MIRAKEL
SEKOLAH raksasa itu terbagi menjadi beberapa gedung sesuai jenjangnya.
Di setiap Gedung B ada empat lantai: kelas satu di bawah, lalu berturut-turut kelas dua, kelas tiga, dan Ruang Penghimpun di atasnya. Di lantai tertinggi itu tidak punya selasar karena hanya dialasi satu lantai keramik lingkaran yang megah dengan berbagai dekorasi bernuansa peraknya bahkan kolam air mancur. Kursi-kursi yang mengambang akan muncul otomatis ketika waktu berkumpul tiba, berjajar lima belas ke kanan sepuluh ke belakang atau menyesuaikan jumlah siswa yang ada di sana.
Tidak biasanya tempat itu ramai dan heboh seperti sekarang.
Kepala jenjang B, Finnian Jarvi, tegak dengan rahang keras dan alis melengkung. Dia tak pernah tersenyum bahkan dalam beberapa kesempatan seperti saat ini, pancaran mukanya semakin masam. Setelah dia mengumumkan lewat telekomunikasi ke setiap kelas, semua siswa bergegas menuju Ruang Penghimpun dengan kerasak-kerusuk keruh yang berhenti ketika Finnian membuat bunyi dengung dengan mikrofonnya.
Dia berdeham. Sedikit pembukaan singkat-padat yang membosankan lalu berkata, "Begitulah kami menemukan kasus kenakalan lagi. Saya paling tidak suka kepada anak-anak seperti ini. Mereka yang bersandiwara di depan guru dan menjadi liar di belakang adalah tipe paling menyusahkan."
Tiba-tiba, pria paruh baya itu menyebutkan beberapa nama siswa untuk maju ke podium. Seluruh hadirin tercengang ketika kursi mereka yang disebut berubah merah—dan mereka tak bisa pergi ke mana pun. bahkan jika ada siswa yang berlambat-lambat, aparat komputer tak akan segan untuk mendesaknya.
"Mustahil." Annadher mencengkeram lengan mantel Roumeli, mereka duduk di barisan paling belakang. "Ini bukan Sesi Eksekusi seperti yang lalu-lalu 'kan? Katakan padaku!"
"Apalagi kalau bukan?" Roumeli menelan ludah. Ia tak pernah merasa sebimbang ini. Hatinya juga agak cemas.
Sesi Eksekusi terjadi di setiap jenjang TF-Institute ketika sebuah kasus pelanggaran terungkap. Mereka yang tercemar namanya akan dihardik di hadapan anak lain, dikecam, lantas dipulangkan dengan penuh hina kepada orang tua mereka. Sekolah menyebutnya ladang pembelajaran dan peringatan, yang bagi Roumeli, jelas hanyalah sebuah tindak praktis tak bermoral. Hukuman seperti ini tidak akan memperbaiki apa pun dan malah sebaliknya. Mental anak-anak yang tersangka bisa semakin jatuh, terus menenggelamkan mereka dalam kesalahan.
"Menjadi pecandu alkohol sejak dini akan merusak generasi dan menjadikan beban bagi masa depan. Ini," Finnian menunjuk anak-anak yang berbaris menunduk itu dengan lancang, "adalah tikus-tikus kecil yang salah!"
Roumeli tak pernah setuju. Dia membaca bahwa ganjaran bagi siswa dalam versi seperti ini juga terjadi di masa lalu dan sudah dihentikan, walau sebagian institusi masih menerapkannya. Itulah yang dinamakan kuno. Seharusnya tidak ada lagi aturan seperti ini, namun pemikiran orang-orang Terra Firma terkadang sering dikuasai nafsu belaka.
Roumeli tak pernah sudi menjadi penonton kezaliman itu. Sayang disayangkan karena setiap murid wajib hadir bahkan dijaga ketat oleh aparat komputer yang memanggul senapan laser. Sesungguhnya Sesi Eksekusi bukan ancaman berarti bagi anak-anak pelanggar karena aksi mereka selalu tertutup rapi, bersih dan aman. Itulah mengapa peraturan TF-Institute dan Sesi Eksekusi ini sering dikatakan tolol sebab teknologi canggih dapat memanipulasi segala hal. Jarang sekali ada yang bisa terungkap seperti kasus kali ini meskipun terkadang memang ada.
Mata Annadher mulai buram karena sedikit air mata yang berlinang. Hatinya sesak. "Dia tidak mungkin 'kan, Roumeli? Aku tahu meskipun teman-temannya tergolong bebas, dia tidak seperti mereka."
Roumeli menarik napas dalam. "Tidak. Dia memang tidak melakukannya dengan sengaja."
"Benar 'kan? Dia tidak—ah! Kenapa kau bilang dia melakukannya dengan tidak sengaja? Apa kau tahu sesuatu?"
"Aku melihatnya dicekoki paksa."
Annadher melotot dan berbisik, "Kau melihatnya—apa!?"
"Dicekoki. Kebetulan malam itu aku melintasi kafe dan melihatnya. Mereka tampak sedang bercanda-yang-kau-tahulah sangat berlebihan sedangakan dia tak bisa melawan."
"Puji Tuhan. Artinya dia tidak bersalah," gumam Annadher. "Roumeli, cepat hentikan ini! Kau harus jadi saksi bagi Hanzhal. Dia tidak bersalah, Roumeli. Aku tahu itu. Aku tahu dia baik. Tolonglah ...."
"Entahlah, Annadher. Menurutku gegabah kalau kita melakukan itu."
"Roumeli." Annadher sudah menangis saja, air matanya berderai-derai. Dia tidak bercanda saat mengatakan bahwa dia menyukai Hanzhal. Padahal menurut perhitungan Roumeli, perasaan itu hanyalah perasaan sesaat dan bukan cinta sungguhan—mereka semua masih terlalu muda untuk memahami hal ini. Tetapi, Annadher punya tingkat perasaan yang kuat dan dia memang terkesan lebih dewasa ketimbang anak seusianya.
"Aku tahu dia baik ...."
"Bagaimana bisa?"
"Dia menyelamatkanku dan Mom saat vecl kami dirampok bandit," bisik Annadher sebelum menghela napas.
Itu adalah kejadian amat rahasia yang seharusnya tak boleh ia umbar kepada siapa pun. Dua tahun silam ketika vecl sedang rusak dan tak melayang, ban mereka bocor di pinggir Beta Residence yang sepi. Kesempatan itu digunakan seseorang untuk merampok—tanpa senjata dan hanya bermodalkan keagresifannya. Namun kemudian, Hanzhal kebetulan melintas bersama saudaranya yang lebih tua sehingga bandit itu melarikan diri. Andaikan ia membawa senjata, mungkin saja akan terjadi perkelahian.
Roumeli mendelik saat Annadher menceritakannya dengan ringkas. Bandit, aliansi kejahatan di kota, hanyalah mitos pada awal-awal masa Terra Firma. Kelompok yang belum stabil karena tak sepenuhnya menerima kekuasaan Dewan Tinggi. Mereka dikabarkan telah diringkus hingga ke akar-akarnya dan begitulah cara kota mendapatkan gelar sejahtera-aman-sentosa. Tetapi, belakangan ini mereka kembali bermunculan walaupun samar termasuk pada kejadian yang dialami Everest tempo hari.
Roumeli juga sudah menduga bahwa tidak mungkin suatu lingkungan tegak tanpa kebaikan dan kejahatan. Kedua hal itu selalu berdampingan sesuai hakikatnya.
Kini, Roumeli berada dalam kebimbangan. Dia terbiasa berpikir dan melakukan pertimbangan baik-buruk konsekuensi sebelum bertindak. Namun, ia tak punya banyak waktu sekarang. Sebentar lagi anak-anak di podium tinggi itu akan resmi keluar dari TF-Institute Timur. Apakah Roumeli akan membiarkan seorang korban mendera hukuman sementara gadis itu mengetahui kebenaran? Apa yang selama ini ia sebut-sebut sebagai peradilan?
"Permisi, Tuan Finnian."
Suara Roumeli yang tegas dan penuh penekanan itu bergema di Ruang Penghimpun. Seluruh pasang mata melirik ke arahnya dengan terkejut—tak pernah ada anak yang berani bicara lantang ketika Sesi Eksekusi berlangsung. Sementara Roumeli telah berdiri di depan kursinya, dia lurus menatap Finnian yang mengernyitkan kening di podium.
"Ada apa?" Suara berat dan tajam Finnian menggelegar. Kalau Annadher yang berdiri, mungkin ia akan terduduk kembali saking lututnya gemetaran.
"Salah satu dari mereka terpaksa dan bukan kemauan sendiri," kalimat itu meluncur halus dari mulut Roumeli. "Berdasarkan Kitab Peraturan Institut pasal tujuh, dia tidak termasuk ke dalam daftar peserta Sesi Eksekusi."
"Oh begitu. Tapi, kau tahu pasal itu tidak berlaku tanpa bukti. Bisa tolong perlihatkan pada kami apa yang kau punya?" tantang Finnian. Lengannya terlipat kaku ke belakang seperti robot. Dari luar mungkin ia tampak biasa, padahal hati Finnian sedang panas karena pekerjaannya baru saja disela oleh seorang siswa.
"Saya melihat kejadian secara langsung."
"Geledah memorinya," perintah Finnia.
Dua aparat komputer menggiring Roumeli ke sebuah ruangan tertutup dan membuat para siswa mendustai kejadian di depan mereka saking mustahilnya. Annadher menggenggam kedua tangan di depan dada dan memanjatkan doa, sementara anak-anak tersangka yang berdiri di podium semakin tegang. Salah satu dari mereka, berdiri tegak paling ujung dengan wajah kusut masai, tak pernah mengira takdirnya bisa menikung tajam. Hatinya berdebar-debar. Siapa pun dia yang menunjukkan diri sebagai saksi itu telah membawa setitik harapan untuk Hanzhal.
Pemindaian memori biasa dilakukan kelompok detektif Reserse untuk mengetahui kebenaran suatu perkara. Sebenarnya hal itu belum boleh berlaku bagi anak di bawah tujuh belas tahun, namun demi sebuah bukti, Finnian akan melakukan cara tercepat bagaimanapun itu. Roumeli sendiri sudah tak peduli lagi pada keputusan sang kepala sekolah yang kontradiksi: melanggar aturan negara untuk menghukum siswa yang melanggar aturan sekolah.
Betapa mirisnya.
Sebuah perangkat sederhana dipasang ke kepala Roumeli. Dia tahu bahwa hal ini melanggar hukum, tetapi segalanya sudah terlanjur dan itu disebabkan tindakannya sendiri. Manusia memang selalu berbuat kesalahan. Mereka bukan diciptakan seperti malaikat yang sempurna meskipun tetap memiliki keistimewaan tertentu.
Seorang wanita, guru sains teknologi kelas tiga, menyiapkan alat penembak untuk diarahkan ke mata Roumeli. Pemindaian memori itu memanfaatkan optogenetika yang telah dikembangkan ilmuwan pada masa lampau dan sedikit penyempurnaan.
"Bertahanlah. Tidak akan sakit. Hanya sedikit silau." Dia tersenyum ramah sebelum memindai mata Roumeli sehingga pengelihatannya memutih. Setelah hasil pemindaian tampak, wajah wanita itu berubah. Ekspresinya bukan lagi ramah melainkan keruh dan penuh kecamuk. Dia melapor pada atasannya.
Mereka tampak bergejolak dalam pembicaraan penting. Sesekali Finnian melirik Roumeli dengan raut tegang, agak cemas. Dia menggeleng setelah rekan wanita itu menyelesaikan laporannya.
"Untuk bagian itu lebih baik diserahkan pada Protektorat. Biar kita urus perkara kita saja," perintah Finnian. Mendadak wajahnya keruh. "Anak ini memang berbahaya. Bagaimana menurutmu?"
"Anda pun tahu di mana dia layak berada sekarang."
Kedua rekan itu menangguk sebelum Finnian kembali ke Ruang Penghimpun di podium. Dia memandangi seluruh siswa dengan tajam dan penuh keangkuhan. "Tidak ada," cetus Finnian. "Tidak ada memori yang terkait."
Para siswa yang hadir di Ruang Penghimpun menarik napas kaget. Hari itu mereka benar-benar diserang keterkejutan yang beruntun seperti ekor trem di setiap wilayah kota. Annadher melotot, tak percaya jika perkataan Roumeli salah. Gadis itu tak pernah berbohong dan sedikit pun tidak pernah. Jantung Annadher seakan-akan melompat keluar saat ia melihat Roumeli digiring menuju podium.
"Bahkan dalam memorimu tidak ada kejadian itu. Sekarang kesalahanmu ada dua, Nona Muda. Kau memperlambat Sesi Eksekusi dan berbohong sebagai saksi. Kami mengira bahwa kau memiliki hubungan dengan kelompok anak-anak ini."
Napas Roumeli menderu. Mendengar tudingan menyeleneh yang bertubi-tubi seperti itu membuat hatinya bergemuruh. Sakit sekali. Padahal ia hanya berniat baik, tetapi justru dengan niat itu terciptalah fitnah baru. Ada banyak jalan menuju kesalahan dan jalan-jalan tersebut seringkali samar oleh kabut kebaikan.
Roumeli menggeleng. "Pemindai itu pasti rusak atau memori saya telah dimanipulasi."
"Omong kosong," bantah Finnian keras.
"Saya bisa menuntut ini ke Halls sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Pengotak-atikan memori seseorang adalah terlarang dan saya yakin dengan apa yang saya saksikan malam itu."
"Halls tidak akan mendengar racauan anak-anak." Dia berdiri memandang seluruh siswa. "Perhatikanlah oleh kalian. Orang-orang di depan ini adalah kecacatan yang perlu dibersihkan agar sekolah kita tidak ternodai."
Roumeli terbelalak. Dia baru hendak bicara lagi sebelum Finnian memotong dengan cepat.
"Saya ucapkan terima kasih telah belajar di tempat kami," Finnian berbalik kepada barisan anak-anak di podium yang tegang, "dan selamat jalan."
Anak-anak yang terdakwa menghilang setelah didorong masuk ke dalam tabung kaca oleh para aparat komputer. Alat itu menteleportasikan mereka secepat kilat menuju rumah masing-masing. Setibanya di tempat tujuan, sebuah stempel merah akan terukir di punggung tangan mereka secara otomatis. Stempel yang merupakan sebuah tanda.
Tanda bahwa mereka adalah anak-anak gagal yang ditendang keluar dari sekolah dengan malang.
[]
Atmosfer ruangan itu mendadak dingin dan menjalar hingga ke seluruh penjuru dinding seperti melumpuhkan pemanas yang tadinya menaikkan suhu. Lidah pemuda itu kelu ketika seorang anak lelaki hadir dari serpihan-serpihan cahaya biru tepat di hadapannya di ruang tamu. Padahal Kannaz hendak keluar untuk beberapa keperluan—namun setelah Hanzhal muncul dengan bekas teleportasi resmi TF-Institute Timur dan stempel merana di tangan kirinya—rencana Kannaz sirna seperti kabut yang menguap.
Kannaz tidak terkejut berlebihan, ia sudah memiliki praduga setelah kejadian tempo hari meski dirinya ingin sekali mendustai itu. Dikeluarkan dari TF-Institute berarti hilangnya masa depan karena Dewan Tinggi tidak menyediakan lowongan pekerjaan lain, kecuali untuk profesi-profesi yang dilarang dalam keyakinan mereka. Saudaranya itu bisa saja menjadi buruh tanpa upah yang terhina, seorang pekerja yang terikat dosa ... atau justru memilih pengangguran.
Emosi saja tidak akan menyelesaikan masalah. Tidak apa-apa kecewa dan marah, tetapi Kannaz juga harus menemukan solusi agar hidup saudaranya tidak berakhir mengenaskan.
Perlahan pundak Kannaz yang tegang melemas. Sementara Hanzhal masih bergeming di depan pintu dan menunduk dengan tangan terkepal menahan tangis. Bagi Hanzhal, laki-laki yang menangis adalah pengecut. Dia tidak mau menanggung gelar sialan itu meskipun sungguh ia tak tahan lagi dengan segala tuduhan ini!
"Aku yang bodoh. Sekarang aku bisa menghancurkan hidup kita. Marah saja padaku. Benci saja aku. Bahkan jika aku harus pergi dari rumah ini."
"Hanz." Kannaz menyentuh pundak Hanzhal dan meremasnya dengan teguh. "Kita membenci perilaku, bukan pelakunya. Sia-sia memarahi perilaku itu. Lebih baik pelakunya menebus apa yang sudah keliru."
Wajah Hanzhal semakin panas. Dia nyaris tak bisa membendung air mata seperti Kannaz yang benar-benar sanggup. Dia tak bisa menyembunyikan lagi rasa kesal yang meluap-luap dalam dirinya. Dia benci menjadi seseorang yang penuh penyesalan. Dia merasakan itu, sesuatu yang menjadi inti dari hatinya mengeras seperti batu paling keras sedunia.
Namun tiba-tiba, Kannaz menarik pundak Hanzhal ke dalam dekapannya. Anak lelaki itu terisak dengan konyol. Dia merasa seperti anak kecil manja yang sedang merindukan ibunya dari jendela sekolah, tidak sabar untuk segera pulang dan minum susu madu hangat. Dari segala emosi yang berkelindan dalam dirinya, Hanzhal hanya butuh seseorang untuk menerima tanpa mengomentarinya.
"Kau ingin coba ke TF-Institute Barat? Masih ada peluang meskipun mengulang dari awal."
"Tidak. Aku sudah mencelakakan diriku dan orang lain."
"Apa maksudmu dengan orang lain?"
Hanzhal menyusut ingusnya dan merebahkan diri di sofa. Wajahnya stres dan rambutnya berantakan seperti gelandangan tetapi yang kaya. Semangat hidupnya seakan direnggut dan dibuang ke jurang tanpa dasar. Pandangannya nanar. "Aku sudah bilang, Kanz, aku tidak melakukan itu sepenuhnya dengan sengaja."
Tangan Kannaz yang lembut kini menjitak bahu Hanzhal dengan keras setelah duduk di sebelahnya.
"Aw," ringis Hanzhal.
"Kau bisa menolak dengan tegas dan ini tidak akan terjad," tukas Kannaz.
"Kau tidak berada dalam posisiku, Kanz."
"Kau mau aku pukul lagi?"
"Tidak mau! Itu sakit kau tahu?"
"Justru aku lakukan karena aku tahu."
Anak lelaki itu merenung. Kilasan-kilasan kejadian pahit saat di Ruang Penghimpun berputar dalam benaknya, ketika gadis misterius itu berdiri dan mengajukan penahanan. Siapa dia? Hanya sekali terlihat di pemakaman, jarang terlihat di TF-Institute Timur jika tidak bersama Annadher. Hanzhal masih tidak tahu namanya! Jelas membuat anak lelaki itu merasa kurang ajar dan semakin bersalah.
"Ada yang membelaku. Gara-gara itu dia juga dikeluarkan dari sekolah."
Kannaz terdiam. Antara kagum dan sangat heran. Dia tidak bisa menjustifikasi seseorang menurut prasangkanya bahwa orang itu terlalu picik dan minim strategi. Bagaimana mungkin dia membela siswa yang telah jelas akan dikeluarkan. Apalagi siswa tersebut adalah Hanzhal, pikir Kannaz. Orang macam apakah gadis itu?
Kannaz menggelengkan kepalanya. "Lalu?"
"Apa yang harus kulakukan!?" Hanzhal menggebrak meja kaca maglev yang melayang oleh magnet sehingga bergoyang. Kannaz hampir marah karena mengira meja itu akan pecah. Untunglah ia masih menahan diri.
"Siapa dia? Kau harus meminta maaf dan menebusnya. Bahkan kalau harus dengan harta terakhir kita sekali pun."
"Tidak tahu," Hanzhal menangkupkan kedua tangan pada wajah, "aku hanya mengenal teman dekatnya saja."
"Cepat hubungi dia. Kita harus selesaikan ini atau perkaranya akan semakin panjang. Kau tahu bahwa pertanggungjawaban tidak berhenti sampai di sini."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro