Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PURIFIKASI

TEMPAT itu tak terletak dalam peta Terra Firma. Tak ada yang tahu letak pastinya kecuali untuk orang-orang yang bekerja di sana: para konselor. Dan tentu saja para eksekutif Terra Firma atau pegawai madya yang memang bertugas dalam pengelolaannya.

Gedung itu berdiri menjulang seperti model-model gedung di Terra Firma pada umumnya. Tak satu pun bunyi terdengar dari lobi hingga lorong-lorong karena setiap ruangan memang kedap suara. Para konselor bertugas di ruangannya masing-masing kepada klien yang sudah disortir. Semua klien itu bukanlah penduduk yang datang dengan keinginan sendiri.

Mereka ditangkap.

Dan tidak ada yang tahu bagaimana cara penangkapan itu.

Seorang wanita muda terbaring di dalam ruangan dengan kode 53AG. Perlahan kesadarannya pulih sehingga kasurnya berubah menjadi kursi sandar. Kedua tangannya tercekal di balik lingkaran besi pada gagang kursi. Kini dia terbangun sepenuhnya dan memandang seseorang di seberang meja.

"Selamat datang," kata pria itu. "Saya Gregori, konselor 53."

Yin mendelik. Dia mengamati keadaan sekitar dan tak menemukan apa pun selain ruang kosong berwarna putih. Bahkan letak pintu dan jendela saja tidak kelihatan. Jantungnya berdegup cemas.

"Anda mungkin bingung. Tidak apa-apa, wajar bagi setiap klien yang baru datang ke Bangsal Pemurnian. Kalian akan mendapatkan pelayanan terbaik di sini."

"Keluarkan aku," tukas Yin. Dia perhatikan seragam kantornya masih melekat, namun tanpa gadget, pin pengenal dan segala barangnya. Rambutnya juga masih terikat seperti pertama kali ia pergi dari rumah.

"Tentu saja Anda akan keluar," Gregori tersenyum, "setelah perbincangan kita selesai."

Pria itu bukannya konselor baru di Bangsal Pemurnian. Dia telah berhasil memurnikan otak puluhan penduduk yang pernah menjadi kliennya. Gregori termasuk salah satu yang unggul di antara jajaran senior konselor.

"Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Pertama-tama, mari kita bentuk kesepakatan. Anda adalah klien saya, saya adalah konselor Anda. Segala hal yang saya ucapkan adalah kebutuhan Anda karena Anda sedang butuh pertolongan."

"Satu-satunya yang perlu ditolong adalah kau. Neraka apa yang kau jadikan tempat kerja ini, Tuan? Jujur saja aku hanya melihat omong kosong."

Gregori, masih dengan senyum formalnya yang lama-lama terkesan mengerikan, kini meraih remot kecil di depannya. Ia menekan salah satu tombol sehingga mesin metal bergerak turun menuju kepala Yin. Wanita muda itu terbelalak. "Apa yang kau lakukan!?"

"Membuat kesepakatan."

Sedetik kemudian, Yin merasakan setruman kecil yang mengalir dalam kepalanya. Ia mendadak pening. Sementara pikirannya seolah diobrak-abrik, ditata ulang dalam susunan yang tak dikenal. Tubuhnya melemas ketika mesin itu kembali naik dengan suara keletak-keletuk.

"Nah, Jiao Yin. Saya akan menanyakan tiga perkara. Satu: bagaimana Anda menjalani profesi sebagai wartawan dan jurnalis selama ini? Apakah janji abdi yang Anda sebutkan di awal masa perekrutan tidak Anda ingkari?"

"Saya ingkari," kata Yin setengah sadar. Bicaranya tiba-tiba saja berubah formal. "Saya meliput segala berita yang ada di Terra Firma, baik ataupun buruk. Tapi, pihak Protektorat bagian siber selalu menghapusnya kurang dari semenit."

"Apakah tindakan Anda benar?"

"Tindakan saya membahayakan posisi Dewan Tinggi."

"Baik, Jiao Yin. Pertanyaan kedua: bagaimana keaktifan Anda dalam kegiatan Dibistan? Kepada siapa Anda berguru?"

"Saya selalu mengikuti kajiannya setiap subuh. Guru saya adalah Beyaz Ataskeri, seorang pandai besi dari Prime Area Selatan."

"Apa yang kalian pelajari?"

"Ilmu kehidupan. Kedamaian yang dicapai dengan tunduk kepada Tuhan."

"Bagaimana dengan ajaran fundamentalis?"

"Pemahaman tentang fundamentalis bisa saja berbeda antara kami dan kalian."

"Apa itu bagimu?"

"Kami berusaha mempelajari dan menerapkan prinsip yang tidak bertentangan dengan kehidupan manusia. Jika itu yang disebut fundamentalis, maka kami adalah iya. Dan setiap fundamentalis tentu tidak sama antara satu dengan lainnya."

"Saya setuju bahwa kita tak bisa mengeneralisir itu. Tapi, apa menurut Anda kegiatan kalian tak menganggu penduduk?"

"Sama sekali tidak."

"Bahkan dengan ajaran untuk tidak tunduk pada Dewan Tinggi?"

"Dewan Tinggi yang zalim."

"Baiklah. Mari kita perbaiki kesalahpahaman ini." Gregori menyentuh meja sehingga layar gadget muncul di atasnya. Sedikit mengutak-atik sampai Yin merasa sesuatu terjadi dengan indra pendegarannya. Seolah, telinga itu menjadi lebih tajam sehingga suara yang masuk akan langsung tersimpan dan diproses dalam otaknya.

"Seluruh manusia yang tinggal di Terra Firma adalah penduduknya. Kita semua ada di bawah kekuasaan Dewan Tinggi karena utang budi yang amat besar. Mereka memberi kita tanah ini, fasillitas ini, makanan, air, dan segala hal yang kita butuhkan. Sudah sepantasnya kita merendahkan hati serendah-rendahnya."

Yin mendesah. Telinganya berdenging. "Hentikan."

"Dewan Tinggi adalah yang paling agung dalam hidup ini. Para Eksekutif adalah pahlawan-pahlawan yang pantas disanjung. Para pegawai madya adalah yang terhormat. Hidup harus berjalan maju. Tidak ada masa lalu, tidak ada sejarah bagi Terra Firma. Maju, maju, maju ...."

"Hentikan!"

Gregori menekan satu ikon sehingga dengungan-dengungan menghilang dari kepala Yin. Wanita muda itu tersengal, bulir keringat dingin menetes dari pelipisnya yang berkedut. Ruangan itu terasa semakin menyergap, dingin sekaligus gerah.

"Tarik napas yang dalam, hembuskan," pandu Gregori. "Tenang ... segalanya akan baik-baik saja. Ikuti saya. Segalanya akan baik-baik saja."

"Baik-baik saja."

"Benar. Selama Dewan Tinggi hidup dalam keabadian."

"Selama ... Tuhan tak pernah meninggalkan kita."

Gregori terkesiap, matanya melotot. "Selama Dewan Tinggi hidup dalam keabadian," ulangnya.

"Selama Tuhan tak pernah meninggalkan kita." Yin mendongak dengan napas terengah-engah, tatapannya menyalang tegas. "Tak akan pernah ada yang memengaruhiku."

Pria itu tertegun. Baru ia sadari bahwa mesin-mesinnya tak memberikan efek apa pun pada saraf di kepala Yin. Manipulasi memori dan dasar pemikiran itu sama sekali gagal. Selama ini, Yin hanya berpura-pura. Segala hal yang ia ucapkan memang kesengajaan. Ia tahu bahwa Gregori, para konselor, bahkan seluruh Eksekutif atau pegawai madya yang terlibat sudah mengetahuinya.

Justru informasi yang mereka gali tidak pernah Yin ungkapkan.

Bunyi bel berdentang tunggal. Gregori bangkit dari lamunannya dan menekan ikon lain pada layar meja. Sebuah video menampakkan seseorang sedang berdiri di depan pintu ruangannya. Jarang sekali ia kedatangan tamu ketika sedang dalam proses pekerjaan.

"Ada apa?" tanya Gregori melalui perekam suara.

"Ada perubahan klien. Arahan dari Tuan Kepala."

Pintu di salah satu dinding terbuka otomatis ke atas. Seorang wanita melenggang masuk dengan diska bening yang ia letakkan di meja. "Segala berkas keterangannya ada di sini."

Gregori mengernyit. "Sungguh?"

Wanita itu mengangguk. Dia beralih kepada Yin yang masih menunduk dan menenangkan diri. Dalam sekejap, besi yang melingkari tangannya melesak ke dalam pegangan kursi. "Nona Jiao Yin, mari ikut dengan saya."

Yin terbelalak.

Ia sangat mengenal suara dan aura wanita itu.

[]

Gedung Bangsal Pemurnian benar-benar sepi. Bukan hanya karena setiap ruangannya kedap suara, tetapi juga wilayahnya yang amat terpencil dari pusat kota. Apakah tempat mengerikan itu ada di Barat, Utara, Timur atau Selatan? Tidak ada yang tahu. Sesempit apa pun Terra Firma di atas daratan oktagonal mereka, tetap saja tidak ada yang tahu eksistensinya.

Ruangan di sana terbagi menjadi beberapa bagian. Ruang pribadi setiap konselor, ruang Tuan Kepala, ruang pertemuan, dan lainnya. Salah satu ruangan yang jarang digunakan adalah ruangan khusus. Para klien yang dianggap tidak bisa sembuh atau justru gagal dalam masa pengobatan akan dibawa ke sana. Ruangan itu luas dan serba putih. Di dalamnya terbagi lagi dengan sekat-sekat tanpa pintu melainkan gorden yang senada.

Sebagian tak bertahan dan menemukan ajalnya meskipun mereka diberi fasilitas yang cukup. Masalahnya bukan pada fasilitas yang kurang. Namun, tingkat stres setiap jiwa yang menggiring mereka tewas. Bagaimana tidak? Mereka ditangkap paksa dari keluarga. Dilarang pulang ke rumah. Diisolasi dari manusia selain para konselor yang justru adalah mimpi buruk. Dan setiap hari mereka disuguhkan obat.

Obat untuk mengembalikan kemurnian, katanya.

Tapi, tidak ada yang terjadi pada mereka kecuali sakit yang semakin parah.

Pada salah satu bilik di sana, dekat sebuah jendela yang dibiarkan rusak karena belum masa renovasi, seorang wanita terbaring lemah. Sekujur tubuhnya seolah tak mampu bergerak dan hanya langit-langit putih yang bisa ia pandang. Bibirnya kering, namun terus bergerak untuk mengucapkan nama-nama baik Tuhan. Memanjatkan pujian, melambungkan doa-doa yang menembus langit, terus sampai terdengar oleh para malaikat yang mengepakkan sayap mereka untuk turun ke bumi. Terus lagi ke atas hingga sampai pada singgasana Tuhan.

Tetapi, dia sendiri tahu bahwa tidak perlu sejauh itu. Tangannya yang sedikit gemetar perlahan bergerak ke arah jantung. Dia percaya bahwa Tuhan berada sangat dekat dengan dirinya. Dekat sekali. Sampai seakan-akan dia memang sudah akan bertemu dengan-Nya.

Hanya saja, masih ada hal yang mengganjal dirinya untuk pergi. Dia memiliki sesuatu yang amat berharga yang terpaksa ditinggal belasan tahun silam. Dia harus bertemu lagi atau paling tidak mendengar kabarnya.

Wanita itu memejamkan mata.

Sebuah nama melintas dalam batinnya yang kian rapuh.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro