
17 - Cemburu itu Melelahkan
Aku cuma bisa tertawa kering, sewaktu proses kenalannya berlangsung. Perempuan bernama Serafina itu terus tersenyum saat mengobrol. Gestur tubuhnya berbeda. Aku enggak buta, ya. Nenek-nenek juga bisa tahu kalau ada apa-apa di antara mereka.
"Sera teman kuliahku dulu. Dia lagi liburan ke Thailand sama keluarganya. Siang ini dia pulang, tapi maksa pengen mampir ke hostel sebelum ke bandara," jelas Damar lancar. Enggak ada jeda sama sekali. Sudah latihan mungkin.
"Iya. Ada yang mau aku lihat soalnya," sambar Serafina sambil menyenggol siku Damar. Mereka tatap-tatapan aneh. Damar kayak takut tepergok. Sementara perempuan sok manis itu kayak enggak sabar ingin mengumbar.
Kedua tanganku tahu-tahu sudah terlipat di depan dada. Kaki kanan maju sedikit, sehingga kaki kiri menumpu lebih banyak bobot tubuh. Kepalaku terus mengangguk. Jangan lupa sama bibir polos tanpa pewarna yang terus terpaksa menyunggingkan senyum meski setengah hati. Malah, enggak ikhlas sama sekali.
"Kamu udah sarapan?"
Ya, sudahlah! Sekarang sudah mau jam sebelas, kali!
"Udah, Mas. Aku pamit dulu kalau begitu. Mau mandi."
Namun, niatku untuk kabur malah ditahan oleh Damar yang berusaha mencegah. Dia menarik bagian atas lenganku, supaya enggak pergi lebih jauh.
"Sebentar lagi aku mau antar Sera ke bandara. Kamu ada rencana pergi setelah makan siang?" Lelaki berkaus hitam polos bertanya sembari menatapku lekat.
Sementara Sera mulai asyik mengajak Cornor mengobrol. Wajahnya memang acuh, tapi aku tahu jelas kalau dia sedang berusaha menguping pembicaraanku dan Damar.
Ternyata lelaki itu memang rata-rata sama semua, ya. Cornor yang pendiam dan sempat cuek bebek sama aku selama sarapan, bisa langsung akrab sama Sera. Padahal, mereka baru ketemu, lho! Tahu saja mana yang padat! Sialan!
"Belum tahu. Mungkin nanti mau jalan-jalan," aku menjawab tanpa membalas tatapannya. Sudah pengin menghilang dari tempat kejadian perkara. Kalau sampai keceplosan kan, gawat. Nanti pada tahu pula kalau aku lagi keki.
"Ya, udah. Nanti aku tunggu di sini. Have a nice day, Abella," ucapnya lembut seperti biasa.
Gejolak emosi jiwaku enggak kunjung mereda, bahkan setelah mendengar suara itu. Setelah berdeham pendek tanpa niat, aku melipir kabur ke dalam kamar. Dua penampakan manusia yang masih tidur nyenyak menyapaku.
Damai banget ya, Bu Maria dan Pak Edric ini. Tenang. Kesunyian ini enggak akan bertahan lama. Abella Chiara lagi butuh melampiaskan amarah yang bergelora.
Langkah kaki berukuran tiga puluh sembilan, kuhentak keras-keras sampai membuat lantai bergoyang. Maria mulai gelisah, tetapi Edric masih mendengkur nikmat. Sengaja aku banting sebelah sisi koper yang enggak punya salah saat mengambil baju ganti dan alat mandi. Namun, dua manusia itu masih terlelap. Aku jadi terduduk bengong di tepian kasur.
Sebenarnya mauku itu apa, sih? Sudah tahu kemungkinan bakal sakit hatinya jauh lebih besar, tapi yang kulakukan malah terus maju dan juga terus penasaran sampai melemahkan pertahanan. Sekarang baru tahu rasa, kan? Kena batu juga akhirnya.
Begitu pintu kamar mandi tertutup, aku sudah enggak menahan diri lagi. Kubiarkan nurani yang terluka mengambil alih. Meluapkan kesedihan, akibat harapan yang berantakan. Kata-kata umpatan sudah mengalir lancar di kepala. Aku enggak peduli meski hewan-hewan di kebun binatang ikutan menjadi korban. Untuk kali ini saja. Biarkan Abella berbuat sesukanya.
Suara tangis yang mati-matian aku tahan agar enggak membangunkan kedua penghuni kamar, akhirnya lolos dari mulutku. Anehnya, baru beberapa menit terduduk di kloset sembari terisak, salah satunya sudah terbangun. Padahal sebelum masuk kamar mandi, aku berisik banget, lho.
"Abella? Are you okay?" tanya Maria seraya mengetuk pintu beberapa kali.
Bukaan keran air wastafel kututup sedikit. Napas kutarik cepat, kemudian berdeham sebelum menjawab. "I'm okay, Maria. Still taking a bath," jawabku dengan suara yang dibuat ceria.
Maria enggak mengatakan apa-apa lagi. Lalu, bisa kudengar suara langkah kaki yang menjauh diikuti dengan obrolan singkat mereka berdua. Ternyata Edric juga sudah bangun. Mereka bergantian ke kamar mandi sebelah, lalu pintu kamar dibuka dan tertutup segera.
Setelah merasa aman, upayaku meredakan kesedihan pun berlanjut. Entah berapa lama. Sebab, ketika keluar dari kamar mandi dengan mata sembab, Damar sudah ada di sini. Dia duduk di kasurnya.
Kepala yang semula menunduk, langsung terangkat begitu aku muncul. Enggak ada siapa-siapa di ruangan dingin ini. Hanya dua orang manusia yang tengah bertukar tatapan penuh arti dalam keheningan. Saling menebak pikiran, yang sulit diungkapkan.
***
"Come on, Abella. Please ... come with us," paksa Maria lagi. Dia terus mengguncang-guncangkan tubuhku yang masih bergelung dalam selimut tebal.
Setelah tadi ketahuan habis menangis, aku langsung berjalan cepat ke tempat tidur lalu pura-pura kelelahan terus menutup mata rapat-rapat. Penutup tubuh kuangkat hingga menutup kepala. Sementara Damar enggak berusaha membujuk atau bagaimana. Dia keluar lagi dari kamar, enggak lama setelah dengkuran halus yang dibuat-buat mulai mengalun cukup merdu.
Kepergiannya tergantikan oleh wanita yang tengah memaksaku ikut pergi. Katanya dua hari lagi dia harus pulang. Kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama tinggal sebentar lagi. Suara melengkingnya sukses membuat telingaku kepanasan. Akhirnya, aku mengalah. Membalikkan tubuh yang tadinya memunggungi.
"Okay, okay. How much is it?" tanyaku malas. Maria sempat menatapku bingung sambil berpikir. "Admission ticket, Maria," kataku memperjelas.
"Ah ...." Kepalanya terangkat, lalu berpaling ke arah lelaki yang sudah tampil rapi. Edric memakai topi koboi yang terbuat dari anyaman, lalu memadukannya dengan kaus bergambar pohon kelapa yang biasanya dijual di tepi pantai.
"Edric, how much is the entrance ticket?" tanya Maria, agak berteriak. Padahal jarak kami dari Edric itu enggak sampai empat meter.
"Around seven hundred and ninety baht, I think," katanya sedikit ragu.
Ketika Edric selesai mengatakan harga tiket, kepalaku langsung sibuk menghitung. Uang di koper sisa dua ribu baht. Aku masih harus makan sampai hari Selasa depan. Berarti, enam hari lagi. Belum, kalau mau beli tas atau sedikit oleh-oleh. Belum lagi tiket bus buat ke bandara entar.
Wah, riskan banget kalau aku nekat ikut pergi. Aku enggak mau sampai harus puasa menahan lapar di sini. Bangkok itu hareudang maksimal. Baru jalan beberapa langkah saja, rasa dahaga langsung menyerang.
"Maria, I'm sorry. I can't go with you. Remember that I lost my wallet, right? It's to pricey for me," kataku jujur. Aku memang sempat sekilas bilang kalau bukan hanya pasporku saja yang hilang, tetap kayaknya kakakku ini lupa.
"Oh, I'm sorry. I forgot about it."
"It's okay. Just go, Maria. I'm fine being alone."
"Do you want to borrow my money?" tawarnya sungguh-sungguh. Aku sempat tergoda beberapa detik, tapi buru-buru menggelengkan kepala.
Ide meminjam uang pada Maria, memang sudah beberapa kali muncul di kepala. Namun, begitu ingat kalau nilai tukar Korean Won itu hampir mirip kayak Dollar Amerika, langsung kukubur dalam-dalam ide yang sebetulnya cemerlang. Satu-satunya kandidat buat dipinjami uang, tinggal Damar doang. Namun, dia malah begitu.
"No, it's okay. Thank you so much, Maria. I will be fine," tolakku sekali lagi.
Dua kali aku menolak ajakan wanita baik hati ini. Meski sungguh enggak enak, tapi mau bagaimana lagi.
"Aku yang bayarin. Gimana?"
Tahu-tahu Damar sudah berdiri di ambang pintu. Bersandar dengan sebelah lengan menumpu ke bingkai kayu berwarna putih bersih. Alisnya terangkat. Meminta jawaban.
"Nggak mau!"
"Kamu lagi marah? Memangnya aku ada salah apa?" dia bertanya dengan wajah kebingungan.
Dasar laki-laki enggak peka! Tahan Abella. Tahan emosimu.
Kutarik napas panjang, lalu kuembuskan perlahan. Minatku mulai hilang sama dia. Keburu ilfeel.
"Aku nggak marah kok, Mas. Biasa aja."
"Ya, udah. Kalau nggak marah, kenapa menolak? Ikut aja, yuk!"
Raut semringah menghiasi wajah lelaki bertubuh tegap. Damar ini sebetulnya enggak tampan, tetapi menarik. Sorot mata dalam, alis tebal, hidung mancung, juga suara rendahnya yang bikin. Ah, sadar Abella! Kalau dijabarkan, malah panjang nantinya.
Kepala Maria, Edric dan tentunya Damar yang menyebalkan dan suka memberikan harapan palsu pada hatiku yang rapuh ini, masih tertuju padaku. Mereka menunggu kabar baik. Menunggu persetujuan. Sepertinya sudah enggak ada pilihan. Semakin menolak, semakin ketahuan kalau aku cemburu sama perempuan yang kata Damar cuma teman itu.
"Oke, fine. I'm coming with you."
"Yeay! Let's go, Guys!" Maria berteriak kegirangan.
Dia mengangkat kedua tanganku naik turun. Kadang aku bingung sama wanita mungil penuh semangat ini. Kayaknya umur kita tertukar, deh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro