NOMAD
SEMBURAT lembayung keemasan menembus permukaan samudra menjelang pagi. Sudah berjam-jam Roumeli mengendarai Hos Devleti di dalam air yang misterius dan terkesan berbahaya itu. Dia melihat berbagai makhluk aneh mulai dari ikan, ubur-ubur, kuda laut—tetapi dalam wujud yang amat berbeda dari buku yang pernah dia baca. Biota-biota air memang banyak yang berevolusi setelah bertahun-tahun lalu manusia mencemarinya.
Hos Devleti perlahan naik ke permukaan. Roumeli memandang ke seluruh arah, namun tak menemukan satu pun ujung di sana. Yang bisa dia lihat hanyalah garis kaki antara langit dan bumi ... mengitari seluruh samudra bagaikan penjaga-penjaga tak kasatmata. Sebelum ini, Terra Firma masih bisa tampak meskipun tertutup kabut ketika Roumeli sempat memutar arah. Menunjukkan jawaban atas pertanyaannya beberapa tahun lalu: dari apa Rich Citadel melindungi kehidupan di dalamnya? Ternyata dari samudra raksasa yang mengelilingi mereka. Terra Firma bagaikan mahkota di tengah horizon dunia.
Sekarang, Roumeli tak perlu lagi bertanya-tanya ke mana matahari yang terbit dan tenggelam. Dia memang tahu teorinya walaupun kenyataan yang terlihat selalu saja menggantungkan fakta. Dari Terra Firma, matahari dan bulan itu lenyap di balik Rich Citadel. Ternyata dari permukaan samudra, matahari dan bulan itu lenyap di ujung dunia.
Tidak ada ujung dunia, tentu saja. Roumeli tahu bahwa bumi berbentuk bulat seperti yang juga terdapat di dalam kitab-kitab. Tetapi, pemandangan indah ini memang tak bisa dilewatkan tanpa sedikit majas yang mengagungkannya. Ciptaan Tuhan saja semenakjubkan ini, bagaimana sang Pencipta itu sendiri? Roumeli berharap bisa bertemu dengan-Nya suatu masa nanti ... sebuah kebahagiaan yang tiada tertandingi.
Roumeli kembali meneruskan perjalanan mencari daratan lain yang ia percayai masih ada. Sebuah daratan yang dapat menampung dia dan kelompoknya dalam struktur kehidupan baru yang lebih aman. Bersama keyakinan yang mereka pegang teguh, kedamaian dan keadilan yang sejahtera sungguhan—tidak seperti rekayasa seperti di Terra Firma.
Setelah dia cukup jauh dari kota itu, sama sekali tak ada lagi daratan yang terlihat. Roumeli hampir-hampir muntah karena sepanjang waktu memandang perairan biru tak berujung. Tubuhnya kian lelah. Persediaan makanan pun menipis sementara air masih tak berkurang. Air itu memang langsung disedot mesin dari luar dan difiltrasi sehingga layak minum.
Berhari-hari ia berkendara di tengah samudra. Kadang dia turun ke bawah saat badai keras berpetir, kadang dia naik ke permukaan saat air tenang. Setiap satu jam sekali pula akan muncul gulungan ombak yang—luar biasa raksasa—nyaris setinggi Rich Citadel! Jika dia terlambat menyelam lebih dalam, Hos Devleti akan selalu ikut tergulung dan Roumeli menjadi sangat pusing. Pengalaman di luar ini barulah menyadarkannya: ternyata Rich Citadel sungguh berguna melindungi manusia dari alam samudra yang amat berbahaya.
Namun, setelah perjalanan panjang dan penuh rintangan itu dia lalui, tetap saja dia tak menemukan apa pun selain—tentu saja—air. Kepalanya semakin pening dan seringkali kecemasan datang menghantui hatinya.
"Ya Tuhan ..." gumam Roumeli. Dia membaca beberapa ayat untuk menenangkan diri sampai kemudian radar pada layar kendali menunjukkan sesuatu. Roumeli melihat sesuatu yang bergerak di kejauhan seperti harapan baru. Namun, tanda energi Hos Devleti pula berkedap-kedip tepat pada saat itu.
"Oh, jangan sekarang." Roumeli meringis. Dia segera menaikkan kecepatan Hos Devleti dan melaju ke arah objek asing yang tinggal beberapa puluh meter lagi. Jantungnya berdebar-debar. Kalau sampai bahan bakarnya habis—apa yang akan terjadi? Tenggelam? Meledak? Tangan Roumeli mendadak dingin dan gemetaran. Membayangkan samudra dalam yang penuh dengan makhluk-makhluk seram yang tak terdefinisi.
Ketika Roumeli semakin dekat dengan objek itu, ketakutan terbesarnya terwujud: bahan bakar telah habis.
Lampu merah menyala di sekitar atap Hos Devleti. Sebuah laci otomatis terbuka dan mengeluarkan rompi pelampung transparan. Kendaraan itu memang agak kuno, tetapi sangat praktis dan Roumeli segera memakainya. Bunyi lampu darurat semakin membuatnya tegang dan gelisah. Pintu bagian atas Hos Devleti terbuka. Roumeli menaiki tangga dan merayap keluar saat Hos Devleti sudah separuh tenggelam. Jantungnya berpacu kian cepat.
Hos Devleti benar-benar tenggelam perlahan. Seharusnya dia masih dapat mengapung karena fitur yang memungkinkan, namun memang ada bagian yang tak selesai diperbaiki waktu itu sehingga pengaturannya belum sempurna. Ketika Hos Devleti turun dan lenyap, Roumeli tak bisa menahan ketakutannya lagi.
Roumeli menggigil ketika dia tak lagi bertumpu pada kendaraannya melainkan menyentuh air yang dingin. Dia mengapung dengan penuh kecemasan. Roumeli mengatur napas ketika tubuhnya terasa melayang di atas kehampaan yang berbahaya. Ada apa di bawah sana? Sesuatu seperti melintas atau hanya perasaannya! Roumeli bergerak naik-turun seiring ombak yang menimpanya. Lalu, ketika objek asing dari radar itu sudah tampak jelas, Roumeli berteriak. "Tolong! Tolong di bawah sini!"
Itu adalah sebuah kendaraan yang berkali-kali lebih besar daripada Hos Devleti meskipun berbentuk nyaris serupa. Bentuknya belum pernah dilihat Roumeli, seperti cekung memanjang yang bagian ujungnya dibuat melancip. Beberapa jendela terukir di bagian lambungnya. Andaikan Roumeli hidup bertahun-tahun silam, ia akan tahu bahwa kendaraan itu disebut kapal. Di lantai teratas kapalnya terdapat ruangan kecil. Seorang nakhkoda yang sedang menyetir berkerut bingung melihat objek pada radarnya. Dia memanggil rekannya dalam bahasa asing. "Azkio! Periksa ke bawah!"
Sang rekan nakhkoda yang dipanggil Azkio itu bergegas ke tepi geladak dan mencondongkan tubuhnya. "Ada orang!" ia berseru. "Turunkan papan!"
Bagian samping kapal terbuka mendorong keluar sebuah papan besi berpagar yang bergerak turun. Roumeli mencoba berenang mendekatinya agar bisa naik. Namun, tubuh Roumeli yang ringan terbawa ombak semakin jauh. Masih bersyukur karena ini belum masanya ombak raksasa melintas.
Azkio kembali berseru, "Turunkan sekoci!"
Ketika sekoci itu telah diturunkan, dia melompat ke dalamnya bersama seorang pendamping. Mereka menyalakan mesin untuk mengejar Roumeli. "Naik!" perintah Azkio sambil mengulurkan tangan. Roumeli tak mengerti bahasa itu, tetapi masih dapat mengerti isyaratnya. Dia berusaha berenang melawan ombak sampai berhasil menangkap tangan Azkio dan dibantu naik.
Angin dingin menyergap Roumeli dari segala arah ketika sekoci segera meluncur ke dekat kapal. Mereka keluar ke atas papan besi sebelum diangkat dan berhenti di geladak. Pendamping Azkio tadi mengatur tuas sehingga menarik kembali sekoci yang telah diturunkan. Roumeli beranjak dari papan besi itu dan hampir ambruk karena tubuhnya menggigil hebat.
"Panggilkan Kalifa," perintah Azkio kepada anggotanya yang lain. Tak lama kemudian, seorang wanita datang tergopoh-gopoh. Kain yang melilit kepalanya seperti syal itu sampai terturun nyaris lepas.
"Oh, oh," Kalifa segera merangkul Roumeli dengan handuk di tangannya, "coba kau periksa apakah masih ada lagi di bawah."
Azkio mengangguk. Dia dan beberapa pria lain kembali turun untuk menyisiri daerah sekitar mereka sedangkan Kalifa pergi bersama Roumeli ke ruangan di lantai bawah. Ruangan itu bernuansa hangat dengan perapian, karpet tebal, sofa-sofa dan rak penuh buku yang klasik. Kalifa menuntun Roumeli ke ranjang di sudut dekat jendela.
"Dari mana kamu berasal? Apa yang terjadi?" tanya Kalifa sambil membantu Roumeli melepas kerudungnya yang basah kuyup. Roumeli sendiri masih pusing karena air samudra itu terus masuk ke telinga dan tak sengaja tertelan. Perutnya mual sekali. Karena Roumeli diam saja, akhirnya Kalifa yang mengelapkan rambutnya seperti ibu kepada anak kecil. "Apa kamu tak bisa bicara? Atau kamu ingin istirahat dulu?"
Roumeli mengulum bibirnya. Dia bingung harus menjawab apa karena tidak mengerti satu kata pun yang diucapkan Kalifa—dan semua orang di sana. Entah bahasa apa yang mereka gunakan. Roumeli berusaha memberikan isyarat bahwa dia hanya butuh air hangat.
"Oh, kamu harus ganti pakaian atau kamu bisa sakit!" Kalifa bangkit dan mengeluarkan baju-baju dari lemarinya. "Ini? Tidak cocok. Mungkin yang ini?" Dia mengarahkan tunik itu kepada Roumeli. "Hm, agak mirip. Coba yang lebih mirip dengan pakaianmu sekarang ... ini? Ya, ini bagus."
"Bergantilah di bilik itu," titah Kalifa sambil menyodorkan pakaiannya.
Roumeli memberi isyarat bahwa ia butuh kain penutup kepala. Dia menggerakkan tangannya seperti sedang memakai kerudung. Kalifa berpikir sejenak sebelum kembali bangkit untuk membawakan Roumeli sehelai kain cokelat.
"Apakah ini yang kamu maksud?" tanya Kalifa.
Roumeli mengangguk saja meskipun tidak tahu artinya. Dia pergi ke bilik itu untuk beberapa saat dan keluar dengan penampilan baru dan lebih kering. Roumeli melirik sebuah cermin panjang di dekatnya, menggeleng pelan. Ia mirip bajak laut dalam ilustrasi buku-buku yang pernah dibacanya.
Pintu ruangan itu diketuk. Kalifa beranjak untuk membuka dan menemukan seorang pria muda di sana, membawa senampan kudapan dengan air panas. "Ini untuk dia. Aku pernah membaca kalau rempah-rempah bisa menghilangkan mual."
"Tumben sekali," Kalifa menaikkan kedua alis, "terima kasih."
"Bagaimana keadaannya?" Azkio hendak masuk sebelum Kalifa menahannya.
"Dia baik. Butuh istirahat saja."
"Kuperhatikan dia tidak mengerti ucapan kita."
"Aku juga berpikir demikian. Bagaimana menurutmu?"
"Mungkin aku bisa mencoba beberapa bahasa. Aku pernah belajar sedikit-sedikit."
Kalifa menimbang. "Kalau begitu cobalah."
Roumeli duduk di sofa ruangan itu sambil melihat-lihat buku pada rak. Setidaknya ia bisa mempercayai orang-orang ini karena tidak melenyapkan buku yang adalah sumber pengetahuan. Roumeli masih tak terlalu memperhatikan percakapan kedua orang itu sehingga mereka masuk dan ikut duduk.
"Lihat ini. Kamu pasti lapar?" Kalifa menyodorkan senampan kudapan berupa roti-roti hangat dengan selai. Roumeli menghirup aromanya yang sangat lezat, tetapi dia masih diam saja. Kalifa yang sudah gemas pun memberi kode pada Azkio agar segera mencoba beberapa bahasa.
Azkio berdeham. "Apa kamu mengerti ucapanku?"
Roumeli tahu pria muda itu bicara padanya walaupun ia tetap tak mengerti—masih diam saja. Hanya raut wajahnya yang terlihat amat bingung dan berpikir keras. Sungguh selama lima belas tahun hidup di Terra Firma ia hanya menggunakan satu bahasa.
Azkio berpikir sejenak dan mencoba bahasa lain. "Apa Anda mengerti ucapan saya?"
Lagi-lagi, Roumeli hanya diam karena tak tahu pembicaraan mereka mengarah ke mana. Kalifa semakin gemas sampai rasanya ingin mencubit pipi Roumeli dan bertanya apakah dia dari luar angkasa. Tentu saja bukan walaupun Terra Firma memang bernuansa sangat asing.
Tiba-tiba, Azkio teringat sesuatu. "Nah. Apa kau mengerti ucapanku?"
Roumeli terkesiap. Dia mengangguk setelah akhirnya mengetahui arti ucapan mereka. "Aku mengerti."
"Dia berbahasa apa?" tanya Kalifa tak sabar.
"Bahasa Inggris," jawab Azkio. Akhirnya rasa penasaran itu tertebus juga. Sudah lama ia tak berjumpa dengan orang dari bangsa yang berbeda dengan mereka. "Ini memang bahasa internasional bertahun-tahun lalu."
Kalifa manggut-manggut saja. "Coba tanyakan dari mana dia berasal."
"Dari mana kau berasal? Bisa ceritakan sedikit tentang apa yang terjadi?" tanya Azkio.
Ternyata ini yang berusaha mereka tanyakan, pikir Roumeli. "Aku datang dari Terra Firma. Aku keluar dari sana mencari daratan lain untuk ditinggali. Apa kalian berasal dari suatu daerah?"
Kalifa terkejut saat mendengar nama Terra Firma. Dia segera melirik Azkio yang kini tertegun. "Apa kau tahu apa yang terjadi pada dunia?"
"Tidak terlalu, tapi memang ada suatu bencana yang terjadi."
"Ya. Daratan sudah lama lenyap. Hanya Terra Firma satu-satunya yang tersisa."
"Sungguh?"
"Sungguh." Azkio mengangguk getir. "Ketika bencana itu menenggelamkan benua, hampir seluruh manusia yang tersisa menaiki tumpangan pemerintah adikuasa. Merekalah generasi pertama Terra Firma sementara sebagian lain pergi dengan kapal masing-masing, terus mengembara di atas samudra ini. Dan kami salah satunya."
Roumeli membeku. Kepalanya terasa semakin pening. "Tidak ada umat manusia selain di Terra Firma dan kapal-kapal?"
"Tidak ada lagi bahkan sejak kami menemukan sesama pengembara—nyatanya banyak dari mereka telah gugur. Tak yakin mereka punya fitur pelindung seperti pada kapal kami."
Sedetik kemudian, Roumeli menunduk dengan kedua tangan menangkup pada wajahnya. Pundaknya terguncang saat ia mulai menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran seperti tak pernah bisa dibendung lagi. Hatinya begitu sakit. Amarah, kecewa, kesedihan ... berbaur semua bagaikan pusaran air. Perasaannya sekacau badai samudra yang telah dilaluinya berhari-hari ... kemudian sekacau badai hatinya sendiri.
Kalifa seolah mengerti arah pembicaraan itu. Jika sudah menyangkut Terra Firma, pasti merujuk pada generasi terakhir umat manusia. Dia merengkuh Roumeli dan membelai pundaknya.
"Bersabarlah," lirih Kalifa. Ia memang tidak mampu berbahasa seperti Roumeli, namun perasaan dan kasihnya masih dapat tersalurkan dengan baik.
Roumeli menengadah. Matanya sudah merah dan sembab. "Pernahkah kau mendengar, tidak akan terjadi kiamat hingga tidak ada lagi orang di muka bumi ini menyebut Tuhan?"
Azkio mengangguk.
"Dan tidak ada yang menyebut Tuhan di Terra Firma kecuali segelintir ...." Roumeli kembali menunduk dan hanyut dalam tangisannya yang hening. Kalifa tak bisa menahan. Air matanya ikut jatuh berderai.
Azkio kembali menggunakan bahasanya yang biasa. Ia bicara pada Kalifa. "Anak ini bilang bahwa tidak ada lagi yang menyembah Tuhan di sana kecuali sedikit. Kamu tahu apa artinya?"
Air mata Kalifa kini juga berderai semakin deras. Dia mengangguk sambil terus mendekap Roumeli. Tak ingin melepaskannya. Tak ingin mengembalikannya ke sana. kalifa dapat mengerti betapa banyak hal yang pasti telah Roumeli lalui—dan bukan hanya dia. Orang-orang yang menyertai pun sama berat ujiannya terutama jika mereka masih diberikan hidup. Selama mereka hidup di sana ... tak akan pernah ada kedamaian yang didapat. Satu-satunya jalan pergi dari dunia mengerikan itu hanyalah ke langit. Di sanalah mereka akan menemukan akhir bahagia yang sesungguhnya.
Kalifa melirih.
"Ya, aku tahu. Akhir dunia akan terjadi sebentar lagi ... hingga angin lembut itu tiba dan menarik ruh kita semua. Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang beruntung."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro