Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

RADIKS

MENDUNG seperti bukan masalah karena orang-orang sudah punya alat yang lebih canggih daripada payung, meskipun tetap saja banyak yang enggan keluar (cuaca Terra Firma menyebalkan). Termasuk penduduk Delta Residence yang membuat lingkungan mereka sunyi senyap dengan sekadar satu-dua vecl melintas. Kebetulan hari itu tanggalan merah.

Roumeli tetap keluar untuk ke Bustan Kovo dengan sekotak kanafeh utuh; helai-helaian pastri dengan isian keju, lumuran sirup madu dan taburan pistachio yang masih panas-panas. Kotak itu tak akan mengurangi kehangatan dan kelezatannya. Dia sudah janji dengan Everest untuk piknik bersama. Hanya mereka yang mengadakan piknik di Bustan Kovo pada musim dingin.

Sebenarnya, itu bukan acara yang terlalu buruk. Bustan Kovo punya sebuah gazebo mengapung yang sangat nyaman, lengkap dengan penghangat dan permainan-permainan papan kuno. Pemandangan Bustan Kovo saat musim dingin juga memukau: danau Poseide beku dengan kristal berkilau dan rumput-rumput memutih salju.

Namun, sebelum Roumeli tiba ke bagian pinggir area TF-Institute Timur, dia sudah melihat orang yang dicarinya. Roumeli baru akan menyapa anak itu sebelum ia terkejut karena Everest tidak sendirian di dalam gang. Ada seorang pria asing yang sedang merangkulnya—tidak! Dia membekap Everest dan mengambil dompet dari sakunya!

LBoard Roumeli meluncur dengan kecepatan penuh dan lincah. Dia bermanuver dan memukulkan kotak kue ke kepala orang itu sehingga melepaskan Everest yang hampir menangis. Roumeli menggenggam pundak Everest yang terguncang. "Hei, tenang. Kita pergi sekarang. Naiklah."

"Bocah idiot! Apa-apaan kau!?" Si pria mengumpat-umpat dan merangsek maju, sebilah pisau portabel ia cabut dari balik jaket lusuh untuk dihujamkan kepada Roumeli. Gadis itu berkelit, menepis tangannya dengan tinjuan sampai senjata terlontar, lalu menendang perut si penjahat. Pria itu terbatuk-batuk di antara umpatan kasarnya.

"Kau tidak tahu siapa yang seharusnya kau lawan! Katakan pada para Dewan Tinggi brengsek itu!"

Roumeli terengah-engah. Berusaha tak peduli meskipun dia terus memikirkan perkataan pria itu.

Roumeli segera membantu Everest menaiki LBoard dan melayang pergi sambil menghubungi bagian Protektorat, bahkan hendak ke kantor cabangnya di Delta Residence. Sepanjang yang ia tahu, Terra Firma tak pernah punya riwayat tindak kriminal. Begitulah dia mendapatkan gelar kota paling sejahtera (meskipun tidak jelas menjadi yang paling di antara kota mana lagi). Tetapi, apa-apaan kejadian barusan?

"Apa yang terjadi?" Roumeli menurunkan LBoard di halaman kantor cabang Protektorat. Gedung kelabu besar tegak di hadapan mereka.

"A-aku di Bustan Kovo saat kau belum datang. Sesepuh tidak ada. Tiba-tiba orang itu muncul dan mengajakku ke stan kuliner, sebelum dia berhenti di gang."

"Kau tahu apa yang sedang berusaha dia lakukan?"

Everest menggeleng lesu. "Aku hanya kaget karena dia menutup mulutku."

Keluarga Everest tak pernah mengajarinya untuk waspada terhadap kejahatan apa pun karena mereka percaya Protektorat kota. Anak itu bahkan tidak mengerti tentang perkara berbahaya seperti ini.

Roumeli menghela napas. "Dia merampok, Everest. Artinya mencuri paksa barang berharga seseorang. Dia juga penipu. Lain kali berhati-hatilah."

Kedua anak muda itu masuk ke dalam kantor menuju loket pelaporan. Tidak tampak satu hansip manusia melainkan beberapa aparat komputer yang memindai mereka. Roumeli menyentuh tombol suara di balik kaca. "Halo?"

"Pelayanan masyarakat dua puluh empat jam. Ada yang bisa kami bantu?"

"Apakah perampok yang kulaporkan sudah ditangkap?"

"Maaf, perampok dan laporan apa yang Anda maksud?"

"Roumeli Hissar, melapor pukul tiga, perampokan anak di gang Pitts Avenue."

"Mohon tunggu sebentar."

Everest dan Roumeli saling tatap heran. Mengapa kinerja Protektorat kota sangat lamban? Dulu mereka adalah yang tergesit dan menyeluruh. Mereka tak pernah membuat orang kecewa, justru membangkitkan harapan dan kebahagiaan.

"Kami tidak menemukan laporan apa pun, semuanya aman dan terkendali. Kalian tak perlu risau. Hiduplah dengan tenang, Anak-anak. Belajar yang rajin di institusi terbaik kita. Selamat sore!"

"Hei, tunggu." Kening Roumeli sudah berkerut, ditekannya tombol itu berkali-kali. Namun, suara petugas loket pelaporan tak terdengar lagi. Dia menghela napas. "Sekarang kau tahu 'kan? Tidak aman bagi anak-anak untuk berkeliaran sendiri di sini."

"Jadi ... piknik kita batal?" tanya Everest ketika mereka keluar kantor dan menaiki LBoard.

"Tidak, tentu saja. Aku yakin tidak akan ada tindak kriminal yang terjadi dua kali dalam sehari di satu lokasi. Ayo ke Bustan Kovo. Kanafeh ini tidak akan menyantap dirinya sendiri."

Mereka segera melesat, melewati jalanan yang masih sama lengangnya seperti ketika Roumeli pertama kali keluar. Gazebo apung di Bustan Kovo juga tidak direservasi siapa pun lantaran taman itu memang jarang dikunjungi orang. Mungkin kebanyakan penduduk di Terra Firma sama seperti keluarga Everest yang menyatakan, tempat-tempat lama itu berbahaya!

"Lihat, Roumeli," panggil Everest. Dia membuka sebuah papan gim dan menekan tombol aktif. Lampu LED di sepinggir papan itu menyala dan properti hologram terbentuk di atasnya. Jalur-jalur persegi, dadu dan orang-orangan. "Wow!" seru Everest dengan mulut dipenuhi pastri isi keju.

"Hm, Ular dan Tangga," gumam Roumeli. "Jelas sekali tidak ada yang datang ke mari."

"Kau tahu permainan ini, Rou?" Everest memutar-mutar pemain hologramnya yang berpendar kuning. "Aku baru sekali melihat."

"Ya, sekitar seabad lalu gim ini masih laris," jawab Roumeli. "Kupikir sekarang sudah punah. Tak dijual di mana pun, tak dimiliki siapa pun. Ternyata di Bustan Kovo ...."

"Kau tahu banyak soal barang di masa lampau," ujar Everest, menggigit pastrinya sekali. "Bagaimana kau tahu? Nenek-kakekmu juga menyimpan brosur liburan beberapa abad silam?"

Roumeli tersenyum geli. "Tentu saja tidak. Aku mencari tahu sendiri."

"Di mana? Bukankah Terra Reform tidak pernah mengulas tentang kejadian di masa lalu? Bahkan semboyan mereka yang sampai kuhafal dari televisi: manusia maju, berkembang dan sejahtera. Jangan menoleh ke belakang, kita hanya perlu maju. Maju, maju, maju Terra Firma ...."

"Memang tidak ada. Kau harus jauh-jauh sampai ke Hedgegrow di kawasan TF-Institute Barat karena perpustakaannyaa lengkap. Buku-buku di sana tidak seperti buku-buku di perputakaan mana pun."

"Astaga, Bibi saat mengetahui aku ke sini saja sudah mau pingsan. Kalau aku ke sana ...." Everest menutup mulutnya sebelum terpingkal-pingkal. Entah apa yang sangat lucu.

"Di sana ada banyak buku yang ditulis puluhan bahkan ratusan tahun silam dari penulis-penulis fenomenal pada zamannya—dan masih utuh. Mereka sangat utuh karena jarang disentuh manusia."

"Buku," gumam Everest sambil bersandar ke salah satu dinding. Benaknya berusaha keras untuk mengingat sesuatu. "Aku seperti pernah mendengar Papa dan Mama dan rekan-rekan di kantor mereka bicara soal itu. Buku."

Roumeli mengernyit. "Ada apa?"

"Sesuatu tentang buku ... dan pelenyapan. Ya, ya! Pelenyapan buku! Semua buku karya orang-orang terdahulu dibakar habis dalam mesin aneh. Mereka lakukan itu atas perintah Dewan Tinggi."

"Alasannya?"

"Tidak tahu, deh." Everest meneguk air mineral dari botol pribadinya. "Tapi, aku baru ingat alasan Bibi sangat menjauhi hal-hal terkait masa lampau. Dia bilang itu berbahaya karena Dewan Tinggi melarangnya. Jadi, kusimpulkan, apa pun yang dilarang Dewan Tinggi pasti berbahaya! Aduh, mereka perhatian sekali dengan kita."

Roumeli manggut-manggut. "Bukankah itu berarti aku telah melanggar aturan Dewan Tinggi?"

Seketika, Everest berhenti mengunyah dan terdiam kaku seperti robot.

[]

Di kamarnya, Roumeli termenung dengan layar laptop menyala. Laptopnya berbentuk papan translusens dengan kibor bercahaya biru, memiliki penyimpanan besar namun sangat praktis dan ringan. Sebuah email masuk dari Annadher. Dia bilang, Roumeli tak membaca ceritanya pada MeGraf. Padahal Annadher bisa langsung menelepon saja kalau ada sesuatu yang penting. Roumeli memang agak jarang membuka aplikasi obrolan di gadget itu. Bahkan ia tidak menggunakan gadget selain untuk komunikasi dan menyetel rekaman qari.

"Aku takut menganggu," kata Annadher saat ia berujung menelepon.

"Kalau begitu, seharusya kau takut setiap saat?"

Annadher terdiam sejenak, lalu tertawa getir. "Pedas sekali ucapanmu, Rou."

Roumeli akhirnya tertawa pelan. "Yah, aku tak berbakat membuat lelucon."

"Itu lelucon!" Annadher keheranan. "Ya sudah. Pokoknya, aku sedang galau ... Roumeli."

"Oh tidak. Jangan dia lagi—"

"Aku ingin mengajak Hanzhal jalan saat tahun baru di Prime Area Utara. Pasti ada banyak stan dan hiburan seru."

"Sudah kuduga—"

"Tapi, sepertinya dia sudah diajak oleh geng ke kafe khusus anak lima belas tahun plus."

"Tentu saja."

"Bantu aku mengajaknya hingga dia luluh!"

"Apa?" Roumeli mendelik samar. "Aku tak melarangmu melakukan apa pun, Ann. Jadi kau lakukanlah apa yang kau mau. Bukan aku."

"Aku mau kau."

Roumeli merotasikan matanya. Dia meluncur dengan kursi levitasi ke sisi lain ruangan, ke bagian rak-rak buku. "Aku sibuk." Gadis itu meneliti satu persatu judul buku dengan jeli hingga menemukan yang dia cari.

"Kau sudah terlalu banyak asupan sejarah. Sudahi saja. Istirahat sebentar."

"Tapi, kali ini sangat penting. Ini menyangkut pembentukan Terra Firma."

"Segalanya tentang sejarah penting bagimu, Rou. Aku belajar pola itu."

"Nanti kita bicara lagi."

Annadher menghela napas panjang—sengaja ia panjangkan—dan berat. "Ya sudah. Selamat berpetualang, Nona!" Kemudian, telepon mereka terputus.

Roumeli kembali ke depan laptopnya dan membuka buku besar nan rapuh itu. Sebuah karya terakhir dari Gulbahar Ataskeri: Awal dan Akhir Dunia Abad ke—judulnya terhalang oleh noda hitam. Ketika Roumeli menggosok, baunya seperti gosong. Tampaknya buku ini pun pernah menjadi korban pelenyapan meskipun ia selamat.

Terdengar ketukan berirama pada pintu kamar Roumeli sebelum terbuka lebar. "Cucuku, ayo makan malam. Jangan terlalu sibuk belajar atau kau akan cepat tua seperti Nine."

"Membaca buku tidak akan menambah usiaku, Nine."

"Dan sekarang kau mulai membangkang?"

Roumeli berpikir sejenak. Kalau dia menjawab, ya, berarti dia membangkang. Kalau dia menjawab, tidak, berarti dia juga membangkang ucapan Nine. Dia memilih diam saja sampai Nine melanjutkan, "Ayo makan malam!"

Pada akhirnya, Roumeli mengikuti Nine turun ke ruang makan. Mereka memang hanya tinggal berdua di dalam rumah sederhana yang luas itu. Foto-foto ayah dan ibu Roumeli terpajang di beberapa dinding, sementara foto mendiang Dede—kakeknya—hanya ada satu di ruang keluarga. Itu pun potrait Dede dan Nine ketika pernikahan mereka.

"Sikat ini sampai habis, Roumeli," kata Nine saat membuka mangkuk-mangkuk di meja makan. Aroma tabouleh dan menemen berbaur menjadi satu, mengepulkan asap. Di sisi lain meja ada falafel, meze ... Roumeli geleng-geleng kepala.

"Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, Nine."

"Jadi, Nine sudah memasakkanmu makanan malam enak dan kau bilang itu tidak baik?"

"Bukan begitu. Maksudku, Nine sangat mengagumkan dan aku tak perlu risau akan kelaparan malam ini. Tapi, perutku tak sebesar bis kota, Nine."

"Mari kita lihat." Nine mendadak nyengir. "Nine yakin kau akan bisa menghabiskannya setelah kegiatan sekolah yang menguras energi."

"Baiklah, baik. Dengan nama Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang." Roumeli mulai menyendok nasi ke piringnya.

Nine menyipitkan mata. "Kau ini seperti sedang berlindung dari masakan Nine karena takut keracunan."

"Oh, Nine."

Sambil makan, Roumeli masih merenungkan isi buku sejarah super tebal itu. Dia yakin telah melewatkan beberapa bab tentang dunia setelah Kejadian yang Tiga. Tunggu. Daripada itu, bukankah Roumeli sudah memiliki sumber sejarah yang bisa langsung bicara padanya?

"Nine, boleh aku tanya sesuatu?" Roumeli melirik Nine setelah menenggak air mineralnya.

"Ingin tanya apa? Dari mana Nine mendapatkan resep dan kemampuan memasak yang ajaib? Leluhur kita memang dianugrahi itu kalau kau tahu."

"Yah, itu juga sebenarnya adalah misteri. Tapi, aku ingin menanyakan hal lain."

"Tentang masa muda Nine?"

"Bukan."

"Cerita Nine bertemu Dede, jatuh cinta, menikah, lalu melahirkan ayah dan pamanmu?"

"Hm ... aku ingin tahu bagaimana Terra Firma berdiri," kata Roumeli. "Dari sejarah yang kubaca dan dari cerita Paman Beyaz, dulu manusia tidak tinggal di Terra Firma. Mereka punya daratan yang lebih luas."

"Oh, sejarah kota," gumam Nine. "Nine tidak terlalu ingat, Cucuku. Kau kira usia Nine masih lima belas tahun?"

"Mungkin saja, Nine."

"Ya Tuhan! Kukira kau bisa berhitung!"

"Maksudku, mungkin saja Nine ingat," koreksi Roumeli. "Karena seperti yang Nine tahu, sangat susah untuk mengakses sejarah di sini. Ada yang bilang itu hal sensitif."

"Memang, Cucuku Sayang," kata Nine penuh penekanan yang agak gemas. "Hal negatif tentang Dewan Tinggi dan eksekutif Terra Firma selalu terlarang. Itu hal wajar sejak sebuah pemerintahan berdiri. Karena mereka yang mengatur penduduk, mereka mesti punya citra baik."

"Tapi, kenapa sejarah menjadikan Dewan Tinggi dan eksekutif Terra Firma tampak buruk?"

"Bukan tampak buruk, ya ampun. Sejarah gamblang adalah salah satu celah untuk banyak pertanyaan yang akan menyudutkan mereka. Terra Firma berdiri di bawah kendali tiga negara adikuasa—para Dewan Tinggi. Tentu saja orang-orang kritis sepertimu, atau Beyaz, atau bahkan ayahmu, akan menanyakan atas dasar apa mereka memerintah."

"Tentu harus dipertanyakan."

"Mereka paling tidak suka ditanya-tanya."

"Maksudku, selama mereka orang baik, tak ada salahnya memimpin Terra Firma. Yang jadi masalah adalah ini, Nine: kejahatan ada di mana-mana tetapi samar. Tindak lanjut dari pihak Protektorat pun tak jelas. Penduduk ini terlalu lama berada dalam kenyamanan mereka masing-masing."

Nine terdiam. Dia menyesap ihlamur dalam cangkir berukir favoritnya. "Mendadak saja Nine jadi tidak selera. Dan sekarang makanannya masih banyak—uhuk. Simpan saja di kulkas. Jangan bergadang, Roumeli."

Wanita renta itu bangkit dari duduknya dan beranjak ke kamar. Sambil membereskan piring-piring dan mangkuk, Roumeli menghela napas. Bertanya-tanya apakah dia salah bicara atau bagaimana. Kebetulan, saat itu gadgetnya bergetar. Roumeli memang tidak pernah memasang nada dering untuk telepon. Dia melihat nama yang tertera pada layar dan terkejut. Paman Beyaz tak pernah menelepon dia sebelum ini. Ganjil sekali!

Setelah menjawab salam, dia berkata, "Ada apa, Paman?"

"Apa kau mengunjungi Hedgegrow?"

"Belakangan ini tidak lagi. Yang terakhir sudah lama sekali."

"Kapan?"

"Awal musim gugur."

"Ada buku yang kau pinjam?"

"Tentu saja. Kenapa, Paman?"

"Ah ... tidak. Besok aku akan ke rumah kalian untuk meminjamnya. Oh, dan kabarkan aku kalau sesuatu terjadi."

"Sesuatu seperti apa?"

"Apa pun yang membuatmu harus meneleponku."

Roumeli berpikir sejenak tentang berbagai kemungkinan yang mengharuskannya menelepon Beyaz. Namun, ia tak punya banyak referensi. Roumeli pun memustuskan akan tahu saat waktunya tiba. "Baiklah, Paman."

"Jaga dirimu, Nak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warahmatullah."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro