Aku mau tanya. Menurut kamu, aku itu manja banget nggak, sih? Segimana nggak mandirinya aku? Apa beneran aku selalu harus ditemenin ke mana-mana? Jawab jujur, ya." Aku menyilangkan kedua tangan Hasna di depan dadanya, supaya dia bisa berpikir jernih.
"Haruskah aku bilang Wakanda Forever?"
"HASNA! Cubit, nih!" ancamku dengan mata memelotot. "Aku kasih waktu 1 menit. 1, 2, 3, 4, 5, 60. Dah, selesai. Sekarang jawab."
"Sejak kapan setelah lima langsung enam puluh, Bel? Kamu SD-nya nembak, ya?"
"Udahlah. Jawab aja, susah amat!"
"Oke, fine. Ini tangannya udah, ya? Pegel juga lama-lama." Hasna membenarkan posisi duduknya menjadi bersila, mengambil bantal untuk dipeluk, lalu bersiap menjawab pertanyaanku.
"Jadi ya, Neng. Menurut aku, kamu itu memang tergolong ke kaum-kaum manjah yang kudu diurusin terus."
"Tapi, Na-," potongku berniat membela diri, tapi langsung ditepis dengan telapak tangannya yang mendarat di mukaku.
"Tenang, Beb. Aku belum selesai ngomongnya. Sabar dulu atuh," kata Hasna sok bijak. Aku mengalah. Mencoba duduk diam dengan tangan di pangkuan.
"Dulu kamu nggak begini-begini amat, kok. Apalagi waktu SMA. Kamu inget kan, dulu kita pernah ke Dufan pulang pergi pake kereta api terus pake bus way segala macem? Mengarungi jalanan ibukota yang katanya keras dan berbahaya dengan berbekal hape doang?"
Pertanyaan Hasna membuat ingatanku melayang ke masa lalu. Senyumku merekah, saat menyadari kalau masa-masa SMA-ku memang sangat berwarna dan dipenuhi oleh hal-hal menyenangkan. Mama dan Papa juga masih ada. Hidupku lengkap.
"Kita ngurus urusan kampus juga sendiri lho, waktu itu. Justru, menurut akuh, kamu berubah jadi manja, gara-gara pacaran sama si Kampret Ero!" seru si gadis berbibir seksi-menurutnya, ya. Bukan menurutku. "Aku inget banget. Kamu pernah bilang kalau si Ero janji akan selalu ada dan nggak akan pernah ninggalin. Terus dia bersedia melakukan apa aja demi Abellanya tercinta. Inget, nggak?" kata Hasna lagi. Aku mengangguk saja biar cepat.
"Iya, inget banget. Pas awal-awal pacaran, Cavero pernah bilang gitu. Mungkin karena dibuat nyaman, aku jadi keterusan dan selalu bergantung sama dia kali, ya? Apalagi semenjak Mama sama Papa nggak ada," sambungku lemah.
"Makanya. Kan aku udah bilang dari awal. Si Kampret Ero itu memang sesuatu. Dia itu tipikal ada udang di balik bakwan. Kamu, sih. Jadi cewek polos amat. Mana bucin lagi! Hadeuh ...," lanjut Hasna dengan nada menyebalkan.
Tatapan tajam otomatis terlempar ke arahnya. Namun, Hasna malah memajukan kepala seperti hendak menantang. "Apa, apa? Ada yang salah?" balasnya galak.
Aku mencebik, tapi enggak memperpanjang. Omongan dia memang enggak sepenuhnya salah, sih. Aku mengakui.
Kepalaku kini terkulai lemas, saat berhasil mengingat yang terlewatkan. Bayangan masa lalu muncul ke permukaan. Aku mulai bisa mengurutkan kejadian yang bikin aku berubah.
Berarti, secara enggak langsung Cavero yang sudah bikin aku jadi manja dan enggak mandiri. Terus, setelah dia bosan dan merasa enggak nyaman, dia tinggalkan aku sesukanya. Ada ya, manusia macam dia. Habis manis sepah dibuang. Mana pakai selingkuh, pula!
Emosi yang menanjak tajam membuat mataku jadi terarah lurus ke depan. Membawa lamunan jauh ke awang-awang. Di dalam benak sudah mulai terputar cuplikan adegan demi adegan yang terjadi kemarin malam. Rongga dadaku semakin terasa sesak.
"Si Ero bilang apa aja sama kamu, Bel?" tanya Hasna lembut, membuyarkan lamunan.
Dia meraih telapak tangan yang ternyata sudah terkepal tanpa kusadari.
"Kamu kelihatannya dendam banget. Bukan cuma sedih, karena patah hati. Pasti ada hal lain selain dia selingkuh, kan?" tebaknya tepat sasaran.
Aku menatap mata gadis itu ragu-ragu. Namun, ketika kepala Hasna mengangguk, kuputuskan untuk meluapkannya sekali lagi.
"Kemarin, Cavero bilang. Dia muak sama aku yang manja. Dia muak sama aku yang harus selalu ditemenin ke mana-mana. Dia bilang, aku nggak asik buat dijadiin pacar. Dia juga bilang, kalau pemikiranku kolot gara-gara nggak mau diajak tidur bareng. Terus, dengan entengnya, dia minta aku untuk menerima semuanya gitu aja, Na! Sialan banget kan, itu orang!" hardikku bertubi-tubi.
Amarahku sudah melayang jauh ke langit tertinggi. Rasanya aku hanya ingin memaki, menyumpah, dan mengutuk laki-laki berengsek yang sudah begitu teganya menjerumuskanku selama ini.
"Dasar Cavero anj-"
"Abella! Istighfar!"
Seruannya langsung membuatku menutup mulut. Hasna kelihatan kaget banget melihatku meledak. Matanya terbuka lebar. Berbanding terbalik dengan bibirnya yang menutup rapat.
"Sabar. Tarik napas dalam-dalam," pintanya menginstruksikan. Aku menurut, karena enggak enak hati. "Kita liburan deh, yuk. You really need to take a break from everything, Bel. Jangan sampai amarah dan emosi, merubah kepribadianmu. Aku suka Abella yang polos. Aku suka Abella yang nggak pernah benci sama orang lain. Pertahanin itu. Mama sama papamu pasti nggak suka, anak gadis kesayangannya berubah jadi pendendam begini."
Perkataan Hasna langsung membungkam aku yang semula berniat ingin melontarkan sumpah serapah. Dengan hati teriris, air mataku mengalir lagi. Kali ini kerinduan pada dua orang terpenting di hidupku yang menguasai emosi. Semenjak kehilangan Mama dan Papa, mentalku melemah. Meskipun hanya diberi secuil cinta dan kasih sayang, aku akan membalasnya berkali-kali lipat.
Apa yang kulakukan itu salah? Aku cuma enggak ingin ada yang pergi lagi. Kesepian itu enggak enak.
"Hei...." Hasna menegur pelan. Setelah mengusap wajah yang basah, kepalaku mendongak.
"Mendingan sekarang, kita lupain makhluk tak berakhlak itu, terus pergi ke Bali. Kalau misal kamu males naik pesawat, ke Anyer juga boleh, deh. Kamu suka pantai, kan? Kita bisa nginep di hotel tepi pantai, terus jemuran sambal minum es teh manis. Pasti mantap, Bel. Di saat kayak sekarang, sepertinya lebih baik kamu menjernihkan pikiran dulu. Mumpung wisuda masih dua minggu lagi, gimana?" ujar gadis kesayangan menawarkan jalan keluar.
Tadi malam, aku memang sempat kepikiran untuk pergi ke suatu tempat bersama Hasna, tapi setelah dipikir-pikir kayaknya lebih baik aku pergi sendiri. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan pada dunia, kalau Abella Chiara bukan gadis manja! Aku juga mau bikin Mama dan Papa bangga melihatku dari sana. Sekaligus ingin menebus kesalahan pada diri sendiri.
"Na! I need your help."
***
"Nggak, ya! BIG NO!" tolak Hasna mentah-mentah.
Aku kembali memeluknya dari samping, sembari terus mengedipkan mata genit. Bibir kusunggingkan selebar mungkin sampai membentuk huruf V sempurna. Namun, gadis yang masih bau asam ini bergeming. Hatinya memang enggak mudah goyah. Buktinya dia sudah jadi Army sejak SMA.
"Please, Na. Aku mau balik kayak dulu lagi. Aku pengin buktiin kalau aku itu sebenarnya nggak manja dan bisa mandiri. Bahasa Inggrisku juga lumayan oke, kan? Pasti nggak akan nyasar, kok. Yah, yah?" bujukku untuk kesekian kali.
"Tapi kalau A Abi tahu, gimana? Aku serem, tahu!" bentak Hasna sambal bergidik ngeri.
Ah, iya. Aku hampir lupa kalau kakakku itu galak luar biasa. Membohonginya sama saja cari mati. Tetapi, lebih baik mati setelah mencoba, daripada hidup dengan penyesalan.
Melihat raut wajah Hasna yang perlahan mulai melunak, aku segera meraih kedua tangannya. Kulemparkan tatapan penuh keyakinan. Supaya dia setuju sama usulku barusan.
"Tenang. Aku bakal tanggung jawab dan jelasin semuanya kalau sampai ketahuan kok, Na. Seriusan! Percaya, deh."
Hasna mengembuskan napas panjang. Kepalanya terangkat, membalas tatapan. "Janji sama aku, kamu bakal balik ke Bandung sehat wal afiat ya, Bel. Aku nggak akan bisa maafin diriku sendiri kalau sampai ada apa-apa sama kamu. Rencana kamu ini nekat banget, tapi ya udah. Aku yakin kamu bakal tetap pergi, walaupun aku nggak setuju."
Aku mengangguk heboh tanpa jeda. Hasna memang betulan sahabat. Dia sudah hafal karakter keras kepalaku yang suka tiba-tiba kumat. Senyum akhirnya mulai terulas di wajah yang dipenuhi harapan.
Sekarang tinggal memutar otak bikin sandiwara meyakinkan supaya bisa mengelabuhi A Abi dengan lancar. Terus, memperkirakan biaya yang kubutuhkan untuk jalan-jalan selama delapan hari di luar negeri. Kira-kira negara mana yang bakal kupilih, ya?
Ponsel yang sebelumnya enggak diacuhkan, akhirnya menjadi fokus utama. Aku membuka aplikasi pembelian tiket pesawat, lalu memeriksa tempat objek wisata di tiap negara tetangga. Sebenarnya Singapura paling nyaman, sih. Aku juga sudah pernah ke sana. Jadi, seharusnya akan aman sejahtera liburanku nanti.
Tetapi kok, kayak kurang menantang, ya? Tujuan berlibur kali ini kan, untuk menantang diri sendiri. Hm, jadi bingung.
"Na! I need your help!"
"Naon deui?" balasnya cepat.
Kusodorkan ponsel ke dekatnya. Hasna yang tengah memilah baju dari lemari, terpaksa menunda kegiatan supaya bisa melihat yang ingin kutunjukkan.
"Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam sama Bangkok? Hm. Aku disuruh milih?" Eh, si Manis malah balik tanya.
"Iya. Cepetan! Aku bingung milih tujuan," kataku mulai gusar. Hasna mencebik, memicingkan mata, baru memberikan jawaban.
"Singapura aja."
"Ah, nggak menantang."
"Malaysia. Banyak makanan halal. Jadi nggak pusing cari makannya."
"Lebih kurang menantang. Bahasanya mirip-mirip sama bahasa kita."
"Brunei? Siapa tahu ketemu Pangeran Mateen. Doi ganteng banget kan, tuh." Hasna tiba-tiba semangat.
"Aku nggak minat jadi putri, Na. Nanti kalau jadi susah pulang ke Bandung, gimana? Kamu pasti kesepian itu," kataku asal. Ucapan dari mulutku barusan, bikin mata Hasna mendidih. Dia menarik napas. Bersiap menyemburkan kekesalan.
"ABELLA ...!"
***
Sajian makan malam sudah terhidang sejak lima menit yang lalu. Aku masih duduk termangu, sambil melihat penampakan di hadapan. Abinaya Gunandra. Umur dua puluh delapan tahun. Wajah lumayan tampan mirip sama Mas Song Kang, tapi versi dewasa. Kalau hanya melihat sekilas, pasti pada mengira makhluk ini menarik, padahal mah amit-amit.
Kata-kata dia itu suka nyelekit, menancap langsung ke hati. Senyumnya juga mahal maksimal. Malah aku pernah ada di fase yang menganggap kalau senyuman A Abi ini adalah anugerah. Ya, dulu. Sebelum keganasannya keluar, dua tahun lalu.
Keadaan memaksa lelaki berpunggung bidang ini, mengubur jauh-jauh passion bermusiknya dan bekerja di balik meja menjadi pemilik perusahaan ekspor impor peninggalan Papa. Awalnya dia menolak keras. Namun, berhubung ada aku yang masih belum bisa menghasilkan uang sendiri, jadi mau enggak mau dia menerima dengan berat hati. Bisa dibilang aku benci, tapi sayang. Rumitlah, pokoknya.
"Makan. Jangan melamun aja. Nggak guna banget," tegur si lelaki beriris cokelat gosong dengan bibir sedikit mengerucut.
Benar, kan? Baru sepuluh menit kita duduk berdua di meja makan, aku sudah kena omel. Hasna saja sampai malas main ke rumah kalau ada dia. Pada akhirnya kegiatan makan malam berlangsung tenang. Hanya suara televisi yang meramaikan. Aku memang jarang mengobrol sama A Abi. Palingan pas meminta ditransfer uang bulanan doang.
"A, Abel mau ngomong sesuatu," kataku membuka pembicaraan.
Pergerakan lelaki berkaus biru gelap di hadapan langsung terhenti. Dia meletakkan sendok dan garpunya, kemudian mengangkat kepala untuk menatapku. Kedua tangan otomatis berpindah tempat ke atas pangkuan.
"Mau ngomong apa?" tagihnya datar.
Aku menelan ludah, sementara di kepala sedang terjadi proses merangkai kata besar-besaran.
"Hm ... kalau aku mau liburan ke Bali, boleh? Sama Hasna. Sekitar 7 sampai 8 hari. Sambil nunggu hari wisuda, A," kataku hati-hati.
Raut wajah A Abi enggak berubah sama sekali. Masih datar kayak bokongku. Butuh waktu beberapa detik, sampai dia menelengkan kepala. Menyelidiki adiknya dengan kening berlipat.
"Nginep di hotel apa?"
"Double-Six Seminyak."
Alis tebal milik kakak laki-lakiku terangkat tinggi begitu mendengar nama hotel yang kupilih. Buru-buru aku ralat, karena kurang memberikan keterangan.
"Bayarnya patungan sama Hasna. Jadi seharusnya masih di bawah satu juta per malam."
Kepalanya mulai mengangguk. Tanda sebentar lagi setuju.
"Nanti bakal ganti ke hotel yang lebih murah kok, A. Hotel di Bali kan betebaran, tuh. Tenang aja," imbuhku cepat, masih berusaha mempertahankan ekspresi meyakinkan.
Terkadang aku merasa kayak lagi menawarkan barang dagangan deh, kalau lagi mengajukan proposal sama si Aa.
"Oke. Nanti uangnya ditransfer."
YES!
"Jaga diri. Jangan aneh-aneh. Ingat! No alcohol. No sex. Kalau kamu berulah lagi, bukan uang bulanan aja yang dipotong, tapi kebebasanmu juga," ucapnya serius, enggak bercanda sama sekali.
Jantungku melemah seketika. Baru saja bersorak bahagia, langsung dibuat waswas. Enggak usah diperingatkan juga aku enggak akan mabuk-mabukan atau tidur sembarangan, kok. Cavero saja aku tolak, apalagi orang asing? Abella ini berakhlak cukup tinggi. Bukan anak sembarangan. Paling jauh aku ciuman doang. Ya, walaupun itu juga dosa, sih. Sudahlah. Sekarang saatnya mengecek hotel instagramable yang akan aku tempati nanti.
Bangkok, I'm coming!
Penasaran bakal gimana liburan Abella di Bangkok? Tunggu kelanjutannya, yaa!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro