POKROL
SEJAK kecil, berakar dalam otak gadis itu pemahaman yang harus serba logis. Dia tidak mencampuradukkan perasaannya dalam menghadapi berbagai masalah bahkan jika perasaan itu nyaris mengguncang satu dunia. Dia berlatih untuk mengendalikannya seperti manusia mengontrol kecerdasan buatan. Roumeli menyadari ketika dia menangis hingga sakit seluruh tubuhnya, pada hari kematian tetap tidak akan ada satu pun jasad yang bangkit dari tanah. Yang telah mati tidak akan hidup.
Begitulah cara berpikir rasional yang mengeluarkan Roumeli dalam keputusasaan tiada ujung menuju jalan tempat dia tegak dengan kuat.
Namun, mendadak saja tragedi terburuk menimpa dirinya tanpa pernah ia bayangkan. Bukankah tadi dia hanya siswa biasa dalam kawasan aman dan status stabil di TF-Institute Timur? Bahkan beberapa prestasinya dalam karya tulis telah dicatat almanak digital sekolah. Dan sekarang segalanya jungkir balik seolah-olah matahari kini mengitari bumi.
Di kediaman yang tenang itu, Nine sedang tidur lelap di atas kursi goyangnya. Sepiring baklava telah tersaji di meja seperti biasa untuk menyambut kepulangan Roumeli setiap sore. Sedangkan hari itu masih siang meski langit diselimuti awan yang meredupkan kota. Hawa permulaan musim semi masih berkeliaran dengan jahat, menusukkan dinginnya ke setiap manusia yang lewat di sisi jalan-jalan. Dan tepat di dalam rumah itu hati Roumeli tertusuk.
Lututnya lemas. Dia bertelekan di meja ruang tamu dan melotot kepada tanda merah menghina yang terukir di punggung tangannya. Meskipun stempel itu tidak selamanya akan di sana melainkan beberapa waktu, tetap saja merupakan sebuah awal mula yang buruk. Roumeli bisa mendenga gemuruh dalam dirinya, merasa akan segera tumbang.
"Seharusnya tidak usah, seharusnya tidak usah ...."
Roumeli memijat pangkal hidungnya dan meminta ampun pada Tuhan. Dia ingat pesan Beyaz bahwa setiap kali emosi nyaris mengendalikan dirinya, dia tidak akan bisa membedakan hitam dan putih. Maka segeralah mengingat Tuhan sebelum itu terjadi: mengaku bahwa dirinya memang bersalah dan dia akan bersujud demi sebuah ampunan. Dan kita tahu Tuhan tidak akan pernah memberikan sebuah ampunan. Dia akan memberikan seluruh ampunan untuk hamba-Nya yang Dia cintai.
Keesokan harinya, pikiran Roumeli benar-benar masih berkecamuk. Selain berpikir apa yang akan dilakukannya untuk meneruskan pendidikan, ia juga khawatir terhadap Beyaz. Di mana ia sekarang? Apa yang dilakukan petugas-petugas Reserse itu padanya?
Tahu-tahu, bel rumah berbunyi.
Bel itu terus berbunyi dan mengusik Roumeli yang sedang menenangkan diri. Akhirnya, gadis itu beranjak menempelkan sidik jari pada pemindai pintu dan terkejut setelah terbuka. Annadher berdiri di sana dengan gemetaran. Dia seorang anak yang keras kepala dan sinis meskipun sekarang kembali seperti anak kecil rapuh yang menangis bercucuran.
"Maaf, Roumeli!" Dia berangsur memeluk Roumeli dengan perasaan kacau. Dia yang bersalah. Dia yang mengutamakan egonya semata. Dia yang telah memaksa Roumeli. Begitulah Annadher berpikir.
Seharusnya tidak perlu.
Kalimat itu terus bermunculan dalam benak mereka.
"Aku akan menanggung segala kebutuhanmu, Roumeli, dan kepindahanmu ke TF-Institute Barat dan penjelasan kepada keluargamu—dan, dan ...."
"Jangan kalap, Ann." Roumeli menggeleng pelan. "Atau kau tidak bisa berpikir jernih dan salah membuat keputusan."
Annadher menarik napas dalam-dalam dan membuang ingusnya dengan tisu. "Maaf."
"Masuklah, apa kau kabur dari sekolah?"
"Tentu saja tidak. Aku memasang droid."
"Kau melanggar aturan berbelanja?"
"Sudahlah, tak apa-apa." Annadher mengibaskan tangannya. Tak terlalu merasa bersalah karena manipulasi usia dalam berbelanja barang khusus sudah hampir jadi tren. "Begini, Roumeli. Aku membawa tamu."
Langkah Roumeli terhenti. Dia berbalik dan melihat ke belakang Annadher, tempat dua orang telah berdiri penuh ketetapan. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluhan dan anak lelaki yang tak asing lagi. Perasaan Roumeli lagi-lagi berkecamuk ketika menemukan Hanzhal. Dia kesal, marah, kecewa, tetapi semuanya gugur ketika dia ingat bahwa tragedi itu tidak akan terjadi kalau bukan karena keputusannya sendiri pula.
Roumeli menarik napas. "Baiklah. Silakan masuk."
Kedatangan mereka ternyata merupakan kebahagiaan baru bagi Nine yang tahu-tahu bangun. Tak terkira betapa girangnya wanita tua itu sehingga mata kecilnya membesar. Ia tersenyum lebar menampakkan gigi-gigi palsu yang suka copot apabila dia mengunyah. Apa yang dia mimpikan saat tidur beberapa menit silam? Mendadak saja rumahnya yang sepi seperti pemakaman didatangi tamu-tamu muda seakan mereka itu para cucu impiannya.
"Mari, mari silakan!" Nine segera menyajikan berbagai kudapan manis di meja maglev di hadapan Kannaz, Hanzhal dan Annadher. Berdiri dengan sangat segar seolah dia tidak pernah terlelap sebelum ini. "Jangan sungkan-sungkan! Roumeli, ayo ajak teman-temanmu makan."
Roumeli tak mampu berkutik. Dia masih mencari kata-kata yang santun untuk menjelaskan bahwa mereka bukan sedang pesta reuni melainkan baru saja ditimpa musibah besar. Sebuah kondisi yang membuat semua anak harus murung. Namun, Roumeli pun tak ingin merusak kebahagiaan Nine yang sudah melonjak. Nine esudah sejak lama merindukan bercengkerama dengan keluarga besar.
Melihat itu, Hanzhal melongo, Annadher menutup kedua wajahnya, Kannaz hanya tersenyum maklum.
"Tidak apa-apa, kami akan makan setelah pembicaraannya selesai. Terima kasih banyak," kata Kannaz sesopan mungkin. Suaranya memang maskulin sekaligus lembut seperti sosok ayah yang penyayang.
Nine agak kecewa, namun kemudian dia mengangguk saja akibat perangai Kannaz yang tampan dan diplomatis. Wanita tua itu tidak tahu sedang berhadapan dengan seorang advokat muda. "Baiklah. Bicara saja sepuas kalian. Aku akan buatkan cokelat panas."
"Ah, tidak usah repot-repot, Nek," sergah Hanzhal. Dia heran sekali dengan Nine yang sudah putih seluruh rambut dan kempot pipinya, tetapi sangat bergelora dan periang. "Kami minum air mineral saja."
"Apa?" Nine berkacak pinggang. "Oh, ya ampun! Anak-anak ini banyak sekali maunya. Baiklah, lakukan apa yang kalian suka." Nine beranjak pergi menuju dapur dan berusaha terdengar sibuk.
Roumeli memilin ujung kerudung. "Maaf," tuturnya merujuk kepada sikap Nine yang plin-plan.
"Tidak, aku yang minta maaf. Katakan padanya aku tidak bermaksud membuatnya marah," sanggah Hanzhal sebelum keheningan mengambang di antara mereka.
Saat saling larut dalam pikiran masing-masing itu, Annadher kembali berlabuh dengan kasmarannya. Dia kian berdebar setiap kali melihat jarak sofa dengan Hanzhal cukup dekat meskipun anak itu hendak melupakannya sejenak dan fokus kepada Roumeli. Kannaz memberi kode pada Hanzhal. Dia bermaksud tidak akan memanfaatkan keterampilan bicaranya agar Hanzhal belajar mengatasi masalah secara mandiri.
Anak lelaki itu menghela napas yang sarat galau. "Aku tidak tahu harus bilang terima kasih atau belasungkawa atas kejadian kemarin. Kau tahu? Orang sepertiku tidak pantas mendapatkan pembelaan apa-apa. Tapi, karena semuanya sudah terjadi, yang jelas aku minta maaf. Sebesar-besarnya padamu. Kalau bisa aku ingin menebusnya dengan apa pun."
Roumeli menahan diri untuk mengungkapkan isi hatinya yang berseru, Memangnya setelah semua ini kau pikir aku butuh apa selain mesin waktu? Tetapi, Roumeli tahu kejengkelan itu hanya akan luntur sebagai basa-basi bodoh. Dia memilih diam, memikirkan kalimat yang lebih tidak membuat suasana keruh. Beyaz mengajarkan bahwa bersabar tidak akan merugikannya baik di dunia atau alam setelahnya; sabar akan memicu keikhlasan terhadap takdir dan membangunkannya rumah di surga.
Roumeli yakin dengan nasihat Beyaz. Bahkan dia sangat merindukannya sekarang. Andaikan ada cara untuk membebaskan pamannya itu dari tudingan para Reserse ....
Benar.
Seolah-olah kilau topaz iris mata Roumeli mengusir segala keremangannya dan berpendar seperti obor elektrik. Berbagai ide berkelebatan dalam benaknya bagaikan lebah-lebah yang bersemangat memburu madu. Perlahan harapan besar timbul dari lubuk otak dan—tentu saja—hatinya.
"Apa pun?" ulang Roumeli.
Hanzhal mengangguk teguh meskipun sebagian jiwanya seperti melayang ke angkasa. "Apa pun."
"Bahkan jika tidak relevan dengan kejadian ini?"
Hanzhal bertatapan sekilas dengan saudaranya. "Tidak relevan bagaimana?"
"Apa kau bisa membebaskan seorang terdakwa?"
Keheningan menjalar seperti benalu nakal di musim hujan, namun anak-anak muda itu tidak sepenuhnya kaget. Hanzhal ingat bahwa saudaranya memiliki profesi yang terkait dengan hukum, Annadher tahu kalau ayahnya adalah eksekutif Terra Firma, dan Kannaz sendiri sangat mengerti bidang yang berkenaan dengan itu.
"Aku tidak bisa," kata Hanzhal. "Tapi, saudaraku bisa."
Kannaz menegakkan punggungnya dan menatap Roumeli dengan tegas. Sedangkan gadis itu tak sedikit pun melirik padanya atau Hanzhal sejak kedatangan mereka. "Kebetulan jurusanku adalah pendidikan khusus advokat. Bisa aku minta nomormu? Semua yang perlu kau isi ada dalam surat digital yang akan kukirim. Beberapa bisa dirombak dan diskusikan kalau dirasa kurang tepat."
Ada gejolak kecil pada diri Roumeli. Dia sangat enggan memberikan nomornya pada laki-laki, terlebih yang baru ditemuinya hari itu dan masih asing. Tetapi, Roumeli percaya keseriusan perkara ini bukan untuk lelucon atau selainnya. Memiliki kontak dengan pengacaranya adalah hal wajar meskipun Roumeli masih menanggung beban tersendiri dalam prinsipnya. Setelah membuka akses, dia meletakkan gadget di meja untuk kemudian dipindai oleh radar gadget Kannaz.
"Jadi ... ada lagi yang kau butuhkan?" Hanzhal mengeratkan syal hitamnya. Entah bagaimana, namun tengkuknya selalu terserang dingin setiap kali bicara pada Roumeli sehingga ia bertahan agar tidak gelagapan. Tentu hal itu bisa mengurangi pesona kerennya.
"Boleh aku ikut ke persidangan?" tanya Roumeli sungguh-sungguh.
Kannaz tersenyum heran. "Silakan. Persidangan memang dibuka untuk masyarakat agar pemeriksaan bersifat transparan dan bersih."
"Aku mengerti."
"Bagus," Kannaz mengangguk kalem, "aku akan berikan layanan terbaik untuk kalian."
Mendengar itu, Hanzhal jadi agak gengsi dan cemburu pada saudaranya. Dia tidak mau merasa seperti figuran sedangkan Kannaz menjadi pahlawan kota. Lain halnya dengan Annadher. Diam-diam, dia mengagumi Kannaz karena hatinya mudah sekali menyukai seseorang. Padahal, dia berusaha untuk fokus kepada pembicaraan mereka dan tidak berangan-angan terlalu jauh. Annadher merasa bahwa dialah penyebab kemalangan Roumeli, seharusnya dia malu dan berhenti mengurusi egonya semata.
Annadher mengulum bibir dan kembali merenungi tindakannya, memikirkan bantuan apa yang bisa dia berikan pada Roumeli.
"Jadi, uh, kita damai?" Hanzhal mengerling pada Roumeli yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Gadis itu tetap tenang tanpa reaksi marah atau senang yang berlebihan. Kepribadian Roumeli membuat Hanzhal lega sekaligus senang karena sebelumnya ia cemas akan disemprot habis-habisan—atau mungkin dituntut ke pengadilan. Secara teknis mereka memang jadi harus berurusan dengan pengadilan, tetapi setidaknya itu bukan untuk dia. Hanzhal merasa konyol dengan pemikirannya yang lama-lama agak dramatis.
"Hanya saja ada satu hal," ucap Roumeli tiba-tiba. Semua orang menoleh padanya dan menunggu dengan penasaran.
"Apa?" tanya Hanzhal.
"Kalau kau tahu bahwa sesuatu itu tidak baik, jangan kau dekati. Kau tahu? Aturan ajaran kita dibuat bukan untuk mengekang, tapi sebagai patokan agar hidup kita semakin baik."
Lidah Hanzhal kelu dan wajahnya menghangat, mungkin sudah bersemu merah muda. Dia tak pernah ditegur oleh anak perempuan apalagi jika teguran itu benar dan jitu. Sedangkan Kannaz tersenyum puas, Annadher menggelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir pada Roumeli yang mengambil kesempatan ini untuk memberi kuliah dadakan.
Hanzhal berusaha tidak tampak tercengang (dia juga bisa bermain ekspresi kalem seperti yang Roumeli terapkan sejak tadi). Dia mengangguk. "Aku mengerti."
Setelah tidak ada pembahasan lagi, Kannaz bangkit untuk berpamitan disusul Hanzhal. Namun, tiba-tiba Nine keluar dari dapur dengan senampan penuh empat mug cokelat panas dan toples-toples kue, termasuk lokum tentu saja.
"Kalian mau ke mana? Duduk, duduk dulu dan makan ini dan minum ini. Kau, ya kau, Anak Muda. Kau yang tadi bilang akan makan setelah bicara. Sekarang makanlah, makan! Jangan sungkan-sungkan."
Nine bertepuk tangan dengan gembira. "Ah! Benar begitu, Annadher. Kau ini sudah cantik bisa juga menjadi pemimpin bagi teman-temanmu untuk makan kue. Roumeli, bagaimana mereka makan dengan tenang sedangkan kau hanya bengong begitu? Minumlah. Semua ini aku buat dengan tulus untuk kalian."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro