Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

RETRET

CAHAYA.

Samar-samar, dia melihat seberkas cahaya yang perlahan menyusup ke matanya. Sedikit mengerjap hingga kesadarannya utuh. Tadi, jiwanya bagaikan melayang dan terbang entah ke mana. Menjelajahi setiap sudut kota atau bahkan penjuru langit—tidak yakin seperti apa. Tidak yakin rasanya. Tetapi ... dia tahu dia nyaris mati. Sebelum napas dan artikulasinya kembali. Sebelum pandangannya yang buram bisa menjadi tajam seperti seorang silinder memakai kacamata. Seperti hati yang diliputi hitam pekat kini dibasuh dengan air paling suci sehingga bersih.

Dia memandang ruangan putih tak bercela itu dengan segala gorden senada yang mengelilingi ranjangnya. Mengintip dari celah, ia juga tahu ada ranjang-ranjang yang sama putihnya berjajar rapi untuk setiap bilik. Orang-orang pasti juga terbaring di atasnya. Ada yang hanya tidur, ada yang dikenakan selang, ada yang butuh oksigen tambahan. Alih-alih, dia menemukan seseorang yang dikenal sehingga ingatan itu kembali berputar.

Ketika air bah menghanyutkannya dan orang-orang lain, menggulung mereka dalam ombak dahsyat yang sulit dimengerti. Air itu tergenang tinggi di daerah Bustan Kovo meskipun tidak sampai memasuki kota karena tembok pelindung yang segera aktif. Setelah Rich Citadel diperbaiki untuk sementara, air perlahan-lahan surut. Namun, surut juga nyawa orang-orang yang tenggelam—dan bukan hanya karena tenggelam melainkan ledakan dahsyat yang terjadi di titik terdekat itu.

Siapa yang menyebabkan ledakan?

Kepala anak perempuan itu langsung berdenyut setiap kali mengingatnya.

"Kau sudah bangun," kata seseorang.

Annadher belum bisa menolehkan kepala dengan mulus, ada sedikit rasa nyeri di sana. Dia hanya melirik seorang anak laki-laki yang terbaring di bilik sebelah, terlihat dari celah gordennya yang tersibak sedikit. Kepala anak laki-laki itu ditutup oleh suatu bahan berwarna putih termasuk mata kirinya.

"Hanzhal?" Suara Annadher serak.

"Ya, bagaimana keadaanmu?"

"Cukup ... membingungkan. Apa kau tahu rasanya antara hidup dan mati?"

"Ya, aku merasakannya juga."

Setelah itu mereka hanya terdiam, tenggelam dalam alam pikiran sendiri sambil memandangi langit-langit ruangan. Ada begitu banyak yang terjadi dalam waktu singkat dan mereka tak mampu merekamnya dengan kilat seperti kecerdasan buatan. Aneh. Bagaimana mungkin sesuatu yang diciptakan bertindak lebih ketimbang yang menciptakan? Dunia sudah sangat tidak wajar. Tidak ada lagi.

"Apakah dia selamat?"

Annadher tak yakin siapa yang Hanzhal maksud, namun dia menerka-nerka. "Kupikir iya. Kendaraan itu aman."

"Syukurlah."

Mereka kembali bergeming. Hanya terdengar suara batuk-batuk seseorang dari kasur lain yang agak jauh. Ada apa pula mereka semua berada di satu ruangan besar dengan sekat-sekat gorden? Mengapa tidak ada ruangan pribadi untuk setiap orang? Apakah tempat ini begitu kekurangan dana? Annadher jadi agak sebal untuk pertama kalinya setelah kebiasaan dia itu hilang. Tak lama. Hilang beberapa saat saja ketika tragedi tempo hari sangat mengejutkannya.

"Bagaimana dengan dia?" Kali ini Annadher yang bertanya.

Hanzhal berpikir sejenak dan sama sepertinya juga menerka-nerka. "Andaikan kau pernah mendengar bahwa orang baik akan pergi lebih dulu. Kau akan tahu bahwa itu benar."

"Aku turut berduka."

"Aku juga seharusnya mengatakan itu."

"Aneh. Tetap saja ada orang yang tidak lebih baik, namun lebih dahulu pergi."

Memang benar apa pun bisa terjadi. Tak ada yang mutlak di dunia ini dan semua orang sepatutnya tahu itu. Tidak ada suatu hal apa yang diciptakan manusia bertahan sampai abadi—kecuali jika Tuhan menghendakinya. Annadher tak bisa menolak. Hanzhal pun begitu. Pada usia yang sangat muda ini mereka mulai paham tentang cara kerja hidup.

"Kalau itu namanya memang takdir," gumam Hanzhal.

"Baik atau buruk?"

"Apa aku tampak seperti bisa membaca pikiran Tuhan?"

Annadher kembali merenung.

"Menurutmu ... ada apa di luar sana?"

[]

Penduduk Terra Firma tidak ada yang tahu bahwa semalam mereka nyaris ditenggelamkan air bah ganas, dan tembok pelindung mereka yang agung itu jebol. Sungguh sesuatu yang di luar nalar orang-orang itu. Mereka hanya sibuk dalam pesta dan euforia perayaan sementara para pegawai madya sibuk menyelamatkan. Mulai dari mengaktifkan tembok setiap bagian dalam kota, merekonstruksi bagian Rich Citadel yang rusak, sampai mengevakuasi para korban.

Mereka tak tahu dan tak juga amat peduli. Mereka hanya tahu bersenang-senang, tidur dan bangun untuk sarapan. Seperti bayi. Bayi-bayi dewasa yang bergerak di jalan raya dan perkantoran.

Mereka pun tak tahu ada pejabat yang hilang—tewas mengenaskan. Salah satu ketua Reserse paling fenomenal itu meninggal dunia. Harta kekayaan di Palais Eugul seharusnya jatuh kepada keluarganya, namun istrinya masih dikurung dalam ruang tahanan sementara putrinya tak berdaya di rumah sakit. Dalam masa penuh kekosongan itu, para asisten rumah tangga meninggalkan Palais Eugul tanpa keamanan. Mereka bebas sekaligus kehilangan pekerjaan mudah dengan gaji tinggi. Yah, tak apalah, pikir mereka. Ada banyak cara menjadi kaya di Terra Firma meskipun tak selalu baik.

Pada hari yang sama dengan tragedi itu, Yin sedang melacak orang-orang yang terhubung dengan Roumeli seperti pesan gadis itu: meminta Yin untuk menjaga mereka selama ia pergi. Pertama-tama, Yin mendatangi rumah Roumeli yang tampak sunyi senyap. Dia menekan bel sampai beberapa kali.

"Siapa?" tanya seseorang dari jaring suara.

"Aku Jiao Yin, teman Roumeli."

Pagar besar itu terbuka. Seorang wanita muda yang kira-kira sepantaran dengan Yin datang menyambutnya. Anak laki-laki kecil menyusul di belakang dengan penuh semangat. Dia berharap melihat Roumeli, tetapi yang ditemukannya juga sama-sama mengejutkan.

"Yin!?"

Alessa mendelik. Lagi-lagi Joseph mengenal seseorang. Itu menjadi semakin aneh. "Kalian sudah saling kenal?" tanyanya seperti deja vu beberapa waktu lalu.

"Ya!" sahut Joseph. "Yin ada Dibistan."

"Oh." Alessa mengangguk. Memang benar saudara laki-lakinya itu punya teman—yang ternyata orang dewasa semua. Alessa tak ingin ambil pusing lagi dengan segala keanehan yang menimpa dia. "Ayo masuk."

"Apa kau kerabat Roumeli?" tanya Yin saat duduk di ruang tamu. Joseph sedang kembali ke dalam untuk mencari Nine.

"Bukan, aku tetangganya. Omong-omong, sudah lama aku tak melihatnya. Dia sungguh telah pergi? Dia pernah mengabariku suatu kali."

"Kurasa begitu. Kulihat tembok yang mengitari TF-Institute naik tertutup kemarin—dan itu bukan hal biasa. Mungkin telah terjadi sesuatu."

Alessa mengangguk saja. "Jadi, ada perlu apa?"

"Aku ingin menjumpai Nine. Apakah dia bisa?"

"Tak terlalu yakin. Nine lebih sering mendekam di kamar belakangan ini. Terkadang aku sampai takut kalau menerobos masuk dan menemukannya tak bernyawa. Tapi, untunglah sesekali ia terbatuk—walaupun sering ditahan-tahan. Aku masih bisa masuk untuk membawakan air."

"Dia pasti mengkhawatirkan Roumeli."

"Kita semua khawatir padanya dan tentu saja pamannya. Apakah mereka bersama orang lain?"

"Barangkali?" Yin mengedikkan bahu. "Kemarin, Roumeli hanya menyebut Tuan Beyaz."

"Kita pasti berutang budi pada siapa pun yang membantu mereka. Keluar dari sini tentu amat susah apa lagi jika sudah sampai di luar—meskipun aku tidak tahu ada apa."

"Tidak ada yang tahu," Yin terpejam seolah pikirannya berkelana amat jauh, "tak ada yang tahu sampai dia kembali dan memberi tahu kita."

[]

Palais Eugul tampak seperti kastil berhantu saking sunyinya. Yin sampai berpikir dua kali untuk menekan bel pagar yang besar itu meskipun sama sekali tak terkunci. Yin berjinjit melihat-lihat kekosongan di sana ... tanpa tanda kehidupan.

Wanita muda itu mencoba masuk sambil berbisik untuk permisi yang entah kepada siapa. Dia melintasi pekarangan luas sebelum naik ke teras. Bahkan pintu depannya saja tidak terkunci! Dibiarkan separuh terbuka dengan misterius seolah ada yang baru melewatinya.

"Halo? Permisi?" Suara Yin bergaung di lorong-lorong. Kini Yin yakin bahwa tempat itu sungguh tak dihuni siapa pun. Tetapi, dari kabar yang ia dengar, Herzenova telah ditangkap dan dimasukkan ke dalam ruang tahanan di kediamannya itu. Tepat setelah kepergian Yin dari Bangsal Pemurnian.

Yin meneguhkan hatinya dan mengusir segala bentuk rasa takut. Dia bergegas menyusuri setiap lorong hingga menemukan jalur menuju rubanah. Yin turun dengan ubin yang bergerak mirip lift itu yang tampak mulai agak konslet. Dia melihat sel-sel dihuni oleh asisten rumah tangga yang malang.

Mereka sedang menunggu masa hukuman akibat sikap pengkhianatan, padahal majikan mereka sendiri telah tewas tempo hari. Sistem keamanan memang etelah mati. Tetapi, para penghuni sel itu tak mampu beranjak saking lemahnya fisik dan mental mereka. Salah satu wanita yang mendekam di sana juga belum beranjak. Bukan karena ia tak mampu melainkan ia takut untuk berhadapan dengan apa pun di atas itu.

"Herzenova," panggil Yin. Dia tersenyum sekaligus menutupi rasa kasihan. Yin segera mengutak-atik sedikit lubang kunci sampai pintu sel itu dapat terbuka. "Ayo pergi."

Herzenova mendongak. Seperti yang telah lalu, matanya masih sembab dan kemerahan bahkan kini ada kantung-kantung mata yang tertinggal akibat ia tak bisa tidur. "Yin ...?"

"Tidak ada lagi ruang tahanan. Pemiliknya sudah tiada." Yin membantu Herzenova bangkit dan berjalan perlahan. Dia tahu kalimatnya meluncur begitu lancar padahal menyiratkan hal yang dalam. Sangat dalam terutama bagi Herzenova.

"Apa maksudmu?"

"Aku masih punya jalur menuju perusahaan kabar tempat bekerja dulu. Ada kabar tentang ledakan di Bustan Kovo. Tapi, aku belum mendapatkan versi yang lebih spesifik. Hanya beberapa korban yang dapat kuketahui dan salah satunya adalah Tuan Bronislav."

Herzenova tersentak. Hatinya mendadak berdenyut kembali dan terasa sesak. Ia seperti ingin menangis dan bersedih, namun air mata itu tak bisa lagi keluar. Perasaan sedih yang tak mampu direalisasikan. Segalanya karena orang yang telah tiada tersebut meninggalkan kesan buruk sebelum pergi—sehingga bagaimana mereka hendak berduka? Walaupun tetap saja seberkas rasa cinta bertahan di dalam hati kecil itu ... pastilah tertutup dan pelan-pelan menguap seperti tak pernah ada.

"Tuhan akan selalu menggantikan apa pun dengan yang lebih baik." Yin mengingatkan. "Berbahagialah karena sekarang tidak ada yang melarangmu dalam keyakinan ini."

Herzenova mengangguk. Mereka keluar dari rubanah dan melewati lorong-lorong Palais Eugul. Dahulu, tempat itu sangat mewah dan bersih. Kendati demikian, rumah besar tidak akan bertahan lama jika tidak diurus oleh banyak orang pula. Herzenova berpikir untuk memanggil kembali para asisten rumah tangganya yang telah pergi dan menghidupkan kembali Palais Eugul.

"Jika kau ingin bersih-bersih dulu, aku akan menunggumu. Kita akan pergi menemui putrimu di rumah sakit."

"Anna?" Herzenova terkejut. "Ada apa dengannya?"

"Dia dikabarkan juga berada di lokasi kejadian waktu itu. Aku belum melihat langung seperti apa keadaannya—kita bisa berbincang di saat yang tepat."

Herzenova termenung sesaat, menyadari bahwa dia baru sebentar terkurung di bawah ... namun berbagai hal telah terjadi di Terra Firma. Kota itu selalu penuh kejutan. Terkadang kejutan-kejutan yang membakar amarah, melejitkan bahagia, tetapi lebih sering membuat mereka sedih berkepanjangan.

Setelah urusannya tuntas dan dia keluar, Herzenova memandangi langit yang tampak meredup. Padahal hari masih siang tanpa awan mendung. Cuaca kota mereka memang selalu aneh sejak awal hingga kini, ataukah dunia sudah sejak lama sakit dan akan mati?

"Apa kau berpikir bahwa masa kita tidak akan lama lagi?" tanya Herzenova tiba-tiba. Dia terus menerawang ke langit, menembus Cupola yang sempat rusak dan sudah baik. Kubah pelindung itu salah satu penyebab orang-orang masih bisa hidup. Sinar ultraviolet sudah mengganas mulai ratusan tahun lalu.

"Kita tahu segala sesuatu memiliki batas," jawab Yin. Pandangannya turut mengarah ke langit seolah mereka merasakan ada sesuatu yang akan datang.

"Bahkan termasuk dunia itu sendiri."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro