Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 - Summer Fling?

Damar Pradipa mengulum senyum sampai membuatnya kesusahan bernapas. Sementara Maria Kim sudah enggak menahan diri. Pundak mungilnya bergerak naik turun tanpa henti. Menertawakanku dengan begitu enaknya. Bahkan, dia sempat menangis. Sedangkan, ketiga orang lainnya berusaha enggak menghiraukan kejadian bodoh yang baru saja terjadi.

Hobi mempermalukan diri sendiri, tampaknya sudah mendarah daging hingga sanubari. Dua hari berturut-turut, mulut seksi ini keceplosan. Rasanya ingin putar balik, terus pulang ke hostel, tapi sudah tanggung. Takut kesasar. Nanti malah double pula ongkosnya.

"Come on. Focus, Abella," tegur Maria sambil mencubit pinggangku.

Aku meringis. Sisa-sisa kebahagiaan di atas penderitaan orang, masih membekas di wajah berkeringat milik Maria.

"Oops. Maaf, kakakku yang imut tapi bawel."

Sengaja kujawab pakai bahasa Indonesia, biar dia enggak paham. Meskipun bentukan mukaku sekarang enggak bisa berbohong. Kening tertutup poni rata itu berlipat. Dia merengut. Enggak suka dengan jawaban bernada menyindir dariku. Ekspresi wajah milik wanita yang berusia sepuluh tahun lebih tua ini dariku ini berubah masam. Tetapi, dia masih saja kelihatan imut.

Aku heran. Kok bisa, mantan suami Maria selingkuh dari wanita yang begitu menggemaskan ini? Buatku, dia enggak ada minusnya. Paling mulut bawelnya saja, sih.

Oh ... Apa mungkin karena terlalu cerewet? Wah, aku harus menjaga lisan mulai sekarang.

Kututup mulut rapat-rapat sebagai langkah awal pencegahan. Melihat Maria mempercepat langkah untuk menyusul yang lain, aku jadi termotivasi untuk melakukan hal yang sama. Namun, niatku dihalau oleh lelaki yang sedari tadi berjaga di belakang. Damar sudah berlagak kayak bodyguard. Kurang jas sama kacamata hitam saja.

"Nggak usah buru-buru. Nanti jatuh," tegurnya dengan wajah datar.

Damar sengaja banget bilang begitu. Tahu saja aku anaknya ceroboh. Akhirnya kakiku melambat. Sesuai dengan permintaan dari lelaki yang dua hari ini terus memenuhi isi kepala.

Sebenarnya aku heran sama diriku sendiri. Damar itu bukan siapa-siapa, tetapi kenapa setiap tingkah laku dan perkataannya terus masuk ke dalam radarku, ya?

Masa aku mulai suka, sih? Secepat itu?

Apa jangan-jangan ini cuma perasaan sementara selama aku di Bangkok? Ada kan tuh, ungkapan Summer Fling. Semacam hubungan romantis jangka pendek yang berakhir saat masing-masing orang kembali ke daerah asal. Meskipun kita sama-sama dari Indonesia, tapi tetap saja. Kemungkinan besar, setelah pulang yang ada aku malah makin menderita. Bukan itu yang aku cari dari perjalanan ini. Aku pengin pulang dan jadi Abella versi terbaik.

Membicarakan pulang, aku jadi teringat sama kasus kurangnya uang. Aku harus cari pinjaman ke mana, ya?

"Eh."

"Tuh, kan!" omel Damar sembari menarik lengan bajuku.

Kebiasaan bermonolog dalam hati, akhirnya berhasil juga membuat kaki tersandung. Trotoar panjang yang kami lewati memang enggak mulus. Ditambah dengan banyaknya pedagang di emperan yang menyita tempat. Beberapa kali aku sampai harus turun dari trotoar terus jalan di aspal. Kesal, kan? Seharusnya trotoar itu buat pejalan kaki. Bukan buat jualan.

"Sakit nggak kakinya?" tanya Damar yang kini berjalan di sebelah.

Diamatinya kaki kiriku yang baru aja terperosok ke dalam lubang. Aku jadi ikut memandang ke arah bawah. Menggerakkan telapak kaki dengan memutarnya satu kali. Nyeri sedikit, tapi enggak mengganggu. Syukurlah.

"Nggak sakit, kok. Tenang. Abella itu gini-gini, strong tahu," jawabku penuh rasa percaya diri.

"Saking strong-nya sampai nangis berkali-kali, ya?"

Wah, ini orang mengajak berantem.

Aku menarik napas, menoleh ke arahnya, lalu bersiap menjawab. "Mas Damar yang nggak tersayang. Menangis itu nggak selalu menandakan kalau orang itu lemah. Sebagai manusia yang punya hati dan pikiran, wajar banget buat sesekali menangis. Biar lega dan sedikit mengurangi beban hidup. Yang terpenting, bagaimana cara kita menyikapi permasalahan setelah menangis itu. Kalau cuma nangis doang tapi nggak ada aksi, mungkin bisa dibilang lemah. Tapi, aku nggak begitu. Mas Damar nggak tahu aja, apa yang menimpa hidupku sebelum kita ketemu."

Jadi panjang kan, kalimatku. Bikin haus saja. Mana enggak bekal minum lagi.

"Ya, kamu benar. Honestly, sebenarnya aku kagum sama kamu. Kamu yang kulihat waktu baru bangun dari pingsan, sama kamu yang aku temui dua hari lalu, beda banget. You've done well, Abella."

"Well, thank's."

Bertepatan dengan berakhirnya pujian, seulas senyum manis dan cerah tersungging di wajah yang mulai berpeluh. Kata-kata yang menyanjung memang jarang banget gagal membangkitkan rasa bahagia. Hatiku menghangat. Rasanya, tenang.

"Kamu cantik, kalau lagi senyum." Damar berkata sembari menoleh ke arahku. "Jangan terlalu sering menangis. Itu ... jadi bikin aku makin ingin melindungi kamu."

Dan, duniaku berhenti seketika.

Aku tercengang. Enggak menyangka kalau akan mendengar kalimat itu dari laki-laki yang tengah berjalan dengan begitu tenangnya.

"Abella! Damar! Come here!"

Maria yang periang mulai berkicau dengan lantang. Dia melambaikan tangan ke arahku dan Damar yang jauh tertinggal. Langkah cepat pun tercipta dari dua pasang kaki yang mendadak kompak. Menghampiri teman-teman lain, yang sedang sibuk mengipasi area wajah di depan pintu gerbang masuk area The Grand Palace yang menjulang tinggi. Saking dibuat terbang melayang ke atas awan, aku sampai enggak merasakan hawa panas yang menyengat. Padahal, orang-orang di sekitarku sudah penuh keringat. Matahari di Bangkok ini memang enggak punya malu. Dia suka banget menampakkan diri.

"I'm so sorry," kataku enggak enak hati.

Maria dan yang lain melirik kami secara bergantian. Menaruh rasa curiga atas keterlambatanku dan Damar. Baiklah. Tampaknya, sekali lagi aku bakal jadi bahan pergunjingan. Tetapi, sekarang naik level. Kali ini yang menggunjingkanku para turis dari tiga negara.

Wah, aku go international!

"Guys, please prepare your money to buy admission ticket. It's five hundred baht," titah Mike memberi instruksi.

Semua orang langsung sibuk mengambil uang dari dompet masing-masing. Sementara, aku terdiam. Tangan bergerak perlahan ke saku kanan. Menepuk pelan isinya yang enggak seberapa. Bahkan jumlah uang yang kubawa sekarang, enggak sampai setengah harga tiket masuk The Grand Palace.

Kenapa mahal banget, sih?

"Hm ... Guys!" aku sedikit berteriak, meminta perhatian. Ketika seluruh mata terpusat padaku, baru kubuka mulut yang mendadak terasa pahit. "I'm not going inside," kataku pendek.

Mata Maria melebar. Bibir bulatnya siap melontarkan pertanyaan-pertanyaan. Edric, Cornor dan Mike juga kaget. Mereka menatapku keheranan. Mata ini jadi mengerling. Hingga berhasil menangkap sebuah papan pemberitahuan yang sangat membantu.

"My passport is lost. So, I can't enter without it," aku menjawab, sembari menunjuk ke arah informasi yang terpampang nyata di belakang mereka. Ketika berhasil memahami apa maksudku, Maria dan yang lain tampak sedih. Buru-buru kulambaikan tangan, agar mereka tahu kalau aku baik-baik saja.

"It's okay. I'll wait around here. Don't worry."

Maria mendekat. Dia memegang lenganku, lalu berkata. "Don't go too far, okay?"

Aku mengiakan dengan sebuah anggukan pasti. "Okay, Maria." Kutatap mata sipitnya dalam-dalam, lalu beralih ke tiga orang lelaki lainnya. "Enjoy the Palace, Guys."

"I'm not going either. I'll take care of her," ucap lelaki yang sejak tadi berdiri di belakang. Kepalaku berputar arah secara perlahan. Melemparkan pertanyaan lewat kedipan mata.

"Thank's God! Thank you, Damar," sambut Maria riang. Dia mendorongku supaya mundur dan berdiri sejajar dengan orang yang selalu membuat jantungku bertalu-talu.

Mike maju ke arah kami. "After this, we're going to Wat Pho. So, maybe you can take a walk around there. Edric, do you have Damar's phone number?" tanyanya pada Edric yang berdiri di dekat Maria.

Kepala Edric mengangguk cepat. "Edric will call you later, okay?" ucap Mike memastikan. Damar mengangguk, begitu juga denganku.

Selepas kepergian yang lain, aku dan Damar masih diam di tempat. Cahaya terik dan penampakan bangunan berbentuk unik yang berlapis emas juga enggak membuatku terkagum-kagum. Semua yang berada di sekitar, sama sekali enggak mengganggu jalannya momen penuh kecanggungan ini.

"Hm, kita jalan sekarang, atau kamu masih mau berjemur sampai mateng?"

Aku mengerjap sekilas. "Apa sih, Mas. Ya, udah, ayo. Tapi, ke arah mana, ya?" Kepalaku celingak-celinguk mencari petunjuk.

"Ke sini," ajaknya seraya menarik lenganku yang terbungkus kardigan tipis.

Perlakuan sederhananya berhasil membuatku kaget. Degup jantung ini pun semakin enggak keruan. Padahal Damar hanya memegang lengan, bukan telapak tanganku. Namun, mengapa efeknya sampai begini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro